Pages

Tuesday, August 19, 2008

Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo

(dikutip dari KHAZANAH< Pikiran Rakyat,Sabtu, 16 Agustus 2008)

SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan eksplorasi
kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan arah dan
tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak
teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali
tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa.
Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji
sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan,
seperti termaktub dalam website mereka www. freedom-instute. org.

Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan yang dipilih oleh Freedom
Institute, yang diberikan pada mereka yang dianggap telah menunjukkan
dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama kedokteran, sains,
penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah ini
mengandaikan dirinya sebagai "Hadian Nobel" Indonesia. Tradisi
pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang
kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang
menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko
Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S.
Rendra (2006), dan Putu Wijaya (2007).

Pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski
menerima anugerah tersebut, W.S. Renda dalam pidato penerimaannya
dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib
ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo
makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan.
Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima
anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut. Lain
halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah berbagai kritik.

Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti sebelumnya,
sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima Sutardji
Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra
berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno
ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang "presiden" penyair
Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu
dan uang Rp 150 juta!

**

TENTU saja ini menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda. Menurut
kritikus Adi Wicaksono, berbicara kesusastraan Indonesia sangatlah
tidak mungkin meniadakan atau melewatkan nama Sutardji.

Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 yang
dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut
haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan
penghargaan yang sifatnya politis. "Moralitas menerima atau menolak
saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti
tahun lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama,
banyak kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika
kasus Lapindo benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda
kalau, misalnya, Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo
jadi sorotan khalayak dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji
menerima anugerah itu, sebagai penghargaan sastra dia memang layak
menerimanya, " ujarnya.

Senada dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa
Sutardji pantas mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga
pemberinya belumlah pantas memberinya karena ada yang lebih pantas
diberi dan diurus, yakni korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami
ketika Sutardji menerima anugerah tersebut, baik dalam konteks
realitas finansial maupun bersebab pada langkanya penghargaan bagi
sastrawan di negeri ini. Publik sastra Indonesia mungkin ada yang
berharap bahwa Sutardji akan menolak penghargaan tersebut.

"Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya Tardji menolaknya.
Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara finasial, orang-orang
yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak menolak," tutur Agus.

Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor menyebut sangatlah wajar
Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal lembaga yang
memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut tidaklah
akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. "Kasus lumpur
Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan
adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada
sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti
menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra
menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang
penuh kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua,
menerima atau menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan
terganggu. Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang
Rp 150 juta!" Katanya.

Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan,
Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji
juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal
memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti
gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga
soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah
yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata
Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya
sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.

Berbeda dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur
Lapindo dan Bakrie Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal
justru memandang keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini
pula, ia menganggap bahwa wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih
besar seandainya ia menolak anugerah tersebut. "Yah, terserah dia
kalau mau menggadaikan wibawa kepenyairannya pada uang 150 juta.
Sebagai penyair seharusnya dia menghitung itu," ujar Afrizal.

**

ketika dihubungi, Jumat (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14
Agustus 2008 itu menerima dua penghargaan sekaligus, Penghargaan
Budaya Bintang Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan mengapa orang tidak
mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari negara tapi justru
mempermasalahkan Bakrie Award 2008?

"Mengapa kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari
negara itu tak ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara
yang berat sebelah? Saya muak dengan hal itu! " ujarnya.

Seolah menjawab pernyataan Afrizal, Sutardji menambahkan, "Saya tidak
dibentuk oleh orang-orang yang menyukai atau oleh orang-orang yang
membenci saya. Saya dibentuk oleh diri saya sendiri!"

Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya menerima Bakrie
Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah tentu ada
kebaikan dan keburukannya.

Lalu, seolah hendak menjawab para pengkritiknya yang mengaitkan
anugerah tersebut dengan isu lumpur Lapindo, Sutardji menegaskan
bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai penyair, ia bukanlah petarung
sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan tidaklah dimestikan sebagai
reaksi atas realitas sosial yang tengah terjadi seperti kasus lumpur
Lapindo.

"Kalau mau semacam itu sejak zaman Soeharto saya sudah ditangkap.
Saya bukan petarung sosial, tapi petarung kata-kata. Pertarungan saya
adalah dengan kata-kata, dengan ide dan air mata. Puisi saya bukan
puisi dekrit!" katanya. (Ahda Imran)***
Title: Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: