Pages

Monday, February 23, 2009

Kepada mereka yang bersembunyi ; RIYANTO EMPAT DUA; dan yang lain....

Kepada mereka yang bersembunyi

Dingin terus merangkak
Menyapa shubuh dalam gelap
Mestinya semua tergeliat
Untuk menyambut sang mentari yang hangat

Tapi rupanya gerhana masih berkepanjangan
Terik sinar tak mampu sampai
Terapalingkan oleh wajah-wajah gurita globalisasi
Membiaskan sinar dan menciptakan ruang-ruang gelap
Untuk kalian bersembunyi dan tiarap

Magma enggan menggelora terhentikan akar-akar kapitalis
Yang makin kalis

Kawan,
Alu itu harus dipukul
Hingga ayam terbangun
Dan bangunan seribu candi kemegahan dalam balutan neolib
Akan tersalib
Karena para iblis
Mengira mentari akan kembalikan senyum manis

Mungkin harus kuhitung
Bagai dalam penjagaan petak umpet
Dan kususuri tiap lekuk persembunyian
Semoga kalian tidak dalam labirin...
Amin...


Shubuh, 23 februari 2009 – sekre kebebasan - sumampir




RIYANTO EMPAT DUA

Desir kendaraan saling berlomba
Memenuhi ruang dengar
Tak jarang getar aspal menjalar
Hingga membuat sedikit gelombang
Bersinergis pada getaran otak yang sedang berdendang
Memainkan manuver-manuver pemikiran
Tentang si brengsek neolib

Deras hujan dan dingin menusuk
Hingga ke pori tulang
Bermain notasi dengan lapar
Dan luapan kegelisahan
Pertanyaan
Pada malam
Pada keadilan...

Ada kawan
Ada musuh
Semua satu atap
Dalam balutan ego diri
Riak perjuangan tetap selalu menjadi mediasi
Untuk tetap dalam derap

Ada air hangat
Ada juga nasi lembek
Terkadang rezeki mengalir
Berpesta sedikit bak para kapitalis
Tapi ingat!!!kami pantang mengais...

Ada tawa
Ada tangis
Diselingi dialektika segar
Seperti rekahnya mawar

Berbekal keyakinan diri
Dari semangat pencarian akan sebuah hakiki
Memasung ketergantungan menuju independensi
Ada ajar ikhlas...disini...di HMI....

Ya Allah berkati... bahagia HMI....

22 Februari 2009, sekre HMI MPO Purwokerto..Jl.Riyanto 42 Sumampir Purwokerto.




Untuk Kampusku

FUCK !!!!

Sumampir, 22 Februari 2009.
Read more ...

Tak Boleh Ada Air Mata & Ode Buat Ayah

Tak Boleh Ada Air Mata (lagi)

Biar ringkih ku merangkak
Menggapai satu demi satu menghalau telak
Tetap satu patri
Prinsip diri

Otakku memburai
Ususku mengurai
Darahku menggenang
Tapi jiwaku menang

Janjiku
Tak boleh ada air mata lagi
Walau perih di hati
Bagai digarami
Saat urai pikir terparkir
Dibunuh keegoisan yang terpolitisir
Dan bermain dengan keping karir
Tapi maaf....
Aku bukan martir

Biarkan aku berlari
Menuju kemerdekaan diri...
Semoga Sampai jumpa nanti..

Shubuh, 23 februari 2009 – sekre kebebasan - sumampir

Ode Buat Ayah

Biar
Biar saja lapar
Main dan berputar
Toh itu hanya masih mampu kurasa samar

Biar tangis
Ada untuk bersama
Biar kureguk semua untuk hilang dahaga



Mungkin aku orang paling durhaka
Hanya saja ku ingin menjadi manusia
Dengan merdeka

Bukan tak ada cinta
Bunga itu masih akan tetap terpatri
Walau kepala terludahi
Walau harus kurasakan sakit perih di hati
Walau harus kugapai semua dengan segala peluh di dahi

Mungkin ini cintaku
Dengan caraku
Padamu
Ayahku…


Maaf….

Shubuh, 23 februari 2009 – sekre kebebasan - sumampir

Read more ...
Friday, February 20, 2009

Keintiman Malam Ini

........Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu
Bagaikan letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati............ (Cahaya Bulan - Ost.Gie)

Kehadiran salah satu senior, mas Anto – ketum cabang dua periode lalu- senja tadi seolah memberikan sebuah angin segar padaqu. Tadi berdiskusi panjang mengenai HMI, gerakan, dan lain sebagainya. Katanya kemarin malam mas Yud sms : ” Bro, mlm ni tak ada rokok, secangkir kopi, dan diskusi anti neolib,...sendiri sudah!!”.

Arrgh..kegersangan itu dirasakan olehku pula. Kini susah sekali untuk mencari ruang-ruang diskusi dimana ku dapat meluapkan segala yang berkecamuk di hati dan otak. Tak kutemui lagi riuh redam benturan pemikiran diantara kita. Kemana kalian kawan?


Jujur, saya merasa gersang akhir-akhir ini. Ruang-ruang diskusi kini mulai hilang di kota satria – bukan hanya di HMI-. Maka yang muncul terkadang permasalahan-permasalahan emosional seperti ”maen hati”. Kultur anak muda sekarang yang telah terimbas oleh media yang tidak bertanggungjawab, ditambah usia yang memang merupakan fase dimana lagi puber, membuat kadang pikiran-pikiran yang tak produktif menghegomoni ruang otak.

Saya butuh ruang-ruang diskusi untuk berbicara, sekdar urun rembug mengenai umat, masyarakat, pengembangan diri, dan lain-lain. Saya haus akan ide-ide segar pembaharuan. Saya muak dengan obrolan-obrolan yang berputar pada gaya hidup,sebatas pencarian eksistensi dalam pergaulan yang nggak jelas juntrungnya. Gaul yang nggak gaul!!! Gaul yang nggal bertanggungjawab!!!

Semoga ini karena masa liburan semester saja sehingga bisa gersang seperti ini. Tak tahu sampai kapan ku bertahan berdialog dengan malam yang sepi dan cahaya bulang yang selalu menusukkan pertanyaan......
Read more ...
Sunday, February 15, 2009

MEMOAR OF “LASKAR PELANGI”


Widya Puri menurutku adalah salah satu istana terindah di Purwokerto. Rumah yang memiliki 19kamar dan dua lantai itu menjadi saksi bisu perenungan-perenunganku selama ada di kota satria ini. Di lantai dua ujung timur, disanalah biasanya aku melepas lelah. Persis disebelah timur rumah kos-qu, sebuah sekolah dasar negeri berdiri (SD N Karangwangkal I). Kalau pagi atau siang, sambil bertenger diatas genteng atau pagar beton, aku dapat menikmati aktivitas-aktivitas anak-anak sekolah yang masih polos. Menikmati kepolosan tingkah mereka, terkadang membuat angan mengawang pada masa-masa kecil dulu. Aku ingat ada kisah laskar pelangi yang membuatku tersenyum jika mengingatnya.

Berangkat dari sebuah pertanyaan dan keheranan akan proses belajar mengajar di sekolah, saat itu aku yang duduk di bangku kelas enam rupanya mencoba belajar mengamati keseharian teman-teman satu kelas.

Hampir enam tahun – saat itu- aku bersama-sama mereka, belajar. Kita mendapatkan guru yang sama tiap tahun. Bangku yang kami duduki juga sama, dari kayu. Kita sama-sama menulis diatas kertas. Buku panduan yang kita gunakan juga sama, malah terkadang aku tidak memiliki buku-buku itu. Seragam kita sama, merah-putih. Tetapi aku melihat ada kesenjangan diantara kita.

Saat itu, pergaulan anak-anak-walaupun secara tidak langsung -terpisah menjadi beberapa kelompok. Anak-anak yang ada di sepuluh besar ranking di kelas, biasanya bergaul dengan sesama-nya. Ada juga kelompok-nya anak-anak borjuis. Walaupun ketika bel istirahat berdentang, semuanya akan membaur jadi satu di aula sekolah. Aq dulu paling suka bermain petak lari (he3..ini nggak penting ya??)

Saat kecil, aku bertanya ” Kenapa kita belajar sama-sama tiap hari tetapi masih ada perbedaan yang pinter dan kurang pintar???”. Kenapa masih ada anak yang belum lancar membaca? Kenapa masih ada anak yang belum hafal operasi perkalian dan pembagian?? Kita kan sama-sama belajar dari kelas satu hingga kelas enam di sekolah yang sama. Aku tak suka pada kesenjangan. Semua harus punya hak yang sama. Apalagi kalau sikap guru sudah memperlihatkan diskriminasi antara yang pintar dan yang bodoh. Aku pikir, anak-anak yang nggak masuk sepuluh besar juga sama-sama manusia yang tidak boleh dibedakan antara yang pintar dan yang bodoh. Mereka hanya tidak termotivasi untuk belajar.


Pertanyaan dan pemikiran itu aku wujudkan dengan membentuk kelompok belajar. Terdiri dari sepuluh orang yang mungkin secara keseharian bukan dianggap sebagai anak yang ”pintar” hanya karena tidak bisa masuk ranking. Kebetulan hanya aku diantara mereka yang masuk tiga besar. Kesembilan anak yang lain adalah teman-teman yang menurutku mereka tidak mendapatkan motivasi saja untuk belajar. Aku masih ingat beberapa nama : Venti, Siska, Anggun, Luhur, Kiki, Erman, Lia, Farid, Firman, dan Adi. Tiap anak ini meruapakan siswa-siswa yang ”unik” di kelas terutama yang cowok. Venti, Siska, dan Anggun adalah trio yang selalu bersama...dan nampaknya sama dalam nasib.he3. Erman adalah anak seorang kepala sekolah yang dibuai dengan kemewahan. Hal yang sama terjadi juga pada Farid , Kiki dan Lia. Kalau Luhur..anak bandel di kelas yang sering dipanggil si pitak. Si Firman atau biasa dipanggil ”timank” juga anak seorang yang berkecukupan yang pergaulannya lumayan menakutkan untuk kondisi saat itu. Teman-teman sepermainan dia saat itu adalah anak-anak sekolah menengah yang sudah ngrokok, make, dll. Bahkan pernah suatu saat si timank dikeroyok oleh berandalan. Cerita tentang si Adi lain lagi, dia anak yang agak aneh, dia cukup dewasa jika dibandingkan teman-teman seusianya. Aku masih ingat dia pernah menampar teman cewek di kelas saat kita duduk di kelas empat, dan aku yang waktu itu menjadi ketua kelas hanya diam melongo, karena suer...waktu itu yang aku liat adalah sosok Adi yang ”ngeri” deh!!! Dan di kelompok belajar itu, aku menjadi pelengkap kesebelas sebagai anak yang ingin belajar bersama-sama mereka. Karena aku yakin mereka adalah teman-temanku yang cerdas-cerdas. Dari sebelas anak itu, secara tidak langsung aku ditunjuk menjadi leader, mungkin karena aku lah satu-satunya diantara mereka yang punya ranking di kelas. Alhamdulillah waktu itu masuk tiga besar (he3..narsis ^_^... gw pinter jg ya dulu...:p ).

Teknis kegiatan kelompok belajar (pokjar) itu dilakukan setiap hari minggu dan terkadang juga memanfaatkan hari libur non-minggu. Kalau hari sabtu menjelang bel pulang sekolah, biasanya aku sudah koar-koar : ” Besok di rumah si ”A” ya... bawa LKS Praktis...gak boleh bawa kunci jawaban!!!”. Nanti besoknya mereka secara otomatis akan siap-siap sekitar pukul 9 pagi untuk berangkat belajar.

Bagian kenangan favoritku sebenarnya adalah saat berangkat menuju lokasi belajar. Biasanya kita saling ”ngampiri” atau menjemput satu persatu, terutama buat yang naik sepeda. Para pengendara sepeda waktu itu : Aku, Siska, Venti, Anngun, Farid, Adi, Firman, dan Luhur. Kalau Lia dan Kiki biasanya diantar oleh keluarganya. Erman terkadang naik sepeda kadang dianter oleh pak Sehat (nama bapaknya).

Sekitar pukul delapan, biasanya aku sudah siap dengan sepeda favorit di halaman rumah. Kalau sepeda lagi nggak bisa dipake, aku sudah kontak dengan teman yang biasanya boncengan. Namanya juga anak-anak, suka rame-rame and becanda juga, kadang jam 10 kita baru ngumpul di lokasi. Semua pernah bergiliran dikunjungi, dan kebetulan sebelas anak itu tempat tinggalnya menyebar. Aku ada di tengah kota, dekat sama Firman. Venti, Siska, dan Anggun, Lia, Farid, ada di Kelurahan Slerok. Erman ada di Nusa Indah dekat dengan Luhur. Kiki dan Adi ada di desa Mejasem.

Aku merasakan setiap perjalanan itu seperti petualangan. Aku masih ingat betul waktu itu harus menyusuri sungai ”perpil” dengan sepeda..dan aku bonceng sepedanya Farid. Boncengnya berdiri karena sepeda Farid itu sepeda jenis Federal yang khusus cowok. Wuaah...menyenangkan sekali saat kita menyusuri tepi sungai dengan buku di tangan...saling bercanda penuh tawa. Oya, masih ingat juga, kebetulan rumahnya si Anggun itu di pinggir sungai...jadi kalau saat dia kebagian jatah untuk tempat belajar..sesekali kita main ke sungai. Asikna..... ^_^.

Trus aktivitas belajarnya gimana??? (he3..lupa cerita...padahal itu intinya). Ya, untuk aktivitas belajar, aku memiliki semacam kurikulum (tapi waktu itu nggak kenal kata ini..he3). Kegiatan belajar yang kita lakukan lebih kepada mengerjakan latihan-latihan soal. Waktu itu ada beberapa jenis LKS yang wajib dimiliki oleh siswa. Ada tiga jenis LKS : ”Praktis”, ”Canggih”, dan ”Cermat”. LKS itu kan kependekan dari Latihan Kerja Siswa, dan waktu itu aku pikir aku nggak bisa jadi guru yang memberikan materi kepada teman-teman. Jadi metode-nya adalah mengerjakan latihan soal bersama-sama. Biasanya ditengah-tengah mengerjakan latihan soal itu, kita berdiskusi. Walaupun aku yang dianggap leader, tapi bukan berarti aku akan memberikan semua jawaban, tapi lebih kepada sharing tentang pemecahan masalah. Memang sieh terkadang ada beberapa anak yang hanya tinggal mencontek jawabannya saja. Tapi biasanya mereka juga akan menanyakan ”jawaban ini dapatnya dari mana shin???caranya gmn???bla..bla..bla...” . Porsi waktu mengerjakan latihan soal biasanya hanya sekitar satu hingga satu setengah jam. Sisa waktu lebih buat ngobrol...tapi kadang aku kaitkan dengan contoh soal yang habis dikerjakan. Nah, setelah itu biasanya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh kita semua.....karena setelah belajar biasanya tuan rumah akan memberikan sekedar makan siang atau snack-snack lezat.he3.

Aku melihat bahwa metode pokjar dengan mengerjakan latihan soal lebih efektif. Biasanya guru kelas akan menggunakan LKS sebagai bahan ajar untuk mengisi waktu jatah mengajarnya. Saya pikir, di sekolah adalah saat kita mendapatkan materi, bukan mengandalkan LKS. Kalo di sekolah Cuma ngerjain soal-soal LKS, nggak usah pergi ke sekolah juga bisa, di rumah juga sama saja. Apalagi tiap LKS biasanya tersedia kunci jawaban yang bisa kita gunakan untuk mengoreksi ketepatan jawaban.

Jadi teman-teman pokjar biasanya ”selangkah lebih maju” dibanding teman-teman yang lain. Kalau guru sudah bilang ” Kerjakan LKS!”, kita bersebelas udah tenang..karena sudah mengerjakan bareng-bareng dan dikoreksi jawabannya, waktu yang ada bisa digunakan untuk baca-baca materi. Emang sieh bukan jaminan bahwa jawaban kita betul, tapi setidaknya kita sudah lebih dulu mengetahui apa yang harus dikerjakan saat itu. Lagipula kalau mengerjakan di sekolah itu kan ”terbatas” waktunya, karena oleh guru diberikan tenggang waktu, misal 30menit harus selesai...habis itu dicocokkan. Makanya tidak heran kalau di kelas anak-anak lebih suka contek-contekan jawaban, yang penting udah diisi dan tepat waktu.

Perjalanan kesebelas anak ini tidak lancar begitu saja. Tidak setiap pekan kita bisa kumpul lengkap sebelas anak. Namanya juga hari libur, ada yang memanfaatkan berlibur bersama keluarga, istirahat di rumah, ada juga yang kadang merasa bosan untuk berangkat pokjar dan lebih memilih main dengan anak-anak sepermainannya dirumah.

Nggak jarang juga ada permasalahan antar personil. Namanya juga anak-anak, masalah sepele juga bisa jadi gede. Dari masalah pinjam pensil yang nggak dikembalikan sampai masalah ”cinta monyet”.he3. Dulu kalo anak kecil itu kan suka ledek-ledekan ”manten2an”. Kebetulan diantara kesebelas anak itu juga ada beberapa pasangan yang suka diledekin. Ada siska dengan erman, anggun dengan Adi, dan yang lain. Hei...aku kangen berat sama mereka sekarang, where r u guys?? I miss u all.... Oya, mengenai cinta monyet, aku juga punya cinta monyet waktu itu lho. Jujur aja, Luhur itu salah satu teman sekelas yang cukup menarik perhatian seorang shinta. Hemh...kenapa ya??!! Dia unik..cerdas... Tapi dikelas selalu dianggap sebagai anak yang paling badung, saat latihan ujian nasional NEM dia termasukyang nilainya terendah, tapi pas ujian akhir... Hemh...kita semua bisa bangga sama dia... J

Selain masalah-masalah internal, berbagai rintangan juga pernah dihadapi oleh ”pokjar”. Di diriku sendiri misalnya, pernah terbentur masalah dengan orang tua. Mungkin waktu itu ayah terlalu rindu kebersamaan setiap hari libur, jadi beliau pernah melarang dan menyuruhku untuk menghentikan aktivitas pokjar itu. Tapi yang bikin aku nggak terima saat itu adalah kata-katanya begini : ” Mereka itu kan yang butuh kamu...jadi mereka yang harus kesini..bukan kamu yang harus keluyuran setiap minggu!!!”.

Jujur, aku kesal dengan larangan itu. Aku bukan keluyuran nggak jelas setiap akhir pekan. Kalau dibilang teman-teman lain yang butuh aku, hemh...nggak juga, pernyataan itu salah besar!! Justru aku juga sangat membutuhkan kegiatan pokjar itu. Hubungan kita bersebelas simbiosis mutualisme. Terkadang di beberapa hal aku tak mampu menyelesaikan tugas, misalnya bidang prakarya, atau menggambar (Aku sendiri heran dengan diriku sendiri...saat SD aku sangat anti dengan pelajaran ”kesenian”, tapi sekarang justru getol banget!!he3). Kemudian satu point penting yang aku dapat dari pokjar itu adalah aku mendapatkan keluarga, mendapatkan kebersamaan.

Dirumah aku termasuk anak yang tak memiliki teman sebaya. Dengan anak-anak kampung belakang rumah juga jarang maen (karena sudah dikondisikan untuk jarang bersosialisasi dari kecil). Tapi sebagai seorang anak kecil, seorang manusia, aku punya kebutuhan bersosialisasi, aku butuh untuk berinteraksi dengan orang lain. Dari buku-buku yang aku baca, aku tahu bahwa dunia itu tidak sebatas pada tembok rumah. Makanya, kalo teman-teman mungkin membutuhkan aku dalam hal akademis untuk membantu membangkitkan motivasi belajar, sementara aku sendiri butuh teman-teman untuk membawaku terbang melihat dunia luar dari sepasang mata kecilku. Dari mereka-lah aku mengetahui beberapa lokasi di kota Tegal, dari daerah kotamadya sampe kabupaten. Dari mereka-lah aku bisa belajar untuk unggah-ungguh di rumah orang, aku belajar mengenal orang-orang yang berbeda, tipe-tipe keluarga yang berbeda. Aku baru tau bahwa kalo kita main ke rumah orang dan mau pulang, kita harus pamit ke kedua orang tua teman kita itu. Kalau kebiasaan di rumahku tidak seperti itu, mungkin karena ruang usaha ortu terpisah dengan tempat tinggal, dan papa bekerja dari setengah tujuh pagi sampai jam sembilan malam, jadi kalo ada temanku yang maen ya ortu tidak mengetahui. Sangat merepotkan kalau temanku mau pulang aku harus memangiil kedua orang tua di rumah sebelah.he3. Itu salah satu contoh kecil yang ada. Ya, dari situlah aku belajar untuk menghormati perbedaan, menghargai kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tempat orang. J

Ada juga rintangan yang cukup unik yang dihadapi oleh teman-teman pokjar. Waktu itu di sekolah diadakan les tambahan pelajaran untuk anak-anak kelas enam. Les yang dipandu oleh wali kelas itu dimaksudkan supaya lebih siap untuk menghadapi ujian akhir. Suatu saat, les tambahan itu diadakan pada hari libur tanggal merah. Kalau nggak salah hari Kamis waktu itu. Saat guru mengumumkan jadwal les tambahan pada H-1, spontan anak-anak pokjar berteriak mengeluh. Apa pasal? Karena kita sudah punya rencana akan kumpul pokjar pada hari dan jam yang sama. Ternyata saat itu teman-teman pokjar lebih menyukai belajar di pokjar dariapada di les tambahan, maka nggak heran saat itu mereka mengeluh.

Aku sendiri diam saja waktu itu. Ya, mau gimana lagi? Les tambahan itu kan wajib dari sekolah..kalau nggak berangkat bisa dihukum. Ya udahlah mungkin pokjar bisa ditunda. Tapi dalam diamku itu tiba-tiba sang wali kelas memanggilku untuk menghadap di kantor. Dengan segala kebingungan dan tanpa prasangka apa-apa aku nurut aja. Biasanya kalau aku disuruh menghadap ke kantor guru saat nunggak SPP atau belum bayar iuran-iuran yang lain. Tapi..waktu itu seingatku aku belum ada tunggakan apa-apa. Sesampainya aku diruang guru, sang wali kelas memulai pembicaraan dengan kata-kata :
”Kalau kamu nggak suka sama les tambahan bapak, nggak usah mempengaruhi teman-teman yang lain??!!”
Aku Cuma bisa bengong..nggak paham karena tiba-tiba disentak dengan kalimat seperti itu. Ternyata sang wali kelas merasa tersinggung saat dia melihat anak didiknya mengeluh karena les tambahan. Beliau juga sudah mengetahui aktivitas pokjar kita. Yeah...waktu itu aku Cuma bisa diam. Namanya juga anak kecil...dimarahin guru ya diem aja. Aku tak ingat persis ceramah apa yang disampaikan oleh sang wali kelas itu. Satu hal kalimat yang keluar dari mulutku adalah pembelaan yang dengan pelan kusuarakan : “Nggak kok pak…shinta suka kok sama les tambahan bapak, shinta nggak tahu kalau jadwalnya bisa bentrok seperti ini”. L

Yeah…setapak demi setapak perjalanan kita lalui bersama. Canda tawa, sedu sedan kita tuai dalam kebersamaan itu. Ujian nasional adalah adalah sat-saat yang aku lalui dengan cukup tegang. Targetku saat itu adalah, anak-anak pokjar NEMnya nggak boleh kurang dari 30. Dulu ada lima pelajaran yang diujikan. Kalau NEMnya dibawah 30, berarti ada mata pelajaran yang nilainya kurang dari 6.

Pada saat pengumuman, aku sudah seharusnya bersyukur. Kesebelas anak itu lulus dengan NEM diatas 30 semua. Padahal aku sudah was-was..karena saat latihan ujian, beberapa anak pokjar masih ada yang mendapat NEM dibawah 30. Eh..ternyata semua bisa lolos. Amazing!!! Aku sendiri sudah cukup puas di urutan kelima besar (walaupun berarti aku turun peringkat karena saat latihan ujian aku jadi runner up.he3). Tapi itu semua pupus oleh kemenangan bersama. Kegembiraan setelah kelulusan itu kbetulan sekali persis menjelang hari lahirku, wah..sangat senang rasanya saat hari ulang tahun teman-teman sekelas bisa berkumpul sebelum kita berpisah untuk melanjutkan studi. Hal lain yang membuatku senang, sembilan dari sebelas anak ini diterima di SMP negeri semua, kecuali satu orang yang memang berniat melanjutkan di swasta, dan Luhur yang dikirim ke pondok pesantren oleh ayahnya.

Yeah...manis sekali memang memoar-memoar itu. Ingin rasanya untuk menghubungi mereka satu-persatu. Kita pernah berjanji suatu saat akan bertemu...hemh...mungkin nanti sudah dengan momongan masing-masing ya??!!!he3.

Beberapa pelajaran yang bisa diambil, bahwa seratus persen mempercayakan pendidikan pada lembaga formal bukanlah suatu hal yang bijak. Sebenarnya apa yang dirasakan oleh kita di pokjar adalah bahwa kita membutuhkan pendidikan dari lingkungan sehari-hari. Sebagian besar dari anak-anak pokjar adalah anak-anak yang kurang mendapatkan motivasi belajar dirumah. Itulah peran penting orang tua. Sekolah hanyalah salah satu media saja untuk memberikan alternatif pembelajaran kepada anak. Setiap waktu dalam perjalanan hidup seorang anak adalah masa-masa emas untuk belajar. Jadi belajar bukan Cuma di sekolah dan bukan sebatas pada rutinitas-rutinitas kegiatan di sekolah. Waktu berlibur yang biasa dijadikan waktu bermain ternyata efektif juga untuk belajar. Belajar sambil bermain J . Apalagi kurikulum pendidikan yang masih ”acak2an” di bangsa kita ini. Mendapatkan hasil yang optimal bukan dengan menunggu pemerintah akan berubah, tetapi melakukan perubahan itu dari tangan kita sendiri. Berdiri diatas dua kaki, berkarya dengan dua tangan kita, melihat, mendengar dan merasakan dengan indera yang Allah berikan. Hidup adalah Perbuatan!!! YAKUSA!!! (nta).


Tengah malam, 14 Februari 2008. Dipersembahkan spesial untuk teman-temanku semasa kecil di SD N Kejambon 2 Tegal. I miss u all…. Mmmuaachh….....
Read more ...

MALAM CINTA

Radiasi itu serasa naik ke ubun-ubun
Menggarangi lensa mata
Hingga masuk ke sumsum tulang

Malam sudah pasti dingin
Tekanan akan merendah
Namun bagai tak lekang oleh hegemoni
Semua luluh dalam membaranya magma otak

Rabbi, bantu aku untuk tetap menegakkan langkah
Menjaga kelopak agar tetap sigap
Transformasikan kekuatan dalam lemah gerak jemariku
Yang menari bersama lunglai kedua lengan ini

Hanya cintaMu
Yang masih menjadi nyawa
Dalam jasad kering ini..
Menapaki perjalanan penuh jelaga

Namun aku bersyukur masih dapat melihat jelas
Mutiara itu....



*)14 Februari 2009, di sekre cabang, sepulang dari menghadiri acara Milad HMI ke 62 yang diselenggarakan oleh rekan-rekan HMI Dipo.
Kondisi fisik yang sudah payah, harus kuat melintasi perjalanan yang dipenuhi perayaan valentine.
Berjalan sendirian dalam keramaian...
Sendiri?? Ah, tidak...aku yakin masih ada cintaNya.


Read more ...
Friday, February 13, 2009

Kepada Para JobSeeker



Langkahku semakin lelah
Berjalan menyusuri...
Mondar-mandir di keramaian kota
Hati yang bingung lamaran kerja ditolak
Enggak tau kenapa masih berkurang syaratnya...
Pikir-pikir daripada ku melamar kerja
Lebih baik ku melamar kamu

(Ost. Sinetron Gengsi gede-gedean)


“..emang cari kerja itu susah ya mas?”
”....banget, nta!!!”



Teringat pada obrolan-obrolan dengan kawan-kawan yang sedang memiliki hobi menulis surat lamaran, membuat legalisir ijasah, baca koran di kolom iklan kecik, dan juga rajin ke internet melihat info-info di situs lowongan kerja. Kalau dalam siluet di televisi, digambarkan dengan pemuda lusuh dengan stopmap di tangan dan menyambangi kantor perusahaan satu demi satu.

Pekerjaan/profesi dalam konteks sosial masyarakat merujuk pada status seseorang. Dalam sudut pandang saya, bekerja / memiliki profesi adalah salah satu usaha untuk memenuhi kemedekaan diri, independensi diri, dimana dengan bekerja seseorang telah berusaha menghidupi dirinya dengan dua kakinya sendiri. Itulah dimana kita merasakan ”merdeka” sebagai manusia. Maka kepuasan bekerja diukur dari seberapa merdeka seseorang dengan pekerjaannya itu. Bukan sebatas pada nilai rupiah atau melimpahnya harta yang dimiliki.

Bekerja dan kemandirian. Terkadang ada penyempitan persepsi dalam memandang hal itu. Bekerja yang dikenal dalam pandangan masyarakat adalah sebuah tahap saat seseorang telah menyelesaikan masa studi-nya. Makanya tidak bisa seratus persen disalahkan jika berjuta-juta orang masuk ke perguruan tinggi dengan harapan mendapatkan ijasah dan bisa mencari kerja. Namun apakah itu berlaku sama pada frasa yang kedua ; ”kemandirian” ? . Apakah kemandirian dapat ditakar dari selembar hijaza atau panjangnya gelar yang diraih?! Kemandirian adalah sebuah proses yang mungkin tidak didapat di bangku sekolah atau kuliah.




Saya sepenuhnya menghargai teman-teman yang saat ini sedang menjadi jobseeker. Senja tadi, seorang teman sms dan meminta info tentang lowongan yang saya berikan tempo hari. Sebelumnya beberapa orang teman (lebih tepatnya saya panggil sebagai kakak), juga menelpon untuk menanyakan info lowongan kerja. Bulan lalu seorang kakak meminta dicarikan jaringan di perusahaan X. Tidak sedikit teman yang mengabarkan bahwa sebentar lagi ada yang jadi pengangguran, ada juga yang mengabarkan sudah diterima kerja dan ada di salah satu belahan wilayah dunia. Saya sangat menghargai apa yang mereka lakukan, menghargai bahwa mereka telah berusaha untuk meraih independensi diri, menjadi orang yang merdeka setidaknya dalam hal materi dan berharap dapat menjadi manfaat bagi orang lain di sekitarnya.

Mungkin saya dianggap belum merasakan sendiri bagaimana sih susahnya mencari pekerjaan. Walaupun ketika dulu saya pernah main ke rumah sepupu, saya melihat ratusan tumpukan surat lamaran pekerjaan yang hingga kini entah bagaimana nasibnya. Kakak saya sendiri juga kebetulan ada di sekolah kedinasan dibawah departemen keuangan dan langsung mendapatkan posisi kerja yang lumayan. Walaupun saya tidak melihat ”kemerdekaan” pada diri kakak saya. Jadi saya mungkin dianggap tidak pernah meliha realita susahnya nyari kerja dan belum pada sampai tahap itu.

Saya pernah bertekad untuk tidak ”membuat surat lamaran kerja” jika selepas kuliah nanti. Sombong!! Mungkin kedengarannya seperti itu (Ampuni aku ya Rabb jika itu menyergap jiwaku). Namun mungkin ini jalan yang kupilih, toh tiap orang punya jalan masing-masing. Ini semua juga beralasan.

Dengan persepsiku bahwa bekerja merujuk pada sebuah kemandirian, independensi / kemerdekaan, maka bagiku berprofesi atau bekerja tidaklah saklek dibatasi oleh tingkatan-tingkatan tertentu seperti jenjang pendidikan.

Mandiri itu indah....manis sekali rasanya. Mandiri bukan sebatas pada hal materi saja. Tetapi bagaimana kita dapat merasakan berdiri diatas dua kaki kita, berkarya dengan dua tangan kita, melihat, mendengar, merasakan dengan indera kita.

Mandiri secara materi...yang manis sekali pertama kali mungkin saya rasakan saat kecil dulu. Teringat masa-masa kecil dulu. Waktu itu nenek memiliki kios / warung kelontong dirumah. Nenek memang wirausahawan(wati?) yang hebat. Setiap akhir pekan, nenek selalu belanja keperluan toko (jawa : kulakan). Namun jika saat-saat tertentu harus kulakan juga tanpa menunggu akhir pekan. Jika nenek tak bisa pergi sendiri, maka bisa menyuruh orang lain, termasuk cucu-nya. Saya adalah cucu terdekat nenek. Dari kecil ada di pelukannya. Nenek juga lah yang mengajari saya arti sebuah kemandirian. Usia kecil dulu dicoba untuk kulakan sendirian. Kadang belanja rokok, permen, atau barang-barang lain yang mendadak habis stok-nya. Dengan sepeda kecil, dengan berbekal catatan belanja, terkadang saya yang harus berangkat untuk kulakan. Nenek ternyata tidak mengenal bias gender, semua diperlakukan sama. Walaupun saya anak cewek, tapi bukan berarti tidak bisa kulakan dengan mengayuh sepeda ditengah jalanan kota. Satu hal yang ditunggu jika kulakan adalah saat mendapatkan reward atau upah. Hanya senilai sekitar lima ratus sampai seribu rupiah. Namun nilai itu mampu melupakan banyaknya peluh yang mengucur saat harus berpanas-panas sepeda. Saat itu rasanya saya dihargai, saya menjadi ”orang”, mampu menghasilkan sesuatu, mampu menghargai peluh yang mengucur.

Di kemudian waktu, beberapa kisah memberikan saya pelajaran tentang sebuah kemandirian. Bukan sebuah kemandirian dengan keterpaksaan, namun memang ada sebuah rasa manis yang ingin diraih. Saat SD pernah saya jualan ”kertas binder”. Usia-usia SD sangat senang sekali dengan koleksi kertas-kertas lucu berwarna-warni. Terkadang saya tersenyum sendiri saat mengingt masa-masa kecil. Bukan hanya jualan, tapi teman-teman sepermainan kadang mengadakan arisan, dan sejenisnya. Dulu saat dapat arisan atau jualan binder-nya laku, rasanya bangga sekali. Bisa jajanin teman, bisa beli majalah anak-anak lebih dari satu jenis, bisa menyewa komik atau novel di kios persewaan buku tanpa ketahuan papah (he3). Saya sangat bangga sekali saat bisa membelikan kado untuk kakak saat beliau ultah, waktu itu saya masih kelas 6 SD (kalo nggak salah). Sebuah kamus bahasa, karena saya tahu waktu itu kakak yang sudah duduk di bangku SMP merasa kesulitan dengan pelajaran bahasa Inggris. Dan kado itu saya beli dengan uang sendiri. Puas sekali rasanya....

Saat SMP, juga suka kayak gitu. Tapi masa-masa ini adalah masa bandel-nya seorang shinta. Mandiri sih mandiri...tapi terkadang karena malak..he3. Kebandelan saya saat itu membuat kepopuleran saya tidak dinafikkan lagi dan tidak sedikit teman yang menjadi ”korban” penindasan yang saya lakukan. Jujur saja, uang saku saat SMP itu hanya sekitar 500 – 1000 rupiah. Sebenarnya sih cukup-cukup aja. Tapi seorang shinta waktu itu adalah orang yang berfikir ” Kalau bisa lebih, kenapa nggak??” . So, jangan heran jika saat SMP bisa melihat saya jajan bakso tiap hari, maen-maen keluyuran...hang out bareng temen-temen. Tapi sebenarnya saya keberatan dikatakan ”menindas”, tapi lebih tepatnya ”membodohi”. Entah kenapa beberapa teman bisa saya cocok hidungnya hanya dengan kata-kata yang melangit dan kemampuan imajinasi saya. Teman-teman saya saat SMP adalah teman-teman yang borju. Jadi setiap hari ada jaminan saya jajan enak.he3. sekali lagi, saya bukan menindas, justru membantu. Membantu anak-anak orang borju menghabiskan duitnya. Kadang rasa malas mereka saya manfaatkan. Saya masih ingat waktu saya buka ”objekan” pengetikan dan penerjemahan bahasa Inggris. Kalo didengar sekilas, wah hebat juga ya shinta. Sebenarnya bukan hebat, tapi mereka aja yang bodoh. Dulu ada guru bahasa Inggris yang selalu membuat tugas menerjemahkan bacaan-bacaan di buku paket. Buku paket itu kan tiap tahun sama... maka saya tinggal save dokumen-dokumen kakak-kakak kelas yang dulu, dengan sedikit ”improve” yang entah itu jadi tambah bener atau tambah salah.he3. Walaupun tiap tahun sama, tapi sang guru tidak mau menerima tugas kembar. Jadi yang kayaknya menurut ”penglihatan” beliau hanya copy paste, ya dianggap nol. Ya, tinggal di-improve saja toh, jenis hurufnya diganti... covernya beda, trus urut-urutannya divariasi. Saya sekali mendapat job bisa dari 5-6 anak, dan itu tinggal saya kreasikan saja. Yang satu pake huruf comic sans, pake cover hijau. Satu lagi pake huruf comic tapi dikasih header-footer, trus bentuknya landscape, yang lain pake huruf times new roman, trus diberi ornamen background, yang lain bentuk jilidnya beda. Selesai toh???!!!! Satu orang bisa membayar 10-20rb untuk ”pekerjaan”saya itu. Gimana saya nggak jadi ”sok kaya”???!!! Dan dari situlah saya suka dunia komputer.

SMA nggak jauh beda. Beberapa ”kecerdasan” yang dimix dengan sedikit ”kelicikan” juga menjadi ”pekerjaan” saya. Yang paling diingat waktu jadi ”juragan tongkat” saat kelas tiga SMA. Waktu itu saya punya ”jabatan” di dewan ambalan, dulu kalo musim perkemahan , tiap regu harus mempersiapkan segala pernak-pernik pramuka dari mulai tongkat hingga tenda. Saya membuka jasa pelayanan penyediaan segala pernak-pernik itu. Ada beberapa paket yang ditawarkan. Saya agak lupa jenis2 paketnya. Yang pasti untungnya lumayan lah...bisa buat jajan di bumi perkemahan. Waktu itu jujur aja saya memanfaatkan ”posisi” saya di dewan ambalan. Dewan yang membuat aturan tentang segala pernak-pernik yang harus disiapkan, nah ternyata ”pejabat dewan” lah yang meraup untung dengan segala aturan itu. Kapitalisme kreatif!!!he3.

Bukan hanya jualan, tapi semenjak duduk di bangku SMA juga saya mengetahui manisnya berkarya. Menang lomba nulis dapat duit, nulis di koran dapat duit, jadi delegasi sekolah buat lomba dapat uang saku, berprestasi dapat beasiswa... itulah yang kemudian menjadi unsur pembentuk sebuah kata kemandirian dalam persepsi saya. Biar Garing Asal Garang.... Biar miskin asal berkarya...niscaya dia kaya...!!!

Dengan persepsi kemandirian yang terbentuk itulah membawa saya pada sudut pandang mengenai independensi / kemerdekaan. Maka menurut saya sangat sempit artinya saat kemerdekaan itu baru dimulai saat kita memiliki legalitas sebuah ijasah, saat kita mulai mendaftarkan diri untuk bekerja di sebuah perusahaan atau institusi terntentu. Maka benar donk jika lembaga pendidikan sebenarnya hanyalah sebuah lingkaran penjara yang kemudian lulus dari situ kita baru bisa dilepas untuk mencari kemerdekaan??!!!

Kemandirian bukan dibatasi oleh jenjang pendidikan tetapi kesadaran tiap pribadi untuk memahami bahwa setiap dirinya adalah pribadi yang merdeka bebas menentukan apa yang dilakukan. Seperti filosofi dalam lagu lir-ilir, bahwa manusia adalah ”cah angon” yang memiliki kemerdekaan untuk menggembalakan hidupnya, yang dipercaya untuk ”menek bwit blimbing”. Independensi adalah sebuah konsekuensi dari sebuah kepasrahan transedental kepada Gusti Allah ingkang maha kuoso. Itulah menariknya tauhid...bahwa dalam kepasrahan seorang hamba memiliki turunan konsekuensi untuk menjadi seorang yang selalu gigih untuk memperjuangkan sesuatu, yang selalu bersungguh-sungguh dan menjaga independensi diri.

Sedikit pengalaman mencari makna kemandirian yang pernah saya jabani memang menjadi salah satu titik semangat dan kepercayaan diri untuk terus survive dalam hidup ini, bukan pada masa sekolah namun juga terbawa hingga sekarang. Dari mulai jualan pada masa-masa kuliah, menjadi kuli tinta dan mimpi, menjadi general manager radio station, menjadi guru TK, menjadi penjaga toko. Bahkan menjadi pengamen puisi pernah dijabani. Bukan karena untuk ”materi” tetapi mematrikan diri ini bahwa saya ”berarti”, bahwa diri ini mampu berbuat, melakukan dengan segala daya pikir dan kreasi. Jujur aja, walaupun pernah jualan, tapi saya tidak punya insting bisnis yang tinggi. Pada saat tahun-tahun pertama di bangku kuliah, dari mulai menjual ”bawang” sampai menjual ”batik”....semuanya berhasil............berhasil RUGI!!! He3. Tapi itulah manisnya mencari kemandirian, secara materi mungkin tak ternilai bahkan minus... tapi saat saya merasakan kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu, saat saya merasakan manis bahkan saat merasakan sebuah keluha, itulah pelajaran 1000SKS yang ada di universitas kehidupan ini dan di perjalanan itu saya pasti mendapatkan banyak pelajaran, termasuk jaringan. Hingga saat ini dan sampai nanti jasad saya berkalang tanah, usaha menuju independensi kan terus dilakukan, hingga nanti kemerdekaan hakiki adalah saat dipertemukan dengan sang pemerdeka hambaNya...Illahi Rabbi.

Nah, kembali pada para jobseeker. Saya rasa akan lebih nikmat saat dirasakan dan diorientasikan untuk mendapatkan lebih dari sekedar materi. Bukan juga sebatas status karena sudah sarjana harus bekerja. Karena saat bekerja dirujukan pada sebuah kemandirian dan kemerdekaan, mandiri dan merdeka bukan terpaku pada lulus atau tidak lulusnya jenjang pendidikan kita. Apalagi dengan orientasi sistem pendidikan di negara kita yang masih belum jelas, bukan mendidik peserta didik mandiri tapi justru menjadi budak zaman. Toh rezeki sudah diatur dalam skenario-Nya, tugas kita adalah berusaha meraihnya, dan nikmatnya hidup adalah saat kita merasakan improvisasi skenario kehidupan itu sendiri. Kepada para jobseeker....: SELAMAT BERJUANG UNTUK MERAIH KEMERDEKAAN!!! MERDEKA!!! (nta)
Read more ...

KOHATIquw Sayang, DIMANAKAH GERANGAN ???!!!




Tempo hari saya pernah mencoba memposting sebuah inisiasi pertemuan KOHATI di milis FORUM-HATI, milisnya teman-teman KOHA(MPO)WATI. Selain sebagai sebuah “pemanasan” menjelang kongres, juga untuk membangkitkan kesadaran teman-teman akhwat untuk muncul di ruang public. Keberadaan KOHATI memang masih…tetapi saya memilliki pandangan yang berbeda mengenai definisi dua kata antara keberadaan dan eksistensi, bagi saya itu berbeda walaupun secara harfiah sama. Eksistensi adalah saat kita mampu mengambil dan melakukan sebuah peranan bukan sekedar ada. So, sebagai sebuah refleksi dan evaluasi, kenapa sieh qta gak kongkow bareng ngobrolin gank KOHATI, mau lanjut atau bubar nieh gals???!!!

Walaupun usulan itu berujung pada sebuah ketidakjelasan karena tanggapan akhir adalah ” Kita itu orang-orang pasca struktur dik, kita hanya bisa memantau dan mendukung...”. Yeah... kumaklumi...mungkin salah tempat yak! Karena di milis itu ternyata isinya yunda-yunda yang sudah tidak aktiv lagi??!!!he3 Kalo komunikasi dan silaturahmi dengan teman-teman KOHATI yang masih aktiv juga sempat saya sambangi, baik di purwokerto maupun diluar purwokerto (yang pengen banget tuh maen ke Makasar, ewako Makasar??!!!he3). Tapi memang masih sebatas komunikasi biasa aja, paling-paling bertukar info and gosip .
” Jadi gini lho jeng...kayak gitu tuh...Trus gimana dengan disana bu??ujan bu??becek???ada ojek???!!!bla......bla...bla...” .


Kalopun diskusinya mendalam tentang beberapa agenda-agenda ”keperempuanan’, dan saya tanya ” gimana jeng kegiatannya?” ya paling-paling jawabannya ” Gitu lah bu!!biasa....seru kok bu!!!ya gitu deh.....” (halah...ni opo toh???!!!!)

Usulan, ide akan adanya komunikasi antar KOHATI mungkin lebih dilandasi kepada courius saya. Sebagai kader yang masih berumur jagung... (emang jagung umurnya berapa coy??!!!), belum genap dua tahun saya di HMI. Di Purwokerto sendiri, KOHATI secara struktural saat ini tidak ada. Beberapa periode yang lalu sih katanya sempat ada, saya hanya mencoba mempelajari dari dokumen-dokumen yang ada serta beberapa kontak para Yunda yang masih bisa dihubungi. Namun secara kultural, teknis adanya gerekan-gerakan yang intens di bidang ”keperempuanan” di Purwokerto masih hidup. Di cabang Semarang kabarnya sudah tidak ada lagi KOHATI, tapi toh justru saya merasakan ghirah para akhwat disana. Hal yang sama ada di cabang-cabang di bagteng. Kecuali Jogja ya yang dua tahun belakangan ini KOHATInya mulai bangkit. Katany sieh lebih rame lho jeng!!!^_^. Bagbar tak jauh beda... Bagtim..disana menjadi kekuatan tersendiri KOHATInya. Saya fikir...diantara teman-teman inilah perlu sesekali bertukar pemikiran, sharing ide, silaturahmi, entah apapun bentuknya, ada ataupun tidak ada Korps-nya para cewek HMI, KOHATI secara ruh masih hidup.

Perempuan memiliki peranan yang besar, sebanding dengan laki-laki didalam hidup ini. Namun mungkin masih menjadi sebuah hal yang ”agak langka” saat perempuan terjun ke ruang publik. Saya menilai KOHATI berperan besar sebagai sebuah penghembus semangat.

Sederhananya gini, cewek bakalan risih donk kalo misal dia harus bergerak sendirian, ditengah-tengah cowok. Bukan berarti bias gender..tapi bagi semua ”pengklasifikasian”...., itu pasti akan terjadi. Dimana-mana yang merasa sendiri..berbeda akan tidak dapat merasa bebas 100% terutama di awal-awal. Maka ada kecenderungan untuk masuk atau mengajak sesama jenisnya. Hal ini memang akan lebur sendiri kalo udah jadi habit. Witing tresna jalaran saka kulino.he3. Akan menjadi nggak risih lagi kalo emang udah terbiasa. Nah membiasakan ini bukan merupakan sebuah hal yang mudah. Apalagi jika itu dipengaruhi oleh kultur masyarakat. Apalagi di jaman kayak gini nieh...perempuan adalah objek pasar yang menggiurkan, yang menciptakan sebuah habit bahwa perempuan ada di barisan untuk tidak terjun di masyarakat.

Kalo misalnya nieh..KOHATInya mantap... qta-qta jadi nggak ngerasa risih..soalnya nggak sendirian. Lagian kan jadi ada temen ngrumpi yang asyik tuh... walaupun ngrumpi juga nggak sebatas sama cewek...tapi ya dipikir2 bagi cewek-cewek aktivis yang biasa dikelilingi cowok ya bosen juga kali ya ngbrol sama cowok mulu. Cowok itu kan obrolannya garing, nggak pake perasaan!!! Gimana nggak ngebetein coba???!!! Kalo sama cewek kan asyik...bisa lebih ada ”taste”nya. Jadi bukan sekedar karena qta gak bisa enjoy untuk membentuk teamwork sama cowok, tapi bosen juga kalo lama2 ngliat aktivis lagi2 cowok!!!

KOHATI muncul pada tanggal 2 Jumadil Akhir 1386 H, bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 pada Kongres HMI ke-8 di Solo. Dari beberapa sumber yang saya punya, KOHATI memiliki bidang kerja yang khusus dan visioner, yaitu keperempuanan, itu katanya menurut ART pasal57 HMI, (tapi saya nggak melihat itu di ART yang hasil kongres kemarin, saya melihatnya segala hal mengenai lembaga kekaryaan dan lembaga khusus, tidak ada penjelasan khusus mengenai KOHATI, mungkin ada di PRT kali ya???!!!).

Mengutip sebuah pendapat dari kohati bahwa : ” Adalah suatu hal naif bila dikatakan eksistensinya menjadi kehilangan makna. Di kelompok manapun, suatu kelembagaan berdasarkan segragasi seks niscaya diperlukan”... Yang menjadi pertanyaan adalah apakah HMI adalah organisasi yang melihat arti penting pada segragasi seks itu???

Secara teknis, sudah jelas...bahwa perempuan and laki-laki ya beda. Apakah keinginan menuntut arti penting sebuah kohati adalah bahwa cewek itu lebih ingin ”dilihat”. Ini lho...gw cewek....!!!kenapa harus ditunjukkan secara gender-nya???!!! Misalnya..ada acara seminar tentang advokasi KDRT... apa sih bedanya ketika yang melakukan itu HMI atau kohati-nya??!! Gak ada bedanya...semua tetep aja sama yaitu HMI toh?! Apakah sudah kecenderungan bahwa akhwat lebih ingin diakui eksistensinya secara jenis kelamin-nya??? Maka sebenarnya secara tidak langsung organ2 akhwat seperti itulah yang mengangkat perbedaan gender!!!yang mendukung adanya diskriminasi gender! Karena tidak ada sebuah landasan yang jelas mengenai gerakan keakhwatan???!!

Sebenarnya kalo tujuannya sederhana aja utuk mengkader lebih banyak akhwat di HMI, itu lebih jelas. Parameternya nanti banyak nggak akhwat yang berkecimpung di HMI...(HMI bukan kohati!!). Kohati adalah sebagai wadah pemicu aja...dimana terkadang beberapa orang punya karakter untuk lebih enjoy saat harus memulai komunikasinya sesama jenis, ada yang punya ”hormon aneh” yang kalo ketemu lain jenis jadi ”keringetan” atau jadi ”diam seribu bahasa”. Nah, disitulah kemudian kohati bisa berperan untuk membina kader2 akhwat. Kohati itu nggak beda sama KPN..saya pikir lebih baik jika melebur menjadi satu kohati dan pengader. Jadi Kohati adalah bagian dari usaha pengkaderan di HMI. Kohati lebih kepada sublembaga khusus pada bidang pengkaderan....yang orientasinya pada akhwat. Toh secara teknis juga akan otomatis yang akhwat ikut akhwat yang ikhwan ikut ikhwan. Kohati sebagai lembaga yang mengarah pada bidang internal, itu lebih tepat, tapi untuk eksternal, untuk perjuangan, saya pikir akan terjadi ke-absurd-an.

HMI itu kan Pengkaderan dan Perjuangan... Pengkaderan itu meliputi pembinaan sikap serta penambahan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan kader HMI tampil sebagai sosok khalifah Allah di muka bumi. Sedangkan hakekat perjuangan HMI adalah kesungguhan melaksanakan ajaran Islam pada kehidupan masyarakat secara bertahap dan konsisten di seluruh aspeknya. (ini ada pada khittah)

Pemikiran sederhana saya, pengkaderan lebih bersifat ke internal,pada pengembangan individu, maka ada baiknya memang melakukan pembinaan-pembinaan berbasis gender, karena pembinaan itu kan bersifat ”psikologis” juga. Sedangkan saat melakukan ”perjuangan”..itu sudah berbeda lagi...ini arahnya adalah sebuah aktualisasi, disana tidak ada lagi perbedaan jenis kelamin. Gini deh, kalo sholat...qta emang dibagi tempatnya nieh...yang cowok sama yang cewek dipisah.... itu kan ibadah pribadi kita...pengembangan diri kita masing2. Ntar kalo udah keluar..dan melakukan ibadah sosial kita...ya udah bareng-bareng lagi.... Permasalahan masyarakat tidak bisa dikelompokkan berdasarkan gender. Misal permasalahan KDRT, apa itu bisa dijeniskelaminkan sebagai permasalahan cewek??itu permasalahan bersama... Kalo permasalahan cewek ya lagi ”dapet”, permasalahan cowok ya ”mimpi basah”. Nah itu ranah pribadi…. Kalo masalah masyarakat, umat, dan lain-lain…itu nggak ada pengelompokkan gender. Misal deh..dalam Ibadan, kenapa sholat dibagi jadi dua yang cewek dan yang cowok???!! Trus kenapa zakat nggak ada bedanya antara cewek dan cowok???dan juga Ibadan-ibadah lain??

Nah salah satu masalah masyarakat yaitu konstruksi social yang membedakan antara cewek dan cowok…solusi yang kita lakukan bukan dengan mengelompokkan dan membedakan lagi mana yang cewek dan cowok, tp justru qta terjun bareng2 dan tunjukkan kalo dihadapan Allah nggak ada beda cewek n cowok, yang membedakan adalah factor keimanan!!!

Mungkin ini adalah isu klasik… isu basi yang sudah ada sejak dulu. Tapi segala hal yang ada sekarang juga semuanya basi….!!! Pemilu dan demokrasi itu juga basi…hanya saja menjadi hangat karena dikontekstualkan. Isu kohati ini mungkin basi...apalagi kalo senior2 udah bilang ” Itu zamannya anak-anak sekarang deh” Lalu dimana letak transformasinya donk, kanda dan yunda???!!!!

Sekali lagi, mungkin pemikiran ini muncul dari rasa penasaran saya. Mungkin agak membosankan bagi para senior atau teman-teman yang sudah merasa eksis kohati-nya. Satu tahun delapan bulan saya resmi jadi anggota HMI, masih sangat seumur jagung untuk mengkritisi ini mungkin. Berangkat dari keprihatinan dan kondisi serta tanggungjawab yang saya emban. Berangkat dari kegelisahan dan sejuta pertanyaan.... dengan minimnya wadah komunikasi, boro-boro milis, event-event aja jarang dilakukan. Globalisasi makin gencar..media komunikasi makin gadget...eh kader malah makin gaptek....capek deh!!!! Apakah memang teman-teman sudah tidak memerlukan komunikasi??!! Bukankah komunikasi adalah salah satu faktor penting dalam organisasi??? (gitu katanya mas Ashad pas SC kemaren...he3).

Harpannya dari nulis iseng ini ada sebuah ”pencerahan” bagi saya yang masih sangat belia ini. (karena saya lebih ”cerewet dan ekspresif” lewat tulisan...kalo aslinya sih...shinta itu pendiem banget..he3 ^_^) . Kalo memang tidak mungkin diadakan sebuah pertemuan yang bisa diinisiasi lewat media silaturahmi ini... ya setidaknya pertemuan conference dunia maya juga its ok (kemaren2 FORUM-HATI conference lho di YM.... he3). Ya, saling berbagi pemikiran dan pengalaman, saya pribadi masih banyak belum tahu tentang Kohati, walaupun sebelum2nya mungkin sudah pernah aktiv secara struktural di lembaga2 keakhwatan seperti di Korps PII Wati, keputrian rohis n LDK, sampe dept.Keputrian RISKA. Tapi...suer saya merasakan Kohati is so special!!! Gak tau deh specialnya itu karena ”ketidakjelasan”nya atau gimana....!!!he3.

Oke deh gitu aja... thanx to beberapa temen2, kakanda dan ayunda yang dengan setia balesin sms dan telpon saya yang terus nanya macem-macem tentang HMI. YAKUSA aja deh!!! Cheeerss!!! ^_^. (nta)


Notes : tadinya saya ngeblank nulis ttg kohati...eh ternyata jadi panjang lebar kayk gini...he3. Piss... ^_^
Read more ...
Thursday, February 05, 2009

Sumpah I Love you, I need u,I miss u…*)



(Refleksi milad HMI)

Tanpa tedeng aling-aling, gaya yang asyik abis!!! Itu komentar yang keluar untuk sebait lagu yang dibawakan oleh Mahadewi- group music yang masih dibawah Laskar Cinta Management. To the point, menghentak, menggelora. Tidak seperti lagu cinta lain yang terbalut oleh kata-kata picisan. Lagu ini memperlihatkan sebuah sifat yang sangat ekspresif, tegas, dan terus terang.

Seperti itulah gerakan anak muda. Menggelora, Semangat, dan langsung ke sasaran! Seperti itulah mungkin yang dirasakan kanda Lafran Pane persis 62 tahun yang lalu. Saat melihat kondisi umat Islam di bangsa Indonesia yang waktu itu lepas dua tahun dari proklamasi kemerdekaan. Kondisi dimana masyarakat Indonesia masih menderita walaupun sudah memproklamirkan kemerdekaan serta kondisi ruhiyah dimana keIslaman masih rendah. Maka dengan dua tujuan yaitu Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam, terbentuklah HMI.

Lafran Pane dapat kita nilai sebagai seorang pemuda yang ekspresif. Di usia yang muda, dengan kondisi emosi yang masih menggebu-gebu, Lafran Pane memiliki keberanian untuk mengekspresikan kegelisahan hati nuraninya.

Sore itu, hari rabu pon, 14 Rabiul Awal 1366 H /5 Februari 1947 pukul 16.00, Lafran dengan kesigapannya yang dimotivasi oleh segala kegundahannya yang telah lama terpendam, ia berinisiatif membentuk organisasi mahasiswa Islam. Ke-Ekspresif-annya ini yang kemudian menjadi penggores sejarah manis dalam pergerakan mahasiswa di Indonesia.


Lafran adalah seorang pemuda cerdas, walaupun mungkin tidak setenar para tokoh lain di masa itu. Yudi Latief dalam bukunya “Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20,hal 502 menyebutkan : Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an). Sang pemuda cerdas nan ekspresif itu dilahirkan di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibual-Bual, 38 kilometer kearah utara dari Padang Sidempuan, Ibu kota kabupaten Tapanuli Selatan.

Menggambarkan seorang sosok Lafran Pane kecil, remaja, dan menjelang dewasa dlah sosok pemuda kritis yang tak mengenal lelah untuk melakukan pencarian jati dirinya. Lafran dikenal sebagai sosok yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin”. Bukan sebagai anjuran kalo nanti kader-kader HMI itu bukan anak sekolah yang rajin, tetapi kenakalanny disini adalah dalam konteks sebuah pergolakan yang memberontak dan disini menunjukkan independensi Lafran yang teruji. Dengan pergolakan semangat pencariannya, dia bertualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll. Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja.

Mental berani dan apa adanya, inilah yang ingin dicoba diungkapkan. Seandainya saja waktu itu Lafran Pane tidak memiliki sebuah keberanian, masih harus memperhitungkan berbagai resiko. Apa jadinya kalau dia masih belum mantap, banyak ragu-ragu, tak akan ada HMI, mungkin Cuma mimpi!!!

Seperti kondisi kader sekarang, untuk jadi pengurus saja masih terurai alas an macam-macam “kuliah saya gimana?skripsi saya belum kelar, saya sudah lulus, saya mo married….bla..bla..bla…”… HMI dibangun dari sebuah rasa percaya diri, dibangun dari sebuah keberanian untuk menghadapi segala resiko yang akan dihadapi. HMI dibentuk dari sebuah ketegasan bahwa sebagai seorang muslim kita mengingnkan, mencintai, membutuhkan, dan merindukan manisnya cinta sejati sang Rabbi yang diturunkan dalam sebuah system kebenaran yaitu Islam. HMI dibangun bukan dari ketidakpedean, ke-letoy-an, keragu-raguan, atau malah Cuma wacana doank. HMI adalah sebuah ekspresi dari sebuah kegelisahan, dari sebuah mimpi… tanpa ragu-ragu untuk mengungkapkan perasaan cinta, butuh, dan rindu akan sebuah tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT.

Itulah ketika HMI digerakkan oleh para kader muda, bukan para generasi yang sudah “udzur” yang telah memiliki orientasi-orientasi lain, kepentingan-kepentingan yang menodai independensi, sehingga untuk mengekspresikan sebuah ketegasan sebuah keberanian masih harus berfikir ngalor-ngidul. HMI adalah proses ekspresif, proses kreatif, bukan berfikir keuntungan pribadi.

So,
Sumpah…aq mencintaiMu dengan segala nikmat dan kasih sayangMu, Izzati…
Sumpah…aq membutuhkan Islam untuk mengisi sebuah lubang dalam kegersangan ini
Sumpah…aq merindukan akan sebuah perubahan kondisi menjadi sebuah tatanan yang diridhoi oleh sang Pecinta….

Dalam hentakan notasi semangatku, dalam olahan nada fikir…qu coba ekspresikan. Maklumi-lah gelora yang membara ini…persetan dengan sebutan emosional atau ketidakdewasaan karena Ekspresif bukan berarti tidak dewasa, karena dewasa adalah sebuah proses…dimana harus melewati fase-fase keremajaan yang penuh semangat membara…



Maka tanpa tedeng aling-aling ekspresikan segala perasaan itu….

Sumpa I love U, I need U, I miss U…..

(nta)
senja…. Sebelum milad.
*) Ini judul lagu-nya Mahadewi..sebenarnya tidak ada hubungan yang signifikan dengan content tulisan ini… hanya sebuah pengantar yang menemani jari-jariku menari menuliskan ekspresi. Thank you Ahmad Dhani…. ^_^.
Read more ...