Pages

Wednesday, October 02, 2013

LATAH



Saat sebuah video wawancara yang memuat adanya kesalahan penggunaan istilah rumit, mendadak semua orang memiliki guyonan segar untuk diperbincangkan. Disana-sini orang mengkritik kesalahkaprahan penggunaan bahasa tersebut yang sebenarnya itu juga kerap terjadi di sekitar kita. Begitu juga ketika perhelatan nona dunia hadir di negeri ini beberapa hari lalu, kita akan dengan mudah menjumpai berbagai wacana kontroversi. Mendadak juga hampir semua orang fasih mengusung tentang harga diri perempuan. Begitu pula ketika terjadi sebuah kecelakaan di sebuah jalan tol yang melibatkan seorang pengemudi muda dibawah umur, mendadak kita semua menjadi pakar pendidikan anak dan berlomba memberikan pendapatnya masing-masing. Media jejaring sosial ramai dengan segala opini dari berbagai macam sudut pandang. Diskusi-diskusi panjang tak berhujung pangkal muncul di berbagai forum. Tak ketinggalan broadcast yang dilakukan melalui telepon pintar. Semua seolah ingin berlomba menjadi bagian dari keriuhan tersebut.

Hidup di era dimana teknologi informasi memiliki pengaruh yang besar membuat kita takut untuk tidak turut mengerti dan berteriak tentang isu terbaru yang ada. Permasalahannya bukan masalah bahasa Vickynisasi itu benar atau salah, nona dunia itu patut ditolak atau tidak, atau tentang siapa paling bersalah dalam kecelakaan tersebut, bukan itu yang menjadi masalah besar. Namun apa sebenarnya yang membuat kita tergopoh-gopoh untuk turut serta dalam kehebohan tanpa memiliki pemahaman utuh. Ibarat orang baru belajar mengaji, ia akan sering sekali untuk menyuarakan apa yang ia kaji. Seperti euforia seorang aktivis yang akan bersemangat , berorasi , tentang apa yang baru didapatnya.

Reaksioner. Latah.  Memiliki definisi sebagai sebuah peniruan spontan yang muncul karena keterkejutan. Secara medis, latah memiliki dimensi gangguan fungsi pusat syaraf, psi-kologis, dan sosial. Ada empat macam latah yang bisa dilihat berdasarkan gejala-gejala tersebut, yaitu ekolalia (mengulangi perkataan orang lain), ekopraksia (meniru gerakan orang lain), koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor), automatic obedience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut). Berdasarkan fakta yang ada, gangguan latah biasanya tumbuh dalam masyarakat terbelakang yang menerapkan budaya otoriter. Hasil kajian yang dilakukan, mereka bersependapat untuk mengkelaskan latah sebagai satu sindrom budaya masyarakat setempat.

Latah sebagai sebuah budaya. Ya, jangan –jangan kita saat ini ada di era mudah latah. Semakin derasnya informasi membuat kita mudah terkejut. Bangun pagi, melihat berita kecelakaan anak artis kita terkejut, melihat berita perang kita terkejut. Apalagi ketika arus informasi ini tidak diimbangi oleh nalar untuk melakukan verifikasi. Lagi-lagi urusannya dengan media literasi alias melek media. Smartphone yang tidak digunakan dengan smart. Asal broadcast sana-sini, boro-boro mengecek kebenaran berita, asal heboh dan “sepertinya” benar, maka kita ingin menjadi bagian untuk menyebarkannya. Kecepatan mengalahkan keakuratan. Keterkejutan mengalahkan akal sehat. Teringat sebuah pesan kearifan dalam budaya luhur orang jawa : Ojo dumeh, Ojo gumunan , Ojo kagetan. Mungkin kita perlu belajar untuk itu, minimal untuk tidak kagetan
Read more ...

Perempuan Pejuang : Jejak Perjuangan Perempuan Islam Nusantara dari Masa ke Masa (sebuah resensi)



Sastra memungkinkan seseorang memiliki kelembutan dan kebijakan hati tak terbantahkan. Bekal yang berharga untuk dimiliki oleh seorang pemimpin. Itu mungkin kiranya yang membuat kita tak akan pernah heran menyimak kisah seorang Siti Aisyah Wa Tenriolle sang Datu dari Tenatte, Sulawesi Selatan. Kecerdasan literasinya telah berjasa dalam mengumpulkan naskah I La Galigo, sebuah epos yang didakwa sebagai epos terpanjang di dunia. Sungguh indah menyimak kisah kepemimpinan seorang wanita pecinta sastra, tentu mampu terlukiskan di benak kita betapa bijak dan dicintai rakyatnya.

Tak kalah indah juga dengan kisah sang Heldhafting  dari bumi serambi mekkah. Helfdafting adalah sebuah gelar yang bermakna Gagah Berani. Gelar tersebut memang sangat tepat sekali melekat pada seorang Pocut Meurah Intan, seorang wanita pemberani yang bersenjatakan rencong seorang diri untuk menghadapi para penjajah. Siapa pula orang yang tak terkagum-kagum pada aksinya yang sungguh berani.

Sama kiranya kagum yang tak terbendung saat menyimak kisah seorang  Rainha de Japara, senhora paderosa erica, Ratu dari Jepara. Julukan yang dilayangkan oleh Diego de Couto (penulis Portugis) kepada Ratu Kalinyamat. Tak berlebihan memang jika kita menyimak betapa luarbiasanya Ratu Kalinyamat saat menghidupkan kembali perekonomian  Jepara yang saat itu telah porak poranda akibat perang saudara.

Aisyah Wa Tenriolle, Pocut Meurah Intan, dan Ratu Kalinyamat adalah tiga diantara 17 tokoh yang termuat kisahnya dalam buku “Perempuan Pejuang”. Buku yang disusun oleh Widi Astuti ini menyuguhkan beberapa kisah heroik yang inspiratif dan menambah wawasan kita tentang sejarah Indonesia. Satu hal yang istimewa dalam buku ini, khusus mengangkat kisah para pejuang perempuan, yang kemudian ditasbihkan sebagai jejak perjuangan perempuan Islam Nusantara dari masa ke masa.

Buku setebal 143 halaman ini mengajak pembaca untuk mengingat kembali tentang peran penting para perempuan pejuang yang namanya kerap terabaikan. Seolah memberikan ingatan kepada kita akan sebuah adagium “negara yang besar adalah yang menghargai jasa para pahlawannya”. Tentu bukan menghargai dalam simbolitas belaka, namun bagaimana kita dapat menyelami kisah-kisah perjuangan para pahlawan yang penuh dengan pelajaran.  Apalagi buku ini juga memberikan cakrawala baru kepada kita pada tokoh-tokoh perempuan yang selama ini luput dari perhatian. Kita mungkin cukup jarang mendengar nama Pocut Meurah Intan, Rohana Kudus, Safiatudin, Tengku Fakinah, dan lain-lain. Mereka adalah nama-nama indah yang turut mengukir sejarah nusantara tercinta ini. Kehadiran buku ini cukup menambah khasanah baru khususnya bagi generasi muda yang fenomenanya kian hari makin kurang mengenal sejarah bangsanya sendiri.
Sebagai sedikit informasi, historiografi atau penulisan sejarah di Indonesia telah dimulai sejak lampau dengan adanya penulisan dalam bentuk naskah. Naskah-naskah tersebut kemudian kita kenal dengan babad, hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain. Bentuk naskah tersebut merupakan historiografi tradisional yang lebih mengutamakan hikmah dibanding adanya kebenaran fakta. Berbeda dengan historiografi modrn yang sangat mementingkan fakta.

Pada perkembangannya, bentuk penulisan sejarah juga membutuhkan ide kemasan. Hal ini lebih kepada bagaimana pembaca dapat menikmati kisah sejarah itu dengan cara yang lebih nyaman. Maka muncul pula adanya genre fiksi sejarah pada karya-karya sastra. Adapun buku Perempuan Pejuang ini adalah kategori nonfiksi. Tentu saja ini berkonsekuensi pada keakuratan serta kedalaman uraian informasi yang termuat. Menjadi ganjalan sendiri ketika membaca kisah ketujuhbelas tokoh perempuan pejuang yang disajikan dalam bentuk lintasan saja.

Secara teknis, dalam buku ini kita akan menemuka tujuh belas profil singkat para perempuan pejuang yang telah dipilih oleh penulis. Pembaca mungkin tak perlu berekspektasi untuk mendapatkan informasi baru dalam buku ini, karena memang informasi yang diberikan pada buku ini masih bersifat sangat umum. Namun keberadaan buku ini memang sangat bermanfaat sebagai pengingat pada kita semua.

Akan sangat menarik misalnya penyampaian kisah atau profil para perempuan pejuang ini lebih mendalam. Ini yang memang menjadi salah satu titik tersulit dalam penulisan buku sejarah. Ketika kita akan menuliskan sejarah, satu hal yang tidak bisa dilepas adalah bahwa kita sedang menuliskan fakta yang pernah terjadi. Syarat penting dari penulisan kisah sejarah adalah adanya sumber informasi yang valid dan beragam. Buku sejarah tentunya bukan buku rangkuman dari berbagai buku sejarah yang sudah pernah ada sebelumnya. Ada kedekatan personal penulis dengan subyek atau obyek sejarah yang akan ditulisnya. Tak jarang kita mendengar sebuah buku sejarah ditulis membutuhkan waktu yang begitu panjang karena harus mengumpulkan data, wawancara, mengolah, analisa, dan sebagainya. Misalnya bahwa penulisan sejarah tak bisa terlepas dari berbagai sudut pendekatan, sosiologis, antropologis, psikologis, yang seharusnya memungkinkan penulis untuk mengangkat bagaimana kondisi budaya masyarakat di masing-masing wilayah mengenai pemimpin perempuan. Faktor budaya masyarakat bugis, jawa, melayu tentunya punya peran yang tak sedikit terhadap perjalanan para srikandi penjaga negeri tersebut. Harapannya, buku Perempuan Pejuang ini tidak hanya sampai pada titik “sudah terbit”, tapi ada khasanah baru yang dihadirkan untuk pembaca. Bukan pula sebagai “peluang” yang sangat prospektif untuk mengangkat tema gender yang katanya belum dilirik para penulis sejarah – seperti tercantum pada sebuah testimoni.

Hal teknis lain dalam pembacaan buku Perempuan Pejuang juga banyak yang perlu dikritisi. Seperti tata letak serta ilustrasi yang kurang kuat. Beberapa keterkaitan antar paragraf dalam satu kisah, kiranya jika ditata kembali akan menarik antusiasme pembacaan yang lebih kuat lagi. Lepas dari itu semua, salut atas terbitnya buku Perempuan Pejuang ini. Sebagai sebuah bagian dari ensiklopedi sejarah, kita perlu menyangjungkan terimakasih atas inisiatif penulis menghadirkan buku ini. Sebagai buku sejarah, semoga ini menjadi awalan yang dapat memacu semangat mencintai dan mempelajari penulisan sejarah. Pada akhirnya, jika hidup adalah rangkaian kisah, salah satu cara memaknainya adalah dengan menghargai sejarah. Tabik. J
Judul buku          : Perempuan Pejuang, Jejak Perjuangan Perempuan Islam Nusantara dari Masa ke Masa
Penulis                 : Widi Astuti
Penerbit              : Konstanta Publishing House
Tahun Terbit      : Agustus 2013
Tebal buku          : XV + 143 halaman.


Read more ...

[ Mimpi yang Terjaring di dusung Rinjing ]

Deras sungai memberhentikan perjalanan di sepertiga akhir siang kala itu. Meski ada jembatan bambu yang masih mampu menopang kendaraan motor , kami memilih jalan setapak untuk sejenak menengok sisi bukit yang lain. Gerakan turbin sesekali menjadi musik pengiring perjalanan, dan dari sanalah kami tahu itu adalah sumber pelita  yang telah memercikan peradaban kepada warga. Hanya sekitar dua puluh kepala keluarga, warga asli setempat, yang bertahan di tanah perbukitan tersebut. Aliran listrik belum sampai di dusun ini. Mereka mengusahakan sendiri untuk dapat menerangi rumah masing-masing. Sekedar untuk menambah semangat anak-anak mereka belajar di rumah  setelah berjalan jauh berkilo-kilometer ke sekolah. Mereka tetap ingin anak-anak menjadi pintar, supaya dapat membangun dusun mereka yang redup redam.  Itulah sepotong kisah dari dusun Rinjing, Gununglurah, Cilongok.

Rinjing adalah salah satu titik disitribusi dari salah satu lokasi penyembelihan Kampung Qurban yang mencakup beberapa desa lain diantaranya :  Karanggondang, Sambirata dan Pesawahan, Gununglurah.  Tentu bukan sekedar keratan daging Qurban yang disampaikan nantinya di KAMPUNG QURBAN. Ini bukan sekedar urusan seekor domba Qurban, ini adalah bukti cinta dan ketaqwaan kita pada sesama. Agar asa itu tetap menyala, agar mimpi itu tetap dapat bersemi, agar senyum itu mengulumkan pesan bahwa Islam adalah rahmat untuk semua orang, tak ada yang terabaikan. Semoga.


Read more ...