Pages

Saturday, November 12, 2011

Belum Bisa Berpuisi (lagi)

“maafkan aku yang belum pernah mampu meneladani nilai kepatuhan seorang Ismail a.s kepada ayahandanya Ibrahim a.s”


Antara aku dan puisi, pernah ada sebuah simpul yang coba kurekat. Sependek kalimat, aku (pernah) jatuh cinta pada puisi.

Berpuisi membuatku meluapkan segala ekspresi namun tetap terbungkus dengan rahasia rajutan  kata.  Semua lepas tapi tak terhempas. Semua keluar namun tak bingar.

Namun aku memang bukanlah orang yang puitis. Justru itu. Justru ketika aku kadang ada di titik jenuh atas segala rasionalisasi bahasa aktualisasi. Aku ingin bersembunyi dalam puisi-puisi ku yang sangat sederhana. Disaat aku kesepian dimasa kecil dulu, kupaksa meninabobokan diri dengan beberapa rangkaian kata. Setiap aksara seolah membelai dan menyimpan setiap gumaman rahasiaku. Aku nyaman dalam pelukannya.

Namun, menyukai dunia teater dan puisi ternyata adalah sebuah “episode sulit” antara aku dan ayah, lelakiku yang hebat itu. 

Read more ...

Saatnya Menggugah Titik Jenuh


(Sebuah refleksi mengenai new media dan eksistensi generasi muda )


Menilik sejenak 83 tahun yang telah lalu, di bulan yang sama dengan saat ini (Oktober.red) , tak kurang dari hitungan jari , sekelompok anak muda pernah tergugah dan berhasil menciptakan sejarah. Rangkaian frasa yang mereka kumandangkan pada Kongres Pemuda II ternyata menjadi sebuah inspirasi yang tak pernah mati bagi bangsa ini. Saat itu Muhammad Yamin cukup bernas menyampaikan arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Ia berkata bahwa ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum, adat, pendidikan, dan kemauan. Hingga pada penutup rapat berkumandanglah secarik deklarasi yang dikenal sebagai sumpah pemuda . Paduan kumandang sumpah itu memiliki notasi semangat yang alunannya bahkan menjadi trade mark semangat bagi generasi muda Indonesia hingga kini.

Bergerak ke tujuh belas tahun dari kumandang sumpah pemuda, sekelompok pemuda lain menciptakan sejarah yang tak kalah hebat. Letupan riak darah muda yang mengalir pada tubuh seorang Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana ternyata mampu memaksa mereka berbuat “nekad” menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak agar segera diproklamirkan pernyataan kemerdekaan. Tak dapat digambarkan pula bagaimana perasaan seorang Latief Hendraningrat dan Soehoed saat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dengan iringan Indonesia Raya serta pekikan merdeka di hari tujuh belas bulan delapan tahun 05 berdasarkan perhitungan tahun jepang saat itu.

Mei 1998, rakyat Indonesia mengenal kata “reformasi” sebagai sebuah diksi yang sepadan pentingnya dengan nasi. Lagi-lagi anak muda yang unjuk gigi. Sejarah mencatat ratusan ribu generasi muda  turun ke jalan menuntut sebuah perubahan. Pemerintahan Soeharto yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa itu memasuki buritannya. Aspal jalanan mendidih berbenturan dengan gemuruh semangat. Pekik reformasi menggerung di jalanan ibukota, menggelora hingga ke pelosok-pelosok daerah. Desakan itu sangat kuat hingga akhirnya “the old man most probably has resigned”[i].
Read more ...

Bupati Vs DPRD : Praktek Pola Komunikasi Politik Childist


 Komunikasi pimpinan daerah (eksekutif) dan legislatif yang menyisakan konflik memang bukan sebuah hal yang baru di negara kita. Hal ini telah berlangsung lama, dan mungkin tak salah pula ketika dalam salah satu pengamatannya, Ali Moertopo pernah menyimpulkan bahwa : “..dikebanyakan lembaga sosio-politik, orang-orang yang bertanggungjawab mempunyai tugas untuk berkomunikasi dengan pemerintah dalam mentransfer kehendak rakyat, lambat laun lebih banyak mengidentifikasikan dirinya dengan pemerintah dan akhirnya menjadi kelompok marginal yang hanya mementingkan dirinya sendiri”.

Mungkin seperti itu pula gambaran yang sedang terjadi di Kabupaten Banyumas dengan drama yang sedang diputar beberapa waktu belakangan. Beberapa konflik dramatik yang sedang hangat yaitu mengenai dana banpol serta penangguhan pencairan dana representasi (gaji). Entah kenapa, konfliknya seputar masalah “uang”. Para pemegang aspirasi rakyat itu terlihat kekeuh untuk meributkan masalah dana. Banpol PDIP yang tak bisa dianggarkan membuat para kader partai berlambang moncong putih itu geram. Sementara itu keributan lain juga terjadi karena adanya penangguhan gaji DPRD bulan September. Keributan-keributan itu hingga mengundang pemprov untuk mengadakan mediasi, meredamkan api konflik diantara bupati sebagai lembaga eksekutif dan pimpinan dewan sebagai lembaga legislatif.
Read more ...

Letters To God

Mereka adalah yang telah dipilih Tuhan untuk menjadi pejuang. Mereka yang hatinya telah terpilih. Mereka yang tetap memperjuangkan kehidupan orang lain walaupun hanya melalui doa.

Doa adalah prosa yang paling indah. Setidaknya itu yang akan kita ungkapkan apabila mengetahui bait doa-doa yang tiap orang sebutkan. Dan tiap orang memiliki cara masing-masing untuk mengungkapkan doanya. Dalam pemahaman seorang anak usia 13 tahun, doanya akan bekerja ketika ia menuliskannya dalam sebuah surat.

Tyler, itu nama anak muda tersebut. Tyler lah yang kerap kali membuat tukang pos menjadi bingung karena menuliskan surat dengan alamat tujuan , to: God, kepada Tuhan. Kemana kita akan menyampaikan surat beralamatkan Tuhan? Setidaknya itu yang menjadi kebingungan bagi Barry, seorang tukang pos muda yang baru saja keluar dari penjara dan juga sedang memiliki masalah besar dengan anak dan istrinya.

Sementara Maddy, ibunda Tyler, adalah sosok wanita yang tangguh. Setelah ditinggal mati suaminya, ia harus mengasuh dua putranya plus dengan kondisi Tyler-si bungsu yang “hampir sekarat” karena penyakir kanker otak yang diidapnya. Seorang supermom yang untungnya juga memiliki seorang supermom juga. Nenek Tyler adalah sosok nenek dan ibu yang selalu siap turun tangan untuk membantu keperluan anak dan cucu-cucunya.

Read more ...

Untitled

Terkadang, aku berfikir bahwa manusia bisa lebih bodoh daripada sebuah kacamata. Ya, kacamata, alat bantu melihat yang salah satu produknya sedang aku gunakan saat ini. Sepasang lensa yang terekat oleh nylon dan kontruksi bingkai setengah. Belum lama kukenakan kacamata ini, sekitar 1,5 tahun yang lalu. Alat bantu yang awalnya sering membuat mata terasa pegal. Kalau tak ingat peristiwa kecelakaan motor di akhir tahun 2009 lalu, mungkin aku masih enggan untuk membiarkan sepasang lensa ini nangkring menyamarkan garis kelopak mataku yang konon katanya mirip dengan almarhum ayah. Selain karena masih merasa sayang membuang uang untuk contact lens, gangguan pada retina membuat aku terpaksa memasrahkan diri untuk berbagi fungsi penglihatan dengan kacamata ini.

Dengan perkembangan kreatifitas yang luar biasa di dunia industri kacamata, kini keberadaannya juga bukan sekedar berfungsi sebagai alat bantu penglihatan saja tetapi juga bagian dari trend fashion. Modelnya sekarang beraneka ragam, ada yang bingkai penuh,bingkai setengah dari yang model nylon cord frame dengan pengunci sampai ballgri mounting yang dengan baut. Ada pula yang konstruksi tanpa bingkai dengan variasi rimless mounting  yang lensanya ditahan dengan baut di bagian nasal dan temporal, dan ada juga phantom yang rangkaiannya merupakan satu unit yang tidak terpisah.

Sama halnya dengan kacamata, walaupun bukan sebuah alat, manusia juga memiliki fungsi. Saya teringat sebuah obrolan ringan dengan seorang teman beberapa hari yang lalu. Kita saling menukar kata dan frasa mengurai beberapa kesah pekerjaan masing-masing. Tanpa canggung ia berkisah beberapa partner kerjanya lebih cenderung untuk melakukan tugas daripada fungsinya. Mereka bertugas dengan baik tetapi ternyata belum berfungsi dengan optimal. Misalnya beberapa petugas yang bekerja setiap ada komando saja, jadi seperti robot yang didikte untuk melakukan tugas A,B,C, dan seterusnya. Ketika tugas A selesai maka ia menunggu diberi tugas B.
Read more ...

Mengunduh Makna yang Terlahir Dari Detak Anak Arloji


Sejatinya hidup ini adalah kumpulan cerita yang terjalin satu sama lain. Cerita yang ketika mampu menyerap maknanya akan menjadi sebuah pelajaran berharga yang tak ternilai harganya. Kadang cerita itu dibiarkan berlalu begitu saja, seperti kita berkendara dan membiarkan semua itu terlaju. Tak semua orang pula mau dan mampu merefleksikan tiap bait cerita kehidupan yang terlewati.

Membaca cerpen-cerpen Kurnia Effendi dalam Anak Arloji, seperti kita membaca fenomena kehidupan. Konflik yang sebenarnya ada di sekitar kita. Konfik yang dihadirkan tidak terlalu anomali. Namun di tangan Kef  - panggilan Kurnia Effendi- semua kisah sederhana tersebut terkemas indah. Kekuatan diksi yang kuat membuat pembaca enggan untuk memberi jeda saat membaca kisah-kisah yang tersaji.

Salah satu kisah sederhana yang terkemas dengan apik itu adalah pada cerpen “Pertaruhan”. Kisah dua pemuda yang gemar bertaruh untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa, seperti minum kopi dengan campuran arsenik hingga bertaruh nyawa di rel kereta api. Kisah ini nampak biasa dan memang akan terasa biasa saja apabila bukan Kef yang membawakannya. Seperti juga pada cerpen “ La Tifa” , kisah seorang gadis yang meratapi keluguannya pada seorang laki-laki paruh baya dan memutuskan untuk merubah nama dari “Latifa” menjadi “La Tifa”. Dengan sangat anggun, Kef mengantarkan pembaca pada kisah tentang sebuah pencarian jatidiri. Latifa tidak menemukan latifa pada dirinya, ia merasa malu, kotor, jijik, dan marah pada diri sendiri. Sebuah nama menunjukan sebuah identitas diri, maka tidak match ketika nama yang bagus melekat pada orang yang telah melakukan perbuatan yang dirasa hina. Pesan ini disampaikan oleh Kef dalam cerpennya dengan siratan bukan suratan. Suratan yang tertera pada cerpen ini sekedar alur kisah yang mengalir mendayu. Namun Kef mampu menaruh pesan itu dengan sangat apik ibarat meletakkan sebuah batu zamrud dalam kotak perhiasan. Dari ukiran kotak perhiasannya pun dapat dikira betapa mulianya sesuatu yang tersimpan di dalamnya. Dan Kef memang pengukir kisah yang piawai.
Read more ...