Pages

Saturday, August 09, 2008

BABAD KULI MIMPI

(sebuah cerpen)
Detak malam seperti malam-malam kemarin kini mulai bermain dengan monitor. Sinar biru menyilaukan memancar dari monitor PC Pentium tiga yang mungkin sudah terbilang jadul di era kini. Di era dimana semua sudah serba speed. Bahkan komputer saja sekarang sudah bisa dimasukkan di tas. Selain praktis ternyata , gaya itu menyimpan nilai prestise. Entah sudah berapa ratusan ribu unit laptop yang dikantongi masyarakat, namun tetap saja perkembangan dan kreativitas orang-orang di Negara ini selalu dalam ranking terendah berdasar statistik. Data statistic pun entah dari mana juntrungnya, sekonyong-konyong menyajikan data yang terkadang justru membuat orang skeptis. Tak pelak dibalik itu tersusun skenario untuk kepentingan-kepentingan yan kadang pragmatis semata.
Yeah….itulah realitas. Terkadang realitas sulit untuk diterima…semua terasa begitu berat, namun itulah nyawa kita. Kalau kata orang bijak, terkadang kita perlu berkhayal, bermimpi untuk mendongkrak semangat, mimpi itu identik dengan indah. Mimpi indah..itu yang selalu menjadi semangat manusia untuk terus berjalan menapaki realitas hidup yang perih. Mengejar mimpi walau itu belum pasti. Namanya juga mimpi. Tapi, bermimpi juga tak bias disebut mudah. Siang tadi , tawaran yang mungkin lebih tepat disebut dengan tantangan itu membuat layer monitorku malam ini kosong.
“Ji, ada job nih!sanggup nggak kamu?”
”Job ya berarti duit, apa yang nggak sanggup buat duit ron!!!he..he...he...”
”Nih”
Jenak berikutnya justru Roni yang dibuat terkekeh melihat ekspresiku yang penuh kerutan. Parau tawanya mempertanyakan kata sanggup yang tadi aku umbar. Kini lembar tawaran job itu ada tepat disamping monitorku. Tawa Roni terdengar sebagai sebuah hinaan di telingaku. Gila kali, seorang penulis kesohor seperti Aji ini tidak sanggup untuk membuat cerita fiksi. Ya, fiksi!!itu sebenarnya yang mampu membuat dahiku berkerut dari siang tadi. Tawaran untuk membuat naskah film tiba-tiba menyapaku. Bukan film dokumenter yang seperti ada di rak penyimpanan koleksiku. Ini benar-benar naskah fiksi banget. Pena dan kisah memang bukan hal yang baru dalam hidupku. Tapi yang satu ini selain pesimis, mungkin ada alasan ideologis yang seperti menjadi mistar penghalang untuk menghadapinya.
***
”wah...cerpenku dimuat lagi wo!cihuii...!!!” Girangnya hatiku saat membuka halaman sastra sebuah media massa lokal. Bowo dan teman-teman lain yang sedang santai di teras kos-kosan, langsung merangsek untuk ikut melihat lembaran koran yang membuatku teriak girang pagi ini.
”Mujur kamu Ji!”
”Makan-makan nih...”
”Tenang aja coy....kalo cair semua kenyang” sahutku yang disambut gelak dari semuanya.
Sebagai mahasiswa jurusan sastra, aku bangga bisa membuktikan bahwa karya sastraku mampu diakui media. Masalahnya aku agak gerah melihat ratusan mahasiswa sastra yang mandul karya. Pragmatisme sempit mengenai dunia kuliah membuat mereka kebanyakan menjadi tipikal mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang. Tidak ada yang salah memang kalo memang watu ”kuliah-pulang” itu bisa dimanfaatkan. Tapi yang ada, mereka rata-rata masuk kuliah dan khususnya jurusan sastra (karena jurusan ini yang aku lihat sehari-hari) hanya sekedar alih jenjang dari SMA dan bisa lulus dapet ijasah kemudian nglamar kerja. PNS masih menjadi primadona bagi para sarjana seperti itu. Tiap tahunnya puluhanribu sarjana beramai-ramai melamar kerja menjadi PNS atau bahkan menjadi buruh-buruh kapitalis.
Negara ini memang miris. Bukan Cuma pemerintahnya, rakyatnya ya sama saja. Sistem yang bobrok telah membobrokan mental manusia-manusia yang hidup di antara dua benua dan dua samudera ini. Katanya pengen pinter tapi nggak mau berkembang. Maunya stagnan saja, yang penting terima jadi, terima enak. Keluar kampus, mengantongi ijasah dengan harapan jaminan kerja. Kalo nggak keluar-keluar ijasahnya, berarti lacinya seret, harus dilicinkan. Akhirnya untuk jadi seorang profesor sekarang bukan hal yang sulit, yang penting punya pelicin, semua urusan jadi beres. Wong semua sekarang udah jadi mata duitan semua kok. Orang yang kaya aja mata duitan, yang miskin ya lebih-lebih. Nggak kaya nggak miskin, kalo liat duit segepok ya semua mata-nya ijo. Moral itu yang nggak bisa diukur dari kaya-miskin seseorang, tapi pasar sudah men-setting semuanya. Sekarang yang anomali tapi dibutuhkan adalah orang-orang yang punya indendensi dan mau berkarya. Walaupun sulit, orang-orang jenis spesies ini Alhamdulillah masih ada di negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Ya, kata orang-orang tua kalau disekelompok orang masih ada orang yang bener, Gusti Allah menunda kiamat. Wah...pantesan dari dulu orang gembar-gembor kiamat sudah dekat tapi kok nggak dateng-dateng ya!! Rupa-rupanya sekarang lagi delay alias injured time.
Makan duit honor cerpen memang bukan pengalaman yang kali pertama buatku. Semenjak duduk di sekolah dasar, temanku adalah pena dan kertas. Semua isi hati dan pikiran sering diobrolkan dengan pena. Suka nulis ya karena suka baca. Kalo kata pak Imam, dosenku, orang yang mau nulis, mau ngomong, ya harus mbaca dulu. Jadi yang ditulis itu nggak ngawur. Di Al-quran juga ayat yang katanya pertama turun memerintahkan umat Islam untuk membaca.
Ya, aku pikir, membaca sangat penting. Membaca juga berarti melihat lebih dalam. Kalau Cuma melihat kita tidak tahu apa isinya. Melihat yang benar ya dengan membaca itu. Membaca apa saja termasuk membaca kehidupan ini.
Waktu-waktu berikutnya aku telah dikenal sebagai penulis. Wah...itu gelar yang bagi aku sangat menyanjungkan. Dari dulu itu cita-cita yang ingin aku capai. Dulu sempat buat novel. Malah salah satu novel itu aku buat dengan mesin ketik manual dan berhasil tersusun sebanyak 200halaman lebih. Walaupun akhirnya novel-novelku tak jelas nasibnya di meja penerbit. Ya, semangat itu masih ada sampai sekarang, sampai aku jadi mahasiswa tingkat akhir di sebuah kota kecil. Dulu aku pikir akan menjadi sebuah kekonyolan saat aku masih bermimpi menjadi penulis. Tapi nampaknya mimpi memang selalu menjadi kunci. Selain jadi semangat, mimpi jua lah yang menjadi modal-modal narasiku selama ini. Ya, aku bilang selama ini aku menulis mimpi. Menulis hal-hal yang imajinatif. Apapun itu. Dan itu menjadi sensasi tersendiri saat aku bergumul dengan mimpi-mimpiku, dengan khayalan-khayalan yang kemudian aku tulis. Saat menulis khayalan itu aku merasakan bahwa mimpi itu nyata, mimpi itu terwujud. Walaupun kemudian aku tersadar ketika terbentur pada realitas dimana diantara keduanya ada jarak estetika yang lumayan jauh. Katanya sastra merupakan refleksi dari kehidupan sosial masyarakat. Namun, sastra-sastra yang ada sekarang tak lebih dari bualan kosong tanpa makna. Atau, justru itulah realitas masyarakat yang memang hanya hidup diantara mimpi-mimpi dengan enggan untuk bergerak. Kalo orang bilang, gimana Indonesia bisa maju kalo kayak gini terus??
***
Bergerak, berbuat. Itu prinsipku sekarang, prinsip seorang Aji Notosastro. Mungkin sudah bertahun-tahun lebih bangsa ini lupa dengan Aji sang penulis fiksi. Tercatat di sejarah pun tidak apalagi menjadi salah satu bahasan dalam mata kuliah sejarah kesusastraan. Mimpi! Ya, mimpi kini menjadi sebuah hal yang absurd dalam hidupku. Selain karena sifatnya yang memang absurd, aku lebih merasa berbuat saat ada ruh realitas dalam tulisan-tulisanku sekarang.
”Berangkat kerja Ji?”
”Nggih pak, pareng....!”
”Monggoh...”
Di belahan ibukota ini, aku masih bertemu dengan saudara yang sekampung. Ya, setidaknya itu bisa jadi penghibur yang sejuk bagi kedua belah pihak, untukku dan untuk Pak Agung, tetangga rumah yang selalu rajin menyapaku disaat ku berangkat kerja. Siang-siang tanggung memang menjadi waktu yang pas buat pak Agunng , seorang pensiunan, untuk bersantai di teras rumah. Sambil menunggu cucunya pulang sekolah, ditemani secangkir teh dan cemilan sekedarnya, dia masih sempat membaca kehidupan yang berjalan. Mungkin dia sadar bahwa kemampuan matanya kini sudah berdekadensi untuk membaca tulisan baik di koran, buku, atau jurnal. Tapi dia masih punya mata hati untuk membaca jalannya realitas. Sosok kebapakkan yang ramah yang selalu membekaliku dengan sapaan renyah sebelum berangkat ke kantor. Kantor...yeah..aku punya kantor. Dimana aku bekerja untul mensortir tulisan.
Tidak jauh dari tulisan. Lagi-lagi tulisan. Selain mengisi rutin sebuah kolom di surat kabar, kini hidupku harus memiliki rutinitas menyortir tulisan-tulisan yang akan dimuat. Nampaknya aku ditakdirkan berjodoh dengan goresan pena. Tapi setidaknya kini aku yakin bahwa tulisan itu bukan mimpi, tulisan itu bukan khayalan. Bukan sekedar karena aku tak menulis cerpen lagi. Aku memang kehilangan gairah untuk menulis fiksi. Muak dengan khayalan-khayalan yang kucipta sendiri. Apalagi realitas yang ada, khayalan-khayalan yang sekarang berkembang di masyarakat lebih kepada bualan kosong yang tidak mendidik, kalau dijadikan tontonan, itu tontonan yang bertuntunan, yang hanya dijadikan bulir-bulir para kapitalis. Benturan realitas yang menjadikanku bergeser jalur untuk lebih berkarya pada sebuah hal yang logis untuk dapat terimplementasikan dengan gamblang pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat kini.
Adzan fajar menyadarkanku untuk ambil wudhu dan sejenak menjalankan salah satu kebutuhan rohaniku. Walaupun kata Freud, ini adalah salah satu gejala neurotis. Tapi biarlah. Nampaknya memang dunia ini dipenuhi dengan orang-orang gila. Setidaknya aku tidak psikosis. Saat ini jiwaku memang terganggu ditengah kebingungan bahwa aku tertantang untuk menulis mimpi lagi. Tapi dengan prinsip rasionalismeku, kini tantangan itu mengharuskan aku menciptakan mimpi yang bisa jadi tuntunan. Duh gusti....masihkah aku bisa bermimpi???!!!!
Purwokerto, Agustus 2008

Title: BABAD KULI MIMPI; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: