Pages

Tuesday, March 15, 2011

Dari Kisah Tentang Sepotong Jendela

”Tapi kitalah masa depan, kanak-kanak yang harus menjalin airmata negeri menjadi cahaya” (Abdurahman Faiz)


Kesenjangan sosial yang didalamnya termasuk rentang perbedaan antara kaya dan miskin sudah menjadi bagian dari sketsa warna kehidupan. Ibarat kedua kutub yang membuat bumi ini menjadi padat, maka senjang status sosial itu juga membuat dinamika hidup semakin mampat. Fenomena sosial ini sudah tak asing lagi, dan mungkin bagi kita sebagai warga negara yang bertempat tinggal di bumi Indonesia dengan kemajemukan rakyatnya. Saking biasanya, kadang kita tergerus oleh keapatisan untuk menengok jurang kesenjangan itu. Bahkan mungkin dari kita sudah menganggap itu sebagai kodrat bahwa ada yang kaya dan miskin jadi tak perlu saling teringat. Cara pandang pragmatis yang biasanya menjadi salah satu fase ketika tumbuh dewasa. Semakin bertambah usia, semakin banyak permasalahan hidup yang terlihat, semakin tergoda kita untuk saling melupakan sesama, dan saat itulah sebenarnya waktu yang tepat untuk kita berterimakasih pada anak-anak.

Karena fenomena sosial itu ternyata akan memiliki bingkai lain oleh anak-anak, terutama yang belum teracuni pikirannya. Anak-anak dengan kepolosannya akan memiliki cara yang sederhana untuk melihat kehidupan yang keras ini. Seperti itulah yang mungkin terulas dalam kisah Rara dan teman-temannya di Film Rumah Tanpa Jendela.
Read more ...
Sunday, March 06, 2011

Ketika Hidup Penuh Warna, Ambillah dengan Merah Muda : La vie en Rose (Review)

Pernah merasa hidup kita selalu banyak penderitaan?atau kita pernah mengeluhkan banyak kekurangan dalam hidup kita? yang kemudian penderitaan dan atau kekurangan itu dijadikan alasan untuk kita tidak produktif berkarya? Terlalu banyak alasan terparafrasekan untuk kita enggan melangkah. Padahal, hanya perlu ada satu keyakinan bahwa kita itu semua punya peluang yang sama, tinggal bagaimana kita punya kemauan dan usaha yang gigih untuk mencapainya.

Adalah Édith Giovanna Gassion, yang lahir di Paris, Perancis hamper satu abad yang lalu. Siapa orang yang ingin dilahirkan di tempat yang bisa dibilang cukup terpencil, pada situasi perang. Dilahirkan oleh seorang penyanyi cafe, Edith kecil tidak mendapatkan perhatian yang layak. Oleh ayahnya yang seorang pemain sirkus, Edith dititipkan di rumah bordil milik neneknya. Dari kecil ia sudah terbiasa untuk menerima apapun kondisi yang dimilikinya. Kondisi kekurangan gizi bahkan sempat mengalami kebutaan saat kecil, hingga dibawa ayahnya dalam rombongan sirkus, semua dijalani Edith. Satu hal yang selalu ia ingat , yaitu saat mengalami kebutaan, ia diajak ke tempat dimana ada patung bunda Theresa. Oleh salah satu wanita PSK di rumah bordil milik neneknya, ia diajari untuk berdoa , meminta kepada bunda Theresa.

“Bunda Theresa, aku mau melihat lagi. Aku ingin bisa membaca. Aku ingin bisa berlari. Terima kasih Bunda……”

Kebutaan Edith ternyata tak berlangsung lama, ia sembuh. Sejak saat itu ia yakin dengan kekuatan doa, dan berprasangka baik bahwa jika ia berdoa pasti dikabulkan dan jika tidak dikabulkan pasti digantikan dengan hal lain yang lebih baik. Keyakinan itu kuat, prasangka baik kepada Tuhan selalu ditanamkannya sepanjang hidupnya. Tak terkecuali hingga di beberapa tahun kemudian saat kiprah seorang Edith tak dapat dilupakan dalam sejarah musik Perancis.

Ya, edith yang malang memiliki suara emas. Walaupun kondisinya yang memprihatinkan, Edith tak pernah mematikan mimpinya untuk bisa menjadi seorang penyanyi terkenal di Paris. Berawal dari pertunjukan jalanan, penyanyi bar, teater, ingá akhirnya masuk menjadi penyanyi kelas dunia.

Klasik. Mungkin itu yang akan terungkap oleh kita saat sekilas mengetahui isi cerita dari film ’La Vie en Rose’ . Salah satu film lama di tahun 2008 yang membawa aktris pemeran utama-nya meraih piala Oscar (Marion Cotillard). Namun film ini memang menjadi istimewa karena setting dan figur yang digunakan dalam film berdurasi sekitar 134 menit ini.

Edith yang populer dengan nama Edith Piaf adalah salah satu penyanyi terkenal yang juga menjadi lambang pop negara Perancis. Di jalur balada, Edith Piaf banyak menghasilkan lagu-lagu yang menyayat hati. Salah satu karyanya yang populer, berjudul ”La vie en Rose , lagu yang dikarang saat pendudukan Jerman di Perancis pada perang dunia II. Karya-nya ini terus melegenda bahkan hingga saat ini. La vie en Rose pernah dipilih untuk Grammy Hall of Fame Award pada 1998’. Setelah diterjemahkan dalam bahasa inggris, lagu ini pun banyak dibawakan oleh ratusan musisi, juga muncul di beberapa film popular seperti French kiss, prêt-a-porter, saving private ryan, somethings gotta give, dll.

Menilik adegan-adegan film ini , kita dibawa kedalam suasana Paris era perang dunia II. Selalu menarik melihat tayangan yang memperlihatkan begitu tingginya apresiasi masyarakat Perancis terhadap seni. Melihat alur kisah film ini memang seperti menghayati makna lagu ”la vie en rose”. Alur maju-mundur yang digunakan seperti ingin membuat kita bisa melihat satu kisah secara utuh di setiap scene-nya hingga menonton film ini seperti kita memakan sandwich yang lezat dan padat berisi.

Kembali pada hikmah yang bisa kita ambil pada kisah ini adalah , seberapa sering kita mengeluh dan hampir putus asa dikarenakan kondisi yang kadang tidak seperti kita inginkan? Karena merasa miskin jadi tidak punya mimpi, karena merasa bodoh jadi tak pernah punya harapan, karena merasa punya kekurangan jadi enggan mencoba. Come on. Seorang Edith telah mengajarkan kepada kita, bahwa setiap manusia punya peluang yang sama untuk meraih mimpi-mimpinya. Setiap manusia hanya wajib berusaha, masalah hasil dan perputaran nasib itu sudah ada yang mengatur. Ketika kita mampu untuk tetap memiliki mimpi disaat terjatuh, bukankah penderitaan itu menjadi terasa manis? Enjoy this life.

give your heart and soul to me,
:and life will always be ..
:la vie en ros
Read more ...

Ketika Malaikat Berkhianat

Terkadang dalam kehidupan kita akan menemui sosok yang dianggap seperti malaikat. Mendengar diksi malaikat memang akan membuat kita mengasosiakan pada hal-hal yang bersifat indah, bagus, positif. Kehadiran malaikat sebagai vis a vis dari setan membuat kita meletakan malaikat sebagai penyelamat.

Lepas dari denotatif diksi malaikat sebagai salah satu makhluk Tuhan, setiap orang biasanya memiliki sosok yang dianggap malaikat. Bisa jadi sosok itu dianggap malaikat karena telah banyak menyelematkan kita. Bisa jadi sosok itu adalah orang tua kita, kakak atau adik kita atau sahabat kita. Tentunya ”gelar malaikat” ini akan menjadi sangat subyektif, tergantung setiap sensasi yang membentuk persepsi kita masing-masing.

Permasalahan yang kadang timbul adalah, terkadang kita lupa, bahwa manusia tetaplah manusia, tak akan pernah menjadi malaikat, (dan juga tak akan menjadi setan). Orang yang kita anggap sebagai malaikat tak mustahil akan melakukan kesalahan yang mungkin akan sangat menyakitkan. Bahkan ada kata-kata bijak yang menyebutkan bahwa ”orang yang kita cintai berada pada posisi tepat dalam untuk kita benci”. Ya, jarak antara cinta dan benci terkadang menjadi sangat tipis. Bahkan biasanya luka yang ditimbulkan oleh orang yang kita cintai bisa terasa lebih menyakitkan dibanding jika kita dilukai oleh orang lain.

Setidaknya sepenggal fenomena itu yang coba dijumput Tere-Liye dalam salah satu novel-nya ”Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Sosok Danar hadir dalam kehidupan Tania, merupakan sebuah scene yang tak akan pernah terlupakan. Kehadiran Danar benar-benar seperti sosok malaikat yang membuat kehidupan Tania dan keluarganya berubah jauh seratus delapan puluh derajat. Dari kondisi yang tinggal di rumah kardus, mengamen di bis kota, hingga menikmati pendidikan di luar negeri. Perjalanan yang sangat panjang dan mengesankan dan ternyata meninggalkan beberapa jumput perasaan dalam hati Tania. Perasaan yang terus-menerus dipupuk.

Kembali kepada topik diatas, bahwa manusia akan tetap menjadi manusia. Sosok malaikat yang hadir dalam hidup kita adalah perantara Tuhan untuk menyentuh kehidupan kita. Kemudian apa yang kita lakukan ketika malaikat itu justru menorehkan luka yang sangat mendalam dan begitu perih?

Yakinlah, bahwa itu adalah sekedar hembusan angin lembut yang membuat kita terbang dan melihat dunia ini lebih luas lagi. Angin yang membuat kita tetap belajar mengarungi indahnya pelosok dunia ini, dan lebih terpenting lagi adalah angin yang membuat kita merasakan jatuh pada lembutnya tanah dan keras bebatuan. Semua itu adalah bagian dari proses pendewasaan kita. Ya, toh daun pun tak pernah tidak pernah membenci angin yang membuatnya terlepas dari tangkai dan jatuh di pelataran. Maka tak bijak apabila kita membenci orang yang telah melemparkan pada kita untuk merasakan luka yang teramat sangat.

Bahwa pelajaran yang indahnya adalah, inilah manusia, begitu nikmatnya menjadi manusia yang dapat terjamu malaikat
dan setan. Begitu mulia-nya manusia yang memiliki dinamika indah kehidupan yang penuh dengan pernak-pernik. Bahkan jatuhnya kita ternyata adalah drama dari sebuah hikmah yang luar biasa besar. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.

Arti kehidupan yang luar biasa ini dengan gemulai ditarikan oleh pena Tere-Liye dalam novel ini. Sebuah novel sarat makna kehidupan. Alur yang terarah membuat kita seolah dibawa oleh kereta kencana dalam kisah dongeng yang membuai hingga tak sadar kita telah pada akhir cerita dan sampai kepada makna. Kepiawaian Tere-Liye dalam meramu kata memang tak diragukan lagi. Barisan novel yang telah ditelurkan dari rahim pena-nya membuktikan hal tersebut.

Dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya, memang kita tak akan melihat jurang perbedaan yang begitu dalam. Tere-Liye masih ”istiqomah” dengan semangat menulis kisah kehidupan penuh hikmah. Membacanya tak ubahnya membaca deretan tausiyah dalam alunan kalimat indah dan kisah penuh hikmah.

Kisah dengan alur yang sederhana ini sesungguhnya akan lebih menggigit dengan tidak hanya memberikan karakter tokoh yang datar. Misalnya pada sosok Danar, yang sempurna, hampir tanpa cela. Bahkan di akhir kisahnya pun ternyata Danar memiliki perasaan yang sama pada Tania. Hal ini membuat Tania sebenarnya tak pernah mengalami sebuah hal yang ”tragis” selain kehidupannya sebelum bertemu Danar. Kehidupan Danar pun belum terkuak jelas dalam kisah ini, yang sebenarnya menyisakan tanya ”siapa sih dia?”. Hal ini yang kemudian menguatkan Danar benar-benar ”malaikat” yang bukan manusia. Dengan kata lain, sosok danar kurang natural dengan kisah realis yang coba disuguhkan.
Pecinta novel Tere-Liye mungkin sempat kecewa karena haru-biru yang ditawarkan kisah ini begitu ”klise” bahkan masih bisa dibilang cukup pasaran karena ternyata konflik yang ditekankan adalah pada masalah hubungan percintaan lawan jenis. Alih-alih novel ini menjadi bacaan alternatif bagi anak muda, ternyata juga menambah daftar novel cinta remaja. ^_^ . Judul yang digunakan dalam kisah ini juga terasa kurang efektif. Judul ini yang diambil dari sebuah quote yang dipopulerkan dalam film Jepang Zatoichi : ”The Falling leaf doesn’t hate the wind”, kurang mengena pada kisahnya. Hal ini terlihat pada adegan Tania membenci Danar lebih banyak dan hanya di ending cerita saja Tania luluh. Itu pun porsinya sangat sedikit, malah semakin di-ambigu-kan dengan kondisi rumah tangga Danar. Mungkin akan lebih mengena ketika Tania memtuskan untuk bersikap ”manusiawi”, menghadapi kenyataan bahwa Danar adalah orang yang tak harus jadi miliknya. Dengan kata lain, judul ini terlalu dipaksakan pada kisah yang ada.

Maka kembali pada pembaca, untuk cerdas mengambil makna yang ada pada pengemasan kisah luar biasa ini. Tere-Liye dengan keistiqomahannya menghadirkan pesan kehidupan. Semoga pembaca pun istiqomah untuk menikmatinya. Walaupun terbersit harapan bahwa suatu saat nanti Tere-Liye bisa memberikan kejutan pada karya-nya. Sesuatu yang menyentak seperti penambahan beberapa sentuhan adegan action untuk menambahkan maskulinitas karya-karyanya sehingga tidak bisa orang bilang sembarangan bilang bahwa novel-nya sebagai novel cengeng. Maju terus Tere-Liye untuk mewarnai khazanah sastra nusantara.



Semoga kita bisa bersikap manusiawi pada ”malaikat-malaikat” kita.
Read more ...