Pages

Tuesday, August 19, 2008

Sutardji, Bakrie Award, dan Lapindo

(dikutip dari KHAZANAH< Pikiran Rakyat,Sabtu, 16 Agustus 2008)

SEBAGAI penyair, Sutardji Calzoem Bachri telah melakukan eksplorasi
kata dalam puisi sehingga kata bergerak mencari kemungkinan arah dan
tujuannya, saling membentur demi membentuk keseluruhan yang tak
teramalkan. Sutardji menemukan kembali mantra, memulihkan kembali
tenaga bahasa yang terlanjur dimelaratkan oleh komunikasi massa.
Demikian salah satu alasan mengapa Freedom Institute memilih Sutardji
sebagai penerima anugerah Bakrie Award 2008 Bidang Kesusastraan,
seperti termaktub dalam website mereka www. freedom-instute. org.

Bakrie Award adalah sebuah anugerah tahunan yang dipilih oleh Freedom
Institute, yang diberikan pada mereka yang dianggap telah menunjukkan
dedikasinya dalam berbagai bidang, terutama kedokteran, sains,
penelitian, sosial, dan kesusastraan. Bahkan, anugerah ini
mengandaikan dirinya sebagai "Hadian Nobel" Indonesia. Tradisi
pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Dalam bidang
kesusastraan, Sutardji Calzoem Bachri adalah sastrawan keenam yang
menerima anugerah Bakrie Award, setelah sebelumnya Sapardi Djoko
Damono (2003), Goenawan Mohamad (2004), Budi Darma (2005), W.S.
Rendra (2006), dan Putu Wijaya (2007).

Pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski
menerima anugerah tersebut, W.S. Renda dalam pidato penerimaannya
dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib
ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo
makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan.
Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima
anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut. Lain
halnya dengan Putu Wijaya yang menerimanya di tengah berbagai kritik.

Meski kasus Lapindo tidak lagi mencuat tajam seperti sebelumnya,
sangat sulit memisahkan Bakrie Award 2008 yang diterima Sutardji
Calzoem Bachri dengan kasus Lapindo. Tak sedikit publik sastra
berharap bahwa Sutardji akan mengikuti jejak Frans Magnis Suseno
ketimbang meniru Putu Wijaya. Namun, ternyata sang "presiden" penyair
Indonesia itu lebih memilih meniru Putu Wijaya, menerima anugerah itu
dan uang Rp 150 juta!

**

TENTU saja ini menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda. Menurut
kritikus Adi Wicaksono, berbicara kesusastraan Indonesia sangatlah
tidak mungkin meniadakan atau melewatkan nama Sutardji.

Tentang sikap Sutardji yang menerima Bakrie Award 2008 yang
dihubungkan dengan kasus Lapindo, Adi menilai bahwa anugerah tersebut
haruslah dilihat sebagai penghargaan atas karya dan dedikasi, bukan
penghargaan yang sifatnya politis. "Moralitas menerima atau menolak
saya kira dalam konteks sekarang tidak lagi bisa dipakai seperti
tahun lalu sebab sekarang kasus Lapindo bukan lagi jadi kasus utama,
banyak kasus-kasus yang lain. Tidak seperti tahun yang lalu ketika
kasus Lapindo benar-benar jadi pusat perhatian. Konteksnya berbeda
kalau, misalnya, Tardji menerimanya tahun lalu ketika kasus Lapindo
jadi sorotan khalayak dan media. Saya tidak kecewa bahwa Tardji
menerima anugerah itu, sebagai penghargaan sastra dia memang layak
menerimanya, " ujarnya.

Senada dengan Adi Wicaksono, Agus R. Sarjono juga menyebut bahwa
Sutardji pantas mendapatkan penghargaan sastra. Hanya saja lembaga
pemberinya belumlah pantas memberinya karena ada yang lebih pantas
diberi dan diurus, yakni korban lumpur Lapindo. Ia bisa memahami
ketika Sutardji menerima anugerah tersebut, baik dalam konteks
realitas finansial maupun bersebab pada langkanya penghargaan bagi
sastrawan di negeri ini. Publik sastra Indonesia mungkin ada yang
berharap bahwa Sutardji akan menolak penghargaan tersebut.

"Namun, mereka juga tidak akan tega seandainya Tardji menolaknya.
Saya tidak berharap Tardji menolak sebab secara finasial, orang-orang
yang sebetulnya layak menolak pun ternyata tidak menolak," tutur Agus.

Dari Tasikmalaya, penyair Acep Zamzam Noor menyebut sangatlah wajar
Sutardji merima anugerah itu, lepas dari soal lembaga yang
memberinya. Pilihan Sutardji yang menerima anugerah tersebut tidaklah
akan mengurangi sikap kritisnya terhadap kasus Lapindo. "Kasus lumpur
Lapindo adalah persoalan, tetapi memberi penghargaan pada sastrawan
adalah soal yang lain. Apalagi pemberian anugerah ini telah ada
sebelum terjadinya kasus lumpur Lapindo. Persoalannya bukan berarti
menerima penghargaan itu lantas sikap kita akan melemah. Rendra
menerima, tetapi dengan sangat bagus dia melancarkan pidato yang
penuh kritik terhadap kasus Lapindo. Namun, di luar itu semua,
menerima atau menolak Bakrie Award, kepenyairan Sutardji tidak akan
terganggu. Kepenyairannnya lebih besar ketimbang Bakrie Awad dan uang
Rp 150 juta!" Katanya.

Pandangan berbeda muncul dari Afrizal Malna. Meski mengatakan,
Sutadji layak menerima penghargaan itu, setelah sebelumnya Sutardji
juga memperoleh penghargaan dari Pemerintah Provinsi Riau, Afrizal
memandang menerima award berkali-kali semacam itu tak ubahnya seperti
gajian. Bukan pantas atau tidak Sutardji menerimanya, tetapi juga
soalnya bagaimana award itu lahir dari kurasi yang dilakukan. Inilah
yang membuat award sastra seperti arisan. Oleh karena itulah, di mata
Afrizal, dunia sastra sekarang seperti hidup dalam kandang. Karya
sastra tidak dipandang dalam fenomena kebudayaan umumnya.

Berbeda dengan Acep Zamzam Noor yang melihat bahwa kasus lumpur
Lapindo dan Bakrie Award adalah persoalan yang berbeda, Afrizal
justru memandang keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam konteks ini
pula, ia menganggap bahwa wibawa kepenyairan Sutardji akan lebih
besar seandainya ia menolak anugerah tersebut. "Yah, terserah dia
kalau mau menggadaikan wibawa kepenyairannya pada uang 150 juta.
Sebagai penyair seharusnya dia menghitung itu," ujar Afrizal.

**

ketika dihubungi, Jumat (15/8), Sutardji Calzoem Bachri yang pada 14
Agustus 2008 itu menerima dua penghargaan sekaligus, Penghargaan
Budaya Bintang Parama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Bakrie Award 2008, justru mempertanyakan mengapa orang tidak
mempermasalahkan penghargaan yang diterimanya dari negara tapi justru
mempermasalahkan Bakrie Award 2008?

"Mengapa kalau ada duitnya baru ribut? Apa karena penghargaan dari
negara itu tak ada duitnya! Mengapa orang-orang melihat dengan cara
yang berat sebelah? Saya muak dengan hal itu! " ujarnya.

Seolah menjawab pernyataan Afrizal, Sutardji menambahkan, "Saya tidak
dibentuk oleh orang-orang yang menyukai atau oleh orang-orang yang
membenci saya. Saya dibentuk oleh diri saya sendiri!"

Terhadap sejumlah pandangan yang mengkritik sikapnya menerima Bakrie
Award 2008, Sutardji mengatakan, dalam sebuah anugerah tentu ada
kebaikan dan keburukannya.

Lalu, seolah hendak menjawab para pengkritiknya yang mengaitkan
anugerah tersebut dengan isu lumpur Lapindo, Sutardji menegaskan
bahwa sejak dulu ia memutuskan sebagai penyair, ia bukanlah petarung
sosial. Baginya, puisi dan kepenyairan tidaklah dimestikan sebagai
reaksi atas realitas sosial yang tengah terjadi seperti kasus lumpur
Lapindo.

"Kalau mau semacam itu sejak zaman Soeharto saya sudah ditangkap.
Saya bukan petarung sosial, tapi petarung kata-kata. Pertarungan saya
adalah dengan kata-kata, dengan ide dan air mata. Puisi saya bukan
puisi dekrit!" katanya. (Ahda Imran)***
Read more ...

Lomba Nulis Cerpen Islami, boeat kamu!!!

Dalam rangka memeriahkan bulan Ramadhan, Islamic Comunity of Literature (ICOOL) Jurusan Ilmu BUdaya UNSOED menyelenggarakan GERILYA (Gelar Ramadhan di Ilmu BUdaya), salah satu rangkaian acara tersebut adalah Lomba Menulis Cerpen Islami.
Ikuti dan meriahkan.... silahkan baca selengkapnya mengenai syarat dan ketentuan.
Syarat dan ketentuan Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI) 2008
1. Peserta laki-laki dan perempuan usia 17-25 tahun,
2. Domisili di Banyumas (dibuktikan melalui kartu identitas),
3. Naskah merupakan hasil karya sendiri, bukan saduran atau jiplakan,
4. Cerpen mengangkat tema : “ Islam, rahmatan lil alamin….”,
5. Naskah tidak mengandung SARA,
6. Naskah ditulis 5—10 halaman; ditulis di kertas ukuran A4; font times new roman 12; spasi 1,5; margin : left : 4, right ;3, top : 3, bottom ; 3.
7. Naskah dikumpulkan paling lambat 13 September 2008.
8. Pengumpulan naskah bisa langsung ke secretariat panitia : SEKRE ICOOL, kampus sastra UNSOED Kalibakal, Jl.Jenderal Soedirman Timur –Purwokerto.
9. Naskah juga dapat dikirim via email : naskah_gerilya@yahoo.com
10. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di blog : www.gerilya-icool.blogspot.com , atau ke contact person : Ni’am (085647718224), Arif (085726004626), nta (085226904211).
11. Pengumuman pemenang akan dilakukan pada acara talkshow kesusastraan tanggal 20 September 2008 di aula kampus sastra kalibakal UNSOED.
12. Hak cipta cerpen tetap ada pada peserta.
13. Tim Juri : Pipiet Senja (Novelis), Ali Muakhir (Editor Penerbit Mizan), akademisi / dosen sastra UNSOED, penulis lepas.
14. Keikutsertaan peserta dalam lomba ini tidak dipungut biaya.



Read more ...

“SASTRA RELIGI : ANTARA DAKWAH DAN TARGET PASAR”

Sastra selain sebagai sebuah cabang seni juga merupakan media yang massif bagi masyarakat. Walaupun ditengah geliat membaca yang masih minim, sastra diharapkan dapat menjadi stimulan yang dapat melakukan pencerdasan massa.

Genre sastra yang berelevansi dengan agama dalam referensi kesusasteraan inggris klasik dipicu pada tahun 1620-1660 yang disebut dengan periode puritan. Puritanisme disebut sebagai gejala keagamaan yang mengedepankan keinginan untuk menjaga kemurnian dalam beragama dan hidup sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang ketat. Sejarah dunia dengan jelas menggambarkan proses lahirnya puritanisme sebagai iringan terhadap reformasi Protestan dan berdirinya gereja anglikan pada abad ke-16 yang kemudian menjadi pemicu lahirnya sastra yang memiliki relevansi denan agama. Ragam sastra yang muncul adalah puisi metafisis

Di Indonesia sendiri perbincangan mengenai sastra religi juga berkembang dan banyak pula pro kontra persepsi. Contoh kasus awal kontra persepsi pada roman “Tenggalemnya Kapal Van Der Wijck” dan “ Di bawah Naungan Ka’bah” kaya Hamka. Perkembangannya kini, sastra yang bernafaskan religi, dan dalam konteks Islam (konteks pembicaraan kita lebih khusus kepada sastra Islami), kita mengenal majalah An-Nida yang memotori majalah sastra yang memuat karya-karya sastra bernafaskan Islam. Selain itu komunitas FLP yang juga memiliki publishing house yang melahirkan novel-novel yang hampir seluruhnya bernafaskan Islam.

Fenomena ini menggambarkan sebuah semangat dakwah (penyebaran nilai) melalui sastra. Pemanfaatan media sebagai alat dakwah merupakan alternatif strategis sebagai upaya sinergis dengan upaya-upaya dakwah yang lain (misalnya dakwah bil lisan). Kalau dirasa, dakwah bil qolam dapat efektif karena dapat menjangkau orang secara privat, sehingga langsung mengena dengan subjek pasif dakwah.

Sastra juga berkorelasi erat dengan industri penerbitan. Ada sedikit perbedaan orientasi saat naskah ada di penulis dan ketika sudah di penerbit. Sebagai salah satu bentuk industri tentunya tidak bias menggantungkan sekedar pada modal semangat dakwah atau pada modal idealisme. Kekuatan modal akhirnya mulai mempengaruhi dunia penerbitan. Posisi untung rugi tentunya menjadi focus yang lebih mendapat perhatian. Kemudian terjadilah kapitalisme dalam dunia penerbitan. Hal ini berpengaruh pada kualitas pemasifan karya sastra. Proses filter dan selektif terhadap karya sastra menjadi disampingkan. Esensi karya sastra tidak menjadi hal yang penting dalam keputusan menerbitkan sebuah karya. Karya yang ecek-ecek pun dapat terbit apabila ada kekuatan modal dibelakangnya. Penerbit tidak mau menanggung resiko kerugian apalagi di tengah kondisi perekonomian bangsa yang semakin merosot yang memaksa tiap individu untuk lebih membanting tulang demi memenuhi kebutuhan perut. Hal itu dapat terlihat pada fenomena yang berkembang saat ini. Novel-novel kontemporer lebih populer daripada karya-karya para sastrawan yang sarat nilai-nilai kehidupan. Hingga muncul sebuah istilah antara “karya berkualitas” dan “karya laris”. Dua idiom itu muncul karena ternyata kenyataan yang terjadi adalah karya yang laris belum tentu yang berkualitas atau sebaliknya. Jika dalam blantika film, kita mengenal adanya box office, maka disini ada pernyataan bahwa buku-buku yang masuk dalam box office ternyata bukan karya-karya maestro yang berkualitas. Hal ini karena ada kekuatan modal untuk lebih mempublikasikan karya-karya ecek-ecek di tengah masyarakat. Idealisme penerbit yang semakin dikacaukan oleh pengaruh modal ini akhirnya berdampak pada degradasi esensi karya sastra yang berkembang di tengah masyarakat.

Berkorelasi dengan sastra religi, kini karya-karya sastra bernafaskan Islam sedang booming, apalagi di bulan Ramadhan. Akhinya tak pelak novel-novel bahkan hingga tayangan televisi dikemas dalam balutan Islami. Namun, kalau diawal kita menyebut ada semangat dakwah, maka disini semangat yang muncul adalah semangat kapitalis, semangat pasar yang melihat Umat Islam sebagai pangsa pasar yang menggiurkan bagi produk sastra yang dikemas Islami. Apakah kemudian sastra berkemasan Islami itu masih menyisakan semangat dakwah yang dapat kita indikasikan melalui isinya?

Perbincangan antara semangat dakwah sastra religi dengan semangat pasar memang bukan yang pertama kalinya. Melalui talkshow ini diharapkan menjadi salah satu upaya pencerdasan masyarakat (pembaca/ pemirsa) yang itu perlu dilakukan secara kontinuitas sebagai reminder untuk kita semua. Pengangkatan tema juga bukan semata-mata sebagai isu hangat yang mampu menarik audiens tapi diharapkan dapat menjadi sebuah wacana yang dapat dikaji secara komprehensif dan dapat meningkatkan wawasan kita baik yang merupakan subjek pasif (pembaca/penikmat sastra) atau subjek aktif (penulis,penerbit,dll). Acara ini juga rencananya sekaligus dalam rangka launching pembentukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) cabang Purwokerto.

-panitia-
Read more ...

MK dan Supremasi Norma : Sebuah Tahap Fundamental Revolusi Sistemik

=> gagal di lomba..soalnya salah tema..he..he...GANBATE!!!
(review dan spirit pada pancawarsa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)
Oleh : Shinta Ardhiyani U

Pendahuluan
Menurut pemahaman Trotsky , revolusi adalah organisme yang hidup setiap saat dan bergerak setiap waktu sampai pada batas yang telah ditentukan. Revolusi sistemik adalah strategi perubahan sosial yang mengakomodasi berbagai pendekatan dengan penentuan secara jelas tahap tahap langkah dan pencapaian yang diperlukan. Revolusi sistemik mengkonsepkan adanya aturan main (rule of the game) yang fair, up-to-date dan kredibel untuk dijadikan rujukan penyelesaian masalah bangsa. Aturan main tersebut adalah konstitusi kita (UUD 1945). Konsekuensinya perlu diciptakan sistem penjagaan konstitusi. Revolusi sistemik juga mengkonsepkan sebuah hubungan eksekutif dan legislatif yang sejaja serta menyertakan pula unsur yudikatif sebagai sebuah sistem kontrol, dimana ketiganya melakukan fungsi chek and balances sebagai pelaksana undang-undang. Revolusi sistemik memberikan sebuah tawaran konseptual yang menghindari adanya hubungan saling mengintervensi antar satu unsur dengan unsur yang lain. Lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang dicitakan sebagai sebuah penjagaan terahadap konstitusi serta merupakan point awal konsep negara hukum modern yang menjadi cita negara Indonesia, diindikasikan sebagai sebuah tahapan fundamentalis dari perjalanan revolusi sistemik di negara ini.


Kembalinya Kedaulatan Rakyat
Membangun sebuah negara tanpa memikirkan hukum sama saja dengan membangun sebuah rumah tanpa pondasi. Terwujudnya negara hukum yang ideal merupakan bagian dari cita bangsa Indonesia. Konstruksi negara hukum menekankan segala sistem yang berjalan pada negara berdasarkan pada hukum. Mengangkat hukum pada posisi tertinggi merupakan salah satu hal penting dalam gagasan negara hukum ini. Maka tak heran jika ada jargon inggris yang berbunyi “ the rule of law, not a man” yang tersirat makna bahwa bukan orang, politik, atau ekonomi yang menjadi acuan, namun hukum sebagai sebuah norma yang harus diangkat. Manusia yang mampu mengangkat norma tinggi adalah manusia yang beradab dalam hidupnya, maka untuk menuju sebuah masyarakat yang beradab perlu menjunjung tinggi norma. Hukum merupakan norma yang berlaku dalam tata sistem sebuah negara hukum.
Dalam upaya penegakan hukum, negara kita masih mendapat nilai miring. Ketidakadilan bukan hal asing di telinga. Supremasi hukum seolah menjadi hal yang utopis dalam hidup. Salah satu hal yang menjadi point supremasi hukum adalah bagaimana kita mampu menjaga konstitusi –sebagai sebuah norma- yang ada. Konstitusi kita – UUD 1945 – telah mengalami empat kali amandemen. Hasil dari amandemen ini menciptakan perubahan yang cukup fundamentalis. Perubahan yang mendasar dapat dicermati pada perubahan pasal 1 ayat (2) yang dulu berbunyi : dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, yang kemudian mengalami perubahan pada perubahan III dengan rumusan baru berbunyi ;” Kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar “. Redaksi awal mengandung makna adanya perpindahan kedaulatan dari rakyat kepada sebuah lembaga yang itu tersebut sebagai MPR. Maka dapat dikatakan kedaulatan itu kemudian hilang atau berpindah tangan. Padahal yang disebut dengan kedaulatan itu tak dapat diserahkan artinya kedaulatan tidak dapat dijual, digadaikan atau dihadiahkan. Kedaulatan adalah kepunyaan segala bangsa turun menurun. Kedaulatan tak berubah-ubah artinya kedaulatan itu tetap ditangan rakyat, tidak susut dan tidak berkurang. Kedaulatan bukanlah hak atau benda kekayaan yang dapat hilang- timbul, melainkan keinginan umum atau kekuasaan tertinggi yang kekal abadi, sama timbul–tenggelam kehidupannya dengan rakyat. Maka di perubahan redaksinya tersebut bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-undang dasar. Disini tidak terjadi perpindahan tangan atas kedaulatan, hanya saja kedaulatan itu tercermin melalui undang-undang yang dilaksanakan oleh pelaksana negara. Jadi undang-undang bukanlah pemberi kedaulatan tapi undang-undang merupakan pengejewantahan dari kedaulatan rakyat. Negara yang diwujudkan oleh Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan tertentu atas kehendak rakyat dan oleh karenanya negara tidak dapat menafikan kedaulatan rakyat itu sendiri. Kedudukan kedaulatan tetap ditangan rakyat dan tidak ditransfers atau dialihkan kepada lembaga negara, demikian kandungan maksud Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 perubahan. Apabila kedaulatan rakyat tersebut dialihkan kepada subuah lembaga negara tertentu maka kedaulatan rakyat akan beralih kepada negara yang artinya menimbulkan etatisme. Secara normative keberadaan negara didasari atas keperluan mengapa negara harus diadakan oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan, oleh karenanya negara tidak mempunyai tujuan tersendiri di luar maksud rakyat yang mendasari pembentukannya. Bagi rakyat, negara adalah sebuah instrument untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh rakyat.
Perubahan fundamentalis ini berkonsekuensi pada sistem ketatanegaraan di Indonesia. Menyangkut juga mengenai lembaga-lembaga pelaksana undang-undang. Berdsarkan amandemen UUD’45 maka tidak ada pemisahan lembaga tinggi dan tertinggi karena posisi semua lembaga-lembaga tersebut adalah sama sebagai pelaksana undang-undang. Dengan demikian hubungan antar lembaga negara tidak didasarkan pada hirarkis atas-bawah, melainkan sejajar yang masing-masing lembaga negara menjalankan sebagaimana fungsinya. Konsekuensi yang ada adalah sebuah pemisahan kekuasaan antara legislative, eksekutif, dan yudikatif, yang ketiganya berkedudukan sejajar tanpa subordinate. Sistem ini merupakan salah satu upaya dalam pembatasan kekuasaan. Kalau dicermati, konstitusi sebelum amandemen UUD ’45 menyiratkan sebuah kekuasaan yang tak terbatas oleh parlemen yang merupakan pemegang kedaulatan rakyat. Walaupun merupakan wakil rakyat namun tentunya parlemen juga memiliki kepentingan yang tidak selamanya mewakili rakyat. Maka kekuasaan perlu dibatasi karena setiap kekuasaan memiliki kecenderungan untuk berkembang enjadi kesewenang-wenangan, seperti kata-kata Lord Acton bahwa : “ Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Pembatasan kekuasaan dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan kedalam cabang-cabang yang bersifat “check and balances” sehingga dalam kedudukan yang sejajar dan saling mengendalikan satu sama lain. Dalam sistem inilah kemudian muncul Mahkamah Konstitusi. Lahirnya MK sebagai lembaga baru di bidang peradilan merupakan pengejewantahan dari upaya “check and balances”.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang merupakan hasil dari amandemen keempat UUD ’45 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). MK merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan MK merupakan sebuah gagasan baik untuk melakukan peradilan dalam perkara-perkara menyangkut konstitusi dan merupakan lembaga yang menjadi penjaga dari tegaknya konstitusi, maka tak heran jika MK sering disebut pula sebagai “ The Guardian of Constitution”.
Selain wewenang MK yang diatur dalam UUD ’45 pasal 24C, secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:
· Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
· Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;
· Memutus pembubaran partai politik; dan
· Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
· Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam usianya yang menginjak lima tahun ini, MK telah menorehkan sejarah baru dalam dunia hukum Indonesia. Untuk usia pancawarsa, prestasi MK bisa kita beri applaus sebagai reward dalam penjagaan konstitusi. Semenjak tahun 2003 – dimana MK baru didirikan-, tersebutlah beberapa perkara yang diselesaikan oleh MK yang juga menjadi sorotan publik. Perkara-perkara itu diantaranya :
1. Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2004, terdiri dari:
· Perkara PHPU Legislatif, berjumlah 273 perkara yang dikonsolidasikan ke dalam 44 permohonan, diajukan oleh 23 partai politik dan 21 calon anggota DPD.
· 1 (satu) buah Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, diajukan oleh pasangan calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid.
2. Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
3. Perkara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (PUU):
· UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
· UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
· UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
· UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
· UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
· UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
· UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
· UU No. 24 Tahun 2004 tentang Kamar Dagang Indonesia (KADIN).
· UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
· UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.
· UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota di Irian Jaya.
· UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
· UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
· UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
· UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005.
· UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
MK sebagai penjaga konstitusi telah mencoba membangun kesadaran konstitusi dalam hidup bernegara. Dengan adanya MK , kedaulatan rakyat juga menjadi terakomodir. Rakyat bukan sekedar menjadi objek dalam pelaksanaan konstitusi namun juga menjadi aktir dalam upaya kritis terhadap pelaksanaan konstitusi.
Reformasi konstitusi ini merupakan bagian fundamentalis dari tahapan dalam revolusi sistemik. Diibaratkan sebuah pondasi, penjagaan konstitusi adalah sebuag pondasi awal dibangunnya sebuah tatanan negara yang kokoh. Revolusi sistemik yang juga dapat menjadi sebuah strategi dalam transformasi sosial dapat terakomodir bilamana rakyat (sosial) mampu terakomodir kedaulatannya secara utuh. Hal itu juga terwujudkan dengan pengembangan MK sebagai lembaga peradilan. Titik tekannya, ada peran rakyat disana.
Munculnya MK – menurut Prof.Dr.Jimly Ashidiqie – juga mensyaratkan sebuah konsep negara hukum kontemporer. Tahapan konsep ini tak lain merupakan sebuah tahapan cita yang konseptual seperti diharapkan dalam teknis revolusi sistemik. Ada konsep baru yang diharapkan. Mendasarkan pada teori negara hukum klasik tentunya tidak begitu pas. Mengingat historika konsepsi Negara Hukum (Reechstaat) sebagaimana dibahaw oleh para ahlli sampai sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad ke-19 ketika Pengadilan Administrasi Negara itu sendii pada mulanya dikembangkan ; sedangkan Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri disamping Mahkaham Agung atas jasa Profesor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha negara meruapakan fenomena abad ke-19, maka pendailan tata negara adalah fenomena abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri uatama Negara Hukum kontemporer. Maka patut juga dipertimbangkan untuk merumuskan konsepsi negara hukum modern yang akomodatif pada kebutuhan era sekarang. Konseptual yang jelas dan terarah, itulah titik tekan pada gerakan revolusi sistemik yang perlu dilakukan pada bangsa ini. Bukan sebuah hal yang mustahil hal ini –dengan MK sebagai titik pemicu- akan menghasilkan negara hukum Indonesia dengan konsep yang independen. Apalagi jika mengingat ideologi hukum di negara kita masih banyak copy paste dari negara lain. Saatnya kita mengkonsep negara kita sendiri.
Di hitungan pancawarsa lahirnya, sejuta harapan diamanahkan pada MK. Semoga senantiasa menjadi penjaga konstitusi yang gigih.
DATA PENULIS
Nama lengkap : Shinta Ardhiyani Ummi
Alamat domisili : Jl.A.Jaelani 14 – Karangwangkal –Purwokerto
No.telp / hp : 0281-628588 / 085226904211
Pekerjaan : Mahasiswa
Fakultas : Fakultas ISIP (Ilmu Sosial dan Politik)
Universitas : Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto
NIM : G1A006167
Tempat tanggal lahir : 25 Mei 1987

Read more ...
Saturday, August 09, 2008

PROPORSIONALITAS HAK ASASI MANUSIA

Hukuman mati didefinisikan sebagai hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang atas tindak pelanggaran yang dilakukan. Data yang ada menunjukkan pada 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara termasuk di Indonesia. Hukuman mati sebagai salah satu sangsi yang diberlakukan dalam sistem hukum Indonesia menuai berbagai pro dan kontra persepsi. Sebenarnya pro kontra ini bukan sebuah hal yang baru di dunia hukum Indonesia. Pada zaman jaksa agung Abdul Rahman Saleh. Waktu itu yang dipertentangkan bukan masalah hukuman mati-nya. Hukuman mati tetap diperlukan sebagai upaya memberi efek jera, namun yang menjadi masalah adalah metode hukuman mati-nya. Pada saat itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengusulkan metode suntik mati, namun ide ini terhambat pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang tidak menyetujui rekomendasi ini.
Kontroversi hukuman mati yang marak akhir-akhir ini dimulai saat para terpidana mati tindak pidana narkoba dari Australia beramai-ramai mengajukan judicial review atas peraturan hukuman mati ini ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menganggap bahwa hukuman mati adalah sebuah tindakan yang telah memasung hak asasi manusia.
Ketika berbicara hak asasi manusia, kita seharusnya dapat bersikap proporsional. Hak memiliki keterkaitan yang erat dengan kewajiban. Manusia memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Hukum berfungsi untuk menjadi alat kontrol supaya semua berjalan seimbang. Hak hidup memang merupakan hak asasi manusia dan dapat disebut sebagai hak asasi yang paling asasi. Namun, dalam menjalankan fungsi hukum, hak semua manusia sama, termasuk hak korban yang telah diganggu oleh terdakwa. Disini asas keseimbangan harus berjalan. Dimana logikanya saat hak terdakwa dibesar-besarkan sedangkan terdakwa tidak menjalankan kewajibannya untuk menghormati hak orang lain. Ketika berbicara hak, maka harus kita proporsionalkan dengan kewajiban. Hak bukan sebuah hal yang harus kita dapatkan sepenuhnya dengan seenaknya. Hak bukan milik personal saja, tiap orang memiliki hak asasi masing-masing. Kita hidup bermasyarakat maka perlu diciptakan hubungan yang kontributif satu sama lain.
Hukum di Indonesi telah berusaha menerapkan keseimbangan hak bagi semua warga. Bahkan terdakwa juga masih memiliki hak pembelaan diri, masih ada asas praduga tak bersalah. Hukum telah menyediakan ruang seluas-luasnya untuk membela hak masing-masing. Tinggal bagaimana kita selaku subyek hukum serta para penegak hukum melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Penegakkan hukum memang sebuah harga mutlak untuk menjawab kontroversi yang berkembang. Jika kita siap untuk menjadi negara hukum, maka kita juga harus memahami posisi antara hak, kewajiban, serta fungsi kontrol hukum dalam kehidupan bernegara ini.

Shinta Ardhiyani U
Mahasiswa Jurusan Ilmu Budaya FISIP UNSOED (G1A006167)

Read more ...

Jadi cewek kudu mandiri!!!


Jadi cewek kudu mandiri!! Sebenarnya bukan Cuma cewek aja, kita semua juga harus mandiri. Menurutku sikap mandiri merupakan salah satu bentuk pengejwantahan dari ketauhidan seseorang. Ketika kita sudah mafhum dengan konsep ketauhidan maka ada konsekuensi independensi dalam hidup kita. Menjadi pribadi yang independent, menjadi orang yang mandiri!!yeah…itu yang menjadi hikmah konsep tauhid. Independensi disini adalah sebuah pemuliaan terhadap hargadiri seseorang, bahwa setiap manusia adalah mulia dan dapat berdiri dengan kaki sendiri (berdikari), diciptakannya makhluk lain adalah sebagai sebuah lahan amal atas ilmu yang kita miliki.
Dulu waktu aku kecil pernah aku berkata “ Ah, jadi perempuan itu enak, pengen jadi presiden kalo nggak bisa ya jd ibu presiden, nggak bias jd dokter ya jadi istrinya dokter”. Kalimat itu aku nilai sekarang sebagai kesan bahwa nilai perempuan hanyalah sebatas apa yang dilakukan suami. Trus apa jadinya donk kalo jodohnya itu tukang becak atau kuli panggul??? He3.
Kini menurutku, cewek harus mandiri. Kalo menurut SBY, tiga pilar pada sebuah kebangkitan itu : pengetahuan, kemandirian, dan peradaban. Yup, cewek sebagai bagian (yang konon secara kuantitas, prosentasenya lumayan besar) masayarakat harus bisa membangun kemandirian untuk menciptakan sebuah peradaban masyarakat yang diridhoi Allah.
Aku melihat kondisi sosiologis terkadang justru mengangkat perempuan sebagai sosok yang mandiri. Ok, laki-laki emang punya kewajiban untuk bertanggungjawab pada kebutuhan materi keluarga, tapi bukan berarti cewek nggak bisa. Cewek bisa tapi nggak wajib. Cewek punya kewajiban lain yang sama pentingnya, hanya pembagian tanggungjawab saja.
Dan aku pikir, kemandirian harus sudah diasah sejak dini. Kemandirian bukan hanya sebatas pada materi saja. Tapi cewek juga harus punya kemandirian dalam berfikir, menyelesaikan masalah, dan mengambil keputusan. Mandiri itu bisa aku identikan bahwa cewek juga harus thinthank alias berfikir cepattepat!!! Kata siapa cewek cenderung pake perasaan aja sehingga secara pemikiran ia lemah dan kemudian mudah dipengaruhi??? Laki-laki juga banyak yang terlalu memakai perasaan. Hanya saja implementasinya kadang lebih terlihat rasional. Perdebatan-perdebatan yang sering emosional, reksioner, yang kadang juga berimbas pada tindakan fisik, apa namanya kalo nggak terlalu pake perasaan?kalo rasional ya tentunya bisa berfikir jernih duonkzzz!!!ya nggak???
So, buat semua cewek, kita harus mandiri baik dalam hal materi, pemikiran, pengambilan sikap, dll... Pokoknya, jadi cewek kudu mandiri!!!tul nggak???

-nta-

Read more ...

BABAD KULI MIMPI

(sebuah cerpen)
Detak malam seperti malam-malam kemarin kini mulai bermain dengan monitor. Sinar biru menyilaukan memancar dari monitor PC Pentium tiga yang mungkin sudah terbilang jadul di era kini. Di era dimana semua sudah serba speed. Bahkan komputer saja sekarang sudah bisa dimasukkan di tas. Selain praktis ternyata , gaya itu menyimpan nilai prestise. Entah sudah berapa ratusan ribu unit laptop yang dikantongi masyarakat, namun tetap saja perkembangan dan kreativitas orang-orang di Negara ini selalu dalam ranking terendah berdasar statistik. Data statistic pun entah dari mana juntrungnya, sekonyong-konyong menyajikan data yang terkadang justru membuat orang skeptis. Tak pelak dibalik itu tersusun skenario untuk kepentingan-kepentingan yan kadang pragmatis semata.
Yeah….itulah realitas. Terkadang realitas sulit untuk diterima…semua terasa begitu berat, namun itulah nyawa kita. Kalau kata orang bijak, terkadang kita perlu berkhayal, bermimpi untuk mendongkrak semangat, mimpi itu identik dengan indah. Mimpi indah..itu yang selalu menjadi semangat manusia untuk terus berjalan menapaki realitas hidup yang perih. Mengejar mimpi walau itu belum pasti. Namanya juga mimpi. Tapi, bermimpi juga tak bias disebut mudah. Siang tadi , tawaran yang mungkin lebih tepat disebut dengan tantangan itu membuat layer monitorku malam ini kosong.
“Ji, ada job nih!sanggup nggak kamu?”
”Job ya berarti duit, apa yang nggak sanggup buat duit ron!!!he..he...he...”
”Nih”
Jenak berikutnya justru Roni yang dibuat terkekeh melihat ekspresiku yang penuh kerutan. Parau tawanya mempertanyakan kata sanggup yang tadi aku umbar. Kini lembar tawaran job itu ada tepat disamping monitorku. Tawa Roni terdengar sebagai sebuah hinaan di telingaku. Gila kali, seorang penulis kesohor seperti Aji ini tidak sanggup untuk membuat cerita fiksi. Ya, fiksi!!itu sebenarnya yang mampu membuat dahiku berkerut dari siang tadi. Tawaran untuk membuat naskah film tiba-tiba menyapaku. Bukan film dokumenter yang seperti ada di rak penyimpanan koleksiku. Ini benar-benar naskah fiksi banget. Pena dan kisah memang bukan hal yang baru dalam hidupku. Tapi yang satu ini selain pesimis, mungkin ada alasan ideologis yang seperti menjadi mistar penghalang untuk menghadapinya.
***
”wah...cerpenku dimuat lagi wo!cihuii...!!!” Girangnya hatiku saat membuka halaman sastra sebuah media massa lokal. Bowo dan teman-teman lain yang sedang santai di teras kos-kosan, langsung merangsek untuk ikut melihat lembaran koran yang membuatku teriak girang pagi ini.
”Mujur kamu Ji!”
”Makan-makan nih...”
”Tenang aja coy....kalo cair semua kenyang” sahutku yang disambut gelak dari semuanya.
Sebagai mahasiswa jurusan sastra, aku bangga bisa membuktikan bahwa karya sastraku mampu diakui media. Masalahnya aku agak gerah melihat ratusan mahasiswa sastra yang mandul karya. Pragmatisme sempit mengenai dunia kuliah membuat mereka kebanyakan menjadi tipikal mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang. Tidak ada yang salah memang kalo memang watu ”kuliah-pulang” itu bisa dimanfaatkan. Tapi yang ada, mereka rata-rata masuk kuliah dan khususnya jurusan sastra (karena jurusan ini yang aku lihat sehari-hari) hanya sekedar alih jenjang dari SMA dan bisa lulus dapet ijasah kemudian nglamar kerja. PNS masih menjadi primadona bagi para sarjana seperti itu. Tiap tahunnya puluhanribu sarjana beramai-ramai melamar kerja menjadi PNS atau bahkan menjadi buruh-buruh kapitalis.
Negara ini memang miris. Bukan Cuma pemerintahnya, rakyatnya ya sama saja. Sistem yang bobrok telah membobrokan mental manusia-manusia yang hidup di antara dua benua dan dua samudera ini. Katanya pengen pinter tapi nggak mau berkembang. Maunya stagnan saja, yang penting terima jadi, terima enak. Keluar kampus, mengantongi ijasah dengan harapan jaminan kerja. Kalo nggak keluar-keluar ijasahnya, berarti lacinya seret, harus dilicinkan. Akhirnya untuk jadi seorang profesor sekarang bukan hal yang sulit, yang penting punya pelicin, semua urusan jadi beres. Wong semua sekarang udah jadi mata duitan semua kok. Orang yang kaya aja mata duitan, yang miskin ya lebih-lebih. Nggak kaya nggak miskin, kalo liat duit segepok ya semua mata-nya ijo. Moral itu yang nggak bisa diukur dari kaya-miskin seseorang, tapi pasar sudah men-setting semuanya. Sekarang yang anomali tapi dibutuhkan adalah orang-orang yang punya indendensi dan mau berkarya. Walaupun sulit, orang-orang jenis spesies ini Alhamdulillah masih ada di negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Ya, kata orang-orang tua kalau disekelompok orang masih ada orang yang bener, Gusti Allah menunda kiamat. Wah...pantesan dari dulu orang gembar-gembor kiamat sudah dekat tapi kok nggak dateng-dateng ya!! Rupa-rupanya sekarang lagi delay alias injured time.
Makan duit honor cerpen memang bukan pengalaman yang kali pertama buatku. Semenjak duduk di sekolah dasar, temanku adalah pena dan kertas. Semua isi hati dan pikiran sering diobrolkan dengan pena. Suka nulis ya karena suka baca. Kalo kata pak Imam, dosenku, orang yang mau nulis, mau ngomong, ya harus mbaca dulu. Jadi yang ditulis itu nggak ngawur. Di Al-quran juga ayat yang katanya pertama turun memerintahkan umat Islam untuk membaca.
Ya, aku pikir, membaca sangat penting. Membaca juga berarti melihat lebih dalam. Kalau Cuma melihat kita tidak tahu apa isinya. Melihat yang benar ya dengan membaca itu. Membaca apa saja termasuk membaca kehidupan ini.
Waktu-waktu berikutnya aku telah dikenal sebagai penulis. Wah...itu gelar yang bagi aku sangat menyanjungkan. Dari dulu itu cita-cita yang ingin aku capai. Dulu sempat buat novel. Malah salah satu novel itu aku buat dengan mesin ketik manual dan berhasil tersusun sebanyak 200halaman lebih. Walaupun akhirnya novel-novelku tak jelas nasibnya di meja penerbit. Ya, semangat itu masih ada sampai sekarang, sampai aku jadi mahasiswa tingkat akhir di sebuah kota kecil. Dulu aku pikir akan menjadi sebuah kekonyolan saat aku masih bermimpi menjadi penulis. Tapi nampaknya mimpi memang selalu menjadi kunci. Selain jadi semangat, mimpi jua lah yang menjadi modal-modal narasiku selama ini. Ya, aku bilang selama ini aku menulis mimpi. Menulis hal-hal yang imajinatif. Apapun itu. Dan itu menjadi sensasi tersendiri saat aku bergumul dengan mimpi-mimpiku, dengan khayalan-khayalan yang kemudian aku tulis. Saat menulis khayalan itu aku merasakan bahwa mimpi itu nyata, mimpi itu terwujud. Walaupun kemudian aku tersadar ketika terbentur pada realitas dimana diantara keduanya ada jarak estetika yang lumayan jauh. Katanya sastra merupakan refleksi dari kehidupan sosial masyarakat. Namun, sastra-sastra yang ada sekarang tak lebih dari bualan kosong tanpa makna. Atau, justru itulah realitas masyarakat yang memang hanya hidup diantara mimpi-mimpi dengan enggan untuk bergerak. Kalo orang bilang, gimana Indonesia bisa maju kalo kayak gini terus??
***
Bergerak, berbuat. Itu prinsipku sekarang, prinsip seorang Aji Notosastro. Mungkin sudah bertahun-tahun lebih bangsa ini lupa dengan Aji sang penulis fiksi. Tercatat di sejarah pun tidak apalagi menjadi salah satu bahasan dalam mata kuliah sejarah kesusastraan. Mimpi! Ya, mimpi kini menjadi sebuah hal yang absurd dalam hidupku. Selain karena sifatnya yang memang absurd, aku lebih merasa berbuat saat ada ruh realitas dalam tulisan-tulisanku sekarang.
”Berangkat kerja Ji?”
”Nggih pak, pareng....!”
”Monggoh...”
Di belahan ibukota ini, aku masih bertemu dengan saudara yang sekampung. Ya, setidaknya itu bisa jadi penghibur yang sejuk bagi kedua belah pihak, untukku dan untuk Pak Agung, tetangga rumah yang selalu rajin menyapaku disaat ku berangkat kerja. Siang-siang tanggung memang menjadi waktu yang pas buat pak Agunng , seorang pensiunan, untuk bersantai di teras rumah. Sambil menunggu cucunya pulang sekolah, ditemani secangkir teh dan cemilan sekedarnya, dia masih sempat membaca kehidupan yang berjalan. Mungkin dia sadar bahwa kemampuan matanya kini sudah berdekadensi untuk membaca tulisan baik di koran, buku, atau jurnal. Tapi dia masih punya mata hati untuk membaca jalannya realitas. Sosok kebapakkan yang ramah yang selalu membekaliku dengan sapaan renyah sebelum berangkat ke kantor. Kantor...yeah..aku punya kantor. Dimana aku bekerja untul mensortir tulisan.
Tidak jauh dari tulisan. Lagi-lagi tulisan. Selain mengisi rutin sebuah kolom di surat kabar, kini hidupku harus memiliki rutinitas menyortir tulisan-tulisan yang akan dimuat. Nampaknya aku ditakdirkan berjodoh dengan goresan pena. Tapi setidaknya kini aku yakin bahwa tulisan itu bukan mimpi, tulisan itu bukan khayalan. Bukan sekedar karena aku tak menulis cerpen lagi. Aku memang kehilangan gairah untuk menulis fiksi. Muak dengan khayalan-khayalan yang kucipta sendiri. Apalagi realitas yang ada, khayalan-khayalan yang sekarang berkembang di masyarakat lebih kepada bualan kosong yang tidak mendidik, kalau dijadikan tontonan, itu tontonan yang bertuntunan, yang hanya dijadikan bulir-bulir para kapitalis. Benturan realitas yang menjadikanku bergeser jalur untuk lebih berkarya pada sebuah hal yang logis untuk dapat terimplementasikan dengan gamblang pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat kini.
Adzan fajar menyadarkanku untuk ambil wudhu dan sejenak menjalankan salah satu kebutuhan rohaniku. Walaupun kata Freud, ini adalah salah satu gejala neurotis. Tapi biarlah. Nampaknya memang dunia ini dipenuhi dengan orang-orang gila. Setidaknya aku tidak psikosis. Saat ini jiwaku memang terganggu ditengah kebingungan bahwa aku tertantang untuk menulis mimpi lagi. Tapi dengan prinsip rasionalismeku, kini tantangan itu mengharuskan aku menciptakan mimpi yang bisa jadi tuntunan. Duh gusti....masihkah aku bisa bermimpi???!!!!
Purwokerto, Agustus 2008

Read more ...

PEMENUHAN HAK FLORA FAUNA


Sebagai negara yang terletak di wilayah tropis, adalah sebuah konsekuensi bahwa indonesia mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Perputaran musim tersebut mengakibatkan adanya perubahan beberapa tata susunan alam. Jika musim hujan, otomatis kandungan air menjadi berlebih dan hal sebaliknya terjadi pada musim kemarau.

Selain fenomena siklus alam, di Indonesia kini juga sedang mengalami fenomena bencana alam. Berdasarkan data statistik, peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Ketika berbicara alam dan bencana, kita seolah menjadikan manusia sebagai satu-satunya korban, sebagai satu-satunya subjek. Padahal di muka bumi ini, kita hidup bersama hewan dan tumbuhan. Kita sering lupa bahwa hewan dan tumbuhan merupakan bagian dari masyarakat bumi yang memiliki peranan masing-masing.

Populasi flora dan fauna di Indonesia semakin tahun semakin berkurang. Tidak adanya jaminan perlindungan serta nafsu duniawi manusia yang tak terbendung menjadikan siklus alam ini bukan sebatas penyeimbang alam namun bisa menjadi ancaman bencana tiap perputaran musim.

Banjir bandang yang tampaknya sudah menjadi bencana rutin sebenarnya tidak akan terlalu sering terjadi jika masih ada ruang-ruang penyimpanan air yang itu telah diatur sedemikian rupa oleh siklus hidup tumbuhan bersama alam. Hal yang sama juga terjadi pada bencana kekeringan. Hewan serta tumbuhan juga memiliki rantai kehidupan yang apabila punah salah satu untaian rantainya maka akan terjadi ketidakseimbangan siklus alam. Maka kewajiban manusia untuk memahami rantai kehidupan hewan dan tumbuhan serta menjaganya agar tidak terputus.

Saat ini bukan sekedar hak asasi manusia saja yang perlu diperhatikan. Hak hewan dan tumbuhan adalah hal yang perlu kita perhatikan. Hewan dan tumbuhan diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati hasilnya. Mereka juga makhluk hidup yang hidup berdampingan bersama manusia. Mereka juga punya hak ruang di bumi ini. Pemerintah sebegai pengelola negara bertugas mengatur masyarakat yang ada dalam lingkup wilayahnya. Masyarakat bukan sebatas manusia, tetapi juga hewan dan tumbuhan. Dengan tidak adanya kesadaran bahwa hewan dan tumbuhan sebagai warga masyarakat yang patut dipenuhi haknya, berarti pula bahwa kita tidak siap untuk hidup dengan makhluk lain, dan kita tidak siap untuk hidup dengan siklus alam ini.(nta)

Read more ...

Wajah aktivis dakwah???

(sebuah tulisan yang alurnya mungkin sangat kacau, sekacau hatidan pikiranku memikirkan fenomena yang terjadi di kalangan teman-teman aktivis. Salam hangat buat teman-teman HMI)

Teriknya siang purwokerto cukup membuat kaki bergegas dan bayangan nyamannya singgasana kapuk mulai menari dalam jenak. Aku tak ingat persis waktu itu hari apa, yang pasti jadwal UAS masih dalam klimaksnya. Saat ngobrol santai, tanpa sengaja bertemu dengan salah satu rekan aktivis satu organisasi. “Assalammualaikum, hai ngapain mas disini?”. Sapaan renyah dariku yang kemudian aku ikuti dengan menundukan pandangan dan istighfar dalam hati. Pasalnya aku risih dengan penampilan sang ikhwan yang dengan cueknya menggunakan kaos dan celana kolor saja (sebatas lutut..bahkan diatas lutut). Dalam hatiku aku berkata “duh akhi.....”.
Hingga diatas angkot akupun masih memikirkan hal itu. Aku rasa ini bukan sekedar permasalahan celana kolor. Aku cukup yakin bahwa dia sudah baligh dan mengetahui batas aurat. Mungkin khilaf saja yang menjadikan dia berkeliaran ke tengah kota (kampus sastraku itu tengah kota lho bo terpisah dari kampus UNSOED pusat yang terpencil di desa!!!he3). Apalagi ketika tahu bahwa maksud dia bertandang ke kampus sastra adalah untuk menemui salah satu gadis. Entah aku tidak tahu sejauh mana hubungan mereka. Yang pasti sieh si perempuan sering menanyakan sang ikhwan itu padaku karena dia tahu dia satu organisasi denganku. Yups, itu yang menjadi ganjalan, dia satu organisasi denganku dan aku tahu persis posisi dia sama denganku di organisasi walaupun kita beda komisariat.
Satu hal yang aku tekankan adalah mengenai cara pergaulan teman-teman. Kejadian diatas adalah salah satu sketsa saja. Beberapa hari yang lalu saat aku bertandang ke teman-teman di bagbar, salah satu kabar membuatku tercengang. “ Jeng...tau nggak, mas X itu pacaran sama Y lho!!!”. Whatss??? (Mas X itu yang aku pahami adalah salah satu senior di organisasi kita khususnya di lembaga kekaryaan).
Trus tambah kaget pula ketika tahu bahwa sebagian besar motivasi temen-temen akhwat yang giat di media organisasi kita adalah karena “nge-fans” sama sang arjuna yang kebetulan jadi penjaga gawang media tersebut. Duh ukhti....logika mana yang bisa menjelaskan korelasi positif antara produktifitas, perjuangan, dan godaan hati.
Aku rasa nggak usah jauh-jauh kesana, fenomena teman-teman baik di komisariat dan cabang telah menunjukan munculnya degradasi etos perjuangan. Tak pelak aku kadang menitikkan air mata, Rabbi....tetapkan aku di jalan perjuangan ini untuk menuju ridhoMu!!!
Bukan berarti aku mo sok alim, sok suci dengan berkata-kata seperti ini. Kalau melihat seorang shinta dalam keseharian, aku mungkin bukan sesosok akhwat anggun berjilbab besar yang senantiasa santun. Namun, setidaknya aku punya prinsip!!aku punya azzam di jalur perjuangan ini. Terlalu idealis??mungkin.... namun tak masalah, bukankah idealis itu adalah sebuah upaya untuk mematrikan sebuah prinsip dan karakter diri???
Bukan berarti pula aku membuka aib organisasi, toh bukan di organku saja, di organ gerakan mahasiswa lain aku lihat sama saja. Jangan kira kalo udah jilbab lebar atau jenggot tebal kemudian tak tersentuh oleh penyakit hati. Banyak kenyataan yang aku lihat sendiri, masih banyak diantara kita yang berstatus aktivis—bahkan ada yang terang-terangan mengaku sebagai aktivis dakwah—yang terperosok dalam lingkaran nafsu (misalnya pacaran). Mungkin bukan pacaran secara langsung (definisi pacaran disini adalah sebuah hubungan lawan jenis yang tidak disertai dengan tanggung jawab jelas untuk melanjutkan ke hubungan yang halal), apalah istilahnya : HTS, TTM, kakak ketemu gede, adhe ketemu gedhe, dll. Yang pasti satu garis merah, ada ketergantungan diantara keduanya. Kalau ini dikorelasikan pada konsep independensi di khittah perjuangan, maka ini merupakan salah satu dependensi yang kita lakukan dalam konteks hati.
Jika aku boleh bertanya kepada rekan-rekan seperjuangan, seperti apa teman-teman memaknai organisasi sebagai alat perjuangan, sebagai alat dakwah?? Tantangan dakwah serta PR kita semakin hari semakin bertambah, permasalahan masyarakat yang sangat kompleks menantikan uluran pemikiran dan tindakan kita.
Ok, aktivis juga manusia. Mereka punya hati,mereka punya perasaan. Cinta itu fitrah. Semua orang pernah jatuh cinta, saya sendiri setiap hari juga merasakan cinta.
Namun bukan permasalahan jatuh cinta atau tidak, tetapi bagaimana kita memanajemen cinta itu. Bisa dimaklumi bahwa tidak semua orang dengan mudah menerima hal ini. Semua butuh proses. Saya juga dulu seperti itu. Masih teringat di benak saya dua tahun yang lalu saat seorang ikhwan salah satu member KAMMI berkata pada saya : “ Shinta sudah memiliki karakter seorang uswah, satu hal yang perlu dilakukan, putuskan hubungan dengan ikhwan itu, kalau tidak lebih baik ke jenjang selanjutnya”. Kurang lebihnya seperti itu, aku lupa detailnya seperti apa. Kata-kata beliau benar tapi salah. Ya, maksudnya baik. Namun, yang esensi adalah bukan kita punya hubungan atau tidak, atau pacaran itu boleh atau tidak, tapi yang terpenting adalah kenapa pacaran, kenapa boleh dan kenapa tidak boleh. Itu baru yang dinamakan pendewasaan. Saya pun waktu itu tidak serta merta menerima saran itu. Namun, dikemudian hari aku baru merasakan, bahwa sebenarnya bukan permasalahan pacaran atau nggak pacaran, tapi secara tidak langsung hubungan yang aku jalin waktu itu memang membuat aku merasa stay di zona nyamanku. Orang yang merasa ingin selalu dalam zona nyaman membuat mereka tidak berkembang, tidak kreatif, dan merasa sudah sampai pada finnaly. Padahal, hidup ini perlu perjalanan dan pemikiran panjang untuk dimaknai, dengan karya dan perbuatan.
Ups, sori jadi ngelantur n curhat. Ok, balik ke fenomena aktivis sekarang. Tulisan ini sebenarnya aku buat specially buat temen-temen seperjuangan di hijau-hitamku tercinta. Jujur, kalau aku ingat fenomena degradasi moral dan etos perjuangan seperti itu, aku merasa kabur dengan jalan perjuangan ini, aku merasa absurd. Setiap saat aku mencoba meluruskan niat dan memupuk semangat perjuangan ini dengan salah satu motivasinya bahwa kita berdakwah jama’i, kita berdakwah bersama-sama, perjuangan ini kita lalui bersama. Namun, benarkah itu???apa benar kita sama-sama dalam jalan perjuangan ini??? Ya, aku yakin Allah bersama kita, namun siapa “kita”? Jangan-jangan kalian seperti Ruben Onsu yang berkata “ kita???loe aja kali, gue nggak!!!”. Miris!!perih!! Padahal perjuangan ini sebenarnya buat makna hidup kita sendiri. Bukan berarti kita seorang dermawan yang melakukan amal sosial banyak untuk orang lain, namun menurutku ketika kita berbuat untuk orang lain sebenarnya itu untuk diri kita sendiri.
Organisasi kita, alat perjuangan kita, meruapakan organisasi pengkaderan dan perjuangan. Fenomena degradasi moral kader merupakan indikasi ada yang lalai dalam sistem pengkaderan yang kita jalani selama ini. Kita disini bukan Cuma berhimpun, ada sebuah hal yang membuat kita beda dengan teman-teman lain diluar kita. Bahwa kita punya tekad, kita punya sebuah cita-cita tentang sebuah peradaban masyarakat mardhotillah. Bukan berarti kemudian kita harus menjadi orang yang disimbolkan dengan jilbab lebar, kalau jalan harus senantiasa menunduk, jenggot tebal, celana digulung diatas mata kaki, dan lain-lain. Ini bukan sekedar pencitraan atau bermain peran. Citra adalah sebuah aura yang akan keluar dari dalam diri yang merupakan pengejewantahan dari penemuan identitas diri. Se-slengekan apapun, ketika ia memang memiliki karakter dan prinsip dari yang kuat, aura serta wibawa akan keluar dengan sendirinya. Tidak perlu harus memaksakan mem-fitting kostum sesantun mungkin dalam upaya membantuk image diri. Kita bukan mo jadi aktor ataupun artis hollywood bung!!! Kepribadian dalam diri, itulah yang akan orang lihat dan hargai. Lagipula, Islam juga tidak membatasi karakter manusia. Setiap manusia adalah unik, punya ciri khas karakter masing-masing.
Kawan, perjuangan ini bukan sebuah dongeng ataupun roman yang cukup kita ukir dalam satu dua bait tulisan. Ini bukan karya sastra, walaupun dunia ini katanya hanya sandiwara. Teman, jalan yang kita lalui begitu terjal, namun aku rasa teman –teman punya pribadi dewasa yang bukan bersikap lari dari keterjalan itu, namun berani menghadapi tajamnya kerikil dengan sikap penuh ksatria. Wajar memang kalau interaksi kita memiliki resiko adanya sesuatu yang hinggap di hati. Justru itu tantangannya, justru disini kita diuji ketulusan dan keistiqomahan perjuangan kita. Manusia pada umumnya juga sebenarnya seperti ini, bukan sekedar aktivis. Godaan libido pasti ada, seksualitas manusia ada sejak lahir. Mulai dari tahapan polymorphous perversity ,oral, phalic, dan seterusnya hingga latency. Serta satu hal yang perlu kita ingat, bahwa manusia punya akal. Kalau sekedar menurutkan libido, tanpa keseimbangan akal sehat, apa bedanya kita dengan hewan??
Kalau wacana ini lebih terkhususkan pada teman-teman aktivis, ada pengaruh juga dengan realita wakil rakyat yang tercoreng nama baiknya gara-gara permainan seks. Aku rasa hal inilah yang perlu dibina dari muda. Saat menjadi mahasiswa, saat menjadi aktivis. Disinilah pengkaderan memainkan perannya, bukan berarti memposisikan kader sebagai objek, namun bersama-sama bergerak, watawashoubilhaq, saling mengingatkan untuk bersama-sama menjadi pribadi yang lebih baik.
Untuk rekan-rekan di hijau hitam tercinta, mari terus berbenah diri, HMI memang bukan sekumpulan manusia sempurna, namun manusia yang mau berproses dari sebuah hal yang tidak tahu menjadi tahu, from zero to hero, terus semangat, luruskan niat, jaga hati, optimalkan potensi fikir dan dzikir, dan YAKIN USAHA SAMPAI!!!
Perhaps, thats enough. But, i believe that its not enough just for writen. So, lets to do!!! YAKUSA!!!

Nb : sebenarnya tulisan ini belum selesai. To be continue...dengan format yang lebih baik lagi. Insya Allah!!!

Read more ...
Saturday, August 02, 2008

Religio Politik dan Pengayaan Kosakata

tulisan ini dan tulisan menarik lainnya dapat dilihat di hminews tercinta
"Islam itu damai, hanya orang yang berjiwa amat besar yang memiliki nyali untuk bertemu langsung dan berdamai,"
Statement itu yang diungkapkan oleh wakil presiden Jusuf Kalla pada saat pembukaan kongres HMI (DIPO) di Palembang, senin lalu. Kalimat itu ditujukan sebagai tanggapan atas “tekad damai” antara ketua PB HMI (DIPO), Fajar Zulkarnaen dan ketua PB HMI (MPO), Syahrul Effendi Dasopang. Komentar tersebut menyiratkan bahwa tindakan islah yang dilakukan oleh HMI (DIPO) dan HMI (MPO) adalah tindakan terpuji, sebuah akhlakul mahmudah.
Penggunaan istilah islah – serta istilah lain - kini bukan sebuah hal yang asing di dinamika perpolitikan dan juga menjadi kekayaan tersendiri dalam perbendaharaan kosakata di Indonesia. Perubahan konstelasi politik dalam beberapa fase memberikan pengaruh pada penggunaan kosakata. Pada era Soekarno kita mengenal adanya kata-kata seperti : antek, kapitalis, marhaen, Nasakom, Manipol, Usdek, jas merah, dll. Kata-kata yang muncul berpusat pada kata revolusi ( Bahasa dan Kekuasaan , 1996). Kemudian berbeda lagi kondisinya ketika orde baru. Pada era ini, kosakata yang muncul berpusat pada kata pembangunan. Kosakata yang muncul lebih bersifat eufimistik. Eufimisme yaitu suatu upaya untuk melakukan pelembutan atau penghalusan dalam penyebutan. Eufimisme pada awal penggunaan dimaksudkan untuk mencapai kesantunan bahasa melalui konsensus baru. Maka kita mengenal kata-kata “kurang pangan” untuk mengganti kata kemiskinan, kenaikan tarif disebut sebagai penyesuaian, karyawan yang dipecat diberi istilah pemutusan hubungan kerja.
Pada saat kongres VII Bahasa Indonesia di Jakarta, 26 Oktober 1998 Presiden BJ Habibie menyampaikan dalam sambutannya untuk menjauhkan penggunaan eufimisme. “Gunakan bahasa yang lugas. Tidak perlu menyembunyikan kenyataan pahit yang dihadapi dengan cara membungkusnya dengan istilah-istiah yang dapat mengaburkan kenyataan,” tegas presiden (dikutip dari Kedaulatan Rakyat, 27/10/1998). Pemikiran ini muncul melihat karakter orde reformasi yang begitu beringas dan bersemangat. Seolah ada gumpalan yang terendap dari dulu dan ingin diluapkan seketika itu. Kemudian munul kesadaran akan transparansi, keterbukaan , maka penggunaan bahasa dituntut untuk transparan dan kritis. Hal ini didukung dengan kebijakan kebebasan pers yang diberlakukan yang dianggap sebagai salah satu manifestasi reformasi. Berikutnya dinamika kebahasaan sinergis mengikuti perubahan iklim politik di negara ini.

Era yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah munculnya pengaruh religio politik dalam bahasa. Sidang Umum MPR 1999 menghasilkan Gus Dur sebagai presiden dan Amien Rais sebagai ketua MPR. Keduanya merupakan tokoh yang berasal dari organisasi Islam yang besa. Momentum ini dapat dicatat sebagai tumbuhnya iklim religio politik di Indonesia. Bahasa yang merupakan simbol menangkap munculnya kosakata berbahasa arab dalam wacana politik. Hal ini dikarenakan bahasa yang lebih dominan dalam komunikasi agama adalah bahasa arab dan agama mayoritas di Indonesia adalah Islam. Hal ini dinilai menarik oleh media untuk dapat meraih simpati masyarakat. Ragam kosakata arab dalam wacana politik Indonesia misalnya: islah (rujuk /rekonsiliasi), istighotsah , jihad, bughat, bahtsul masail(forum memecahkan masalah dari media massa), tausiyah (nasihat), tawasuth (jalan tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) .

Penggunaan kata-kata itu pun lebih mengarah pada kepentingan politik. Hal ini memang menyiratkan situasi pada saat itu dimana keterlibatan tokoh-tokoh agama cukup tinggi dalam dunia perpolitikan. Kemudian dalam perkembangannya, penggunaan istilah-istilah yang bersifat religius digunakan sebagai sebuah alat politik. Justru kini penggunaan istilah-istilah arab tidak semata-mata sebagai penguatan iklim religio politik namun terkadang menjadi sebuah jargon saja. Lepas dari kepentingan politik manapun, perkembangan kosakata bahasa arab dalam dunia politik merupakan catatan perkembangan bahasa yang menarik di Indonesia. Semakin menguatkan kekuatan bahasa Indonesia yang fleksibel untuk dikombinasikan dengan berbagai macam bahasa.


Footnote untuk Isu Islah HMI
Sebuah keberhasilan salah satu pihak dalam pemanfaatan media. Semoga semua kader dari masing-masing belah pihak dapat menyikapinya dengan cerdas dan bijak. Istilah islah sendiri dari segi bahasa berarti memperbaiki, mendamaikan, dan mereformasi. Pelakunya disebut muslih. Seseorang dapat disebut muslih, jika dia memiliki sifat shaleh. Islah merupakan upaya aktualisasi kesalehan personal sekaligus kesalehan sosial; dan di segi lain mengandung usaha menciptakan kesalehan komunal dan kultural. Maka Islah akan benar-benar muncul apabila itu dilandasi dengan kesalehan dan tujuan yang murni tanpa tendensi apapun. Persoalan Islah bukan sesederhana dalam pragmatisme sempit untuk mencapai tujuan tertentu. Tetap berusaha dengan syukur dan ikhlas. Yakin Usaha Sampai!!!

Mahasiswa Jurusan Ilmu Budaya FISIP UNSOED. Ketua HMI Komisariat Pertanian UNSOED Purwokerto.

Read more ...

Tentang Persahabatan

Tadi siang tak sengaja kutemukan (lagi) blog yang dulu aku pernah copy salah satu tulisannya (kalo gak salah waktu aku cari referensi tentang Bank Indonesia untuk lomba essay). Iseng aku save semua page pertama blog itu. Malam ini aku buka dan aku baca.

Jenakku bertahan pada secarik tulisan tentang sahabat. Entah kenapa tiba-tiba pelupuk mataku menghangat. Ad sesuatu yang melayang dan mengiris. Entah...

Memang aku lebih suka komunikasi lewat tulisan. Kalo kata orang tulisan itu hanya sebuah kata-kata yang tak bernyawa. Tapi lain bagi aku. Antara tulisan yang ditulis dengan hati dengan yang hanya sebagai sebuah “karangan” akan beda rasanya. Sedalam apapun kata-katanya tapi kalau itu hanya sebuah fiksi belaka, maka rasanya akan lain jika dibandingkan rangkaian kata-kata sederhana tapi ditulis dengan hati. Mungkin sentimentil.
Whatever,yang ingin aku tuliskan disini sedikit mengenai persahabatan. Saat ini semua orang adalah sahabatku. Ada sahabat-sahabat di Mafaza, HMI, BEM, dll. Aku sangat berbahagia memiliki sahabat-sahabat di radio Mafaza yang begitu erat tali ukhuwahnya, dimana kita saling mengingatkan, saling canda-ria, bahkan gontok-gontokan juga sering. Buat kang jaja, tance, kang kartono, teh uli, teh ema, and all crew... i love u all. Aku masih ingat saat awal-awal bergabung di Mafaza FM. Canggung, sebel, senang, campur jadi satu. Hingga saatnya..tanpa terasa kini aku merasa seperti sudah satu keluarga dengan mereka.


Sahabat-sahabatku di BEM UNSOED. Walaupun di tengah perjalanan aku memilih mundur dari jabatan. Sungguh aku tak akan melupakan, kesatuan tekad, semangat, yang terangkum dalam sebuah visi-misi. Maaf yang begitu besar kuhaturkan pada mas Begs, jika aku ternyata belum mampu bersama-sama dengan semua teman melangkahkan kaki demi cita-cita kita. Yeah..itulah aku. Aku orang yang terlalu pongah untuk meminta maaf, untuk sedikit pamit undur diri, untuk sedikit berpesan-kesan, bukan karena aku tak sudi, namun aku hanya takut tak kuat menahan kepedihan dan kekecewaan atas terpenggalnya mimpiku dan BEM UNSOED itu.

Buat mas begs, mas Mona (apa kabar bung?), mas Rizal (sehat a’?), Teh Ade (banyak yang ingin kuungkapkan teh...), dll. Selamat berjuang kawan!!!

Sahabat-sahabatku di HMI MPO. Aku tak bisa lukiskan. Begitu indahnnya. Sebuah keluarga baru, pemantik semangat dan cita-cita perjuangan. Bukan sebuah sekedar romantisme kekeluargaan. Kebersamaan yang terajut indah didalam tukar ide dan pendapat, tekadang permusuhan, namun tak jarang pula dalam tawa dan senyum bersama. Bukan sebuah organisasi dengan segala kesempurnaan yang dapat membrikan sebuah jaminan (nggak ada hadits-nya kalo masuk HMI bisa masuk surga.he3). Jangan berharap sebuah kebahagiaan, senang-senang jika di HMI MPO. Kebahagiaan disini begitu luas tanpa batas hingga bukan jadi sebuah tawaran atau barang jualan. Mas Yuda...sosok kebapakan yang genit dan bijak....dengan segala kesabaran dan canda kehidupan, orang yang telah menjadi bagian keluargaku sendiri. Mas Anto....perut gendutmu mengibaratkan betapa banyaknya pemikiran yang kau hadapi. Aku yakin engkaulah orang yang begitu dewasa dan bijak, yang mampu menyembunyikan berbagai permasalahan dibalik canda-tawa. Mas Wahyu (aku bertekad untuk mengimport segala “kecerdasan”mu mas!!!he3), Mas Dimaz (ada senyum... J ), Mas Agung, Mas Anas, Mas Prokol, Mbak Natiq (miss u...), mbak hanum, rekan-rakan komperta yang begitu gigih, perkasa!!! Juga sahabat-sahabat di cabang lain. Mbak naning, murobhi yang sungguh mengerti aku, mas Yusuf (aku menang mas!tulisanku lebih dulu masuk suara merdeka. He3), mas Roni (Good Luck buat KPN!!!makasih ya orang bijak), dll.

Tak bisa terelakkan pula, teringat aku pada seorang sahabat. Maaf kalo aku agak sentimentil. Jujur, aku tak sanggup menahan air mata ini. Semoga kau selalu dalam lindunganNya sahabatku. Entah kau menganggapku sahabat atau tidak.

Aku mengakui semua yang telah terjadi adalah kesalahanku. Entah siapa dulu yang memulai, yang pasti godaan syaithan telah merusakan hati kita. Awalnya tak ada yang istimewa, sama layaknya dengan bertambahnya teman-temanku yang lain (Thanks God atas diberikannya teman-teman yang baik). Hubungan teman yang berlanjut dengan sahabat. Kau adalah sahabat yang sungguh mengerti. Di saat transisi usiaku dari remaja belasan tahun (kau menyebutnya seperi itu) menuju perempuan dewasa tangguh dan mandiri (kau juga yang berkata seperti itu), disaat aku menghadapi luas dan warna-warninya dunia, kau ada untuk saling mengingatkan. Awalnya semua indah dan kondisi terkendali.

Hingga...aku juga tak tahu siapa yang memulai. Dengan segala kerendahan hati, aku coba akui bahwa mungkin ini semua salahku. Persahabatan itu tergeser dengan mengotori hati masing-masing.

Aku menikmati itu. Mimpi itu aku rajut. Hingga aku mendapat batu-nya. Hingga aku mendapat akibat-nya. Thanks God, mungkin ini adalah jalan terbaik buatku.

Entah apa alasannya, yang pasti tali kasih itu terputus (entah kapan tersambungnya). Aku masih ingat betapa perih dan sakitnya hati ini. Mungkin inilah akibat dari pengkhianatan sebuah persahabatan.

Kini, apa yang terjadi??? Hingga detik ini aku masih menyesalkan segalanya itu terjadi. Aku menyesal kenapa harus mengotori hati dan persahabatan ini hanya dengan sebuah perasaan yang tak jelas arahnya.

Kini, antara aku dan dia bagai enemy yang enggan dan canggung untuk melakukan komunikasi (setidaknya itu yang aku rasakan). Sebenarnya, terkadang aku merindukan kebersamaan itu. Saling mengingatkan waktu sholat, saling berbagi kisah perjuangan (aku berharap, idealisme-mu masih tumbuh...sobat!!), saling bertukar ide, saling menguatkan, saling menyemangati, berbagi tangis dan tawa. Namun, aku sepenuhnya menyadari bahwa itu keliru. Bagaimanapun juga dia bukan muhrim, ada batas-batas yang harus aku jaga. Bahwa aku harus sadar, masih banyak tanggung jawab yang harus dijalani.

Apapun yang terjadi, aku selalu berdoa untuk langkah perjuangan hidupmu sahabat. Tulisan dalam blog ‘revolusi hati’ mengingatkanku bahwa kau adalah sahabat terhebat yang pernah aku miliki. Kalau sekarang aku memilih untuk menghentikan bentuk komunikasi, itu adalah sebuah upaya agar rasa itu tak kembali lagi. Aku yakin kau juga setuju dengan pilihan ini. Kalau memang harus begini adanya.

Selamat berjuang sahabatku!!!bangun peradaban itu, bangun mimpi itu!!!Yakin Usaha Sampai!

Sepanggal reff dari nasyid-nya Brothers dengan “Untukmu Teman”

Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ingatanku
Kepadamu teman
Agar ikatan ukhuwah kan bersimpul pad


Read more ...

Demo Mahasiswa Ricuh : MEMAKNAI ETOS PERJUANGAN GERAKAN MAHASISWA


Gerakan mahasiswa untuk perubahan yang dilakukan setiap saat tanpa henti memang sesuatu yang sepatutnya terjadi karena kondisi lingkungan masyarakat tidak pernah mencapai titik ideal yang diam dan statis. Ini adalah persepsi awal yang harus ditanamkan dulu dalam menyikapi aksi-aksi mahasiswa sebelum kita menganalisa atau bahkan mengambil kesimpulan atas tindak demo mahasiswa ricuh yang akhir-akhir ini terjadi. Mahasiswa, sebagai kaum intelektual memiliki posisi dan peranan yang mampu untuk melakukan sebuah tindak kritis untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Demonstrasi adalah salah satu cara. Sebuah aksi demonstrasi bukan sebuah kegiatan yang instant dan dirumuskan dalam waktu singkat. Untuk melakukannya, perlu pemikiran matang dan perumusan yang terkonsep. Keberhasilan sebuah aksi demonstrasi diantaranya tersampaikannya aspirasi, komando yang rapi, serta terjaga dari berbagai intervensi yang tak diinginkan.
Ada dua kemungkinan penyebab maraknya tindak demo ricuh mahasiswa. Pertama, chaos memang bagian skenario . Chaos kadang diperlukan dalam situasi tertentu tapi tetap dalam sebuah komando korlap. Alasannya bisa sebagai upaya penarikan simpati masyarakat yang apatis.. Setidaknya masyarakat akan bertanya apa yang para demonstran tuntut, apa tujuan mereka. Setidaknya kita perlu melihat bahwa mahasiswa membakar mobil tetapi itu mobil plat merah bukan membakar warung rakyat, mahasiswa menghancurkan pagar tapi itu pagar gedung dewan yang susah terbuka untuk rakyat, mahasiswa melempar batu ke polisi dan polisi menambak mati mahasiswa. Masyarakat harus cerdas melihat itu. Namun, yang terjadi, media yang mengekspos tidak bersikap bijak sehingga masyarakat hanya mengerti sebatas sebuah kekerasan. Dalam hal ini, kita perlu reorientasi media. Kedua, jika tindak ricuh bukan skenario aksi, maka perlu dipertanyakan kematangan konsep aksi. Aksi bukan sebuah kegiatan instant selayaknya janjian ngumpul di warung kopi. Ada pematangan konsep yang perlu dilakukan sehingga etos perjuangan benar-benar melekat pada demonstran. Etos perjuangan merupakan hal yang substansial mengingat agenda perubahan melaluui aksi demonstrasi bukanlah sebatas agenda tawuran antar gank. Pematangan etos merupakan agenda pembelajaran di gerakan. Pertanyaannya, dimanakah gerangan kelompok gerakan mahasiswa?ternyata selain krisis kader juga krisis kualitas. Dimana semangat perjuangan mahasiswa yang dulu menjiwai perjuangan intelektual melawan tirani? Tercatat dalam sejarah kita bagaimana mahasiswa-mahasiswa berhimpun untuk mempertahankan independensi seperti terbentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk turun kejalan. Organisasi mahasiswa kini hanya besar pada simbol yang menjadi kebanggaan masing-masing dan sangat mudah ditunggangi pihak-pihak tertentu. Atau gerakan mahasiswa kini sudah sulit mencari common enemy? Mari matangkan etos perjuangan gerakan kita, kawan-kawan!
Read more ...

Research Writing Skill


suaramerdeka, 26 Juli 2008
KEBIASAAN menyusun karya ilmiah merupakan hal yang baik. Walaupun karya ilmiah itu terkesan kaku, namun dari situlah kita nantinya akan lebih mudah membuat tulisan-tulisan yang tidak terlalu terikat pada aturan-aturan penulisan.
Ringkasnya, jika kita sudah biasa dengan hal-hal yang terikat, maka untuk menulis yang tidak terlalu terikat akan lebih mudah. Event penulisan karya ilmiah banyak sekali jumlahnya. Publikasi biasanya dilakukan oleh pihak kemahasiswaan kampus atau lewat media massa.

Yang sudah umum misalnya LKTM yang merupakan program Dikti tiap tahun. Biasanya sudah dimulai sekitar bulan Februari ditingkat fakultas/ prodi. Lomba ini memiliki jenjang. Yang menang di tingkat universitas akan maju di tingkat wilayah kemudian di tingkat nasional (Pimnas). LKTM terbagi dalam tiga kategori: IPA, IPS, dan Pendidikan.

Selain LKTM, ada juga LKTM (bidang lingkungan hidup) yang diadakan sekitar bulan Agustus. Ada juga LKTIM (Lomba Karya Tulis Inovatif Mahasiswa), LPPKM (Lomba Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa).

Itu adalah beberapa lomba karya tulis yang diadakan oleh Dikti. Banyak juga lomba karya tulis yang diadakan oleh lembaga di luar Dikti. Event yang sudah rutin misalnya LKTM Perpajakan, LKTM Bank Indonesia (sekitar Desember), LKTM Korea, dll. Yang diselenggarakan Dikti sangat ketat seleksi administrasinya.

Kita perlu teliti dalam hal tanda baca, penulisan, hingga penjilidan karya tulis yang dijadikan salah satu kriteria penilaian. Untuk itu Dikti juga menerbitkan buku panduan menyusun karya tulis.

Lain dengan dikti, event yang diadakan di luar itu tidak terlalu ketat dalam hal administrasi. Bahkan beberapa bisa kita kirimkan via email sehingga tidak melihat kerapian penjilidan. Namun, kualitas ide serta data-data yang kita gunakan sangat berpengaruh. Kita harus jeli memahami tema lomba sehingga tahu pemikiran apa yang dibutuhkan oleh panitia lomba karena di sini karya kita tidak sekadar dikompetisikan, namun juga menjadi salah satu pemikiran yang bisa dipertimbangkan. Menggunakan isu-isu hangat merupakan salah satu strategi untuk meraih perhatian dewan juri.

Untuk mendapatkan informasi lomba-lomba karya tulis ini kita harus proaktif. Hampir tiap bulan ada lembaga yang mengadakan. Untuk lebih mudah kita bisa mencarinya lewat internet. Salah satu blog yang menyuguhkan info-info lomba yang cukup akurat, yaitu www.infolomba.blogsome.com.

Menyusun karya ilmiah ju-ga memerhatikan estetika pe-nulisan. Penentuan judul misalnya. Selain harus rasional ki-ta juga harus mampu membuat judul yang menarik. Selain itu perlu strategi dalam pengolah-an kata dan bahasa dalam karya ilmiah.

Bukan sekadar memindahkan hasil penelitian dalam sebuah tulisan, namun diperlukan juga kemampuan merang-kai kata dan bahasa. Jadi, selamat menjadi penulis karya ilmiah!

– Shinta Ardhiyani U, peserta beberapa event Karya Ilmiah, mahasiswa FISIP Universitas Jenderal Soedirman


Read more ...

Weakness of woman sexuality


(take home final exam of Telaah Drama Inggris)

DANGEROUS ANGELS

By Scott C. Sickles

Summary in Indonesia.

Dangerous Angels, sebuah drama keluarga karya Scott C.Sickles yang cukup menarik (sebenarnya) untuk dianalisa. Konflik keluarga yang unik dan kompleks menjadi salah salah satu main act yang menjadi focus analisa. Berawal dari seorang Ben, tokoh keluarga yang dianggap memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Hubungan dengan keluarganya (terutama) anak-anaknya sangat dekat, sehingga sepeninggal Ben, anak dan calon menantuntya (Karen dan Randy) memiliki sebuah kenangan yang cukup indah. Selain kenangan, rupanya banyak kisah yang menjadi warisan sepeninggal Ben.

Miranda adalah istri Ben yang kini sudah menjanda. Ben memiliki adik bernama Helen yang bersuamikan Ty. Helen memiliki latar belakang sebagai seorang lesbian. Namun akhirnya ia membina keluarga dengan Ty. Ty adalah teman sekolah Ben. Ty memiliki kecenderungan sebagai gay. Ty rupanya mengetahui bahwa Ben suka pada Helen, adiknya sendiri. Namun hal itu tidak mungkin mengingat hubungan darah antara Helen dan Ben. Namun menurut Ben, Ty juga bukan orang yang tepat untuk Helen. Ben hanya menganggap Ty sebagai “suami adiknya” , tidak lebih dari itu. Hanya sekedar suami.

Ben akhirnya menikah dengan Miranda. Bagi Miranda, Ben adalah suami yang baik. Diceritakan oleh Miranda, bahwa Ben adalah orang yang selalu tersenyum, ketika tidur ia tidak pernah mendengkur, dan dia selalu ramah. Bisa dikatakan bahwa Miranda mencintai Ben. Dari hasil cintanya, mereka memiliki anak perempuan bernama Karen. Ben cukup dekat dengan Karen. Walaupun Karen juga tadinya menganggap bahwa Ben tidak memperhatikannya, namun pada suatu moment, Karen mengetahui bahwa ayahnya sangat mencintai dirinya. Kemudian mereka sering berbagi, saling terbuka satu sama lain. Bahkan bisa dikatakan, hubungan antara ayah anak tersbeut lebih dekat disbanding hubungan antara Ben dengan Miranda. Namun, untuk urusan cinta, Ben tidak terlalu terbuka pada Karen. Alasannya, anak seusia Karen belum saatnya mengetahui esensi cinta yang sedang dialaminya. Hingga Karen dewasa – kini telah bertunangan dengan Randy – rahasia cinta Ben tidak terkuak jelas.

Drama ini bertemakan cinta dan perkawinan (hubungan rumah tangga). Karen sendiri dengan Randy merasa memiliki perasaan cinta dan memiliki satu sama lain hingga mereka memutuskan untuk menikah.

Sementara itu, Miranda melalui masa-masa rumah tangganya dengan Ben tanpa tendensi apapun mengenai perasaan Ben. Miranda hanya tahu bahwa mereka berdua saling mencintai. Maka, Miranda sangat shock ketika ia tahu hal yang sebenarnya mengenai cinta Ben. Namun hal itu baru diketahui saat Ben sudah meninggal. Miranda merasa marah, ia juga merasa dikhianati.

Pada akhirnya Miranda menjadi sendiri dan merasa sendiri. Karen memilih hidup dengan Randy. Miranda ada pada ending yang terkesan pasrah dan kecewa dengan hubungan cinta yang dia alami.

WEAKNESS Of WOMAN SEXUALITY

Dalam menganalisa naskah drama ini, penganalisa mencoba menggunakan pendekatan tepri pesikoanalisa Sigmund Freud. Definisi psikonaliasa menurut kamus oxford adalah a method of treating someone’s mental problems or disorders by making them aware of experiences in their early life and tracing the connection between these and their present behavior or feelings (Oxford English Dictionary). As the method of mental analysis, Psychoanalysis also dealt with the literary process. Literary work is treated as the process of mental illness. The literary work will never be created if there is no stimulant of mental disorder.

Menurut prinsip dasar teori psikoanalisa Freud, prinsipnya adalah kenikmatan. Artinya individu pada dasarnya suka akan keindahan dan pemenuhan hasrat seksual adalah yang paling penting. Pada tahun 1905, Freud mengemukakan teorinya mengenai perkembangan seksual dalam Three Essays on Theory of Sexuality. Freud berpendapat bahwa seksualitas manusia berkembang sejak ia dilahirkan. Saat lahir, seorang anak memiliki energi seksual yang disebutnya sebagai libido. Libido tersebut belum diidentifikasikan dnegan satu obyek tertentu dan belum tertuju pada satu are tubuh. Maka libido itu dinamakan oleh Freud dengan polymorphous perversity. Kemudian, tiap anak berkembang menuju libido yang terarah dalam are tubuh tertentu. Freud menyebutnya dengan erotogenic zones , yaitu wilayah tubuh yang sensitive terhadap stimulasi yang membawa kenikmatan.

Tahap ini dimulai dari tahap oral kemudian dilanjutkan saat anak mendapatkan sensai ketika menahan dan mengeluarkan kotoran. Menyusul kemudian tahap phallic saat anak berusia 3 sampai dengan 4 tahun. Setelah itu tahap latency , dimana anak berhenti menampilkan seksualitasnya secara terbuka. Impuls seksual itu sendiri tidak mati, hanya ditekan sementara untuk akhirnya muncul lagi pada saat pubertas. Pada tahap pubertas, anak mulai memasuki tahap genital, yang dicirikan dengan kemunculan kembali energi seksual. Namun kali ini energi tersebut bukan lagi ditujukan untuk stimulasi diri sendiri, namun diarahkan kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda.

Pada kisah Dangerous Angel, kita dapat memandang Miranda sebagai perempuan yang dijadikan objek tanpa esensi. Pada akhirnya ia dinikahi oleh Ben, bukan berdsarkan pada cinta.

Ada perbedaan perkembangan seksual antara laki-laki dan perempuan. Menurut Freud, perbedaan ini terjadi saat tahap phallic. Pada tahap ini, laki-laki mengalami Oedipus complex , namun perempuan tidak mengalami hal tersebut. Dampak dari tidak dialaminya kompleks Oedipys ini membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan perempuan. Dalam drama ini, dampak itu dialami oleh Miranda.

Mwnurut freud, anak perempuan tidak mengalami ketakutan akan kastrasi (yang merupakan pemicu awal dari kompleks Oedipus). Hal ini terjadi karena ketika melihat klitorisnya, anak perempuan justru meyakini bahwa ia telah dikastrasi. Ibu juga merupakan obyek cinta pertama bagi perempuan sama halnya sperti laki-laki. Dalam hal ini tidak ada perbedaan karena pada tahap psikoseksual yang pertama, yaitu oral, baik anak laki-laki maupun perempuan mendapat kepuasan dari ibunya, terutama melalui payudara ibu yang mengalirkan makanan. Namun, ketika melihat klitoris, baik klitorisnya sendiri maupun klitoris perempuan, maka ia (perempuan) berasumsi bahwa semua perempuan telah dikastrasi oleh ayahnya. Melihat hal itu, anak perempuan merasa jijik pada ibunya dan mengalihkan cinta pada ayahnya. Proses pengalihan ini sangat ditekankan oleh Freud. Menurutnya, perempuan dapat sewaktu-waktu kembali kepada obyek cinta asal tersebut. Dengan perkataan lain, perempuan memiliki kemungkinan besar menjadi lesbian. (Hal ini seperti yang terjadi pada Helen. Walaupun di drama ini tidak dikisahkan banyak mengenai Helen, namun kita dapat berasumsi bahwa Helen dengan asumsi bahwa perempuan itu telah dikatrasi oleh laki-laki –- Helen nampaknya anak perempuan sendiri, kakaknya Ben laki-laki-- Maka ia takut untuk dikastrasi dan mematikan cintanya pada ibunya, mematikan cinta pada sejenisnya sendiri.

Tidak adanya ketakutan terhadap kastrasi pada perempuan akan berdampak mewujudkan jiwa perempuan yang superegonya tidak berkembang dengan sempurna. Perempuan kemudia menjadi manusia yang lemah, yang tidak pernah belajar patuh pada hokum Ayah, dan akhirnya tidak dapat berpartisipasi pada ranah public. Selain itu, pemuasan seksual juga beralih dari klitoris ke vagina. Dalam pandangan Freud, klitoris adalah adalah seksualitas aktif sedangkan vagina adalah seuatu yang pasif, yang membutuhkan penis untuk mencapai kepuasan. Jadi ketika perempuan mengalami ketidaktakutan pada kastrasi dan mengalihkan obyek cinta kepada laki-laki, ia kehilangan maskulinitasnya (aktif) dan mengambil nilai-nilai feminine (pasif). Pengalihan klitoris ke vagina ini dapat menjadi cikal bakal munculnya neurotisme (gangguan jiwa) jika perempuan tidak dapat melaluinya dengan baik.

Hal ini terjadi pada Miranda. Dimana dia menjadi perempuan yang cenderung menjadi objek. Miranda tidak mengalami Oedipus Complex dan tidak mengalami ketakutan pada kastrasi, sama seperti perempuan pada umumnya, justru menempatkan bahwa perempuan membutuhkan penis, yang secara tidak langsung, dalam hubungan seksual, perempuan ditempatkan sebagai obyek. Neurotic pada Miranda terjadio saat ia mengetahui hal ihwal sebenarnya mengenai cinta Ben. Lebih lanjut, perempuan neurotic ini akan sulit sembuh meskipun diterapi. Hal ini dikarenakan superegonya dari awal tidak berkembang dengan baik.

Ketika menikmati naskah drama Dangerous Angel (walaupun dengan jujur diakui bahwa, penganalisa hingga detik ini belum mampu memahami isi sepenuhnya dari kisah drama tersebut, termasuk korelasi judul “Malaikat-Malaikat yang Membahayakan” dengan isi cerita), pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya esensi lembaga pernikahan bagi Ben ataupun Helen atau juga bagi Miranda. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan sendiri ketika mengetahui bahwa pada akhirnya Ben dan Miranda mampu mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga walaupun dengan kisah cinta diluar dugaan.

Asumsi pun muncul bahwa lembaga pernikahan hanya merupakan hal yang normative saja bagi Ben. Dia menikahi Miranda bukan atas landasan cinta seperti layaknya Miranda. Seperti pada asumsi Freud bahwa prinsip dasarnya adalah hanya pada kenikmatan semata. Dalam kisah ini juga terlihat, Ben sebagai seorang laki-laki, superego-nya berkembang dengan baik. Bahwa dia memiliki id untuk meluapkan cinta pada Helen, namun ada ego yang mampu mengendalikan dirinya. Superego yang muncul saya bilang bernilai positif karena ia mampu menyadari kondisi yang ada dan mampu melalui tahap bahtera rumah tangga dengan Miranda dan dia sangat mencintai Karen – anak perempuannya-.

Salah satu hal yang berpengaruh pada kondisi ini bisa jadi adalah agama. Ben dikisahkan sebagai orang yang memiliki nilai religius yang tinggi.

Menurut Holmes Rolston [selanjutnya ditulis Rolston], memang Agama mesti diintegrasikan atau dipadukan dengan wilayah-wilayah kehidupan. Lebih lanjut Rolston, menegaskan bahwa hidup yang ”berorientasi pada makna” merupakan suatu bentuk Agama, sementara ilmu sejak dari ”logika Newtonian”nya memang lebih merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab-sebab material. Rolston, mengatakan bahwa seorang agen yang mengungkapkan diri dan berhubungan dengan dunianya tidak akan pernah meninggalkan sejumlah makna. Oleh karena itu, menurut Rolston, hidup yang berorientasi pada makna merupakan suatu ”bentuk Agama”, sementara ilmu sejak dari logika Newtoniannya memang lebih merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab-sebab material Dengan mendikusikan pikiran, terutama mengaitkan antara ilmu dan Agama, Rolston, bermaksud membahas tiga aliran dalam Psikologi yang masing-masing mengajukan sejumlah paradigma mengenai bagaimana manusia dan masing- masing bersinggungan dengan Agama. Ketiga aliran tersebut, yaitu psychoanalysis Freudian, Psikologi behavioral dan Psikologi humanis.

Pada Psikoanalisis Freudian, Freud secara jelas dan nyata mengungkapkan ketidakpercayannya pada agama. Menurut Freud, Agama “tak lain adalah gejala Psikologi yang diproyeksikan ke dalam dunia eksternal.” “Faktor-faktor dan hubungan-hubungan psikis dalam ruang tidak sadar” “dipantulka dalam konstruksi realitas supernatural yang kelak ditakdirkan untuk digantikan dengan ilmu dalam bentuk ” Psikologi tak sadar”. Maka kata Freud, kita mentransformasikan metafisika ke dalam metapsikologi”. Dalam pandangan Freud, orang-orang yang menjalankan agama tidak berbeda halnya dengan sebuah tindakan abnormal. Pandangan Freud banyak mendapat pro-kontra. Kontra yang muncul cenderung menganggap bahwa analisa-analisa Freud dilakukan pada orang-orang abnormal jadi tidak dapat dijadikan landasan.

Setelah Freud, dalam sejarah aliran Psikologi kita mengenal behaviorisme. Behaviorisme dengan salah satu tokohnya Watson menyatakan bahwa kita tidak mungkin meneliti pengalaman “spiritual” karena hal itu tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya. Bagi Watson, pengalaman “spiritual” tidak akan pernah menjadi data sains karena sains modern dibangun di atas dasar empirisme, sesuatu yang bisa diamati dan diuji. Berdasarkan asumsi ini, Psikologi yang awalnya mempelajari tentang jiwa beralih meneliti tentang tingkah laku manusia.

Dari berbagai pandangan dan pemikiran yang ada, dapat kita ambil garis merahnya bahwa Agama memiliki substansi yang berbeda bagi manusia. Walaupun memunculkan pemikiran yang menentang agama dan diidentifikasikan sebagai atheis sekalipun, pandangan yang diungkapkan oleh Freud secara tidak langsung sebenarnya menunjukan pengakuan dia terhadap agama.

Dalam kasus Ben sebagai ”orang beragam”, agama telah menjadi ego-nya yang kemudian menjadi pengendali apa yang dia inginkan dalam id-nya. Superego Ben berkembang dengan baik. Kalau mengingat bahwa Ben saudara kandung Helen (memiliki kecenderungan sebagai lesbian), dapat dikatakan bahwa tahap-tahap seksualita Ben bersaudara dalam keluarganya berjalan dengan baik, superegonya bekembang dengan baik seperti yang semestinya (lepas dari pro-kontra mengenai perilaku homoseuksualitas yang dialami oleh Helen). Bahkan Helen yang seorang lesbian juga mampu mengembangkan superego-nya dan dia mampu mengarungi kehidupan bersama Ty. Ty justru menunjukan bahwa ia mengalami Oedipus Complex dimana dia menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan hanya sebagai objek, seperti pada kata-katanya (yang cukup pede) ” Helen Need me”.

Sedikit dugaan mengenai judul. Mengingat bahwa latarbelakang / settingan kisah ini ada di di Pittsburgh sebuah bagian di wilayah Amerika yang merupakan penganut katholik. Dalam paham katholik, tidak ada istilah setan (evil), yang ada hanya malaikat (angels). Setan adalah malaikat yang membangkang. Jadi dalam konteks judul ini,angels adalah setan-setan yaitu malaikat yang membangkang, malaikat yang membahayakan.

Namun,penganalisa juga belum mampu mengasumsikan siapa sebenarnya Dangerous Evil yang dimaksud dalam kisah ini. Wallahualam bishawab.


Read more ...