Pages

Tuesday, August 19, 2008

MK dan Supremasi Norma : Sebuah Tahap Fundamental Revolusi Sistemik

=> gagal di lomba..soalnya salah tema..he..he...GANBATE!!!
(review dan spirit pada pancawarsa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)
Oleh : Shinta Ardhiyani U

Pendahuluan
Menurut pemahaman Trotsky , revolusi adalah organisme yang hidup setiap saat dan bergerak setiap waktu sampai pada batas yang telah ditentukan. Revolusi sistemik adalah strategi perubahan sosial yang mengakomodasi berbagai pendekatan dengan penentuan secara jelas tahap tahap langkah dan pencapaian yang diperlukan. Revolusi sistemik mengkonsepkan adanya aturan main (rule of the game) yang fair, up-to-date dan kredibel untuk dijadikan rujukan penyelesaian masalah bangsa. Aturan main tersebut adalah konstitusi kita (UUD 1945). Konsekuensinya perlu diciptakan sistem penjagaan konstitusi. Revolusi sistemik juga mengkonsepkan sebuah hubungan eksekutif dan legislatif yang sejaja serta menyertakan pula unsur yudikatif sebagai sebuah sistem kontrol, dimana ketiganya melakukan fungsi chek and balances sebagai pelaksana undang-undang. Revolusi sistemik memberikan sebuah tawaran konseptual yang menghindari adanya hubungan saling mengintervensi antar satu unsur dengan unsur yang lain. Lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang dicitakan sebagai sebuah penjagaan terahadap konstitusi serta merupakan point awal konsep negara hukum modern yang menjadi cita negara Indonesia, diindikasikan sebagai sebuah tahapan fundamentalis dari perjalanan revolusi sistemik di negara ini.


Kembalinya Kedaulatan Rakyat
Membangun sebuah negara tanpa memikirkan hukum sama saja dengan membangun sebuah rumah tanpa pondasi. Terwujudnya negara hukum yang ideal merupakan bagian dari cita bangsa Indonesia. Konstruksi negara hukum menekankan segala sistem yang berjalan pada negara berdasarkan pada hukum. Mengangkat hukum pada posisi tertinggi merupakan salah satu hal penting dalam gagasan negara hukum ini. Maka tak heran jika ada jargon inggris yang berbunyi “ the rule of law, not a man” yang tersirat makna bahwa bukan orang, politik, atau ekonomi yang menjadi acuan, namun hukum sebagai sebuah norma yang harus diangkat. Manusia yang mampu mengangkat norma tinggi adalah manusia yang beradab dalam hidupnya, maka untuk menuju sebuah masyarakat yang beradab perlu menjunjung tinggi norma. Hukum merupakan norma yang berlaku dalam tata sistem sebuah negara hukum.
Dalam upaya penegakan hukum, negara kita masih mendapat nilai miring. Ketidakadilan bukan hal asing di telinga. Supremasi hukum seolah menjadi hal yang utopis dalam hidup. Salah satu hal yang menjadi point supremasi hukum adalah bagaimana kita mampu menjaga konstitusi –sebagai sebuah norma- yang ada. Konstitusi kita – UUD 1945 – telah mengalami empat kali amandemen. Hasil dari amandemen ini menciptakan perubahan yang cukup fundamentalis. Perubahan yang mendasar dapat dicermati pada perubahan pasal 1 ayat (2) yang dulu berbunyi : dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, yang kemudian mengalami perubahan pada perubahan III dengan rumusan baru berbunyi ;” Kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar “. Redaksi awal mengandung makna adanya perpindahan kedaulatan dari rakyat kepada sebuah lembaga yang itu tersebut sebagai MPR. Maka dapat dikatakan kedaulatan itu kemudian hilang atau berpindah tangan. Padahal yang disebut dengan kedaulatan itu tak dapat diserahkan artinya kedaulatan tidak dapat dijual, digadaikan atau dihadiahkan. Kedaulatan adalah kepunyaan segala bangsa turun menurun. Kedaulatan tak berubah-ubah artinya kedaulatan itu tetap ditangan rakyat, tidak susut dan tidak berkurang. Kedaulatan bukanlah hak atau benda kekayaan yang dapat hilang- timbul, melainkan keinginan umum atau kekuasaan tertinggi yang kekal abadi, sama timbul–tenggelam kehidupannya dengan rakyat. Maka di perubahan redaksinya tersebut bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-undang dasar. Disini tidak terjadi perpindahan tangan atas kedaulatan, hanya saja kedaulatan itu tercermin melalui undang-undang yang dilaksanakan oleh pelaksana negara. Jadi undang-undang bukanlah pemberi kedaulatan tapi undang-undang merupakan pengejewantahan dari kedaulatan rakyat. Negara yang diwujudkan oleh Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan tertentu atas kehendak rakyat dan oleh karenanya negara tidak dapat menafikan kedaulatan rakyat itu sendiri. Kedudukan kedaulatan tetap ditangan rakyat dan tidak ditransfers atau dialihkan kepada lembaga negara, demikian kandungan maksud Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 perubahan. Apabila kedaulatan rakyat tersebut dialihkan kepada subuah lembaga negara tertentu maka kedaulatan rakyat akan beralih kepada negara yang artinya menimbulkan etatisme. Secara normative keberadaan negara didasari atas keperluan mengapa negara harus diadakan oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan, oleh karenanya negara tidak mempunyai tujuan tersendiri di luar maksud rakyat yang mendasari pembentukannya. Bagi rakyat, negara adalah sebuah instrument untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh rakyat.
Perubahan fundamentalis ini berkonsekuensi pada sistem ketatanegaraan di Indonesia. Menyangkut juga mengenai lembaga-lembaga pelaksana undang-undang. Berdsarkan amandemen UUD’45 maka tidak ada pemisahan lembaga tinggi dan tertinggi karena posisi semua lembaga-lembaga tersebut adalah sama sebagai pelaksana undang-undang. Dengan demikian hubungan antar lembaga negara tidak didasarkan pada hirarkis atas-bawah, melainkan sejajar yang masing-masing lembaga negara menjalankan sebagaimana fungsinya. Konsekuensi yang ada adalah sebuah pemisahan kekuasaan antara legislative, eksekutif, dan yudikatif, yang ketiganya berkedudukan sejajar tanpa subordinate. Sistem ini merupakan salah satu upaya dalam pembatasan kekuasaan. Kalau dicermati, konstitusi sebelum amandemen UUD ’45 menyiratkan sebuah kekuasaan yang tak terbatas oleh parlemen yang merupakan pemegang kedaulatan rakyat. Walaupun merupakan wakil rakyat namun tentunya parlemen juga memiliki kepentingan yang tidak selamanya mewakili rakyat. Maka kekuasaan perlu dibatasi karena setiap kekuasaan memiliki kecenderungan untuk berkembang enjadi kesewenang-wenangan, seperti kata-kata Lord Acton bahwa : “ Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Pembatasan kekuasaan dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan kedalam cabang-cabang yang bersifat “check and balances” sehingga dalam kedudukan yang sejajar dan saling mengendalikan satu sama lain. Dalam sistem inilah kemudian muncul Mahkamah Konstitusi. Lahirnya MK sebagai lembaga baru di bidang peradilan merupakan pengejewantahan dari upaya “check and balances”.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang merupakan hasil dari amandemen keempat UUD ’45 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). MK merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan MK merupakan sebuah gagasan baik untuk melakukan peradilan dalam perkara-perkara menyangkut konstitusi dan merupakan lembaga yang menjadi penjaga dari tegaknya konstitusi, maka tak heran jika MK sering disebut pula sebagai “ The Guardian of Constitution”.
Selain wewenang MK yang diatur dalam UUD ’45 pasal 24C, secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:
· Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
· Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;
· Memutus pembubaran partai politik; dan
· Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
· Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam usianya yang menginjak lima tahun ini, MK telah menorehkan sejarah baru dalam dunia hukum Indonesia. Untuk usia pancawarsa, prestasi MK bisa kita beri applaus sebagai reward dalam penjagaan konstitusi. Semenjak tahun 2003 – dimana MK baru didirikan-, tersebutlah beberapa perkara yang diselesaikan oleh MK yang juga menjadi sorotan publik. Perkara-perkara itu diantaranya :
1. Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2004, terdiri dari:
· Perkara PHPU Legislatif, berjumlah 273 perkara yang dikonsolidasikan ke dalam 44 permohonan, diajukan oleh 23 partai politik dan 21 calon anggota DPD.
· 1 (satu) buah Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, diajukan oleh pasangan calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid.
2. Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
3. Perkara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (PUU):
· UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
· UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
· UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
· UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
· UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
· UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
· UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
· UU No. 24 Tahun 2004 tentang Kamar Dagang Indonesia (KADIN).
· UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
· UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.
· UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota di Irian Jaya.
· UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
· UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
· UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
· UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005.
· UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
MK sebagai penjaga konstitusi telah mencoba membangun kesadaran konstitusi dalam hidup bernegara. Dengan adanya MK , kedaulatan rakyat juga menjadi terakomodir. Rakyat bukan sekedar menjadi objek dalam pelaksanaan konstitusi namun juga menjadi aktir dalam upaya kritis terhadap pelaksanaan konstitusi.
Reformasi konstitusi ini merupakan bagian fundamentalis dari tahapan dalam revolusi sistemik. Diibaratkan sebuah pondasi, penjagaan konstitusi adalah sebuag pondasi awal dibangunnya sebuah tatanan negara yang kokoh. Revolusi sistemik yang juga dapat menjadi sebuah strategi dalam transformasi sosial dapat terakomodir bilamana rakyat (sosial) mampu terakomodir kedaulatannya secara utuh. Hal itu juga terwujudkan dengan pengembangan MK sebagai lembaga peradilan. Titik tekannya, ada peran rakyat disana.
Munculnya MK – menurut Prof.Dr.Jimly Ashidiqie – juga mensyaratkan sebuah konsep negara hukum kontemporer. Tahapan konsep ini tak lain merupakan sebuah tahapan cita yang konseptual seperti diharapkan dalam teknis revolusi sistemik. Ada konsep baru yang diharapkan. Mendasarkan pada teori negara hukum klasik tentunya tidak begitu pas. Mengingat historika konsepsi Negara Hukum (Reechstaat) sebagaimana dibahaw oleh para ahlli sampai sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad ke-19 ketika Pengadilan Administrasi Negara itu sendii pada mulanya dikembangkan ; sedangkan Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri disamping Mahkaham Agung atas jasa Profesor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha negara meruapakan fenomena abad ke-19, maka pendailan tata negara adalah fenomena abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri uatama Negara Hukum kontemporer. Maka patut juga dipertimbangkan untuk merumuskan konsepsi negara hukum modern yang akomodatif pada kebutuhan era sekarang. Konseptual yang jelas dan terarah, itulah titik tekan pada gerakan revolusi sistemik yang perlu dilakukan pada bangsa ini. Bukan sebuah hal yang mustahil hal ini –dengan MK sebagai titik pemicu- akan menghasilkan negara hukum Indonesia dengan konsep yang independen. Apalagi jika mengingat ideologi hukum di negara kita masih banyak copy paste dari negara lain. Saatnya kita mengkonsep negara kita sendiri.
Di hitungan pancawarsa lahirnya, sejuta harapan diamanahkan pada MK. Semoga senantiasa menjadi penjaga konstitusi yang gigih.
DATA PENULIS
Nama lengkap : Shinta Ardhiyani Ummi
Alamat domisili : Jl.A.Jaelani 14 – Karangwangkal –Purwokerto
No.telp / hp : 0281-628588 / 085226904211
Pekerjaan : Mahasiswa
Fakultas : Fakultas ISIP (Ilmu Sosial dan Politik)
Universitas : Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto
NIM : G1A006167
Tempat tanggal lahir : 25 Mei 1987

Title: MK dan Supremasi Norma : Sebuah Tahap Fundamental Revolusi Sistemik; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: