Pages

Tuesday, June 26, 2007

MENUAI ANGGUR KEHIDUPAN DALAM “A WALK IN THE CLOUDS”


ni final asigment nta...nta buat hari Senin ba'da Shubuh...n dikumpulin jam 9.10 ... padahal jam 7.00 ada ujian Kewarganegaraan.... whuaa...gk lagi2 deh nunda2 pekerjaan.....
MENUAI ANGGUR KEHIDUPAN DALAM “A WALK IN THE CLOUDS”
(sebuah studi analisa terhadap film “A Walk in The Clouds” melalui pendekatan teori formalisme)


Mempelajari karya sastra merupakan hal yang menyenangkan. Belajar karya sastra berarti belajar salah satu cabang seni yang berarti pula belajar sebuah estetka (keindahan). Naluri manusia akan senang pada hal yang berupa indah dan keindahan. Berkaitan dengan keindahan, Thomas Auino berpendapat bahwa ada tiga (3) syarat kendahan, yaitu :
• Memiliki keutuhan (kesempurnaan), karena segala kekurangan (keburukan) itu menyebabkan sesuatu tidak indah;
• Memiliki keselarasan (kesembangan) bentuk, karena segala ketimpangan itu menyebabkan sesuatu tidak proporsional sehingga tidak indah;
• Memiliki sinar kejelasan, karena segala kekaburan (kesamaran) itu menyebabkan sesuatu tdak indah.
Berdasar tiga syarat diatas dapat disimpulkan bahwa apa pun yang memberi kita rasa puas itu indah. Menurut Slametmuljana (Prodopo, 1992 : 56); keindahan itu adalah sesuatu yang menyentuh hati atau perasaan. Syaratnya antara lain :
• Memiliki keutuhan, yang utuh itu memiliki kesatuan, yang cacat itu buruk.
• Memiliki keselarasan (keseimbangan) bentuk.
• Memiliki kejelasan, yaitu sifat yang gilang cemerlang.
Abad XX muncul aliran-aliran yang mencoba menolak arti kendahan dengan jalan menolak art kendahan model klasik sebagaimana dikemukakan Thomas Aquino dan Slametmuljana tersebut. Mereka antara lain :
• John Keats. Keindahan adalah kebahagiaan yang abadi.
• Oscar Wilde . Seni adalah hidup. Keindahan tidak ada kecuali keterusterangan dan kenyataan.
• Graham Grene. Keindahan dari sebuah ciptaan terletak pada nilai belas kasihannya.
• Benedetto Croce. Keindahan adalah ekspresi yang berhasil baik (keindahan adalah sesuatu yang menyentuh hati dan perasaan).
Rangkaian teori diatas mengenai konsep keindahan semacam itu sekarang telah ditolak oleh sebagian besar ahli estetika dan seniman. Mereka cenderung memakai stilah seni untuk menyatakan sifat estetk karya seni. Sebab, dalam kata indah terkandung arti yang relative sempt, yaitu baik, halus, bersih, tidak cacat, tidak menyedihkan, tidak mengerikan, dan sebagainya; sdang dalam kata seni terkandung arti yang jauh lebih luas. Dalam istlah seni, selain mengandung arti indah dan menyenangkan juga mengandung pengertian besar (sublimes : keindahan tertinggi, edi peni), jujur, khas, aneh (Jawa: nyeleneh), dan sebagainya.
Karya sastra sebagai salah satu jenis “produk” seni tentu saja memiliki unsur estetik. Untuk memempelajari sebuah karya sastra, kita bisa melakukan dengan pendekatan menggunakan beberapa teori sastra. Salah satu teori yang bisa digunakan adalah teori formalisme. Formalisme memiliki latar belakang sebagai sebuah teori yang muncul atas reaksi terhadap pendekatan sastra yang bersifat positivistik. Pendekatan positivistic adalah sebuah pendekatan yang didasari oleh filsafat positivisme (Auguste Comte dalam Cours de Philosophie Positive, 1830- 1842), yakni suatu paham yang menganggap bahwa segala ilmu harus berazazkan fakta yang dapat diamati. Ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada keterangan pancaindera, menurut faham tersebut, ditolak karena dianggap sebagai spekulasi kosong. Sedangkan kaum formalis menolak anggapan bahwa teks sastra adalah pencerminan individu atau pu gambaran masyarakat. Menurut mereka, teks sastra adalah fakta kebendaan yang terbangun atas kata-kata. Bangunan kata itu memilik kaidah, struktur, dan peralatan khusus yang harus dikaji dengan tujuan lain; misalnya sebagai pengetahuan psikologis, sosiologis, atau histories. Jadi teks sastra adalah objek tersendiri yang dikaji secara khusus.
Pada intinya adalah teori formalisme mempelajari sebuah karya sastra dengan sudut pandang “bentuk” (form) sebagai aspek penganalisa. Dalam teori formalisme, dikenal adanya “defamiliarisasi” dan “deotomatisasi”. Konsep “defamiliarisasi” dan “deotomatisasi” merupakan konsep yang digunakan kaum formalis untuk mempertentangkan karya sastra dengan kehidupan atau kenyataan sehari-hari. Apa yang sudah akrab dan secara otomatis diserap, dalam karya sastra dipersulit atau ditunda pemahamannya sehingga terasa asing dan ganjl atau aneh. Tujuannya adalah agar pembaca lebih tertarik pada bentuk, dan lebih menyadari hal-hal di sekitarnya. Subaspek yang dijadikan bahan penelitian oleh kaum formalis adalah unsurintrinsik karya sastra, seperti fibula (story) dan sjuzet (plot). Dalam kaitannya dengan konsep “defamiliarisasi” dan “deotomatisasi”, kaum formalis juga mencoba mengkaji unsure bahasa dalam karya sastra. Bahasa dalam karya sastra bukan hanya merupakan sarana komunikasi belaka, tetapi lebih dari itu bahasa juga merupakan sarana untuk mencapai nilai estetis. Bahasa sastra bersifat, antara lain :
• Konotatif, artinya selain bermakna denotatof, maknanya sengaja ditautkan dengan pengertian lain, diberi art tambahan sehingga mempunyai kemungkinan banyak tafsir (polyinterpretable), makna ganda (ambiguitas), penuh homonym dan diresapi asosiasi.
• Ekspresif, artinya mempunya kemampuan mengungkapkan jiwa, perasaan, gagasan pengarang.
• Sugestif, artinya secara sadar atau tidak, langsung atau tidak, bahasa mampu menyarankan, mempengaruhi jiwa/ perasaan/ asosiasi pembaca/penonton.
Dengan sifat-sifat bahasa sastra itulah, kita akan menemukan konsep “defamiliarisasi” dan “deotomatisasi” dalam karya sastra.
Kita akan mencoba menggunakan pendekatan teori ini dalam menganalisa film bertajuk A Walk in The Clouds , sebuah film cinta tahun 1996 garapan sutradara Alfonso Arau.
A Walk in The Clouds
Film yang dirilis tanggal 11 Agustus 1996 bergenre romance movie. Dibintangi oleh bintang kenamaan Keanu Reeves yang bermain peran dengan Giancarlo Giannini, Anthony Quinn dan Aitana Sánchez-Gijón.
Menganalisa film berbeda dengan menganalisa karya sastra lain. Ada beberapa hal yang bisa dicermati dalam fil selain tekstual yaitu tayangan visual-nya.
Beberapa dialog dalam film ini dapat dianalisa sebagai defamiliarisasi atau deotomatisasi.
We are think, they are feel. They are a heart people. Dialog yang disampaikan Alberto Aragon (Giancarlo Giannini) pada Paul Sutton (Keanu Reeves) saat menanggapai usaha Paul untuk berbicara dengan Victoria (Aitana Sanchez). Dalam konteks ini, kata “manusia hati” adalah menunjuk pada kaum perempuan, yang maksudnya adalah bahwa kaum wanita adalah manusia yang memiliki kecenderungan menyelesaikan segala permasalahan hidup dengan hati / perasaan.
This is 365 days a year. Dialog yang disampaikan Don Pedro Aragon (Anthony Quinn) yang merupakan ayah Victoria memiliki maksud bahwa semua yang ada di lading anggur itu dan segala sesuatunya adalah yang diusahakan selama bertahun-tahun setiap hari hanya didekasikan untuk keluarganya. Pada saat itu, Paul menyangsikan kasih sayang Don Pedro terhadap anaknya sendiri Victoria. Don Pedro memang tidak bisa mengungkapkan kasih sayangnya, namun sebenarnya ia adalah pekerja keras yang sangat berdedikasi pada keluarga.
“Kau bule , memang baik, tapi kau tetap bule”. Kata-kata yang disampaikan pada Paul ini bermaksud bahwa Paul memiliki kelompok social yang berberda dengan keluarga besar Aragon.
“Welcome in the world again”. Kata-kata yang disampaikan oleh sopir pada Paul saat dia meninggalkan Las Mujes, mengisyaratkan bahwa Paul kembali kepada dunianya kembali. Las Mujes sendiri sering disebut sebagai The Clouds (awan-awan).
Kutipan-kutipan dialog diatas termasuk deotomatisasi karena makna yang tersirat dalam perkataan-perkataan tersebut tidak dapat secara langsung diterima oleh penonton. Selain itu, deotomatisasi juga dapat dilihat pada beberapa kutipan dialog lain seperti :
This is root of your life. Root of your family. Akar kehidupan disini adalah bermaksud bahwa akar anggur merupakan jiwa dari berjalannya kehidupan keluarga Aragon. Anggur memiliki peran penting dalam keberlangsungan keluarga Aragon.
Deotomatisasai juga kita lihat dalam penggalan dialog “Who is Pete?” . Kalimat penegasan yang diungkapkan oleh Don Alberto yang mengisyaratkan bahwa ia tidak suka atas tindakan putranya , Pedro Aragon Jr, yang mengganti namanya menjadi Pete. Don merupakan ayah yang “kolot” yang cukup otoririter dalam keluarga, ia tidak suka pada hal-hal yang melenceng dari apa yang sudah diadatkan dalam keluarga.
Beberapa dialog dalam film berdurasi 102 menit ini juga memiliki beberapa defamiliarisasi. Seperti pada dialog “ Meet on Friday, Married on Sunday, n send on Monday”. Dialog ini mempunyai maksud bahwa begitu kerasnya hidup berprofesi sebagai prajurit sehingga kurang memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Ini diisyaratkan ketika dua prajurit (Paul dan temannya) baru pulang dari pertempuran dan membicarakan istri masing-masing. Dialog itu mengandung arti bahwa begitu singkatnya waktu untuk berkumpul dengan keluarga bahkan dengan istrinya sendiri.
Selain dari percakapan, konsep deotomatisasi dan defamiliarisasi juga bias kita dapatkan dari tayangan visual atau pada fibula dan alur ceritanya. Misal, jalan cerita film yang menayangkan tiga kali siluet / gambaran ketika Paul ada di mendan pertempuran. Adanya gambaran medan perang yang muncul di sela-sela jalan cerita mengungkapkan maksud jiwa seorang prajurit yang kesehariannya harus menghadapi kematian, maka wajar bila seorang prajurit memiliki mimpi untuk merangkai kehidupan yang tenang sekembalinya dari perang. Hal ini seperti yang dirasakan Paul. Ia memiliki gambaran mimpi hidupnya yaitu memiliki rumah yang nyaman,dengan anak-anak dan anjing-anjing kecil serta pekerjaan yang mantap. Apa yang diinginkan Paul belum dapat terwujud karena ternyata istrinya tidak membaca semua surat-suratnya. Padahal dalam surat-surat itulah ia mengungkapkan semuanya setiap hari saat ia masih ada di medan pertempuran.
Deotomatisasi juga kita dapatkan saat adegan bertemunya Paul dan Victoria pertama kali. Waktu itu Victoria muntah di jas Paul. Ternyata ini mengandung arti bahwa saat itu Victoria sedang hamil. Adegan ini tidak langsung dapat dipahami oleh penonton sebelum adanya dialog pada scene selanjutnya yang menyebutkan pengakuan hamil dari mulut Victoria.
Ending dari film ini juga menyisakan sebuah defamiliarisasi. Di akhir kisah diceritakan bahwa semua kebun anggur milik keluarga Aragon lenyap kecuali satu akar yang ditemukan oleh Paul. Setelah itu , Don Alberto akhirnya dapat menerima Paul sebagai menantunya. Ini masih menyisakan pertanyaan kepada penonton bagaimana kehidupan Paul kemudian karena harta keluarga Aragon juga telah habis serta kondisi yang telah jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya. Penyelesaian kisah yang tidak “menyelesaikan” . Ending seperti ini memang kerap kali digunakan dalam beberapa kisah baik itu prosa maupun drama, namun akhir di kisah film ini terlalu “absurd” dan terlihat sangat memaksakan untuk diakhiri.
Beberapa adegan yang menggambarkan budaya/adat dari keluarga Aragon juga belum bias secara langsung dipahami oleh penonton. Tidak semua orang langsung memahami ritual pemberkatan panen anggur serta pesta rakyat ketika panen yang divisualisasikan dalam film ini.
Dari segi fabula (cerita), kisah dalam film ini juga mengandung defamiliarisasi. Kisah Paul yang menjadi “suami sementara” bagi Victoria merupakan suatu hal yang “aneh” di tengah kehidupan masyarakat. Serta status pernikahannya dengan Betty (istri pertama Paul) yang kemudian dengan mudahnya ada “pembatalan pernikahan” dengan penandatanganan suami dan istri. Ini kurang bias diterima secara mudah oleh penonton. Yang kita tahu adalah bahwa pernikahan dan perceraian adalah sebuah hal yang biasa namun tidak semudah seperti dikisahkan dalam film ini. Film ini menggambarkan betapa “mudah”nya sebuah cinta dan pernikahan. Ada kisah Victoria yang harus pulang karena ia hamil tanpa suami, entah bagaimana kisah si “Free Spirit” (semangat bebas) yang disebut-sebutnya sebagai seorang professor yang menjadi ayah dari janin yang dikandungnya. Kemudian Paul yang secara singkat memutuskan untuk menolong Victoria menjadi suami sementaranya. Padahal mereka berdua baru pertama kali saat perjalanan di kereta dan bus yang menuju Sacramento.
Itulah beberapa analisa mengenai film A Walks in The Clouds ini. Apa yang diungkapkan disini hanya beberapa bagian karena banyak sekali “form” dari film ini yang dapat dianalisa secara pendekatan formalisme.
Read more ...