Pages

Monday, June 17, 2013

Tentang Kerja, Syukur, dan Cinta

*Diambil dari buletin jumat "Jendral Sudirman" Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta sekira sebulan lalu, 18/5/2013


Namanya Mamang. Sepertinya itu bukan nama asli. Hanya saja selama ini kami memanggilnya seperti itu. Jika matahari sudah naik sepenggalah, jumpailah senyum-sumringah Mamang. Ia berjalan dengan sandal jepit tipis. Dua blik besar berdiameter setengah meter yang berisi kerupuk, terpanggul di pundaknya. Ia menjajakan kerupuk-kerupuk dengan berkeliling kota.
Pekerjaan ini sudah dijalaninya bertahun-tahun. Pasti karena ia cinta pada kerupuk. Saat saya masih bersekolah di TK hingga saya lepas perguruan tinggi, Mamang masih setia dengan dua blik kerupuknya. Menjejaki tiap ruas-ruas jalan kota kecil di pinggiran Pantura itu. Terkadang kami melihat Mamang melepas lelah di musholla sebelah. Sambil menunggu waktu sholat tiba.
Senyum sumringah Mamang di pagi hari sebelas-duabelas dengan lengkung indah di wajah pak Kambali. Kami selalu mudah menjemput senyum itu saat bersambang ke kiosnya yang lebih tepat disebut dua buah gerobak sederhana di pasar malam. Dari gerobak-gerobak itu selalu keluar bunyi dan bau harum penusuk hidung. Pak Kambali adalah seorang maestro kue putu dan klepon. Kedua kue jajanan tradisional daerah Tegal yang terbuat dari tepung beras dan di dalamnya terdapat gula merah.
Seperti kecintaan Mamang pada kerupuk, pak Kambali juga mencintai pekerjaannya. Kecintaan yang membuat adonan kue putu dan klepon menjadi sangat luget di lidah. Kecintaan yang membuat beliau menggeluti pekerjaan ini hingga akhir hidupnya. Kini, di lapak yang sama, di gerobak itu tertulis: “Putu Pak Kambali (Putra)”. Ya, usaha itu kini dilanjutkan oleh anak-anaknya. Pak Kambali sudah meninggal.

Read more ...
Sunday, June 09, 2013

EMPING

#catatanRingan yang kebanyakan curcolnya.

Hujan sepertinya sedang bersinergi dengan rindu. Ia sedang sering mencumbu bumi. Kadang pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari seperti saat itu. Saat aku harus terjaga dan mengintipnya lewat jendela. Nampaknya aku memang mudah terbangun oleh hujan, khususnya hujan dini hari. Tapi dini hari itu, aku terjaga selain karena hujan juga karena lapar. Reflek ku tengok meja rendah sebelah tempat tidur. Salah satu perabot “minoritas” karena tidak berwarna hijau seperti jamaknya perabotan yang ada di kamar ini.

Dari sekian banyak benda yang berserakan di meja tersebut, mataku tertumbuk pada kantong kresek putih. Setelah ditengok, didalamnya ada tiga bungkus plastik bening ukuran sedang (duh kok banyak banget sampah plastiknya ya?!maaf ini tak sengaja).  Di tiap bungkusan plastik bening itu ada makanan kering. Dua diantaranya berisi emping, dan yang lainnya krupuk bawang. 

Emping dan kerupuk bawang itu sejenak membawa ingatanku ke sebuah pertemuan di beberapa hari sebelumnya. Saat itu malam 27 rajab. Setelah siangnya berpadu janji, malam itu saya berkesempatan untuk bertemu seorang teman. Sebut saja namanya Demas. Beliau salah satu penggerak komunitas pendidikan di kota kecil ini. Kebetulan ada satu program kerjasama yang ingin diinisiasi, jadi kami perlu berunding. Jadilah, angkringan pasar wage menjadi tempat perundingan itu. Kami ternyata penggemar angkringan untuk tempat diskusi.

Kemudian kami berbincang banyak tema selain tujuan utama tentang kerjasama program. Dari mulai obrolan tentang pendidikan, forum juguran, gamelan, banyumas, wayang sampai tentang pocong. Apa hubungannya? entahlah, mungkin obrolan kami itu ibarat omnibus. Sempat juga beberapa kali obrolan terhenti, oleh pengamen. Kebetulan saya termasuk yang senang melihat aksi pengamen. Kata Demas, bedanya pengamen di Indonesia dan di luar negeri, kalau di negara kita lebih banyak pengamen yang menyodorkan tangan untuk meminta-minta dikasih, sedangkan di luar negeri justru masyarakat yang menghampiri mereka untuk ngasih uang. Dengan kata lain, apresiasi terhadap pekerja seni jalanan diluar negeri lebih tinggi dibanding di negeri kita. Entahlah. Kalau ada pengamen dan aku suka, aku pasti kasih apresiasi, meskipun sedikit. Itu saja yang kupikir. Tidak lebih.

Di lepas pukul sembilan malam, obrolan tiba-tiba harus menemui jeda ketika ada sesosok wanita menghampiri kami. Gurat wajahnya menunjukan jejak perjalanan hidup yang sudah cukup panjang ia jalani. Usianya saya taksir diatas 70 tahun. Warna merah muda di bajunya sudah tak tampak jelas karena memudar. Jilbab bergo yang dikenakan seadanya membingkai wajahnya yang bulat. Mungkin yang khas dari sosok itu adalah celoteh riangnya yang tanpa henti. Hingga tak terlihat lelah yang dirasa.

Satu hal yang dapat dicirikan dari wanita itu adalah dua tas plastik besar di jinjingan dan gendongannya. Ya, ia ibu penjaja emping dan krupuk bawang. Ibu yang dengan penuh percaya diri menghampiri dan menghentikan obrolan kami. Tanpa diminta, ia serta merta mengeluarkan contoh-contoh “produk” yang dijualnya. Gendongannya serasa kantong ajaib Doraemon yang bisa mengeluarkan banyak jenis kerupuk. Ada kerupuk bawang, kerupuk mie, emping, dan entah apalagi. Saya dan Demas awalnya cukup kaget. Kalau jujus, mungkin ada sedikit perasaan terganggu. Tapi itu sekelebat saja. Justru perhatian saya mendadak teralih pada sang wanita itu. Saya hilang keinginan melanjutkan obrolan, justru memulai obrolan baru dengan si ibu. Pertanyaan pertama saya sangat retorik : malam-malam begini masih jualan bu? (saya menyampaikan pertanyaan itu dengan bahasa jawa, tentunya). Ya, mungkin lepas diatas jam 9 itu belum terlalu malam. Tapi, bagi saya, seorang wanita tua berjalan kaki di sebuah pasar dengan sarat jinjingan, itu bukan sesuatu yang bisa dianggap “tidak apa-apa”. Bagi saya, itu sangat “apa-apa”.
Read more ...

Makelar Doa

#catatanRingan

Sudah tak asing bagi orang yang bekerja di lembaga sosial penghimpun dan, di kesehariannya bergulat dengan aktivitas yang ada kaitannya dengan doa dan mendoakan. Bahkan redaksional doa itu sudah tercantum dalam SOP (standart operational procedure) dan sudah harus hafal di luar kepala, terlebih khusus bagi teman-teman yang bertugas di meja pelayanan. Doa sudah menjadi salah satu fasilitas dan bentuk service  bagi para pemberi dana. Bahkan di beberapa obrolan santai, kami menyebut aktivitas ini sebagai bagian kerja makelar doa. Dan memang fakta yang kami temui, banyak orang yang senang sekali minta didoakan. Tak jarang ada request-request doa, entah itu yang mau ujian, mau nikah, mau punya anak, mau umroh, mau punya mantu, minta didoakan untuk kerabat yang sudah meninggal, dan lain-lain. Kami tak jarang memiliki kisah-kisah unik tentang para peminta doa itu. Sekali lagi, saya menekankan saking seringnya, hal-hal ini kadang jadi terasa sangat biasa untuk  dilakukan.

Jujur, saya memang kadang menghindar untuk melayani langsung donatur dan “mengobral doa”. Kadang-kadang saja jika terjebak ada di kantor sampai petang, dan ada donatur yang “kesorean”, maka mau tidak mau saya harus melayani. Kadang saya mengelak dengan alasan agak songong , bahwa itu kan tugas teman-teman bagian pelayanan. Sedangkan kemunculan saya diperlukan hanya ketika harus menyusun konsep, menggarap media dan melakukan lobi-lobi saja. Meski teknik lobbying lembaga filantropi ujung-ujungnya juga pasti ada obral doa juga. Itu tidak salah kok. Hanya saja bagi saya, pekerjaan yang berurusan dengan hati dan Tuhan urusannya sangat begitu komplek.
Read more ...

MARWAH



“…Karena kita tak pernah tahu makna sebenar-benarnya dibalik sebuah tawa ataupun tangis. Bisa berarti bahagia, haru, atau justru malu. Maka menjadi riskan ketika tangisan menjadi tontonan. Ada marwah yang perlu kita jaga pada tiap orang….”

Era teknologi informasi saat ini membuat kita tak susah untuk mengikuti perkembangan berita atau peristiwa yang terjadi . Segala macam bentuk informasi. Dalam lingkup regional hingga internasional. Jarak beribu-ribu kilometer sudah bukan menjadi penghalang untuk mengetahui update informasi terbaru. Baik melalui tayangan visual di televisi hingga berita yang berupa kicauan. Semua ramai dan meramaikan.

Tempo hari dunia hiburan masyarakat kita disibukkan oleh sosok Eyang Subur dengan segala pro kontra dan problematika yang terjadi. Tak bisa dipungkiri beberapa hal privasi juga terkuak di layar kaca , menjadi tontonan masyarakat, bahkan lembaga MUI hingga turun tangan. Silih berganti hari, kemunculan seorang bocah remaja dari sebuah desa di Banyumas juga mewarnai media massa di Indonesia. Dialah Tasripin. Sempat menjadi “selebritis” yang mewarnai program-program acara news sampai hiburan. Berganti hari dan pekan, meninggalnya seorang da’I menggantikan posisi “headline” pemberitaan baik di program news maupun hiburan. Lagi-lagi media membuat kita kebanjiran informasi yang juga mengusik hal privasi sang almarhum.
Read more ...