Pages

Saturday, August 02, 2008

Weakness of woman sexuality


(take home final exam of Telaah Drama Inggris)

DANGEROUS ANGELS

By Scott C. Sickles

Summary in Indonesia.

Dangerous Angels, sebuah drama keluarga karya Scott C.Sickles yang cukup menarik (sebenarnya) untuk dianalisa. Konflik keluarga yang unik dan kompleks menjadi salah salah satu main act yang menjadi focus analisa. Berawal dari seorang Ben, tokoh keluarga yang dianggap memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Hubungan dengan keluarganya (terutama) anak-anaknya sangat dekat, sehingga sepeninggal Ben, anak dan calon menantuntya (Karen dan Randy) memiliki sebuah kenangan yang cukup indah. Selain kenangan, rupanya banyak kisah yang menjadi warisan sepeninggal Ben.

Miranda adalah istri Ben yang kini sudah menjanda. Ben memiliki adik bernama Helen yang bersuamikan Ty. Helen memiliki latar belakang sebagai seorang lesbian. Namun akhirnya ia membina keluarga dengan Ty. Ty adalah teman sekolah Ben. Ty memiliki kecenderungan sebagai gay. Ty rupanya mengetahui bahwa Ben suka pada Helen, adiknya sendiri. Namun hal itu tidak mungkin mengingat hubungan darah antara Helen dan Ben. Namun menurut Ben, Ty juga bukan orang yang tepat untuk Helen. Ben hanya menganggap Ty sebagai “suami adiknya” , tidak lebih dari itu. Hanya sekedar suami.

Ben akhirnya menikah dengan Miranda. Bagi Miranda, Ben adalah suami yang baik. Diceritakan oleh Miranda, bahwa Ben adalah orang yang selalu tersenyum, ketika tidur ia tidak pernah mendengkur, dan dia selalu ramah. Bisa dikatakan bahwa Miranda mencintai Ben. Dari hasil cintanya, mereka memiliki anak perempuan bernama Karen. Ben cukup dekat dengan Karen. Walaupun Karen juga tadinya menganggap bahwa Ben tidak memperhatikannya, namun pada suatu moment, Karen mengetahui bahwa ayahnya sangat mencintai dirinya. Kemudian mereka sering berbagi, saling terbuka satu sama lain. Bahkan bisa dikatakan, hubungan antara ayah anak tersbeut lebih dekat disbanding hubungan antara Ben dengan Miranda. Namun, untuk urusan cinta, Ben tidak terlalu terbuka pada Karen. Alasannya, anak seusia Karen belum saatnya mengetahui esensi cinta yang sedang dialaminya. Hingga Karen dewasa – kini telah bertunangan dengan Randy – rahasia cinta Ben tidak terkuak jelas.

Drama ini bertemakan cinta dan perkawinan (hubungan rumah tangga). Karen sendiri dengan Randy merasa memiliki perasaan cinta dan memiliki satu sama lain hingga mereka memutuskan untuk menikah.

Sementara itu, Miranda melalui masa-masa rumah tangganya dengan Ben tanpa tendensi apapun mengenai perasaan Ben. Miranda hanya tahu bahwa mereka berdua saling mencintai. Maka, Miranda sangat shock ketika ia tahu hal yang sebenarnya mengenai cinta Ben. Namun hal itu baru diketahui saat Ben sudah meninggal. Miranda merasa marah, ia juga merasa dikhianati.

Pada akhirnya Miranda menjadi sendiri dan merasa sendiri. Karen memilih hidup dengan Randy. Miranda ada pada ending yang terkesan pasrah dan kecewa dengan hubungan cinta yang dia alami.

WEAKNESS Of WOMAN SEXUALITY

Dalam menganalisa naskah drama ini, penganalisa mencoba menggunakan pendekatan tepri pesikoanalisa Sigmund Freud. Definisi psikonaliasa menurut kamus oxford adalah a method of treating someone’s mental problems or disorders by making them aware of experiences in their early life and tracing the connection between these and their present behavior or feelings (Oxford English Dictionary). As the method of mental analysis, Psychoanalysis also dealt with the literary process. Literary work is treated as the process of mental illness. The literary work will never be created if there is no stimulant of mental disorder.

Menurut prinsip dasar teori psikoanalisa Freud, prinsipnya adalah kenikmatan. Artinya individu pada dasarnya suka akan keindahan dan pemenuhan hasrat seksual adalah yang paling penting. Pada tahun 1905, Freud mengemukakan teorinya mengenai perkembangan seksual dalam Three Essays on Theory of Sexuality. Freud berpendapat bahwa seksualitas manusia berkembang sejak ia dilahirkan. Saat lahir, seorang anak memiliki energi seksual yang disebutnya sebagai libido. Libido tersebut belum diidentifikasikan dnegan satu obyek tertentu dan belum tertuju pada satu are tubuh. Maka libido itu dinamakan oleh Freud dengan polymorphous perversity. Kemudian, tiap anak berkembang menuju libido yang terarah dalam are tubuh tertentu. Freud menyebutnya dengan erotogenic zones , yaitu wilayah tubuh yang sensitive terhadap stimulasi yang membawa kenikmatan.

Tahap ini dimulai dari tahap oral kemudian dilanjutkan saat anak mendapatkan sensai ketika menahan dan mengeluarkan kotoran. Menyusul kemudian tahap phallic saat anak berusia 3 sampai dengan 4 tahun. Setelah itu tahap latency , dimana anak berhenti menampilkan seksualitasnya secara terbuka. Impuls seksual itu sendiri tidak mati, hanya ditekan sementara untuk akhirnya muncul lagi pada saat pubertas. Pada tahap pubertas, anak mulai memasuki tahap genital, yang dicirikan dengan kemunculan kembali energi seksual. Namun kali ini energi tersebut bukan lagi ditujukan untuk stimulasi diri sendiri, namun diarahkan kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda.

Pada kisah Dangerous Angel, kita dapat memandang Miranda sebagai perempuan yang dijadikan objek tanpa esensi. Pada akhirnya ia dinikahi oleh Ben, bukan berdsarkan pada cinta.

Ada perbedaan perkembangan seksual antara laki-laki dan perempuan. Menurut Freud, perbedaan ini terjadi saat tahap phallic. Pada tahap ini, laki-laki mengalami Oedipus complex , namun perempuan tidak mengalami hal tersebut. Dampak dari tidak dialaminya kompleks Oedipys ini membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan perempuan. Dalam drama ini, dampak itu dialami oleh Miranda.

Mwnurut freud, anak perempuan tidak mengalami ketakutan akan kastrasi (yang merupakan pemicu awal dari kompleks Oedipus). Hal ini terjadi karena ketika melihat klitorisnya, anak perempuan justru meyakini bahwa ia telah dikastrasi. Ibu juga merupakan obyek cinta pertama bagi perempuan sama halnya sperti laki-laki. Dalam hal ini tidak ada perbedaan karena pada tahap psikoseksual yang pertama, yaitu oral, baik anak laki-laki maupun perempuan mendapat kepuasan dari ibunya, terutama melalui payudara ibu yang mengalirkan makanan. Namun, ketika melihat klitoris, baik klitorisnya sendiri maupun klitoris perempuan, maka ia (perempuan) berasumsi bahwa semua perempuan telah dikastrasi oleh ayahnya. Melihat hal itu, anak perempuan merasa jijik pada ibunya dan mengalihkan cinta pada ayahnya. Proses pengalihan ini sangat ditekankan oleh Freud. Menurutnya, perempuan dapat sewaktu-waktu kembali kepada obyek cinta asal tersebut. Dengan perkataan lain, perempuan memiliki kemungkinan besar menjadi lesbian. (Hal ini seperti yang terjadi pada Helen. Walaupun di drama ini tidak dikisahkan banyak mengenai Helen, namun kita dapat berasumsi bahwa Helen dengan asumsi bahwa perempuan itu telah dikatrasi oleh laki-laki –- Helen nampaknya anak perempuan sendiri, kakaknya Ben laki-laki-- Maka ia takut untuk dikastrasi dan mematikan cintanya pada ibunya, mematikan cinta pada sejenisnya sendiri.

Tidak adanya ketakutan terhadap kastrasi pada perempuan akan berdampak mewujudkan jiwa perempuan yang superegonya tidak berkembang dengan sempurna. Perempuan kemudia menjadi manusia yang lemah, yang tidak pernah belajar patuh pada hokum Ayah, dan akhirnya tidak dapat berpartisipasi pada ranah public. Selain itu, pemuasan seksual juga beralih dari klitoris ke vagina. Dalam pandangan Freud, klitoris adalah adalah seksualitas aktif sedangkan vagina adalah seuatu yang pasif, yang membutuhkan penis untuk mencapai kepuasan. Jadi ketika perempuan mengalami ketidaktakutan pada kastrasi dan mengalihkan obyek cinta kepada laki-laki, ia kehilangan maskulinitasnya (aktif) dan mengambil nilai-nilai feminine (pasif). Pengalihan klitoris ke vagina ini dapat menjadi cikal bakal munculnya neurotisme (gangguan jiwa) jika perempuan tidak dapat melaluinya dengan baik.

Hal ini terjadi pada Miranda. Dimana dia menjadi perempuan yang cenderung menjadi objek. Miranda tidak mengalami Oedipus Complex dan tidak mengalami ketakutan pada kastrasi, sama seperti perempuan pada umumnya, justru menempatkan bahwa perempuan membutuhkan penis, yang secara tidak langsung, dalam hubungan seksual, perempuan ditempatkan sebagai obyek. Neurotic pada Miranda terjadio saat ia mengetahui hal ihwal sebenarnya mengenai cinta Ben. Lebih lanjut, perempuan neurotic ini akan sulit sembuh meskipun diterapi. Hal ini dikarenakan superegonya dari awal tidak berkembang dengan baik.

Ketika menikmati naskah drama Dangerous Angel (walaupun dengan jujur diakui bahwa, penganalisa hingga detik ini belum mampu memahami isi sepenuhnya dari kisah drama tersebut, termasuk korelasi judul “Malaikat-Malaikat yang Membahayakan” dengan isi cerita), pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya esensi lembaga pernikahan bagi Ben ataupun Helen atau juga bagi Miranda. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan sendiri ketika mengetahui bahwa pada akhirnya Ben dan Miranda mampu mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga walaupun dengan kisah cinta diluar dugaan.

Asumsi pun muncul bahwa lembaga pernikahan hanya merupakan hal yang normative saja bagi Ben. Dia menikahi Miranda bukan atas landasan cinta seperti layaknya Miranda. Seperti pada asumsi Freud bahwa prinsip dasarnya adalah hanya pada kenikmatan semata. Dalam kisah ini juga terlihat, Ben sebagai seorang laki-laki, superego-nya berkembang dengan baik. Bahwa dia memiliki id untuk meluapkan cinta pada Helen, namun ada ego yang mampu mengendalikan dirinya. Superego yang muncul saya bilang bernilai positif karena ia mampu menyadari kondisi yang ada dan mampu melalui tahap bahtera rumah tangga dengan Miranda dan dia sangat mencintai Karen – anak perempuannya-.

Salah satu hal yang berpengaruh pada kondisi ini bisa jadi adalah agama. Ben dikisahkan sebagai orang yang memiliki nilai religius yang tinggi.

Menurut Holmes Rolston [selanjutnya ditulis Rolston], memang Agama mesti diintegrasikan atau dipadukan dengan wilayah-wilayah kehidupan. Lebih lanjut Rolston, menegaskan bahwa hidup yang ”berorientasi pada makna” merupakan suatu bentuk Agama, sementara ilmu sejak dari ”logika Newtonian”nya memang lebih merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab-sebab material. Rolston, mengatakan bahwa seorang agen yang mengungkapkan diri dan berhubungan dengan dunianya tidak akan pernah meninggalkan sejumlah makna. Oleh karena itu, menurut Rolston, hidup yang berorientasi pada makna merupakan suatu ”bentuk Agama”, sementara ilmu sejak dari logika Newtoniannya memang lebih merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab-sebab material Dengan mendikusikan pikiran, terutama mengaitkan antara ilmu dan Agama, Rolston, bermaksud membahas tiga aliran dalam Psikologi yang masing-masing mengajukan sejumlah paradigma mengenai bagaimana manusia dan masing- masing bersinggungan dengan Agama. Ketiga aliran tersebut, yaitu psychoanalysis Freudian, Psikologi behavioral dan Psikologi humanis.

Pada Psikoanalisis Freudian, Freud secara jelas dan nyata mengungkapkan ketidakpercayannya pada agama. Menurut Freud, Agama “tak lain adalah gejala Psikologi yang diproyeksikan ke dalam dunia eksternal.” “Faktor-faktor dan hubungan-hubungan psikis dalam ruang tidak sadar” “dipantulka dalam konstruksi realitas supernatural yang kelak ditakdirkan untuk digantikan dengan ilmu dalam bentuk ” Psikologi tak sadar”. Maka kata Freud, kita mentransformasikan metafisika ke dalam metapsikologi”. Dalam pandangan Freud, orang-orang yang menjalankan agama tidak berbeda halnya dengan sebuah tindakan abnormal. Pandangan Freud banyak mendapat pro-kontra. Kontra yang muncul cenderung menganggap bahwa analisa-analisa Freud dilakukan pada orang-orang abnormal jadi tidak dapat dijadikan landasan.

Setelah Freud, dalam sejarah aliran Psikologi kita mengenal behaviorisme. Behaviorisme dengan salah satu tokohnya Watson menyatakan bahwa kita tidak mungkin meneliti pengalaman “spiritual” karena hal itu tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya. Bagi Watson, pengalaman “spiritual” tidak akan pernah menjadi data sains karena sains modern dibangun di atas dasar empirisme, sesuatu yang bisa diamati dan diuji. Berdasarkan asumsi ini, Psikologi yang awalnya mempelajari tentang jiwa beralih meneliti tentang tingkah laku manusia.

Dari berbagai pandangan dan pemikiran yang ada, dapat kita ambil garis merahnya bahwa Agama memiliki substansi yang berbeda bagi manusia. Walaupun memunculkan pemikiran yang menentang agama dan diidentifikasikan sebagai atheis sekalipun, pandangan yang diungkapkan oleh Freud secara tidak langsung sebenarnya menunjukan pengakuan dia terhadap agama.

Dalam kasus Ben sebagai ”orang beragam”, agama telah menjadi ego-nya yang kemudian menjadi pengendali apa yang dia inginkan dalam id-nya. Superego Ben berkembang dengan baik. Kalau mengingat bahwa Ben saudara kandung Helen (memiliki kecenderungan sebagai lesbian), dapat dikatakan bahwa tahap-tahap seksualita Ben bersaudara dalam keluarganya berjalan dengan baik, superegonya bekembang dengan baik seperti yang semestinya (lepas dari pro-kontra mengenai perilaku homoseuksualitas yang dialami oleh Helen). Bahkan Helen yang seorang lesbian juga mampu mengembangkan superego-nya dan dia mampu mengarungi kehidupan bersama Ty. Ty justru menunjukan bahwa ia mengalami Oedipus Complex dimana dia menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan hanya sebagai objek, seperti pada kata-katanya (yang cukup pede) ” Helen Need me”.

Sedikit dugaan mengenai judul. Mengingat bahwa latarbelakang / settingan kisah ini ada di di Pittsburgh sebuah bagian di wilayah Amerika yang merupakan penganut katholik. Dalam paham katholik, tidak ada istilah setan (evil), yang ada hanya malaikat (angels). Setan adalah malaikat yang membangkang. Jadi dalam konteks judul ini,angels adalah setan-setan yaitu malaikat yang membangkang, malaikat yang membahayakan.

Namun,penganalisa juga belum mampu mengasumsikan siapa sebenarnya Dangerous Evil yang dimaksud dalam kisah ini. Wallahualam bishawab.


Title: Weakness of woman sexuality; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: