Pages

Wednesday, January 30, 2008

320 Milyar Untuk Pilgub Jateng



Purwokerto - Tidak hanya ditingkatan kota/kabupaten saja, perhelatan pesta demokrasi juga akan diselenggarakan di tingkat provinsi. Pada 22 Juni 2008 esok, jika ibukota Jakarta merayakan harlahnya, maka Jawa Tengah memiliki agenda yang penting di tanggal tersebut yakni dengan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah.

Masyarakat merupakan aktor utama dalam pesta ini, maka pemasifan di tingkat masyarakat merupakan hal yang perlu diperhatikan. Itulah yang disiratkan pada sosialisasi Pilgub Jateng yang di wilayah Banyumas dan sekitarnya yang dimotori oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto, Selasa (29/01) malam kemarin. Acara yang menghadirkan narasumber dari KPUD Banyumas, KPUD Jawa Tengah, serta Asisten I Pemprov Jateng tersebut menitikberatkan pada sosialissi teknis pada masyarakat luas yaitu pada tahap coklit (pencocokan dan penelitian). Hal ini bermaksud agar masyarakat mampu mengetahui apa yang menjadi hak serta kewajibannya sebagai pemilih.

Pada acara tersebut disinggung pula mengenai budget yang dikeluarkan untuk menghelat pesta tersebut. Nominal 320 milyar disebutkan oleh pihak KPUD mengenai biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pilgub. Biaya 320 M itu adalah yang dikeluarkan pada tahap I. Biaya tersebut dialokasikan dalam dua pengelompokan pengeluaran yaitu 154 M untuk honorarium seluruh elemen yang mengerjakan pilgub ini serta sisanya digunakan untuk pengadaan barang, serta hal-hal teknis lainnya.

Nominal yang tidak sedikit dimata masyarakat. Maka diharapkan masyarakat dapat turut serta dalam pesta demokrasi tersebut. Peran proaktif dalam masyarakat sangat diharapkan, maka penguatan peran ditingkatan terkecil seperti RT/RW adalah alternatif strategis yang dilakukan KPUD.

Walaupun diskusi interaktif malam itu menitikberatkan pada permasalahan coklit pemilih, namun pembahasan di cakupan lain ternyata cukup menyita perhatian khususnya mengenai praktek money politic, suatu hal yang kiranya sudah cukup familiar di ajang pesta demokrasi (walaupun bukan suatu hal yang bisa dibenarkan). Hal ini kebanyakan disinggung oleh elemen mahasiswa yang memang malam itu mendapatkan porsi untuk berdiskusi. Ditimpali oleh KPUD Jateng bahwa mengenai money politic ini, UU yang berlaku memberikan ruang yang cukup sulit untuk mendeteksi adanya tindak politik uang. Politik uang memiliki tingkat pembuktian yang cukup sulit dalam pendeteksiannya. Bahkan, disampaikan oleh Ketua KPUD Jateng selepas acara saat diskusi internal dengan delegasi BEM UNSOED, bahwa politik uang itu suatu permasalahan yang berkaitan pula dengan culture. Prinsip ”simbiosis mutualisme” atau harus mendapat kontraprestasi tertentu merupakan sebuah karakter. Perubahan karakter bukanlah hal yang mudah walaupun itu tetap bisa diusahakan salah satunya dengan perubahan sistem.

Kemudian mengenai antisipasi terhadap adanya kekisruhan pada penyelenggaraan pilkada, KPUD mencoba mereview juga dari 28 Pilbup/walikota yang telah terlaksana di Jawa Tengah. Perlu disyukuri pula bahwa Jawa Tengah memiliki peluang konflik yang cukup kecil jika dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang kebanyakan diluar jawa. Tentunya ini memerlukan partisipas dari seluruh elemen masyarakat. Sosialisasi tahap I ini merupakan start dari upaya KPUD Jawa Tengah untuk membangkitkan peran proaktif masyarakat Jawa Tengah. Hal ini merupakan salah satu pendidikan politik dalam point of view KPUD Jateng sebagai pelaksana pilgub (nta).




Read more ...

Masihkah Kita Bergerilya???


(Menuju Idealitas Student Goverment)

(UNSOED-Purwokerto). Tak ada kaitannya dengan latah pemberitaan wafatnya pak Harto sang smiling jendral, tulisan ini mencoba mengingatkan kita tentang peran mahasiswa. Bukan momen yang mudah dilupakan ketika massa mahasiswa berhasil menggulingkan sebuah rezim. Saat dimana mahasiswa-sebagai makhluk intelektual- mampu membangun posisi tawar pada dinamika bangsa. Berbicara mengenai mahasiswa, tak lepas dengan keberadaan organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus.

BEM, DEMA, Senat Mahasiswa, atau apapun itu namanya merupakan organisasi yang dibangun di tingkatan mahasiswa untuk berperan sebagai lembaga pemerintahan dimana presma (presiden mahasiswa) memiliki position yang sama dengan rektor dengan cakupan wilayah kerja masing-masing. Adanya lembaga pemerintahan mahasiswa merupakan representasi dimana selain sebagai wadah pembelajaran bagi mahasiswa juga menjadi pengakomodir aspirasi mahasiswa dan komunikator antara mahasiswa dengan birokrat. Dalam bahasa sederhananya, BEM memiliki peran-peran advokasi mahasiswa.

Perjalanan sejarah organisasi mahasiswa di Indonesia memiliki dinamika yang up-down. Dan memang pada fakta sejarahnya, dinamika dapat menjadi sebuah momentum yang menjadi stimulant dari sebuah gerakan. Keluarnya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT yang merupakan salah satu ejawantah dari penerapan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis. NKK/BKK menjadi dua akronim yag menjadi momok bagi aktivis Gerakan Mahasiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Presiden Soeharto pada tahun 1978 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah saat itu.
Kemudian menjadi tidurlah warna-warni gerakan mahasiswa. Hal tersebut berlangsung cukup lama hampir 10 tahun lebih, saat hak-hak bersuara dibungkam dan kehidupan negara ini dipimpin oleh kediktatooran. Kritik merupakan hal yang tabu untuk dilakukan. Kebungkaman itu seolah berada pada kulminasi dan pecah di era 1998 dengan ditandai maraknya aksi mahasiswa dengan nilai final penggulingan rezim otoriter.

Bagaimana sepatutnya kebaradaan BEM di tingkatan kampus memang bukan sebuah hal yang mudah. Fenomena-fenomena politik praktis mulai marak dalam aktivitas dinamika kehidupan kampus. BEM yang hanya menjadi kepanjangan organisasi-organisasi ekstra kampus menjadi salah satu penyebab mengecilnya peran lembaga kemahasiswaan. Organisasi yang menguasai kampus yang dibuktikan dengan kuantitas kader dan dominasi yang menonjol akan menguasai lembaga-lembaga pemerintahan mahasiswa. Hal ini justru tidak menuju sebuah penciptaan atmosfir akademis yang penuh idealisme dan kritisisme. Kekuasaan menjadi orientasi untuk saling menyikut dengan berbagai cara, bahkan terkadang juga”menjual” idealisme yang mereka miliki.

Selain kepanjangan organisasi ekstra kampus, ada juga fenimena yang menyebutkan sebagai kepanjangan birokrat. Oknum-oknum oportunis dalam lembaga pemerintah mahasiswa yang kemudian dalam kerjanya hanya menjadi kacung birokrat serta melupakan amanah aspirasi mahasiswa yang dibebankan dipundaknya. Hal ini cukup miris. Senjata yang digunakan oleh pihak birokrat semisal kekuatan legalitas-yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses kerja mereka- menjadi iming-iming untuk membudak pada kekuatan birokrat. Sehingga di kemudiannya, BEM hanya tak beda dengan sebuah event organizer sebagai penyelenggara event-event titipan.

Gerakan Gerilya dari Kampus Jenderal Soedirman

Sebuah kisah yang cukup menarik terjadi di sebuah kampus di bilangan kabupaten Banyumas. Surat edaran bernomor 6254/H23/KM/2008 cukup membuat tercengang kawan-kawan BEM di UNSOED. Pasalnya surat itu ternyata merupakan sebuah woro-woro tentang ”kedurhakaan” pihak birokrat yang tidak mengakui legalitas BEM di tingkatan universitas tersebut. Bahkan terkesan untuk mengisolasi seluruh bentuk eksistensi dari BEM di universitas yang berlokasi di kota satria tersebut.

Perjalanan menuju adanya BEM di UNSOED memang merupakan ”babad’ yang cukup jatuh bangun. Namun, walaupun baru seumur jagung (dihitung dari pelantikan presma dan jajaran kabinet), eksistensi yang telah dibangun dapat diperhitungkan baik di tingkatan kampus, lokal, maupun nasional.

Tanpa alasan yang jelas, pihak birokrat (dalam hal ini adalah penanggungjawab di bidang kemahasiswaan) menolak untuk mau mengakui keberadaan lembaga pemerintahan mahasiswa yang telah terpilih hasil Pemilihan Raya di kampus Jenderal itu. Walhasil dalam perjalanan triwulan pertama kemarin, kawan-kawan BEM UNSOED dapat dikatakan bergerak dengan bergerilya. Tidak sedikit apa yang dilakukan mereka dalam usia yang masih belia. Peran aktif sangat ditunjukan dalam penyikapan-penyikapan isu yang berkembang di tingkatan kampus maupun masyarakat luas. Diskusi-diskusi, lokakarya, jaringan komunikasi yang telah dibentuk oleh mereka adalah sebuah bukti adanya niat untuk mewujudkan sebuah format pemerintahan mahasiswa di tingkatan universitas.

Disinyalir adanya kekuatan lain yang berorientasi pada kekuasaan membuat BEM UNSOED menjadi kehilangan respect dari pihak birokrat. Munculnya lembaga sejenis BEM di tingkatan universitas menjadi sebuah oposan yang konyol bagi BEM UNSOED. Kekuatan kapital serta politik praktis yang mencoba menodai idealisme mahasiswa menjadi ujian yang cukup berarti bagi BEM UNSOED.

Ketika dikonfirmasikan pada pihak birokrat, ternyata memang ada upaya pemutarbalikan statement. Entah siapa yang memunculkan bahwa BEM UNSOED adalah representasi dari sebuah kelompok tertentu menjadikan birokrat mengambil sikap seperti itu. Tentunya komunikasi dan koordinasi menjadi kata kunci adanya sinergisitas gerakan kedua elemen ini. Dua hal tersebut hingga tulisan ini dibuat memang belum dilakukan dan sebatas dalam planning-planning.

Doa dan harapan akan terselesaikannya polemik ini tentunya disampaikan pada kawan-kawan BEM UNSOED. Dari problem ini memang dapat diambil pelajaran pula bahwa, asumsi ternyata lebih berdampak negatif daripada sebuah tindakan. Asumsi dan sugesti tanpa pemikiran dan niat yang jernih hanya akan membawa kearah perseteruan. Perlu disayangkan pula sikap pihak-pihak yang mencoba menjilat serta berorientasi pada kekuasaan yang kemudian tidak mengindahkan etika-etika akademis dalam dinamika kehidupan politik kampus.

Disini berarti kita memerlukan konsep yang jelas dan ideal mengenai sebuah lembaga pemerintahan mahasiswa. Konsep mengani sebuah jelinan organisasi yang dibangun secara struktural yang seharusnya dipahami sebagai bagian tubuh yang utuh, tidak didasari kepentingan pribadi atau golongan. Garis koordinasi yang jelas antara organisasi di tingkatan universitas, fakultas, jurusan, ataupun unit kegiatan mahasiswa. Yang penting adalah segala hal itu dalam koridor yang masuk akal, jernih, transparan, serta bertanggungjawab. Mekanisme peraturan yang jelas bisa dijadikan salah satu solusi yang dapat mengakomodir hal ini.
Semoga pergerakan mahasiswa Indonesia lekas bangkit dari kematisurian dan kembali membangun pondasi bargaining position sebagai sumbangsih intelektual dalam dinamika bangsa. Hidup Mahasiswa!!!




Read more ...
Tuesday, January 22, 2008

BAHASA MELAYU DAN INTEGRITAS BANGSA

PENDAHULUAN


Latar Belakang Penulisan

Mempelajari sebuah bahasa tidak bisa dilepaskan dari pembelajaran budaya. Bahasa selain sebagai media kounikas, memilki fungsi esensi sebagai pembentuk identitas diri dimana bahasa menjadi simbol yang merupakan pengejewantahan dari karakteristik atau watak dari pengguna bahasa.

Lepas 62 tahun Indonesia merdeka, sama artinya juga bahwa sudah sekian lama usia bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa nasional seperti tercantum dalam konstitusi negara ini. Sebuah tinjauan yang menarik mengenai proses dari peresmian sebuah bahasa nasional kita yang dicikalbakali oleh sebuah bahasa ibu (bahasa daerah). Dalam hal ini yaitu bahasa melayu.

Bahasa melayu dapat dikategorikan sebagai sebuah bahasa minoritas di Indonesia apabila kita komparasikan dengan kuantitas penduduk di tiap suku di Indonesia. Ada fenomena yang menarik mengenai pemasifan bahasa melayu ini. Salah satu contoh, mengenai suku betawi. Suku betawi merupakan suku yang berawal dari ketiadaan, yang kemudian terbentuk karena interaksi manusia dari berbagai suku seperti bugis, makasar, jawa, arab, china, india, dan lain-lain. Dari keberagaman itu kemudian muncul suku betawi. Penelitian para ahli bahasa menyebutkan bahwa bahasa betawi merupakan sub rumpun dari bahasa melayu. Dalam ilustrasi lain, dapat dikatakan bahwa bahasa melayu memiliki sebuah potensi toleransi yang mampu mengakomodir berbagai jenis bahasa hingga mengerucut pada satu kultur. Faktanya kini bahasa betawi juga menjadi bahasa populer yang hampir seluruh penjuru Indonesia mengerti bahasa tersebut (bahkan menjadi bahasa gaul).

Ini adalah suatu tinjauan yang sangat menarik ketika merangkaikan tinjauan sosiolinguistik serta tinjauan sejarah yang juga merupakan sebuah cabang dari proses mempelajari historikal budaya. Ketertarikan inilah yang kemudia melatarbelakangi penulis untuk menyusun karya tulis sederhana ini yang diberi judul ” Bahasa Melayu dan Integritas Bangsa”.

Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui seluk beluk bahasa melayu,
2. Mengetahui sejarah pembentukan bahasa nasional,
3. Mengetahui korelasi antara bahasa melayu terhadap integrasi bangsa,
4. Diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan oleh Melayu Online.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang dibahas pada penulisan ini adalah mengenai sejarah terbentuknya bahasa nasional serta wacana konseptual mengenai korelasi bahasa melayu terhadap integrasi bangsa.





BAHASA DAN INTEGRITAS BANGSA

Bahasa dan Identitas Bangsa
Berbicara mengenai bahasa sebagai sebuah sistem, maka kita tak dapat melepaskan dari kajian sosiolinguistik dimana bahasa adalah sebuah identitas baik itu sebagai identitas personal maupun sosial. Identitas sosial merupakan sebuah jatidiri dari sebuah kelompok sosial (dalam hal ini yang kita bicarakan adalah negara) yang kemudian terjewantahkan melalui karakter. Karakter memiliki determinan sebagai sebuah watak, budi, pekerti, perangai. Karakter juga dapat berarti sebagai sifat-sifat kejiwaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Bahasa merupakan salah satu wujud pengejewantahan dari sebuah identitas diri. Maka tak salah apabila ada ungkapan “bahasa menunjukan bangsa”. Berdasarkan pada kajian semantis dan etimologi kata, seorang ahli bahasa, Prof. Anthony berkesimpulan bahwa bahasa adalah karakter manusia yang dapat ditafsirkan bahwa bahasa dapat menunjukkan watak, sifat, perangai, dan budi pekerti penggunanya. Hal ini sama halnya dengan Kess Berten yang menyatakan bahwa bahasa seseorang mencerminkan keteraturan dan ketidakteraturan jalan pikiran penggunanya.
Dalam Teori Relativitas Linguistik ada pandangan bahwa setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakainya. Hipotesis yang dikemukakan Benjamin Lee yang merupakan penegasan dari pendapat Edward Sapir hampir sejalan dengan pemikiran tersebut. Menurutnya, bahasa dapat memengaruhi persepsi dan pola pikir pemakainya (Mulyana, 2001: 251). Bahasa sendiri memiliki fungsi sebagai alat untuk mengungkapkan pesan sehingga interaksi antar manusia dapat berjalan baik dengan saling bertukar pikiran.Richards dan Rodgers (1996) menguraikan fungsi bahasa sebagai berikut :
1. Bahasa adalah sistem untuk mengungkapkan makna/pesan,
2. Fungsi primer bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi,
3. Struktur bahasa tercermin dalam fungsi dan penggunaan dalam komunikasi,
4. Unsur primer dalam bahasa bukan hanya pada grammar dan strukturnya saja, tetapi makna dari fungsi dan komunikasi merupakan kategori dari diskursus tersebut.
Disini tersirat bahwa bahasa memiliki peran krusial sebagai media komunikasi. Dengan interaksi dan komunikasi maka kita akan melalui proses yang terdiri dari ekspresi, interprestasi, dan negosiasi arti. Tujuan komunikasi adalah membuat bahasa menjadi berfungsi di dalam konteks sosial. Penggunaan bahasa terdiri dari tiga komponen yaitu tata bahasa, funsi dan wacana. Konteks sosial dimana terjadinya suatu komunikasi akan menentukan arti dari fungsi bentuk bahasa tersebut.
Dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 36 telah tercantum jelas bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi di Indonesia. Meskipun dalam hitungan statistik, angka penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi oleh masyarakatnya hanya sekitar 65%. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah perkotaan. Hampir 87% penduduk Indonesia dapat mengerti bahasa Indonesia. Sementara itu, lebih dari 65% penduduk Indonesia dapat menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai sebuah bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki sifat yang dinamis yang selalu progresif mengikuti perkembangan zaman yang hingga sekarang terus menghasilkan kosakata baru.
Dari tinjauan historis, kita mengetahui bahwa cikal bakal bahasa Indonesia adalah bahasa melayu. Bahasa Indonesia sendiri dideklarasikan sebagai sebuah bahasa persatuan oleh kaum muda Indonesia di tahun 1928 yang kita kenal dengan sumpah pemuda. Pada Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, memunculkan kesepakatan mengenai definitif bahasa Indonesia yakni berbunyi :
"jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia".
atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara,
"...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia"
Adapun peresmian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika konstitusi Indonesia diresmikan.
Sebenarnya hal ini merupakan sebuah tinjauan yang menarik ketika kita membahas mengenai bahasa melayu sebagai cikal bakal tumbuhnya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Kalau ditilik lebih lanjut sebenarnya bahasa melayu bukan bahasa terbesar di Indonesia. Bahkan bahasa yang terbesar adalah Jawa. Penduduk pulau Jawa juga merupakan penduduk dengan kuantitas terbesar di negara ini. Selain itu, bahasa melayu juga ternyata digunakan oleh orang Jawa seprti terbukti dalam sebuah catatan inskripsi di Sojomerto, Jawa Tengah yang menggunakan bahasa Melayu kuno. Inskripsi ini tidak bertahun, tetapi menurut estimasi ahli dibuat pada pertengahan abad ketujuh.
Keputusan para pejuang, perintis, serta pendahulu bangsa ini untuk menentukan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia, mengacu pada tiga faktor yakni: jumlah penutur, luas daerah penyebaran, dan terpakainya bahasa itu dalam sarana ilmu, susastra, dan budaya. (Arifin dan Tasai, 2000: 13). Pengangkatan bahasa Melayu, yang sekaligus diberi nama bahasa Indonesia, bertujuan untuk mengobarkan semangat persatuan di kalangan bangsa Indonesia dalam berjuang bersama-sama menegakkan kemerdekaan dan melepaskan diri dari penjajah (Badudu, 1996: 11). Hal ini memang merupakan sebuah konklusi bahwa bahasa merupakan refleksi dari sebuah identitas kelompok sosial (negara) yang merupakan juga sebuah cita-cita, cara-pandang bangsa tersebut.
Menurut Slamet Mulyana, ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia yang kemudian menjadi bahasa resmi di Indonesia. Pertama, bahasa Melayu merupakan lingua-franca di Indonesia (bahasa perhubungan/perdagangan). Kedua, bahasa Melayu memiliki bahasa yang sederhana, baik ditinjau dari segi fonologi (tata bunyi), morfologi (pembentukan kata), maupun sintaksis (pembentukan kalimat). Ketiga, psikologi, suku Jawa dan Sunda telah merelakan menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Keempat, kesanggupan bahasa Melayu untuk menjadi bahasa kebudayaan yang seluas-luasnya.
Asal-usul Bahasa Melayu
Untuk membahas mengenai nasionalisasi bahasa melayu ini, kita dapat meninjau pula mengenai seluk-beluk bahasa melayu tersebut. Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber, dapat dikatakan bahwa asal usul bahasa dan bangsa melayu yang secara tepat tidak dapat dipastikan. Seorang ahli prasejarah R.H. Geldern yang juga menjadi guru besar di Iranian Institute and School for Asiatic Studies telah membuat kajian tentang asal usul bangsa Melayu. Sarjana yang berasal dari Wien, Austria ini membuat kajian terhadap kapak tua (beliung batu). Beliau menemui kapak yang diperbuat daripada batu itu di sekitar hulu Sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salween, Yangtze, dan Hwang. Bentuk dan jenis kapak yang sama, beliau temui juga di beberapa tempat di kawasan Nusantara. Geldern berkesimpulan, tentulah kapak tua tersebut dibawa oleh orang Asia Tengah ke Kepulauan Melayu ini

J.H.C. Kern ialah seorang ahli filologi Belanda yang pakar dalam bahasa Sanskrit dan berbagai bahasa Austronesia yang lain telah membuat kajian berdasarkan beberapa perkataan yang digunakan sehari-hari terutama nama tumbuh-tumbuhan, hewan, dan nama perahu. Beliau menemukan bahwa perkataan yang terdapat di Kepulauan Nusantara ini terdapat juga di Madagaskar, Filipina, Taiwan, dan beberapa buah pulau di Lautan Pasifik. Perkataan tersebut di antara lain ialah: padi, buluh, rotan, nyiur, pisang, pandan, dan ubi. Berdasarkan senarai perkataan yang dikajinya itu Kern berkesimpulan bahawa bahasa Melayu ini berasal daripada satu induk yang ada di Asia.

W. Marsden dalam kajiannya mendapati bahawa bahasa Melayu dan bahasa Polinesia (bahasa yang digunakan di beberapa buah pulau yang terdapat di Lautan Pasifik) merupakan bahasa yang serumpun. E. Aymonier dan A. Cabaton pula mendapati bahawa bahasa Campa serumpun dengan bahasa Polinesia, manakala Hamy berpendapat bahawa bahasa Melayu dan bahasa Campa merupakan warisan daripada bahasa Melayu Kontinental. Di samping keserumpunan bahasa, W. Humboldt dalam kajiannya mendapati bahawa bahasa Melayu (terutama bahasa Jawa) telah banyak menyerap bahasa Sanskrit yang berasal dari India.

J.R. Foster yang membuat kajiannya berdasarkan pembentukan kata berpendapat bahawa terdapat kesamaan pembentukan kata dalam bahasa Melayu dan bahasa Polinesia. Beliau berpendapat bahawa kedua-dua bahasa ini berasal daripada bahasa yang lebih tua yang dinamainya Melayu Polinesia Purba. Seorang ahli filologi bernama A.H. Keane pula berkesimpulan bahawa struktur bahasa Melayu serupa dengan bahasa yang terdapat di Kampuchea.
Sedangkan J.R. Logan membuat kajiannya berdasarkan adat resam suku bangsa mendapati bahawa ada persamaan adat resam kaum Melayu dengan adat resam suku Naga di Assam (di daerah Burma dan Tibet). Persamaan adat resam ini berkaitan erat dengan bahasa yang mereka gunakan. Beliau mengambil kesimpulan bahwa bahasa Melayu tentulah berasal dari Asia. G.K. Nieman dan R.M. Clark yang juga membuat kajian mereka berdasarkan adat resam dan bahasa mendapati bahawa daratan Asia merupakan tanah asal nenek moyang bangsa Melayu.
Dua orang sarjana Melayu, yaitu Slametmuljana dan Asmah Haji Omar juga mendukung pendapat di G.K Nieman dan R.M. Clark diatas. Slametmuljana membuat penelitiannya berdasarkan perbandingan bahasa, dan sampai pada suatu kesimpulan bahwa bahasa Austronesia yang dalamnya termasuk bahasa Melayu, berasal dari Asia. Asmah Haji Omar membuat uraian yang lebih terperinci lagi. Beliau berpendapat bahwa perpindahan orang Melayu dari daratan Asia ke Nusantara ini tidaklah sekaligus dan juga tidak melalui satu jalur. Ada yang melalui daratan,yaitu Tanah Semenanjung, melalui Lautan Hindia dan ada pula yang melalui Lautan China. Namun, beliau menolak pendapat yang mengatakan bahawa pada mulanya asal bahasa mereka satu dan perbedaan yang berlaku kemudian adalah karena faktor geografi dan komunikasi. Dengan demikian, anggapan bahwa bahasa Melayu Moden merupakan perkembangan daripada bahasa Melayu Klasik, bahasa Melayu Klasik berasal daripada bahasa Melayu Kuno dan bahasa Melayu Kuno itu asalnya daripada bahasa Melayu Purba merupakan anggapan yang keliru.
Seorang sarjana Inggeris bernama J. Crawfurd membuat kajian perbandingan bahasa yang ada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan kawasan Polinesia. Beliau berpendapat bahwa asal bahasa yang tersebar di Nusantara ini berasal daripada bahasa di Pulau Jawa (bahasa Jawa) dan bahasa yang berasal dari Pulau Sumatera (bahasa Melayu). Bahasa Jawa dan bahasa Melayulah yang merupakan induk bagi bahasa serumpun yang terdapat di Nusantara ini.
J. Crawfurd menambah uraiannya dengan bukti bahawa bangsa Melayu dan bangsa Jawa telah memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi dalam abad kesembilan belas. Tingkat ini hanya dapat dicapai setelah mengalami perkembangan budaya beberapa abad lamanya.
J. Crawfurd sampai pada satu kesimpulan bahwa:
(a) Orang Melayu itu tidak berasal dari mana-mana, tetapi justru merupakan induk
yang menyebar ke tempat lain.
(b) Bahasa Jawa ialah bahasa tertua dan bahasa induk daripada bahasa yang lain.
K. Himly, yang mendasarkan kajiannya terhadap perbandingan bunyi dan bentuk kata bahasa Campa dan berbagai bahasa di Asia Tenggara menyangkal pendapat yang mengatakan bahawa bahasa Melayu Polinesia serumpun dengan bahasa Campa. Pendapat ini disokong oleh P.W. Schmidt yang membuat kajiannya berdasarkan struktur ayat dan perbendaharaan kata bahasa Campa dan Mon-Khmer. Beliau mendapati bahwa bahasa Melayu yang terdapat dalam kedua bahasa di atas merupakan bahasa saduran saja.

Sutan Takdir Alisjahbana, ketika menyampaikan Syarahan Umum di Universiti Sains Malaysia (Juli 1987) menganggap bahwa bangsa yang berkulit coklat yang hidup di Asia Tenggara, iaitu Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Filipina Selatan sebagai bangsa Melayu yang berasal daripada rumpun bangsa yang satu. Mereka bukan sahja mempunyai persamaan kulit bahkan persamaan bentuk dan anggota badan yang berbeda daripada bangsa Cina di sebelah timur dan bangsa India di sebelah barat.

Gorys Keraf di dalam bukunya Linguistik bandingan historis (1984) mengemukakan teori Leksikostatistik dan teori Migrasi bagi mengkaji asal usul bangsa dan bahasa Melayu. Setelah mengemukakan uraian tentang kelemahan pendapat terdahulu seperti: Reinhold Foster (1776), William Marsden (1843), John Crawfurd (1848), J.R. Logan (1848), A.H. Keane (1880), H.K. Kern (1889), Slametmuljana (1964), dan Dyen (1965) beliau mengambil kesimpulan bahawa "...negeri asal (tanahair, homeland) nenek moyang bangsa Austronesia haruslah daerah Indonesia dan Filipina (termasuk daerah-daerah yang sekarang merupakan laut dan selat), yang dulunya merupakan kesatuan geografis".
Pendapat lain yang tidak mengakui bahwa orang Melayu ini berasal dari daratan Asia mengatakan bahwa pada Zaman Kuarter atau Kala Wurn bermula dengan Zaman es Besar sekitar dua juta hingga lima ratus ribu tahun yang lalu. Zaman ini berakhir dengan mencairnya es secara perlahan-lahan dan air laut menggenangi dataran rendah. Dataran tinggi menjadi pulau. Ada pulau yang besar dan ada pulau yang kecil. Pemisahan di antara satu daratan dengan daratan yang lain berlaku juga karena terjadi juga letusan gunung berapi dan gempa bumi. Pada masa inilah Semenanjung Tanah Melayu berpisah dengan yang lain sehingga kemudian dikenali sebagai Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan pulau lain di Indonesia.
Dalam perkembangannya di kemudian hari, penelitian mengenai bahasa melayu mengkategorikan perkembangan bahasa melayu kedalam beberapa golongan, yakni :
Bahasa Melayu Purba
Bahasa Melayu Purba adalah nama yang diberikan pada bahasa yang digunakan sebelum ditemui bukti sejarah berupa batu bersurat. Hal ini diasumsikan bahwa sebelum ditemui bukti batu bersurat tersebut,bahasa melayu telah digunakan untuk masa yang panjang karena didapati bahasa yang ada pada batu bersurat ternyata sudah agak tersusun tata bahasanya dimana pada batu bersurat dimasukan jga beberapa perkataan melayu.
Bahasa Melayu Kuno
Bahasa melayu kuno adalah bahasa yang mendapat pengaruh dari para pedagang yang singgah di pelabuhan Malaka. zaman dahulu kala sebelum masehi, Selat Melaka telah digunakan oleh pedagang Arab sebagai tempat yang dilintasi pelayaran yang membawa barang perniagaan dari Tiongkok, Sumatera, dan India ke Pelabuhan Yaman. Dari Sumatera hasil yang paling utama mereka beli ialah rempah-rempah karena rempah ini merupakan keperluan yang penting bagi orang Arab di Saba' (Kerajaan Saba' wujud di antara 115-950 SM). Pelabuhan di Sumatera pula mendapat bekalan rempah ini dari Pulau Maluku di samping Aceh yang sudah terkenal hasil rempahnya ke dunia Arab.. Penggunaan kapur barus untuk mengawetkan mayat (mummi) yang disimpan di dalam piramid pada Zaman Mesir Kuno dikatakan diambil dari Barus (nama tempat) di Pulau Sumatera. Pada abad pertama, barulah pedagang dari India belayar ke timur menuju Tiongkok dan pedagang Tiongkok pula belayar ke barat menuju India. Pelayaran dua ini mengakibatkan mereka melalui Selat Melaka. Lama-kelamaan pelabuhan yang ada di Kepulauan Melayu ini bukan saja sebagai tempat persinggahan tetapi juga menjadi tempat perdagangan pedagang India dan Tiongkok seperti yang telah dirintis lebih awal oleh pedagang Arab. Di samping itu juga para mubaligh terutama mubaligh India turut datang ke Kepulauan Melayu ini untuk menyebarkan agama Hindu. Kedatangan para pedagang dan penyebar agama ini mengakibatkan bahasa Melayu Purba mendapat pengaruh baru. Bahasa Melayu Purba ini kemudian dinamai sebagai bahasa Melayu Kuno.
Bahasa Melayu Klasik
Bahasa Melayu Klasik merupakan campuran bahasa Melayu, dialek, bahasa Sanskrit, dan juga bahasa Arab. Bahasa Arab menggunakan bentuk tulisan yang berbeda dengan Rencong dan juga Sanskrit. Kedua bentuk tulisan yang awal ini sebenarnya hanya dikuasai oleh golongan tertentu saja dan orang umum tidak memiliki kemahiran tulisan tersebut. Tulisan Arab juga ternyata tidak dapat membaca ataupun menulis perkataan orang Melayu secara tepat. Karena itu beberapa bentuk tulisan Arab perlu disesuaikan dan juga dengan memanfaatkan tulisan Parsi. Dari hasil pengubahan ini kemudian lahir tulisan Jawi. Pada masa itu tulisan Jawi dapat memenuhi keperluan untuk menulis atau menuangkan tentang perhubungan dan pemikiran orang Melayu.
Bahasa Melayu Modern
Bahasa Melayu Moden merupakan perkembangan bahasa terdahulu ditambah dengan pengaruh bahasa asing yang lain seperti bahasa Inggris, Belanda, Portugis, dan Cina. Pada saat masa bahasa melayu modern ini, tulisan Jawi mengalami kesulitan untuk menulis karena didapatkan bahwa lambangnya kurang. Lagi pula, bentuk tulisan Jawi ini agak unik dan rumit sehingga satu perkataan dapat disebut dengan dua atau tiga bunyi.
Bahasa Melayu Tinggi
Bahasa Melayu Tinggi ialah bahasa Melayu yang ingin kembali pada sifat bahasa Melayu yang sejati. Perkataan yang digunakan di dalam bahasa Melayu boleh berasal daripada bahasa manapun sesuai dengan sejarahnya juga. Namun aturan pembentukan kata dan pembentukan kalimatnya sedapat mungkin tidak mengikuti cara bahasa lain, karena ia memiliki aturannya sendiri. Kembali pada aturannya sendiri bukan berarti bahwa bahasa Melayu Tinggi kembali pada bahasa Melayu Purba. Namun dengan menyerahkan aturan yang sesuai dengan sifat semula jadinya bahasa melayu akan lebih cepat berkembang. Bahasa lain boleh masuk dan bahasa tersebut akan menjadi milik bahasa Melayu karena telah dimelayukan oleh aturannya dan sifatnya sendiri.
Bahasa Melayu Sebagai Bahasa yang Toleran
Dari uraian mengenai sejarah serta lika-liku bahasa melayu diatas, kita dapat mengatakan bahwa bahasa melayu memiliki media pemasifan yang mengena di masyarakat hingga akhirnya bahasa ini menjadi sebuah bahasa yang familiar dan dapat diterima oleh khalayak masyarakat. Hal ini merupakan indikasi bahwa bahasa melayu merupakan bahasa yang dinamis dan memiliki toleransi. Tanpa dua karakter ini tentunya masyarakat tidak akan dengan mudah menerima bahasa melayu. Bahasa melayu juga tidak memiliki sifat keeksklusifan sehingga mampu masuk kedalam seluruh bagian masyarakat. Sebagai studi perbandingan misalnya dengan bahasa jawa yang memiliki tingkatan bahasa seperti kromo inggil, krama, dan ngoko. Contoh lain misal dalam bahasa madura yang mengenal tingkatan-tingkatan seperti Ja' - iya (sama dengan ngoko), Engghi-Enthen (sama dengan Madya), Engghi-Bunthen (sama dengan Krama)
Dengan karakter toleransi-nya ini, bahasa melayu dapat berfusi dengan berbagai macam bahasa sehingga masyarakat menjadikan bahasa ini menjadi lingua franca (bahasa perdagangan/pergaulan). Kata toleransi yang digunakan disini memiliki makna bahwa bahasa melayu mampu beradaptasi dengan bahasa lain dan mampu menjadi ”penengah” tanpa meninggikan ego kedaerahan. Bahasa melayu juga merupakan bahasa yang memiliki banyak keterkaitan erat dengan bahasa lain. Seperti diungkapkan oleh John Crawfurd yang pada tahun 1852 menerbitkan buku yang berjudul A grammar and dictionary of the Malay language Buku ini terbagi menjadi empat bagian pembahasan . Jilid satu terdiri dari dua buku, dan jilid dua juga terdiri dari dua buku. Jilid satu buku pertama mengungkapkan sejarah bahasa Melayu. Diperlihatkan juga perbandingan perkataan bahasa Melayu dengan bahasa Jawa. Beberapa perkataan tersebut ialah:
Bahasa Melayu Bahasa Melayu
kasih gargaji kapak karbau makan lalat padipusatcubitsiku asihgarajikampakkebomanganlalar paripusarjuwitsikut
Selain itu diperlihatkan juga perbandingan antara bahasa Melayu dengan bahasa Lampung, bahasa Melayu dengan bahasa Sunda, bahasa Melayu dengan bahasa Madura, bahasa Melayu dengan bahasa Bali, bahasa Melayu dengan bahasa Bugis, dan juga dengan beberapa bahasa di Indonesia Timur seperti bahasa di Pulau Timor, Pulau Roti, dan Pulau Sawu.
Perbandingan perkataan tersebut juga beliau lakukan antara bahasa Melayu dengan bahasa Tagalog, Bisaya, Campa, Formosa, Maori, Tahiti, Caroline, Guham, dan beberapa bahasa lain di Lautan Pasifik hingga bahasa Malagasi di Pulau Madagaskar. Perbandingan ini dimaksudkan oleh Crawfurd betapa banyaknya persamaan perkataan di antara bahasa Melayu dengan bahasa yang terdapat di Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Di dalam buku ini juga diperlihatkan beberapa bentuk aksara beberapa bahasa seperti Batak, Rejang, Lampung, Bugis, dan Tagalog.
Bahasa Melayu Sebagai Bahasa Nasional
Berkembangnya bahasa melayu sebagai bahasa nasional juga tidak dapat dilepaskan dari unsur politis yang terdapat didalamnya. Bahasa memang memiliki kaitan erat dengan politik dan kekuasaan. Secara sederhana, orang yang berkuasa memiliki pengaruh dan wewenang terhadap wacana-wacana yang berkemban dan dibahasakan. Tidak sebatas dalam konteks sesederhana itu, namun ada hal-hal lain yang merupakan kaitan erat antara bahasa dan kekuasaan. Dalam buku ‘Language and Power’, ada studi kasus tentang bahasa dalam bidang politik. Mereka mengetahui bahwa bahasa adalah alat penting untuk menbangunkan solidaritas di antara golongan sosial yang kemudian memihak kepada suatu partai itu (Fairclough 2003:201). Contohnya, dalam pidato politikus bisa menggunakan ‘kita’, sebagai pengganti ‘Anda’, karena ‘kita’ membuat perasaan bersatu dengan lain-lainnya. Juga ditahui mereka bahwa bahasa yang lebih otoritas membantu pemerintah mempunyai pengaruh atas masyarakat (Fairclough 2003:204). Hak untuk menentukan bahasa dan pengakuan lewat bahasa seringkali menjadi berperan sangat penting dalam konflik-konflik sosial-politik yang terjadi di seluruh dunia. Upaya untuk mempertahankan sebuah bahasa minoritas di tengah-tengah budaya lain yang menjadi mayoritas sering kali terkait erat dengan keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai dan identitas budaya yang unik dari penuturnya. Hal itu juga yang kemudian dapat dikategorikan dalam faktor penggunaan bahasa melayu sebagai bahasa nasional. Bahwa pada awal mula, bahas melayu dibangun dan didewasakan oleh tokoh-tokoh yang mampu melintasi kepentingan etnik, lokal, atau pribadinya. Muhammad Yamin, penyair, ahli hukum dan negarawan Minang, pernah mencatat bahwa pada tahun 1930-an, 30 persen lebih tokoh terkemuka di bidang politik, ilmu dan dagang di Indonesia berasal dari Minang (Melayu). Tokoh dan bahasa memiliki kaitan erat, dimana tokoh memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang diambil sebagai sebuah keputusan bersama.
Selain itu, hegemoni dalam bidang yang menggunakan bahasa seprti media merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam hal ini. Media memiliki kekuasaan untuk memproduksikan dan mempertahankan wacana yang dominan, maka itu berarti bahwa media juga sekaligus dapat menjadi agen bagi perubahan wacana. Dalam perkembangannya, bahasa melayu memiliki tingkat perkembangan bahasa dan media yang cukup pesat dengan berbagai karya sastra yang masih populer hingga sekarang ataupun media-media yang dikeluarkan pada masa itu.
Bahasa Sebagai Kekuatan Bangsa
Dengan meninjau karakteristik serta proses alur bahasa melayu sebagai bahasa nasional, dapat kita katakan bahwa bahasa yang kita miliki sekarang adalah sebagai sebuah kekuatan yang tak terpatahkan. Semangat pemersatuan ditengah keberagaman sangat terasa sebagai misi bahasa melayu. Maka pelestarian bahasa melayu dan bahasa nasional –yang bercikalbakal bahasa melayu- adalah suatu kemutlakan yang harus dilakukan jika kita tak ingin bangsa ini hilang. Jika unsur kekuatan suatu bangsa hilang maka lenyap juga bangsa tersebut. Hal ini patut diwaspadai apalagi dengan fenomena ”intervensi” bahasa asing terhadap bahasa nasional kita.
Pakar bahasa, Slamet Mulyana mengakui, sejak dulu baik ketika masih beridentitas bahasa Melayu maupun setelah menjadi bahasa Indonesia, telah terjadi kontak sosial dan budaya yang aktif dengan bahasa daerah. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa daerah telah bertemu. Kedua bahasa itu telah saling memperhatikan dan akhirnya saling mempengaruhi. Memang dalam pertumbuhan dan perkembangan sebuah bahasa, kontak budaya akan mengakibatkan kontak bahasa. Akibatnya, terjadi saling pengaruh.

KESIMPULAN

Bahasa melayu sebagai bahasa cikal bakal bahasa nasional merupakan bahasa yang memiliki karakteristik sebagai bahasa yang toleransi, dinamis, serta teguh pada jati diri. Hal ini merupakan kekuatan yang harus dipupuk oleh bangsa Indonesia. Bahasa Melayu merupakan bahasa yang memiliki eksistensi ditengah keberagaman budaya dan bahasa yang ada. Di tengah arus global, karakteristik seperti ini merupakan hal yang perlu dijaga dan dikembangkan untuk mempertahankan eksistensi sebuah bangsa. Perlu diwspadai pula gejala separatisme dengan kedok budaya. Penulis rasa hal itu justru akan menjadi hal yang tabu apabila terjadi pada bahasa melayu karena kita sudah mengetahui bahwa bahasa melayu adalah bahasa yang luhur dan bertoleran. Semoga bahasa melayu dapat terus eksis dengan karakteristik pemersatu tersebut dan dapat menjadi simbol yang merupakan pengejewantahan dari sebuah identitas bangsa.










Sumber Referensi


Thomas Linda dan Wareing Shan. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Rochman Syaifur dan Purwati Tuti. 2007. Pengantar Linguistik Umum. Disampaikan pada materi kuliah Pengantar Linguistik Umum prodi sastra Inggris UNSOED.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu. Tanggal akses 1 Desember 2007
http://www.anu.edu.au/asianstudies/ahcen/proudfoot. Tanggal akses 1 Desember 2007

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/28/0802.htm. Tanggal akses 10 Desember 2007
dan sumber-sumber lain
Curiculum Vitae

Shinta Ardhiyani Ummi, lahir di Tegal, 25 Mei 1987. Menyelesaikan pendidikan dasar, menengah dan atas di kota Tegal tepatnya di SD N kejambon 2 Tegal (lulus tahun 1999 ), SLTP N 2 Tegal (lulus tahun 2002), SMA N 1 Tegal (lulus tahun 2005). Kini sedang menjalani pendidikan di program studi sastra Inggris, jurusan Ilmu Budaya Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Budaya UNSOED-Purwokerto semester ketiga (tahun angkatan 2006). Penulis yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara ini memiliki minat terhadap dunia tulis menulis serta beberapa kali mengikuti event kepenulisan dan mendapatkan penghargaan dibidang tulis-menulis. Penghargaan terakhir yang diperoleh adalah juara I Lomba Essay tingkat Barlingmascakeb (2006). Karya Ilmiah terakhir yang dibuat adalah mengenai peran serta lingkungan PKK terhadap penanggulangan KDRT. Penulis memiliki pengalaman di berbagai organisasi. Saat ini sedang menjalani amanah sebagai sekretaris umum Kabinet Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UNSOED) periode 2007-2008; Divisi Marketing Radio Mafaza FM; tim penyiar Mafaza FM; kader Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) komisariat pertanian-cabang purwokerto, serta aktif di beberapa komunitas teater dan komunitas tulis-menulis. Penulis yang memiliki cita-cita sederhana menjadi “penulis” ini memiliki ketertarikan dalam bidang penelitian bahasa dan budaya. Saat ini penulis sedang melakukan sebuah studi kritis terhadap pemberlakuan standart bahasa Inggris (antara TOEFL dan IELTS, sebuah studi korelasi antara bahasa dan politik). Hal itu akan dituangkan dalam sebuah karya tulis ilmiah.





Read more ...
Saturday, January 19, 2008

HIPERMETROPI (Saat yang Dekat Kadang Terlupakan)


Keluarga adalah harta yang sangat berharga. Itu prinsip yang selalu dan selalu aku pegang dalam hidup ini. Yup, apapun dan bagaimanapun keadaannya, keluarga adalah hal yang sudah sepatutnya kita prioritaskan. Beberapa waktu terakhir ini, aku mendapat 'pelajaran" hidup yang semakin membuatku merasa mencintai papa, mama, mas ardan, dhe' ocha, dhe bilal, dan juga semua Djahrie's family.

Keputusanku untuk"break"dari beberapa aktivitas di organisasi membuat aku memiliki alokasi waktu lebih banyak untuk stay di kos. Ternyta banyak pelajaran baruyang kudapatkan. Mungkin ketika di awal-awal aku memanfaatkan waktu di kos hanya sekedar untuk kegiatan pribadi, istirahat dari berbagai kelelahan, dan sekedar haha-hihi dengan anak-anak kos. Teman-teman kospunsepertinya maklum banget. Mereka juga tampak canggung dan segan, mungkin karena shinta yang mereka kenal adalah shinta seorang PH BEM Universitas, Shinta yang seorang aktivis kampus, dll.

Pilihanku untuk break dari organisasi memang bukan sesuatu "basa-basi" atau pelarian dari kebosanan. Aq hanya belajar untuk berprioritas dan konsisten pada cita-cita. Keseriusan ini aku buktikan dengan berani berkata "tidak" pada setiap ajakan kegiatan yang menurut pandanganku tidak perlu diprioritaskan.

Ya, kini memang masih ada shinta yang sudah sibuk darini hari. Namun kalau dulu pagi2 aku udah rapat atau kajian, kini suasananya berbeda. Pagi2 aku kini punya waktu untuk lebih sering browsing internet. Atau menikmati pagi purwokerto dengan tubuh segar, secangkir the/susu dan duduk di sofa ruang tengah sambil menikmati barita pagi, atau "sepiring" bacaaan dan menunggu datangnya sang "ibu nasi kuning". Nah yang menarik itu,biasanya disaat-saat seperti itu, teman2 yang lain ikut nimbrung dan kita ngobrol macem2. Bukan cuka ngegosip,tapi aku mendapat hikmah untuk lebih mengenal penghuni lain di kos. Aku masih cukup ingat dan terkesan dengan sebuah celetukan kalimat " Tapi kan gw pengen cerita ke lo mbak…". Itu statement ringan tapi cukup membuatku terenyuh dan membuatku sadar bahwa aku masih dibutuhkan. Banyak hal yang dapat aku perbuat untuk "keluarga angkat" ku ini.

Satu cerita tentang salah satu adhe' kos-ku. Mungkin ini juga terjadi pada teman-temanku yang lain. Entah kenapa, dia merasa nyaman untuk cerita tentang beberapa bagian hidupnya. Salah satunya tentang "boyfriend". Lama-kelamaan aku mulai merasa ada yang nggak beres dengan "hubungan" mereka. Hubungan LD itu sudah tidak sehat. Tidak hanya dia seorang namun juga beberapa anak lain.

Entah kenapa, mungkin karena "dipercaya", aku jadi merasa ikut bertanggungjawab. Aku belajar untuk mencoba memberi arah. Yeah…semoga apa yang aku lakukan dapat bermanfaat. Sungguh bagiku tak ada hal yang lebih menyenangkan selain saat kita bisa merasakan bahwa kita bermanfaat bagi orang lain.

Semalam juga aku kembali berada di obrolan teman-teman. Ada hal yang mebuat aku merenung. Tentang beberapa "terdakwa" pergaulan bebas itu memiliki keluarga yang Sangat baik. Kenapa aku katakana sangat??? Secara tampak mata, semua punya statement bahwa para "terdakwa" itu memiliki kakak yang notabene seorang "akhwat", aktivis dakwah, dan istilah2 sejenisnya. Aku yakin mereka punya ilmu yang kompeten untuk masalah pergaulan, syariat, dan sebagainya. But, kenapa mereka gagal mendakwahkan pada darah dagingnya sendiri????

Ketika aku tau bahwa para "terdakwa" itu punya kakak2 seorang yang "fillah", aku agak merasa ringan dan berpijiran " Alhamdulillah, ada yang lebih bertanggunghawab atas mereka.., nta yakin mereka lebih mampu" Yeah…setidaknya nta tak terlalu merasa bertanggungjawab banget terhadap mereka.

Aku juga kembali teringat pada sebuah kisah temanku, yang beliau itujuga "aktivis dakwah" yang selalu memprioritaskan "ummat" dalam hidupnya. Namun, adik beliau (waktu itu sempat dititipkan padaku) ternyata "tidak kebagian" bias dakwah dari beliau.

Ini sebuah pelajaran yang sangat berharga. Aku jadi teringat dhe' Ocha dan dhe' Bilal. Mereka adalah perhiasan-ku. Jundi-jundi yang aku sayangi. Aku terkadang juga takut barangkali saja adhe2ku merasa lonely so aku berusaha belajar dan terus belajar menjadi sosok kakak yang baik.

Ah, aku jadi kangen rumah. Sungguh tak tergambar bahagiaku waktu hari ahad pekan lalu, dhe bilal dan mas ardan main ke purwokerto. Sungguh aku bangga sekalil saat mengenalkan mereka ke teman2 masjid dan teman2ku yang lain. Hari itu terasa singkat karena dihabiskan jalan2 bersama orang2 yang kucintai. Initak terlalu didramatisir karena asal tau saja, aku dan mas ardan hubungan komunikasinya tidak terlalu baik. Mungkin karena beda karakter, mas ardan yang kalem dan aku yang cerewet bangetzzz(he3). Jujur hubunganku dengan mas atdan tidak begitu baik. Akur namun tak terlalu dekat. Makanya hari minggu itu saat mereka berdua datang adalah saat-saat yang membahagiakna buatku.

Kembali tentang dhe bilal dan ocha.Mereka selaluada dalam riak pikirku. Mungkin kalau dilihat, aku tidak terlalu memanjakan mereka. Tapi, aku selalu punya alas an untuk mnentukan sikap kepada mereka. Misal saja, aku selalu berusaha menyempatkan membantu mereka belajar. Seperti waktu itu, ocha meminta bantuanku untuk tugas English translate. Mungkin dalam hintungan menit aku bias saja menyelesaikan, namun aku lebih memilih untuk menyuruh dia mengerjakan sendiri dan nanti aku koreksi. Sambilbelajar kosakata, pikirku. Namun, dia malah menangis dan mengatakan aku pelit. Yeah…aku tau waktu itu liahat dia mendapat PR banyak dari guru. Namun itu bukan alas an. Aku kekeuh dengan pendirianku. Aku biarkan dia mengerjakan sendiri. Ternyata karena kelelahan dia tak bias menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan. Aku mengerti itu. Diam-diam esok harinya sebelum shubuh, aku coba kerjakan tugas translate-nya sebelum aku brangkat ke purwokerto. BIarlah ocha masih marah terhadap sikapku tapi aku Cuma ingin dia tau bahwa aku saying banget sama ocha dan bilal.

Kalau sedang pulang ke rumah, aku sempatkan mendengar curhat-curhat mereka. Bukan hanya mereka saja, tapi beberapa sepupu atau keponakan yang kadang2 kumpul di hari-hari libur.

Dhe Dhina…keponakanku yang kini sedang memasuki usia puber. Dari curhatan2nya, aku mencoba menjadi sahabat dan kakak-nya. JUga si abang, melon. atau yang lain.

Aku rasa, inilah dakwah. Ketika kita bisa memberikan sesuatu walaupunhanya sekedar pemikiran dan perhatian pada keluarga. Aku mungkin bukan orang yang mengerti ilmu psikologi atau teknik pendekatan yang baik. Tapi aku punya cinta untuk mereka.

Kalau aku boleh mengingat tentang seseorang, yang cukup berharga dalam hidupku, bias dibilang beliau juga merupakan "kakak" yang telah memberikan pelajaran hidup. Tapi aku menolak untuk menganggapnya kakak walaupun aku sungguh sangat menyayanginya dan beliau pun orang yang cukup mulia dan tidak mau "bermain api" dalam pergaulan lawan jenis. Ya sudahlah, biarlah waktu dan cinta yang menjawabnya.

Untuk Ocha dan Bilal ;
Mungkin mbak nta bukan mbak yang bisa membari kalian kebahagiaan materi. Mbak nta blm punya banyak duit untuk bisa sering-sering kasih kalian jajan ataupun mainan.
Mungkin mbak nta bukan peri yang cantik dan baik hati yang selalu bisa memenuhi keinginan kalian
Mungkin mbak nta bukan orang genius yang bisa selalu menjawab keingintahuan kalian.
Mungkin mbak nta bukan "akhwat2" yang bias bersikap keibuan dan penuh perhatian pada kalian.
Bilal, met ultah yach!!!

Inilah mbak nta kalian yang hanya punya cinta dan kesungguhan untuk membimbing kalian dengan segala kekurangan yang mbak nta miliki.
Jadilah kalian qurota ayyun buat papa mama.

Buat mas ardan ;
Inilah nta….mungkin nta gak bias menjadi adik yang manis dan penurut buat mas. Nta mungkin juga bukan gadis pintar sepintar mas ardan. Nta Cuma gadis narsis yang berusaha melakukan semuanya dengan cinta dan orang yang selalu belajar untuk ikhlas.

Untuk keluarga: hanya ada satu kata….cinta!!!!


Tulisan ini kutujukan buat:
All of myfamily,
Mas ardan, dhe ocha , dhe bilal,

Seseorang yang tak mau kusebut namanya ( izinkan aku untuk menjaga rasa ini)

--sebagai pengantar kado ultah buat bilal, 15 Januari 2008... eh, aku masih hunting kado nih...bwt dibawa ntar pas pulang..--





Read more ...

Menatap Perfilman Indonesia 2008


.orang-orang di negara maju berani berjalan kemana-mana dan bekerja hingga larut malam, orang kita? Melangkahkan kaki sedikit sudah ketakutan, jangan-jangan di situ muncul sundel bolong, genderuwo, pocong, hantu jeruk purut, kuntilanak, siluman babi, leak, suster ngesot, Nyi Loro Kidul, si manis jembatan Ancol ... alamak! Banyak sekali sosok yang wajib ditakuti warga Indonesia!


TAHUN 2007 sudah habis. Di tahun itu, industri perfilman kita telah sukses merilis 49-an film bioskop. Tiga besar sementara adalah Nagabonar Jadi Dua (film komedi dengan 1,3 juta penonton), Get Married (film Komedi dengan 1,2 juta penonton), dan Terowongan Casablanca (film Horor dengan 1,1 juta penonton).

Saya tulis sementara karena ada film yang berpeluang menyodok ke posisi tiga besar itu, seperti Quickie Express (komedi) dan film horor (komedi). Cuma lantaran rilis mereka baru November 2007, belum bisalah kita membandingkannya dengan film-film lain yang telah mencapai ujung lifecycle-nya pada tahun yang sama.
Apa saja genre ke-49 film tersebut? Tak banyak berubah, tetap didominasi oleh horor, dan disusul percintaan. Sebenarnya, film drama diproduksi lebih banyak. Namun kalau genre yang memang terlampau luas itu dipecah-pecah menjadi subgenre seperti drama percintaan, drama komedi, maka hororlah yang nomor satu.
Republik Mistik

Sekitar 20 film atau 41 persen dari total film 2007 bernuansakan horor semua. Tampaknya, industri perfilman Indonesia masih menganggap genre ini sebagai jimat bagi kelarisan film. Memang, dalam tahun-tahun belakangan �jimat� tersebut terbukti keampuhannya. Apalagi ada bonus tambahan membuat film horor jatuhnya lebih murah dibanding genre drama. Salah satu sebabnya, film horor tidak membutuhkan bintang top, cukup pendatang baru.
Bandingkan saja dua film dari sutradara yang sama (Hanung Bramantyo) ini. Bujet Get Married adalah sekitar 4,5 milyar, sementara Legenda Sundel Bolong hanya perlu dana di kisaran 2,5 milyar. Itupun sudah tergolong besar. Kadang-kadang bujet sebuah film horor bisa ditekan di bawah angka 2 milyar rupiah. Tapi tetap laris bak kacang goreng! Soal ini sangat bisa jadi dipengaruhi oleh karakteristik penonton Indonesia.

Diakui atau tidak, film-film bergenre horor tumbuh subur lantaran penonton begitu menikmatinya. Kita ini senang sekali ditakut-takuti. Tidak ada yang salah dengan fakta itu. Seseorang menonton film laga supaya dibuat tercengang dan ikut ngos-ngosan. Menonton film komedi agar dibuat tertawa ngakak. Menonton film horor, apa lagi tujuannya kalau bukan supaya dibuat ketakutan? Sepintas tidak ada yang salah, memang.

Tapi apapun kalau berlebihan pasti ada efek sampingnya. Tidak usah membicarakan anak kecil (karena perkembangan jiwa anak yang terbiasa ditakut-takuti dan anak yang dibiarkan tumbuh tanpa dicekoki tahayul jelas-jelas beda). Sementara orang-orang di negara maju berani berjalan kemana-mana dan bekerja hingga larut malam, orang kita? Melangkahkan kaki sedikit sudah ketakutan, jangan-jangan di situ muncul sundel bolong, genderuwo, pocong, hantu jeruk purut, kuntilanak, siluman babi, leak, suster ngesot, Nyi Loro Kidul, si manis jembatan Ancol ... alamak! Banyak sekali sosok yang wajib ditakuti warga Indonesia!

Masyarakat kita mau-maunya membuang waktu untuk mempelajari dunia yang seharusnya bukan urusan manusia itu. Coba, mengapa dukun togel masih juga laris? Mengapa orang percaya pada kartu tarot? Sebagian anak muda yang seharusnya merupakan generasi berpola pikir modern pun bergantung pada zodiak dalam menjalani hidupnya (kalau tidak, mengapa rubrik �ramalan bintang� di media-media remaja/kosmopolitan masih ditunggu-tunggu juga?).

Orang bilang, masyarakat kita spiritualis (baca: terlalu banyak �percaya�. Jadi bagaimana mungkin perfilman Indonesia bisa lepas dari genre-genre klenik? Mustahil! Bagi yang tidak suka dengan genre ini, siap-siap saja kecewa. Karena horor, mistik, klenik dan kawan-kawannya masih akan terus diproduksi di tahun 2008.

Meskipun demikian, ternyata keadaan belum sepesimis itu. Harsiwi Achmad, Direktur Program televisi swasta, pernah mengatakan kalau stasiun televisinya berkomitmen menghindari film yang mengangkat kisah-kisah mistik atau kehidupan gelap. Misalnya pocong-pocongan, hantu-hantuan, atau setan yang mengeksplorasi kejahatan dan kegelapan.

Komitmen yang patut diacungi jempol. Entah bagaimana stasiun TV lainnya. Yang jelas, di tahun 2006 saja KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menerima 199 pengaduan masyarakat tentang tayangan mistik. Itu belum termasuk film-film bioskop yang kita bicarakan di awal-awal tadi.

Pasar Bicara Lain

Sekali lagi keadaan belumlah sepesimis itu. Kalau kita meneropong kembali tahun 2007, kita akan melihat bahwa ternyata sebuah pergeseran tren sedang terjadi. Posisi film terlaris tahun 2007 dan runner up-nya justru dipegang film non horor, atau tepatnya film komedi. Setelah itu baru judul-judul semacam Terowongan Casablanca (horor), Suster N (horor), Malam Jumat Kliwon (horor lagi), Pocong 3 (lagi-lagi horor), Kuntilanak (idem), Bukan Bintang Biasa (baru drama percintaan), dan Lawang Sewu (horor).

Hegemoni horor masih terasa, namun dia bukan lagi yang terlaris. Masyarakat mulai jenuh. Yang berjaya di festival-festival film pun genre komedi, dalam hal ini diwakili Get Married, Nagabonar Jadi 2, Mengejar Mas-Mas, dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda. Tengok saja, Nagabonar Jadi 2 memperoleh penghargaan film terpilih, film terlaris. Penulis naskah terpilih dan pemeran pembantu pria terpilih pada Festival Film Jakarta. Film besutan Deddy Mizwar itu juga merajalela di Festival Film Indonesia 2007.

Syukurlah, ternyata mencari sesuap nasi tak perlu dengan terus-terusan mengeksploitasi tahayul dan tuyul. Komedi pun bisa keren. Merespon pergantian hembusan tren ini, beberapa film komedi bahkan sudah diproduksi pada tahun 2007 lalu untuk dirilis tahun ini. Salah satunya �Otomatis Romantis� yang dibintangi Tukul Arwana.

Lantas, apakah genre ini yang akan menjadi primadona di tahun 2008? Entahlah. Satu yang pasti, film-film komedi yang disebut di sini bukan komedi-komedi slapstik dan klise seperti yang masih banyak dipertahankan stasiun-stasiun TV kita. Ini adalah komedi-komedi yang dikemas secara elegan dan cerdas. Di sinilah kita patut menatap perfilman Indonesia 2008 dengan optimisme.

Tapi alangkah bagusnya kalau hadir semakin banyak variasi dalam perfilman kita. Action, thriller, petualangan, musikal, bahkan animasi. Bagaimana, Bapak atau Ibu Produser? (*)

(* Penulis Adalah Peneliti film-komik-sastra di komunitas Warung Fiksi)



Read more ...
Wednesday, January 16, 2008

HOT NEWS : Kelangkaan Minyak Mengkisruhkan Widya Puri

Beberapa hari ini di Widya puri (kos2an tercinta and kos2an orang terkenal di UNSOED...:-) ) terjadi kekisruhan. Pasalnya kita terancam tidak bisa minum karena kelangkaan minyak tanah, jadi sudah tiga hari ini kompor di dapur kering dari minyak tanah dan tidak bisa digunakan.
Pengajuan kompor gas kepada bapak kos sudah dilakukan, walaupun sbnrnya kami juga tak bermasalah jika tetap menggunakan kompor minyak asalkan saja tidak terjadi kelangkaan.
Kos2an yang famous di wilayah karangwangkal itu menjadi agak panik, sehingga terpaksa memanfaatkan air isi Ulang Aqua setiap harinya. Kos2an berpenghuni 19 cewek imut ini terpaksa harus mengalokasikan dana kira2 40ribu perharinya cuma untuk memusnakan rasa haus.
Berita lain yang cukup menghebohkan adalah kabar bahwa harga tahu-tempe naik. AMmpun mamih......
Kemaren warung bu Sarni sudah menaikan tarifnya.
Tapi secara umum, komentar mereka : gpp tahu-tempe naik, kita gk sering2 amat beli penyet kok, yang penting gado2 tanjung n lumpia boom gk naik (gubraxxxxx!!!)

Sekian hotnews dari Widya Puri.
Ingat, hanya widya puri yang berpenghuni para putri!! (maksud loe???jayuz bangetz sieh)


doa kita : Ya Allah limpahkanlah minya tanah di bumu gemah ripah loh jinawi ini!!!amien...
:-p



Read more ...
Friday, January 11, 2008

Alternatif Pembelajaran Cybersastra


Sastra dan menulis adalah dua mata koin yang tak dapat dipisahkan. Sebagai sub dari cabang seni yang tertuang dalam wujud tulisan, kemampuan menulis merupakan salah satu syarat dalam berkarya sastra.

Dalam perkembangannya, sastra telah melalui berbagai perputaran roda. Mulai dari sastra klasik, hingga kontenporer. Di era postmo, pemanfaatan media sebagai pemasifan karya sastra menjadi alternatif yang cukup diminati. Perkembangan teknologi tak ayal memiliki pengaruh dalam berkembangnya hal tersebut. Winston churchill yang telah membuktikan kepiawaiannya dalam pidato-pidato melalui radio membuahkan hadiah nobel pada tahun 1940-an. Kemudian berkembanglah pengolahan dan apresiasi sastra melalui berbagai media elektronok. Dapat disebut seperti stasiun NHK di Jepang, stasiun tv BBC Inggris, dan lain sebagainya, hingga kini dikenal juga apresiasi sastra melalui media internet atau disebut juga cybersastra.

Lepas dari kontroversi mengenai cybersastra, pemanfaatan media internet ternyata cukup menarik animo. Namun-jika merujuk pernyataan diatas mengenai keterkaitan berkarya sastra dengan kemampuan menulis-, ternyata tidak semua orang mampu menulis dengan ”baik” dan tidak semua orang punya kesempatan untuk belajar menulis. Ruang dan waktu terkadang menjadi penghalang akan keinginan kuat untuk belajar menjadi penulis handal. Maka selain adanya wadah untuk berekspresi di dunia cybersatra ternyata dirasa perlu juga untuk menghadirkan wadah ”belajar” berkarya sastra yang dalam hal ini adalah belajar menulis.

Situs belajarmenulis.com melihat arti penting dari pembelajaran cybersastra ini. Dipandu oleh penulis yang sudah familiar namanya di dunia tulis menulis (bang Jonru), situs ini mencoba mengakomodir minat para ”makhluk cyber” untuk belajar sastra. Ide ini dirasa briliant dan secara tak langsung ini adalah sebuah upaya meminimalisir kontroversi mengenai cybersastra.

Beberapa sastrawan menganggap cybersastra adalah sebuah tong sampah. Karya-karya dalam cybersastra dirasa juga merupakan karya yang ”ecek-ecek”. Mungkin sebenarnya bukan cybersastra-nya yang ecek-ecek namun banyak hal yang perlu dipelajari terlebih dahulu oleh para makhluk cyber dalam berkaryasastra. Dunia maya yang menghilangkan sekat-sekat selayaknya di sastra koran menjadikan argumen kuat bagi ”pencemooh” cybersastra.

Belajarmenulis.com memiliki peran yang bagus dalam hal pembelajaran cybersastra. Diharapkan pula dari ”lulusan-lulusan” belajarmenulis.com ini dapat menjadikan image cybersastra ini menjadi lebih baik.

Namun ada hal yang perlu diwaspadai juga dalam perkembangan situs pembelajaran ketrampilan menulis ini. Yang perlu dikhawtirkan adalah jika nanti kedepannya akan terjebak dalam kapitalisme sastra. Tidak dapat dinafikan, bahwa motivasi terciptanya situs ini selain untuk memberikan pembelajaran menulis, juga merupakan salah satu usaha bisnis. Its ok, it doesnt matter, perhaps everyone can be understanding. Tapi, pemakluman merupakan suatuh hal kecil yang dapat menyebabkan hal-hal besar. Apalagi jika branding penulis kesohor yang menjadi nilai jual dalam bisnis ini.

Bagaimanapun juga, kemampuan menulis juga dipengaruhi oleh faktor bakat. Semua orang memang bisa menulis, namun tidak semua orang bisa menulis dengan penyatuan kata dan kalimat yang bagus sehingga layak dijadikan bacaan. Tiap orang memiliki idiolek kepenulisan masing-masing. Ada yang piawai merajut puisi, ada yang lihai menguntai fiksi, menyusun karya tulis, ada juga yang sekedar pandai menulis surat atau sekedar bisa menulis jawaban pada saat ujian akhir. Yang kemudian dapat menghasilkan tulisan yang layak baca dan dinikmati adalah yang kemudian pantas mendapatkan predikat penulis. Adanya klaim seseorang menjadi penulis diakomodir oleh penerbit-penerbit atau pihak-pihak yang berkaitan dengan kemampuan menulis itu.

Fenomena yang cukup memprihatinkan sekarang adalah kontoversi antara karya bestseller vs bermutu. Nah, hal ini pula yang perlu diwaspadai oleh belajarmenulis.com, jangan sampai karena pembelajaran di situs tersebut memerlukan dukungan finansial, maka dengan mudahnya memberikan predikat ”sarjana menulis yang cumlaude” pada para lulusannya. Karena opini masyarakat dapat terbentuk oleh pengklaiman yang dilakukan oleh segolongan yang punya pengaruh. Ini hanya sebatas pendapat untuk mewaspadai saja, karena ketika estetika sastra telah dinodai kekuatan modal, maka secara tidak langsung telah melakukan penghinaan terhadap sebuah hasil olah cipta, rasa, dan karsa. Good luck!! Salam budaya, salam sastra!!!




Read more ...
Tuesday, January 08, 2008

Peran Pemuda dan Potensi Konflik Pilkada


(Purwokerto)Perhelatan pesta demokrasi tak lama lagi akan menjadi momen penting di Kabupaten Banyumas melalui Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) secara langsung. Selain sebagai sebuah pengejewantahan dari demokrasi, pilkada yang tentunya merupakan ajang kekuatan politis, tak ayal lagi berpotensi untuk menimbulkan konflik ditengah masyarakat. Munculnya konflik memang merupakan sebuah bagian proses yang harus dihadapi, namun keberadaaanya juga dapat membiaskan makna demokrasi serta mengaburkan kepercayaan masyarakat terhadap arti demokrasi. Untuk itu diperlukan sikap yang bijak untuk senantiasa menghindari konflik atau setidaknya meminimalisir terjadinya konflik.

Pemikiran itulah yang kemudian melandaskan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman mengadakan kegiatan Diskusi Publik " Mewujudkan Pilkada Damai di Kabupaten Banyumas" pada hari Senin (7/1)kemarin di Ruang 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNSOED. Diskusi ini menghadirkan empat pembicara dari berbagai latar belakang, yakni : Dra.Suci R (Wakalpores Banyumas), Ismiyanto Heru Permana (Ketua KPUD Banyumas), Drs. Bambang Suswanto (PD3 FISIP), Luthfi Makhasin (akademisi). Diskusi yang dimulai sekitar pukul 10.00 WIB dihadiri oleh elemen mahasiswa dari berbagai gerakan baik intra kampus maupun ekstra kampus. Selain itu, acara ini juga mengundang elemen pelajar SMA dan SMK di purwokerto. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah pendidikan politik yang sehat bagi pemula.

Walaupun menurut Luthfi Makhasin, potensi konflik pada pilkada Banyumas nanti dinilai cukup kecil, namun perlu berbagai kewaspadaan untuk menghadapi berbagai hal yang tidak diinginkan. Tindak preventif juga turut dilakukan oleh pihak Polres Banyumas. Menurut uraian yang telah diberikan oleh Ibu Wakapolres, di jajaran polres sendiri telah menyatakan siap untuk unjuk gigi mengamankan pelaksanaan pesta demokrasi yang terjadwal tanggal 10 Februari nanti. Beberapa simulasi serta pengarahan telah dilakukan baik kepada masyarakat, calon bupati dan wakil, serta pihak-pihak lain yang terkait.

Dalam diskusi yang berdurasi sekitar 150 menit kemarin ternyata dapat diketahui banyak hal yang dapat menjadi potensi konflik baik pra, pasca, ataupun pada saat hari H. Salah satu hal yang cukup menarik animo yaitu mengenai legalitas KPUD Banyumas.Hal ini menimbulkan konflik di tingkat elitis. Walaupun demikian, dikhawatirkan hal ini juga dapat berpengaruh menjadi konflik di masyarakat yang ditimbulkan dengan sentimen-sentimen pihak tertentu. Seperti yang telah diketahui bahwa ketua KPUD Banyumas pernah menjalani sanksi pidana. Hal ini pula yang diungkapkan pada saat session tanya jawab.

Mengenai tindak preventif terhadap konflik, juga ada Mou (Memorandum of undesrtanding) yang dilakukan oleh pempat calon bupati dan wakil yang disaksikan pihak kepolisian, jajaran Muspida, serta KPUD. Mou itu dimaksudkan sebagai sebuah kesepakatan antara berbagai pihak untuk mau bersikap bijak dalam pelaksanaan pilkada nanti. Dalam Mou tersebut disebutkan pada butir ketujuh bahwa mereka tidak akan mempermasalahkan legalitas KPUD. Selain itu, Mou itupada intinya berisi bahwa setiap calon bupati dan wakilnya bersama KPU akan mewujudkan pilkada yang cermat dan demokratis.

Selain permasalahan legalitas, banyak hal lain yang menjadi potensi konflik, seperti money politic, culture masyarakat (dari tinjauan antropologi), serta pemanfaatan pemilih pemula. Hal ini merupakan korelasi dengan tema yang diangkat yakni mengenai peran mahasiswa dan pelajar sebagai pemuda dan pemilih pemula. Selain pendidikan politik yang dirasakan lebih kepada pembodohan melalui berbagai cara kampanye, pemanfaatan mahasiswa dalam sebuah lembaga kemahasiswaan nampaknya menjadi perbincangan yang cukup menarik. Keberadaan salah satu lembaga mahasiswa yang disinyalir merupakan underbow dari salah satu calon bupati merupakan suatu fenomena yang dipandang risih di lingkungan akademis. Apalagi dengan dukungan dari salah satu birokrat universitas. Hal ini dinetralkan oleh Luthfi Makhasin yang juga merupakan staf pengajar program studi ilmu politik UNSOED bahwa selaku Birokrat kampus, menurut beliau niat kami hanyalah sebagai fasilitator pengkajian-pengkajian bidang akademis. Mengenai apa yang terjadi dibalik lembaga tersebut merupakan tanggungjawab lembaga dan bukan merupakan tanggungjawab kampus karena apa yang dilakukan pihak kampus adalah semata-mata demi kemajuan ilmu pengetahuan. Selain itu,menurut keterangan Pak Luthfi kembali bahwa dari pihak kampus juga telah mengisyaratkan bahwa telah ada peringatan tertentu bagi jajaran birokrat kampus yang terbukti aksi yang tidak dapat menjaga sikap netral sebagai akdemisi dan juga PNS.

Bukan pada wilayah mahasiswa saja, namun pelajar nampaknya telah mulai menjadi sasaran kampanye yang tidak cerdas. Hal tersebut menjadi sebuah keprihatinan tersendiri oleh para pengamat dan praktisi. Karena itu, perlu antisipasi dini dengan memberikan banyak pengarahan kepada pemilih pemula. Maka Pemuda (mahasiswa dan pelajar) diharap dapat turut aktif dalam mewujudkan pilkada damai, bukan sebagai partisan namun sebagai pihak yang mampu berkemampuan akademis dan cerdas menghadapi segala tindak yang tidak cerdas dalam pelaksanaan pesta demokrasi.

Di akhir acara, BEM Unsoed melakukan pernyataan sikap yang intinya adalah mengajak seluruh elemen pemuda untuk turut serta dalam mewujudkan pilkada damai di kabupaten Banyumas. Selain itu, BEM Unsoed juga menyebarkan poster-poster mengenai pendidikan politik cerdas bagi para pemilih pemula. Diharapkan dengan hal ini dapat menjadi salah satu eksistensi dan bentuk tanggungjawab BEM dalam pengabdiannya kepada masyarakat Banyumas .


(by : Shinta Ardhiyani Ummi - Sekretaris Umum Kabinet Pelopr BEM Unsoed 2007/2008)



Read more ...
Friday, January 04, 2008

TOP TEN QUESTIONS OF THE WEEK

1. Shinta.........Kok susah dihubungi???hpnya kok gk aktiv???
(ampun deh....paling males nta jawab pertanyaan ni, dari mulai temen kampus nyampe temen yg gk prnah ketemu....nanyain ntu semua...sekarang nta pengen nanya, siapa sieh yang nyiptain handphone???nta sebel banget!!!jadi mengurangi ruang pribadi...ceile...he3.... Ok, maaf banget deh...mngkin nta bnr2 lg gk bs contact dulu...)
2. Neng, kok tmbah kurus???
(eh..ni pertanyaan yang agak kadaluwarsa...skrng...aku gemuk lagi...berat badanku naik lagi...cihuy....!!!!)
3. Lo tambah item ya ta??? (ni prtanyaan dr si kurang ajar Tance...padahal dia si ratunya item...cm dia seorang yang nanya kayak gini)
=> yeah...ce, secara...gw kl lg dpt masalah suka lupa maskeran...n produk yg kupake trnyata SPFnya kurang dr 10..he3.
4. Shinta, lg sibuk apa???
(ni prtanyaan paling sering...yang pasti lg sibuk merenung.he3. Saat ini lg siapin UAS, berburu scholarship, n tentunya nulis...lg nyiapin LKTM bln Maret...mohon doanya aja dari semua...)
5. Shinta, bisa dateng kan ke acara...... di..... ???
(paling2 nta jawab "wah...maaf...bentrok sama kegiatan ini..itu..." he3....)
6. Neng, gimana kuliahnya??? (kalo ini yang nanyain sohib2 n keluarga)
( yeah...baek2 saja....insya Allah semester ni gk ada yang keblacklist..soalna temen2 pada baek2 nandatanganin absen....=>secara soalnya nilaiku bagus tp gk bisa keluar gara2 bolosku kebanyakan.he3)
7. Neng, punya waktu kapan???
(waktu sieh Allah selalu kasih coy!!!tul gak???)
8. Shinta, jarang keliatan???
(yangs sering nanyain ini temen2 kelas. Sehari bisa 3 orang yang nanya kayak gitu. Yup, shints sering rolling kelas n pindah di kelas B,soalnya bentrok sama kegiatan so drpda bolos mending kul ikut kelas lain...trus ad bbrpa yang aku ambil mata kuliah semester atas...jd jarang ketemu deh sama temen2 kelas D tercinta...im still love u all...mmuach...)
9. Alhamdulillah skrng aq bisa liat shinta lbh sering di kos, lg kenapa neng???
(ya elah...serba salah deh...jarang di kos diomong, sering di kos dimong juga....he3. Yang pasti aq lg cinta kos-an.... lumayan dapet khatam dua buku salam satu minggu, bisa jd tmpat cerita temen2 kos, bisa nyoba bikin ketrampilan kain flanel, bisa masak nasi goreng, he3)
10. Shinta, punya duit nggak??
(he..he...he... setidaknya 1 bulan kmrn ada 3 orang yang nanyain itu)class="fullpost">



Read more ...