Pages

Thursday, January 12, 2012

Belajar Dari Ternak

(ternak = anter anak.red)

Pagi tadi, seusai olahraga pagi, saya dimintai tolong untuk mengantar Sofi dan Sayyid ke sekolah. Kebetulan kalau ustadz Sofwan sedang keluar kota, saya memang sering dimintai tolong untuk itu. Bagi saya, aktivitas-aktivitas seperti ini punya kesan tersendiri. Mengantarkan anak ke sekolah. Tentu kalo sekarang bukan anak saya sendiri. hehe. Selain hal teknis seperti harus memboncengkan dua anak kecil dan tidak bisa ngebut.. :D , yang menarik bagi saya adalah ketika sudah sampai di sekolah. Saya bukan petugas antar jemput, jadi memang kewajiban saya bukan sekedar untuk mengantarkan anak sampai sekolah. Dik Sofi dan Sayyid (nuna) sudah seperti keluarga saya sendiri di Purwokerto ini, maka yang saya rasakan adalah saya harus benar-benar “mengantar” kedua adik tersebut. Selain menjaga keselamatan hingga sekolah, juga ketika sudah sampai di sekolah, sebaiknya jangan langsung ditinggal. Minimal kita benar-benar melihat si kecil sudah bertemu dengan guru yang akan menjadi orang tua sementara mereka di sekolah. Saya perlu benar-benar tahu bahwa Shofi ketika sudah sampai di TK Al-Irsyad, ia siap untuk belajar bersama teman-temannya, masuk ke sekolah dengan riang, dan guru-gurunya juga siap untuk menjadi orangtuanya selama beberapa jam kedepannya. Begitu juga dengan Nuna yang masih bersekolah di Paud, kalau ini saya perlu mengantarkan benar-benar sampai ruang kelas dan bertemu dengan guru-gurunya.

Aktivitas seperti ini membuat saya berpikir tentang peran orangtua dan sekolah. Pendidikan bagi anak-anak paling utama adalah di keluarga. Tidak berlebihan jika seorang ibu disebut sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Maka, institusi pendidikan seperti sekolah sebenarnya hanya bersifat membantu penyelenggaraan pendidikan secara formal diluar rumah, untuk membantu anak belajar bersosialisasi. Tanggungjawab ortu bukanlah menyekolahkan anak-anaknya, tapi memastikan bahwa anak-anaknya mendapat pendidikan yang tepat, salah satunya dapat berupa bentuk mempercayakan sekolah sebagai “partner” pendidikan. Dari mulai memilih sekolah hingga mereview aktivitas anak-anak di sekolah, merupakan bagian dari tanggungjawab ortu. Seperti setiap mengantarkan anak ke sekolah, itu adalah moment berharga bagi ortu untuk bisa meyakinkan putra-putrinya bahwa mereka masih dalam pengawasan ortu. Kecuali ada kendala teknis, mengantar / melepas anak ke sekolah haruslah menjadi waktu berharga seperti seorang ayah melepas anak gadisnya untuk dipinang. *halah, rada lebai yak*. Kalau saya punya anak dan nantinya harus sekolah diluar rumah (saya tentunya juga bisa nanti punya pilihan untuk homeschooling) , atau kalau sekolahnya terpaksa harus di lokasi yang jauh dari rumah, saya akan berusaha selalu standby untuk mengantarnya.


Saya mungkin tidak punya banyak teori tentang pendekatan ortu dalam proses pendidikan anak-anaknya. Tapi, saya mungkin punya kesan yang ingin dishare tentang hal itu. Sejak kecil, saya sangat jarang merasakan sekolah diantar oleh ortu. Lepas dari masalah bahwa papaku sibuk, ortuku cerai, ataupun masalah teknis seperti jarak sekolahku yang dekat, kesan-kesan saat kecil dulu membentuk sebuah opini tersendiri tentang pentingnya ortu melakukan aktivitas ternak (anter anak). Konotasi akronim nya rada nggak enak ya??hehe. Tapi jangan diambil masalah deh, biar lebih santai aja.

Dulu saya sempat mengenyam pendidikan prasekolah atau Taman Kanak-Kanak di sebuah TK Aisyiyah Bustanul Athfal 5 (ABA 5). Yang saya ingat adalah, ketika semua teman-teman saya diantar jemput oleh orang tuanya masing-masing, saya malah diantar-jemput oleh tukang becak, setiap hari. Saya masih ingat sekali pada Pak Thoyib (bukan judul lagu ya), tukang becak langganan saya yang selalu standby pukul tujuh pagi (padahal saya berangkat pukul7.30an) di depan rumah. Kemudian berlanjut saat SD, saya mempunyai satu moment yang sangat indah yaitu ketika Papa bisa nganter ke sekolah saat pendaftaran. Wah, itu sangat menyenangkan. Saya menggenggam tangan Papa erat sekali sambil banyak bertanya : sekolah SD tuh kayak apa? Ntar pas ndaftar disuruh nyanyi apa nggak? Dan pertanyaan-pertanyaan khas anak kecil lainnya. Papa juga menjawabnya dengan antusias dan bilang : “nanti kalau nta disuruh nyanyi, yang keras ya, biar papa denger”. Nice!!! Aku masih menyimpan erat semua kenangan itu, pa. Tapi sayangnya itu hanya terjadi satu kali.hehe. Selanjutnya saya terbiasa dengan “antar jemput” yang lain. Entah itu diantar nenek, becak, tetangga, atau saudara. Papaku dulu pedagang, jadi sering keluar kota untuk cari barang dan lain sebagainya. Saya banyak kehilangan sosok orang tua saat kecil. Saya masih ingat sekali, saya pernah menunggu ayah pulang hingga larut malam dan menangis. Saya juga tidak tahu kenapa waktu itu saya menangis. Mungkin ekspresi kerinduan yang teramat sangat. Ada beberapa moment masa kecil yang entah kenapa saya masih merekamnya jelas. Tapi bukan itu yang ingin saya share disini.hehe. Itulah kenapa saya sungguh mencintai almarhumah nenek. Beliau lah yang menemani saya di hari pertama saya masuk sekolah SD. Saya memang bukan anak cengeng, saya nggak masalah ketika sekolah tidak ditungguin oleh orang tua. Tapi, masuk ke dunia sekolah untuk pertama kalinya, saya merasa harus mendapat support dari orang terdekat dan itu saya dapatkan dari nenek. *Teriring doa untuk kelapangan kubur nenek tercinta*.

Berlanjut saat SD, mulai kelas dua saya sudah berangkat dan pulang sendiri tanpa harus diantar. Beruntungnya, saya bersekolah yang dekat rumah dari SD hingga SMA, tak pernah lepas dari Jl.Menteri Soepeno.hehe. Tapi memang menyenangkan bisa berangkat dan pulang sekolah bareng teman-teman. Oya, moment indah juga adalah dulu masih sering berangkat sekolah bareng mas ardan, kakak kandung saya. *ah, aku kangen kamu mas, kemarin pasti habis rapat sampai larut lagi ya? YMnya aku cek masih on sampai malam. GBU*. Sampai SMP, kebiasaan ini masih kadang-kadang berjalan. Tapi lebih seringnya memang aku berangkat sendirian. Aku suka bosan kalau berangkat lewat jalan yang itu-itu saja. MasDan selalu konsisten berangkat lewat barat sekolahan atau melewati kolam renang Samudera. Sedangkan saya, selalu berganti-ganti rute. Kadang lewat barat, kadang lewat timur, kadang juga lewat jalan pintas melalui wisma smansa. Pernah suatu pagi saya tertabrak sepeda motor saat berangkat sekolah. Waktu itu saya masih kelas 4SD. Kejadiannya di selatan gedung smansa, waktu itu tubuh saya terseret sekitar 5-7meter. Katanya sih, saya terlalu aktif pas jalan kaki, sambil loncat-loncat dan nyanyi-nyanyi segala, jadinya nggak sadar hampir ke tengah jalan dan tertabrak. *hemmh,,itu sih alibi orang yang nabrak aja, padahal aku ditabrak saat mau nyebrang.hehe*. Waktu itu lumayan lah, sampai dapat banyak jahitan di dahi, dagu, dan tangan. Lucunya, kejadian kecelakaan itu diumumkan di upacara bendera. Walhasil, siangnya anak-anak sekelas semuanya pada datang ke rumah. Nggak cuma sekelas, tapi teman-teman kelas lain juga datang.ha3. Lucu-lucu waktu itu, namanya juga anak kecil, nengok orang sakit malah kayak maen. :D

Tapi kejadian kecelakaan itu tidak membuat saya kemudian berangkat sekolah jadi diantar. Hanya saja, mas ardan jadi selalu nungguin saya dan menemani saya berangkat. Makasih mas ^_^.

Selain bahwa saya tidak pernah punya pengalaman berangkat sekolah dianter ortu, saya juga tidak pernah punya kesan tentang mencium tangan ortu saat berangkat sekolah. Ini beneran. Saat kecil, saya tidak punya kebiasaan itu dirumah. Mungkin karena dulu waktu saya sekolah, ayah masih pada posisi yang sangat sibuk di usaha dagangnya. Pukul setengah tujuh, sudah cek semua mesin fotokopi. Saat saya berangkat, toko sudah ramai. Mana mungkin kami punya kesempatan untuk sarapan bareng atau sekedar cium tangan. Bahkan untuk uang saku, kami punya kebiasaan untuk ngambil sendiri diatas televisi atau di meja. Jadi setiap pagi, untuk mengecek apakah saya atau mas ardan sudah berangkat atau belum, itu tinggal cek saja uang saku diatas tv sudah diambil apa belum.hehe.

Nah, bagi saya, kesan-kesan seperti ini menjadi pelajaran tersendiri. Entah dalam bahasa psikologisnya apa, tapi kesan yang saya dapatkan justru membuat saya ingin melakukan hal sebaliknya yang lebih baik kepada adik-adik atau nanti kepada anak-anak saya. Saya dulu sering jemput adik saya saat mereka pulang dari TK. Saya selalu berusaha menyempatkan diri mengambil raport adik-adik, pun harus bela-belain pulang dari Purwokerto. Saya ingin merasakan bahwa mereka punya keluarga, karena saya pernah merasakan punya pengalaman, nggak ada yang bisa ambil raport saat SMA, padahal rumah saya dekat. Saya lupa waktu itu kenapa. Tapi yang pasti, beberapa kali saya harus mengambil raport sendiri. Malah pernah diambil juga oleh teman saya yang mahasiswa UPS, yang oleh wali kelas itu dikira pacar saya. Haaaiiyaaaah... nggak penting banget. Tapi mas Agus itu emang care ( dan cakep juga.hehe) dan dulu kami memang sering jalan bareng, entah ke kampus dia atau ke toko buku. Tapi, bukan pacaran kok. Hanya teman. Thanx ya mas ^_^. 

Kembali ke topik, menurut saya peran ortu dalam pendidikan itu penting sekali. Saya kadang mikir, bahwa sekolah itu lama kelamaan hanya sekedar konstruk sosial saja dan bukan benar-benar sebagai sebuah bagian dari upaya pendidikan. Orang tua menyekolahkan anaknya karena itu sudah jadi tuntutan sosial, bahwa anak-anak ya harus sekolah. Berangkat tiap pagi, pulang siang (bahkan sore), ada PR, tugas, terima raport, ujian, kelulusan, dan lain-lain. Kemudian selepas sekolah ke jenjang berikutnya, kerja, menikah, begitu seterusnya menjadi sebuah siklus hidup. Mungkin karena kita saat ini hidup di zaman yang sekolah itu menjadi sebuah hal yang “biasa” (walaupun masih ada juga orang-orang yang tidak bisa bersekolah). Bayangkan ketika jaman dahulu, saat sekolah belum menjamur seperti sekarang. Bersekolah benar-benar sebuah perjuangan. Jumlah sekolah yang sedikit dan tidak semua bisa merasakan bangku sekolah, hanya orang-orang dari keturunan tertentu saja yang bisa bersekolah. Di sisi lain, saat itu pendidikan luar sekolah menjadi dioptimalkan. Anak-anak yang tiap pagi ikut orang tuanya bekerja di sawah, ladang, membentuk sebuah pola pendidikan tersendiri antara ortu dan anak-anaknya.

Ini hanya pendapat sederhana saja. Tapi mungkin cara pandang saya juga dipengaruhi bahwa saya belum melihat banyal hal yang ada. Kalau dulu saya sempat “diomelin” sama seorang senior di sebuah diskusi di situs jejaring sosial, bahwa saya sering ngomong muluk-muluk karena saya tinggal pada kondisi yang enak, di pulau Jawa dengan segala fasilitas bagus, tidak pernah merasakan panasnya aspal secara langsung karena harus bertelanjang kaki seperti anak-anak di pedalaman. *siapa lagi yang negur kayak gini kalau bukan mas anam.hehe* Teguran itu masih terus ngena di hati saya. Minimal, saya diingatkan untuk selalu bersyukur dan bisa belajar serta melihat lebih luas lagi. Walaupun saya juga merasakan sekali yang namanya “perjuangan hidup”, saya bukan dari golongan orang berada, tapi jangan terlalu self-centered. Maka, kadang saya lebih suka pada sudut pandang-sudut pandang yang empiris. Ahli pendidikan bisa ngomong panjang lebar bahwa sekolah harus peka TI dan lain sebagainya, tapi mereka nggak pernah tahu bagaimana susahnya anak-anak di desa bahkan untuk sekedar mengakses buku pelajaran. Maka, saya juga saat ini lebih suka untuk mengeksplorasi tempat-tempat yang mungkin jauh di pelosok, dimana saya bisa mendapatkan pelajaran yang lebih banyak dan lebih nyata.

Sama juga dengan topik yang ingin dibahas pada saat ini. Para ahli parenting mungkin bisa menggelontorkan banyak teori tentang peran ortu dalam pendidikan keluarga. Tapi saya kok cenderung tidak yakin apakah mereka sebatas kutip teori saja atau bagaimana ya?! Saya mungkin lebih suka belajar dari kasus. Minimal apa yang kemudian pernah saya rasakan bisa dianalisa dan diambil pelajaran. Kebetulan saja saya punya kisah yang seperti ini, saya yakin teman-teman lain punya perjalanan hidup yang didalamnya sarat pelajaran. Dari hal-hal sepele seperti pengalaman berangkat sekolah, tiap orang pasti punya sensasi tersendiri dan kemudian membentuk persepsi masing-masing. Jadi mungkin, kalau saya kadang share tentang perjalanan hidup, sebenarnya tak ada maksud untuk curhat colongan atau mengeluh. Sebatas berbagi kesan dan saya lebih senang ketika nanti ada diskusi lanjutan. Kalau masalah garis hidup, nasib, perjalanan, dan lain-lain itu sampai bagian dari kesendirian kita masing-masing—itu kata Chairil Anwar—kalau aku tambahin, itu bukan hanya kita sendiri..tapi ada tangan Tuhan disana. J

Lepas dari bahwa saya tak pernah merasakan yang namanya dianter ortu atau mencium tangan ortu saat berangkat sekolah, ayah saya tentu saja punya karakter sendiri dalam metode pendidikan di keluarganya. Papa selalu menekankan kepada saya untuk tidak hanya belajar dari lembaga formal seperti sekolah. Selain itu, beliau selalu ingin anaknya punya prestasi yang menonjol. Memang ada sedikit arogansi disini. Tapi, saya pikir semua ada negatif dan positifnya. Setidaknya pada saya dan kakak saya, ayah selalu meminta kami untuk masuk ranking, untuk jadi anak-anak pintar dan nggak malu-maluin. Hal inilah saya pikir sebagai motif ayah untuk menyembunyikan segala rahasia tentang ibu kandung saya, hingga tidak mempertemukan kami semua. Papa nggak pengen anak-anaknya minder sebagai anak dari keluarga yang broken home. Papa mengajari saya untuk bersikap bukan sebagai orang yang lemah, saya harus bisa membuktikan bahwa saya bisa. Beliau akan sangat marah kalau tahu kami--anak-anaknya—tidak berprestasi di sekolah. Misalnya saat tahu bahwa kakak saya belum bisa mengikuti pelajaran di SD dan raportnya kebakaran (banyak merahnya). Guru les didatangkan dan saya juga yang waktu itu belum masuk usia sekolah jadi ikut les juga. Walhasil, sebelum masuk TK saya sudah lancar baca-tulis, kakak saya semenjak kelas empat SD hingga SMA dan kuliah selalu dapat ranking tiga besar, cumlaude. Dia memang selalu cemerlang di akademisnya. Saya sendiri sih nggak pinter-pinter banget, berhenti masuk sepuluh besar semenjak kelas dua SMP. Dan itu jelas diomelin Papa. Bahkan ketika saya masuk jurusan IPS, saya dapat kemarahan yang cukup “dalem”. Untungnya saya punya prestasi diluar akademik. Prestasi mbolos misalnya, hehe. Nggak ding, maksudnya saya kadang bisa punya prestasi diluar pelajaran sekolah. Tapi tetap bahwa saya dulu menjadi anak yang kerap menjadi sasaran kemarahan ayah karena prestasi akademis yang kurang bagus. Tapi selepas dari SMA, ayah melunak, dan kami sering sekali berdiskusi tentang pendidikan. Lebih tepatnya, saya yang selalu memancing ayah untuk berdiskusi banyak hal termasuk tentang pendidikan. Saya belajar bahwa orang-orang berkarakter koleris seperti beliau harus ada penawar yang membuatnya bisa berbagi banyak hal. Yeah, 5-6tahun terakhir, Papa justru lebih seperti sahabat saya. Kami sering berbagi banyak hal, terkecuali satu point yang terus masih beliau simpan rapat-rapat dari saya, bahkan hingga beliau tiada..yaitu kisah tentang ibu..^_^

Terkadang ada yang pernah nanya juga sih : “lo nggak “kesel” sama ortu dengan segala cerita masa lalu lo shin??”  Guys, sejarah itu dipelajari untuk diambil hikmahnya, bukan untuk diambil sisi dendamnya. Misalnya, kita belajar bahwa Indonesia pernah dijajah, semua itu bukan untuk membuat kita memusuhi Belanda, Portugis, atau Jepang, tapi kita belajar bahwa penjajahan itu hanya akan merugikan banyak pihak. Atau ketika kita belajar tentang perlawanan orang-orang yang tidak suka pada Islam, bukan untuk mendendam kepada mereka, tapi untuk belajar bahwa dakwah itu perlu pengemasan komunikasi yang lebih luwes lagi. Kalau kita belajar justru untuk menumbuhkan kebencian, maka itu adalah doktrin, bukan sebuah proses pendidikan sadar.

So, saya ingin belajar minimal juga dari kisah hidup saya sendiri, kalau saya pernah merasakan nggak enaknya dicuekin sama orang-orang terdekat, maka saya harus belajar untuk bisa menumbuhkan banyak empati kepada orang-orang sekitar. Nah, ini kadang rada bertentangan dengan teori bahwa : pola pendidikan di rumah bisa mempengaruhi pada karakter anak, maksudnya kalau ortunya cuek, maka anaknya pun apatis terhadap lingkungan. Mengambil dari pepatah : “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Tapi, kita kan bukan buah??!!.hehe. Bisa nggak kalau kemudian justru teorinya dirubah bahwa anak-anak dalam proses pendewasaannya akan belajar untuk menerapkan kondisi yang lebih baik lagi dibanding dengan apa yang pernah dialaminya. Misalnya, kalau anak-anak pernah dibesarkan dalam kekerasan, maka mereka sebenarnya justru akan belajar banyak hal tentang kelembutan. Ini akan kembali lagi pada pada proses perkembangan anak saat menjadi “baligh” disana akan belajar untuk bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Itulah kenapa pendidikan agama perlu diterapkan sejak kecil, karena itu akan menjadi “bahan bakar” saat proses baligh nanti, sehingga akan terbentuk sebuah sistem kekebalan terhadap hal-hal yang negatif. Pendidikan agama itu bukan sebatas belajar ngaji atau sholat ya. Wah, jadi panjang kalau udah sampai sini.hehe

Ok, tulisan ini sudah terlalu panjang dan tidak fokus. Berbagai ketidakfokusan dalam tulisan ini bisa menjadi turunan tulisan-tulisan yang padat dengan berbagai tema. Itu tugas saya selanjutnya. Selamat hari Rabu..^_^

11Januari2012 (kayak lagunya GIGI ya?? :p )


Title: Belajar Dari Ternak; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

2 comments:

Anonymous said...

Tulisannya menarik banget... terutama kisah di awal yang membuat cepat untuk mengikuti... apalagi para bloger yang baca postingan orang lain biasanya seperti lari cepat saja..
namun tulisannya agak kepanjangan kali ya... he hehe..
...
ehm, soal ternak di atas, sepertinya aku punya pendapat sendiri...
aku lebih suka jalan sendiri atau dengan teman2, daripada yang model diantar seperti sekarang...yah, mungkin juga sekarang jalan terllau ramai, jarak sekolah jauh dan itu semua bisa jadi alasan..
yang bagus sih, anak bisa cepat belajar mandiri..tidak manja, mempunyai emosi yang bagus.. tidak seperti kebanyakan anak sekarang yang kadang terllau manja.. :D
Salam... ditunggu lagi tulisannya

shinta said...

mas andri... makasih udah maen..hehe.

*iya, saya kalau nulis emang keblabasan panjang lebar, jadinya panjang banget, makanya ajarin dong nulis cerpennya..:p (btw, kok sms-ku yang terakhir nggak terkirim ya mas?? kyaknya nggak nyampe deh).

*tentang manja...Hemmh., kalo anak-anak usia TK dan kelas satu SD kayaknya terlalu riskan deh mas kalo berangkat sekolah sendiri.
Kalau anak-anak sekarang berangkat sendiri dengan sopir, mobil jemputan , dll. Wah, mendingan dianter ortu sendiri dong mas..
Kecuali kalau mau naek angkot sendiri. Mungkin maksudnya manja itu kali ya??hehe.

Maturnuwun banget lho mas, ditunggu juga update blog-nya.. ;)