Pages

Tuesday, July 31, 2007
Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Proudly present...

PUBLIC HEALTH EXPO 2007

First Step of Event
Variance of competition

Tema:
1. Ngerokok, Emang Keren?!
2. Drugs, "Friend or Foe?"
3. Negeriku Lautan Sampah

LiHat (Lomba Menulis Sehat)
- Pelajar SMA & Mahasiswa
- Karya berbentuK EssAY
- Panjang tulisan: min 3 hal A4, max 5 hal, font arial 12 pt, spasi 1,5
- Pilih salah satu tema diatas
- Peserta membuat tiga rangkap karyanya
- Fee Pendaftaran : Rp 5.000,00

Lova (Lomba Video Amatir)
- Mahasiswa & Umum
- Karya berbentuk short video dg durasi 3-5 menit
- Pilih dari salah satu tema diatas
- Fee Pendaftaran: Rp 50.000

LoPer (Lomba Poster)
- Pelajar SMA dan Mahasiswa
- Karya berbentu media penyulhan bertema : "Drugs, "friend or foe?"
- Karya berukuran A3
- Karya berbentuk design kompugrafis
- Fee Pendaftaran : Rp 30.000

NB:
- Semua hasil karya mutlak mjd milik panitia
- Hasil karya dimaksudkan ke dalam amplop coklat beserta fee pendaftaran dan
menuliskan jenis lomba yg diikuti di sudut kiri atas amplop
- Sertakan data diri: Nama, ket.kampus/SMA & no. Telp yg dpt dihubungi
- Amplop dikirimkan ke alamat Sekretaris PHE 2007: Ruang Senat Ged. A
Lt.1fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
- Pengumpulan hasil karya diterima panitia selambat-lambatnya: 25 Agt
2007-07-25 Pengumuman Pemenag: 6 Sept 2007

Read more ...
Saturday, July 07, 2007

Rumah Indie Bagi Sastra

oleh : shinta ardhiyani u


I.Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Berdialektika mengenai satra, kita tak bisa lepas dari membicarakan masyarakat. Literature is a reflection of society, sastra adalah refleksi dari kehidupan masyaarakat. Pernyataan ini mengandung determinan bahwa antara satra dan masyarakat terjadi interaksi, dalam artian bahwa sastra memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Dengan kata lain, fenomena kehidupan masyarakat saat ini adalah sebuah pengejewantahan dari karya sastra yang sedang berkembang.
Ketika kita menengok “pasaran” sastra di Indonesia, tak jauh yang kita lihat adalah jenis-jenis sastra konteporer seperti teenlit, checklit, kumcer remaja, dan lain sejenisnya. Di satu pihak adalaha suatu yang membahagiakan ketika melihat perkembangan pesat dunia sastra. Namun, cobakita tengok substansi dari karya sastra kontermporer tersebut. Nilai-nilai hedonisme, glamour, lebih mendominasi dibanding esensi sastra.
Sastrawan-sastrawan di Indonesia sebenarnya tidak mandul akan karya. Kita tak pernah krisis karya sastra, namun kitatidak melihat hal itu karena karya sastra tidak cukup masif di tengah masyarakat.
Penerbit merupakan pihak yang berperan dalam pemasifan karya sastra. Penerbit adalah alat penagakomodir karya sastra kepada masyarakat. Namun fenomena yang ada telah menunjukan belum optimalnya penerbit yang sudah ada sekarang dalam pemasifan karya sastra. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi bahwa penerbitan konvensional, di satu sisi sebagai pihak yang empertahankan nilai budaya (baca : sastra dan kecerdasan) ditengah masyarakat. Namun disisi lain, mereka juga sebuah industri yang terjebak pada kata : untung atau rugi.
Munculnya penerbitan independen (indie) mencoba menjawab permasalahan tersebut. Penerbit indie adalah sebuah usaha untuk memperjuangkan idealisme sastra tanpa harus dirugikan oleh sistem kapitalisme penerbitan konvensional. Dengan latar belakang itulah, penulis tertarik untuk mengangkat tema mengenai penerbit indie dalam sebuah makalah sederhana dengan judul “ Rumah Indie Bagi Sastra”.

1.2 Permasalahan
Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah :
1.Bagaimana tumbuh kembang dunia penerbitan di Indonesia khususnya munculnya penerbitan indie?
2.Bagaimana penrbitan indie dapat berperan dalam upaya memasifkan karya sastra ditengah masyarakat?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan berikut :
1.Memperkenalkan bagaimana ilustrasi mekanisme penerbitan sebuah karya di Indonesia
2.Menjelaskan mengenai tumbuh kembang penerbitan indie di Indonesia
3.Menjelaskan mengenai peranan penerbitan indie dalam upaya pemasifan karya sastra di tengah masyarakat.

II.Industri Penerbitan di Indonesia

2.1Idealisme Industri Penerbitan
Jika merunut perjalanan waktu, kuantitas penerbit di Indonesia bisa jadi sudah menginjak angka ribuan hingga kini. Namun dari ribuan tersebiut, hanya segelintir saja yang masih bisa bertahan dalam jangka waktu lama. Barometerlama disini adalah lebih dari 50 tahun.
Ada salah satu resep yang bisa dijadikan oleh pemilik industri penerbitan supaya usaha penerbitanna dapat berumur panjang yakni tetap memegang teguh idealisme dan tetap setia terhadap komitmen awal yang menjadi dasar mereka terjun ke dunia penerbitan. Resep ini terbukti ampuh. Hal ini bisa kita lihat pada penerbit-penerbit semacam Balai Pustaka, Kanisius, Dian Rakyat, Pradnya Paramita,maupun penerbit Madju. Hingga kini penerbit-penerbit tersebut masih survive dengan idealisme masing-masing. Misal penerbit Kanisius yang merupakan penerbitan buku rohani hingga saat ini masih memegan visi dan misai mereka yang rumusannya antara lain memuat gagasan bahwa Penerbit-Percetakan Kanisius memosisikan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa dan gereja Indonesia. Buku-buku yang diterbitkan harus yang bernuasns membangun dan memberdayakan masyarakat. Tidak banyak penerbit yang dapat terus bertahan memegang idealisme dan memegan komitmen hingga puluhan tahun. Contoh lain yang dapatkita lihat antara lain Penerbit Madju yang berlokasi di kota Medan –Sumatra Utara. Penerbit yang didirikan oleh HM Arbie pada pertengahan tahun 1949 ini hingga kini masih setia menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah. Berbekal mesin letter press yang dibeli dari hasil keuntungan menjual buku, sekitar tahun 1952, penerbitan ini membuat gerakan dnegan menerbitkan seluruh buku pelajaran dalam satu paket lengkap. Langkah ini boleh dikatakan merupakan terobosan baru yang belum pernah dilakukan penerbitan lain saat itu. Berawal dari sebuah toko buku kecil bernama Pustaka Madju di jalan Soetomo, Medan, Penerbitan Madju berkembang menjadi perusahaan penerbitan sekaligus percetakan buku-buku yang sangat laris.
Hasil yang diperoleh dari kesuksesan Penerbit Madju dari menerbitkan buku-buku pelajaran terutama buku-bukupelajaran tingkat sekolah dasar bahkan mampu melahirkan unit-unit usaha lainnya, seperti dua buah hotel dan sebuah rumah sakit di kota Medan yang bernaung di dalam Grup Madju. Namun hingga saat ini Penerbit Madju tetap konsisten dengan misi awal mereka, yaitu menerbitkan buku-buku pelajaran, sesuai dengan motonya “Setia Memajukan Pendidikan”. Buku-buku terbitan Madju tidak hanya dipakai sebagai acuanoleh sekolah-sekolah dasar di wilayah Sumatra, Aceh , dan Riau, tetapi sampai ke Pulau Jawa hingga Sulawesi. Karena kualitasnya dipandang bagus, Deprtemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu menetapkan buku pelajaran terbitan Madju sebagai acuan saat metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan.

2.2Kapitalisme Dunia Penerbitan
Tidak semua penerbit dapat memegang teguh idealisme serta setia pada komitmen awal. Hal ini bisa dimaklumi, karena industri penerbitan di satu pihak merupakan misionaris esensi dari buku-buka yang diterbitkan, namun disisi lain mereka juga sebuah rumah usaha yang tidak bisa menggantungkan sekedar pada modal idealisme. Kekuatan modal akhirnya mulai mempengaruhi dunia penerbitan. Misi tidak begitu diindahkan. Posisi untung-rugi menjadi fokus yang lebih mendapat perhatian. Akhirnya terjadi kapitalisme di dunia penerbitan.
Hal ini berpengaruh pada kualitas pemasifan karya dan pada fokus pembahasan kali iniadalah khusus mengenai karya sastra. Proses filter dan selektif terhadap karya sastra menjadi disampingkan. Esensi karya sastra tidak menjadi hal yang penting dalam keputusan menerbitkan sebuah karya. Karya yang ecek-ecek pun dapat terbit apabila ada kekuatan modal dibelakangnya. Penerbit tidak mau menanggung resiko kerugian apalagi di tengah kondisi perekonomian bangsa yang semakin merosot yang memaksa tiap individu untuk lebih membanting tulang demi memenuhi kebutuhan perut.
Hal itu dapat terlihat pada fenomena yang berkembang saat ini. Novel-novel kontemporer lebih populer daripada karya-karya para sastrawan yang sarat nilai-nilai kehidupan. Hingga muncul sebuah istilah antara “karya berkualitas” dan “karya laris”. Dua idiom itu muncul karena ternyata kenyataan yang terjadi adalah karya yang laris belum tentu yang berkualitas atau sebaliknya. Jika dalam blantika film, kita mengenal adanya box office, maka disini ada pernyataan bahwa buku-buku yang masuk dalam box office ternyata bukan karya-karya maestro yang berkualitas. Hal ini karena ada kekuatan modal untuk lebih mempublikasikan karya-karya ecek-ecek di tengah masyarakat. Kembali pada bahasan awal, adalah mengenai idealisme. Idealisme penerbit yang semakin dikacaukan oleh pengaruh modal ini akhirnya berdampak pada degradasi esensi karya sastra yang berkembang di tengah masyarakat. Berbicara lebih jauh, secara tidak langsung ini akan menciptakan mindset masyarakat Indonesia. Jika masyarakat disuguhkan karya ecek-ecek maka pola pikir mereka hanya akan dipenuhi muatan-muatan yang ecek-ecek pula. Masyarakat Indonesia akan meningkat pola hidup glamour dan hedonismenya. Khususnya dalam hal ini adalah para generasi muda yang merupakan generasi penerus bangsa ini.

III. Penerbitan Independen (indie label)

3.1Apa dan Mengapa Indie Label?
Fenomena dunia penerbitan yang tergambar sedikit pada bab sebelumnya, merupakan salah satu pemicu munculnya penerbitan independen. Sesuai namanya, maka independen adalah usaha swadaya, tidak tergantung pada pihak lain. Ada beberapa hal yang membuat seseorang lebih memilih menggunakan indie label, yakni :
3.1.1 Upaya mempertahankan idealisme
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa terbitnya karya-karya khususnya karya sastra yang berkemang saat ini sudah mulai melenceng dari idealisme yang mengangkat karya sastra sebagai pengakomodir nilai-nilai kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Bisa dikatakan sebagai bentuk kekecewaan pada penerbitan konvensional yang mulai terpengaruh kekuatan modal.
3.1.2. Teknis Penerbitan
Menerbitkan sebuah buku bukan perkara mudah. Informasi yang terbatas mengenai penulisan dan pencetakan, karir dan pekerjaan yang menyita waktu, serta banyaknya syarat dan ketentuan yang diminta penerbit konvensional, seringkli membuat proses berkarya yang sesuai dengan keinginan dan idealisme menjadi terhambat.
Ketika kita ingin menerbitkan naskah, maka keputusan untuk bisa diterbitkan atau tidak menjadi prerogatif penerbit. Biasanya banyak faktor yang masuk jadi pertimbangan penerbit konvensional. Salah satunya adalah nama pengarang atau penulis sendiri. Ada kalanya kita sebagai penulis pemula memang harus maklum bahwa penerbitan konvensional sebagai pihak yang akan menerbitkan karya kita, di satu sisi sebagai pihak yang mempertahankan nilai-nilai budaya (baca :sastra dan kecerdasan) di tengah masyarakat, di sisi lain mereka juga sebuah industri yang terjebak pada kata : untung-rugi. Seidealis apapun mereka, mau tidak mau, seringkali mereka akan bercermin pada keinginan pasar atau pembaca pada produk yang akan dipublikasikan—yang mana membawa brand nama kita sebagai penulis.
3.1.3 Perhitungan Royalti
Disamping masalah teknis penerbitan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, orientasi keuntungan juga menjadi salah satu alasan kenapa penulis memilih untuk menerbitkan buku secara independen. Harga jual yang terpampang di toko-toko buku umumnya mencapai enam kali atau bahkan lebih dari biaya produksi, padahal penulis hanya mendapatkan 8-12% dari harga jual buku, sedangkan sisanya menjadi bagian pemasaran dan penerbitan. Dengan dasar yang sama pada perhitungan royalti diatas, penulis akan mendapatkan hasil (dalam hal materi) yang jauh lebih besar. Karena sudah saat penulis menghargai hasil karyanya bukan hanya dari kepuasan batiniah tapi juga dari sisi lahiriah. Berikut contoh perhitungan royalti pada penerbit-penerbit konvensional :
Jumlah buku yang dicetak : 3000 eksemplar (jumlah cetakan minimal yang sering dipakai ukuran)
Perkiraan biaya produksi : Rp 9.000,00 /buku
Harga jual di toko : Rp 20.000,00.
Maka jumlah royalti yang diterima penulis (misal 10%) adalah 3000x 20.000 x 10% = 6 juta. Angka tersebut belum termasuk pajak sebesar 15% yang dibebankan kepada royalti penulis buku. Dan angka tersebut dengan asumsi bahwa 3000 eksemplar buku terjual habis.
3.2Penerbit Indie dan Pemasifan Karya Sastra
Dalam kaitannya dengan upaya pemasifan karya sastra, penerbitan independen memiliki kapasitas untuk itu. Dengan penerbitan independen , unsur-unsur diluar idealisme untuk mengusung esensi sastra dapat diminimalisir. Memang tidak ada yang sempurna. Tidak mungkin juga sebuah karya benar-benar independen. Namun setidaknya penerbit independen memberikan penghargaan yang layak kepada para sastrawan (dalam sudut pandang royalti misalnya).
Di Indonesia, penerbit indie yang cukup populer yaitu INDIE offset. INDIE Offset bertujuan memberikan pelayanan secara terpadu kepada para penulis yang ingin menerbitkan buku sesuai dnegan keinginannya. Menerbitkan buku sendiri akan membantu penulis untuk mewujudkan buku yang akan diterbitkannya. Mulai dari mendesain buku yang diinginkan, mengedit, mencetak, membuat publikasi, mengurus perijinan, bahkan hingga memasarkannya. Hal ini memungkinkan munculnya sebuah karya yang murni dengan komitmen dari sebuah karya itu (baca : idealisme).
Dari berkembangnya penerbitan independen sangan mungkin untuk memotivasi para sastrawan untuk produktif berkarya. Penerbit indie membuat sastrawan tak perlu memikirkan rumit serta hal-hal lain yang terdapat padapenerbit konvensional yang hanya akan menghambat tingkat produktivitas mereka. Penerbit Indie menjadi solusi baru bagi para sastrawan, menjadi rumah indie bagi sastra.

IV. Penutup
4.1Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1)Penerbit merupakan pihak yang berperan penting dalam pemasifan sebuah karya,
2)Penerbit perlu memegang teguh idealisme dan setia pada komitmen awal. Hal ini akan berpengaruh pada usia penerbitan.
3)Banyak penerbitan konvensional kini yang mulai terpengaruh pada kekuasaan modal,
4)Masuknya pengaruh kekuatan modal dapat menlunturkan idealisme serta berkurangnya esensi nilai-nilai sastra kepada masyarakat
5)Penerbitan independen dapat menjadi sebuah solusi untuk memurnikan idealisme sebuah karya sastra, sehingga dapat masif di tengah masyarakat.

4.2Saran
Dari pembahasan serta kesimpulan yang telah diambil, ada saran yang ingin disampaikan yakni berharap penerbitan independen lebih dikembangkan lagi baik dalam segi kuantitas maupun kualitas karena peran yang dipegang oleh penerbitan indie sangat strategis dalam upaya pemasifan karya sastra ditengah masyarakat. Penulis juga berharap pembaca atau penikmat karya sastra di Indonesia dapat lebih cerdas dalam mengapresiasi karya-karya satra yang berkembang di era kini.
Saran-saran tersebut semoga menjadi sebuah tindak lanjut dari pemikiran yang tertuang dalam makalah sedarhana ini. Semoga tulisan ini bukan sekedar menjadi wacana saja tapi dapat bermetafora menjadi sebuah tindak nyata. Amin.
Read more ...
Sunday, July 01, 2007

My Only One

we had a fight last night
and i called him mad
makes me feel so sad
and i’m so ashamed

he’s my only one
i give him all my love
even though my mom says no!
i just go on and on…

no one’s gonna take him away from me..

everyday and everynight
i just wanna hold him tight
and make sure that everything stays night
and everyday and every night
to dream of him is mu delight and know that
he’ll stay with me all the way

by :Mocca
Read more ...