Pages

Saturday, November 12, 2011

Belum Bisa Berpuisi (lagi)

“maafkan aku yang belum pernah mampu meneladani nilai kepatuhan seorang Ismail a.s kepada ayahandanya Ibrahim a.s”


Antara aku dan puisi, pernah ada sebuah simpul yang coba kurekat. Sependek kalimat, aku (pernah) jatuh cinta pada puisi.

Berpuisi membuatku meluapkan segala ekspresi namun tetap terbungkus dengan rahasia rajutan  kata.  Semua lepas tapi tak terhempas. Semua keluar namun tak bingar.

Namun aku memang bukanlah orang yang puitis. Justru itu. Justru ketika aku kadang ada di titik jenuh atas segala rasionalisasi bahasa aktualisasi. Aku ingin bersembunyi dalam puisi-puisi ku yang sangat sederhana. Disaat aku kesepian dimasa kecil dulu, kupaksa meninabobokan diri dengan beberapa rangkaian kata. Setiap aksara seolah membelai dan menyimpan setiap gumaman rahasiaku. Aku nyaman dalam pelukannya.

Namun, menyukai dunia teater dan puisi ternyata adalah sebuah “episode sulit” antara aku dan ayah, lelakiku yang hebat itu. 

Read more ...

Saatnya Menggugah Titik Jenuh


(Sebuah refleksi mengenai new media dan eksistensi generasi muda )


Menilik sejenak 83 tahun yang telah lalu, di bulan yang sama dengan saat ini (Oktober.red) , tak kurang dari hitungan jari , sekelompok anak muda pernah tergugah dan berhasil menciptakan sejarah. Rangkaian frasa yang mereka kumandangkan pada Kongres Pemuda II ternyata menjadi sebuah inspirasi yang tak pernah mati bagi bangsa ini. Saat itu Muhammad Yamin cukup bernas menyampaikan arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Ia berkata bahwa ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum, adat, pendidikan, dan kemauan. Hingga pada penutup rapat berkumandanglah secarik deklarasi yang dikenal sebagai sumpah pemuda . Paduan kumandang sumpah itu memiliki notasi semangat yang alunannya bahkan menjadi trade mark semangat bagi generasi muda Indonesia hingga kini.

Bergerak ke tujuh belas tahun dari kumandang sumpah pemuda, sekelompok pemuda lain menciptakan sejarah yang tak kalah hebat. Letupan riak darah muda yang mengalir pada tubuh seorang Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana ternyata mampu memaksa mereka berbuat “nekad” menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak agar segera diproklamirkan pernyataan kemerdekaan. Tak dapat digambarkan pula bagaimana perasaan seorang Latief Hendraningrat dan Soehoed saat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dengan iringan Indonesia Raya serta pekikan merdeka di hari tujuh belas bulan delapan tahun 05 berdasarkan perhitungan tahun jepang saat itu.

Mei 1998, rakyat Indonesia mengenal kata “reformasi” sebagai sebuah diksi yang sepadan pentingnya dengan nasi. Lagi-lagi anak muda yang unjuk gigi. Sejarah mencatat ratusan ribu generasi muda  turun ke jalan menuntut sebuah perubahan. Pemerintahan Soeharto yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa itu memasuki buritannya. Aspal jalanan mendidih berbenturan dengan gemuruh semangat. Pekik reformasi menggerung di jalanan ibukota, menggelora hingga ke pelosok-pelosok daerah. Desakan itu sangat kuat hingga akhirnya “the old man most probably has resigned”[i].
Read more ...

Bupati Vs DPRD : Praktek Pola Komunikasi Politik Childist


 Komunikasi pimpinan daerah (eksekutif) dan legislatif yang menyisakan konflik memang bukan sebuah hal yang baru di negara kita. Hal ini telah berlangsung lama, dan mungkin tak salah pula ketika dalam salah satu pengamatannya, Ali Moertopo pernah menyimpulkan bahwa : “..dikebanyakan lembaga sosio-politik, orang-orang yang bertanggungjawab mempunyai tugas untuk berkomunikasi dengan pemerintah dalam mentransfer kehendak rakyat, lambat laun lebih banyak mengidentifikasikan dirinya dengan pemerintah dan akhirnya menjadi kelompok marginal yang hanya mementingkan dirinya sendiri”.

Mungkin seperti itu pula gambaran yang sedang terjadi di Kabupaten Banyumas dengan drama yang sedang diputar beberapa waktu belakangan. Beberapa konflik dramatik yang sedang hangat yaitu mengenai dana banpol serta penangguhan pencairan dana representasi (gaji). Entah kenapa, konfliknya seputar masalah “uang”. Para pemegang aspirasi rakyat itu terlihat kekeuh untuk meributkan masalah dana. Banpol PDIP yang tak bisa dianggarkan membuat para kader partai berlambang moncong putih itu geram. Sementara itu keributan lain juga terjadi karena adanya penangguhan gaji DPRD bulan September. Keributan-keributan itu hingga mengundang pemprov untuk mengadakan mediasi, meredamkan api konflik diantara bupati sebagai lembaga eksekutif dan pimpinan dewan sebagai lembaga legislatif.
Read more ...

Letters To God

Mereka adalah yang telah dipilih Tuhan untuk menjadi pejuang. Mereka yang hatinya telah terpilih. Mereka yang tetap memperjuangkan kehidupan orang lain walaupun hanya melalui doa.

Doa adalah prosa yang paling indah. Setidaknya itu yang akan kita ungkapkan apabila mengetahui bait doa-doa yang tiap orang sebutkan. Dan tiap orang memiliki cara masing-masing untuk mengungkapkan doanya. Dalam pemahaman seorang anak usia 13 tahun, doanya akan bekerja ketika ia menuliskannya dalam sebuah surat.

Tyler, itu nama anak muda tersebut. Tyler lah yang kerap kali membuat tukang pos menjadi bingung karena menuliskan surat dengan alamat tujuan , to: God, kepada Tuhan. Kemana kita akan menyampaikan surat beralamatkan Tuhan? Setidaknya itu yang menjadi kebingungan bagi Barry, seorang tukang pos muda yang baru saja keluar dari penjara dan juga sedang memiliki masalah besar dengan anak dan istrinya.

Sementara Maddy, ibunda Tyler, adalah sosok wanita yang tangguh. Setelah ditinggal mati suaminya, ia harus mengasuh dua putranya plus dengan kondisi Tyler-si bungsu yang “hampir sekarat” karena penyakir kanker otak yang diidapnya. Seorang supermom yang untungnya juga memiliki seorang supermom juga. Nenek Tyler adalah sosok nenek dan ibu yang selalu siap turun tangan untuk membantu keperluan anak dan cucu-cucunya.

Read more ...

Untitled

Terkadang, aku berfikir bahwa manusia bisa lebih bodoh daripada sebuah kacamata. Ya, kacamata, alat bantu melihat yang salah satu produknya sedang aku gunakan saat ini. Sepasang lensa yang terekat oleh nylon dan kontruksi bingkai setengah. Belum lama kukenakan kacamata ini, sekitar 1,5 tahun yang lalu. Alat bantu yang awalnya sering membuat mata terasa pegal. Kalau tak ingat peristiwa kecelakaan motor di akhir tahun 2009 lalu, mungkin aku masih enggan untuk membiarkan sepasang lensa ini nangkring menyamarkan garis kelopak mataku yang konon katanya mirip dengan almarhum ayah. Selain karena masih merasa sayang membuang uang untuk contact lens, gangguan pada retina membuat aku terpaksa memasrahkan diri untuk berbagi fungsi penglihatan dengan kacamata ini.

Dengan perkembangan kreatifitas yang luar biasa di dunia industri kacamata, kini keberadaannya juga bukan sekedar berfungsi sebagai alat bantu penglihatan saja tetapi juga bagian dari trend fashion. Modelnya sekarang beraneka ragam, ada yang bingkai penuh,bingkai setengah dari yang model nylon cord frame dengan pengunci sampai ballgri mounting yang dengan baut. Ada pula yang konstruksi tanpa bingkai dengan variasi rimless mounting  yang lensanya ditahan dengan baut di bagian nasal dan temporal, dan ada juga phantom yang rangkaiannya merupakan satu unit yang tidak terpisah.

Sama halnya dengan kacamata, walaupun bukan sebuah alat, manusia juga memiliki fungsi. Saya teringat sebuah obrolan ringan dengan seorang teman beberapa hari yang lalu. Kita saling menukar kata dan frasa mengurai beberapa kesah pekerjaan masing-masing. Tanpa canggung ia berkisah beberapa partner kerjanya lebih cenderung untuk melakukan tugas daripada fungsinya. Mereka bertugas dengan baik tetapi ternyata belum berfungsi dengan optimal. Misalnya beberapa petugas yang bekerja setiap ada komando saja, jadi seperti robot yang didikte untuk melakukan tugas A,B,C, dan seterusnya. Ketika tugas A selesai maka ia menunggu diberi tugas B.
Read more ...

Mengunduh Makna yang Terlahir Dari Detak Anak Arloji


Sejatinya hidup ini adalah kumpulan cerita yang terjalin satu sama lain. Cerita yang ketika mampu menyerap maknanya akan menjadi sebuah pelajaran berharga yang tak ternilai harganya. Kadang cerita itu dibiarkan berlalu begitu saja, seperti kita berkendara dan membiarkan semua itu terlaju. Tak semua orang pula mau dan mampu merefleksikan tiap bait cerita kehidupan yang terlewati.

Membaca cerpen-cerpen Kurnia Effendi dalam Anak Arloji, seperti kita membaca fenomena kehidupan. Konflik yang sebenarnya ada di sekitar kita. Konfik yang dihadirkan tidak terlalu anomali. Namun di tangan Kef  - panggilan Kurnia Effendi- semua kisah sederhana tersebut terkemas indah. Kekuatan diksi yang kuat membuat pembaca enggan untuk memberi jeda saat membaca kisah-kisah yang tersaji.

Salah satu kisah sederhana yang terkemas dengan apik itu adalah pada cerpen “Pertaruhan”. Kisah dua pemuda yang gemar bertaruh untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa, seperti minum kopi dengan campuran arsenik hingga bertaruh nyawa di rel kereta api. Kisah ini nampak biasa dan memang akan terasa biasa saja apabila bukan Kef yang membawakannya. Seperti juga pada cerpen “ La Tifa” , kisah seorang gadis yang meratapi keluguannya pada seorang laki-laki paruh baya dan memutuskan untuk merubah nama dari “Latifa” menjadi “La Tifa”. Dengan sangat anggun, Kef mengantarkan pembaca pada kisah tentang sebuah pencarian jatidiri. Latifa tidak menemukan latifa pada dirinya, ia merasa malu, kotor, jijik, dan marah pada diri sendiri. Sebuah nama menunjukan sebuah identitas diri, maka tidak match ketika nama yang bagus melekat pada orang yang telah melakukan perbuatan yang dirasa hina. Pesan ini disampaikan oleh Kef dalam cerpennya dengan siratan bukan suratan. Suratan yang tertera pada cerpen ini sekedar alur kisah yang mengalir mendayu. Namun Kef mampu menaruh pesan itu dengan sangat apik ibarat meletakkan sebuah batu zamrud dalam kotak perhiasan. Dari ukiran kotak perhiasannya pun dapat dikira betapa mulianya sesuatu yang tersimpan di dalamnya. Dan Kef memang pengukir kisah yang piawai.
Read more ...
Sunday, July 10, 2011

Beres-Beres

Lagi pengen menata lagi  blog yang mungkin udah agak lama gak ditengok. Sekaligus lagi ngerjain satu blog lagi yang isinya sebenarnya buat memindahkan file-file resensi buku dan film yang ada di laptop.hehe.

Kenapa milih template baru ini?? gak ada alasan pasti. pas lagi browsing, trus nemu..suka ya udah pake. gak mau ribet-ribet lagi urusan template..usahain sesimple mungkin. tapi gambar di header emang kadang-kadang suka nggak muncul?? entahlah..lagi males ngutak-atik.

Selamat menikmati..mari berbagi..^_^
Read more ...

Pembenahan Perpusda Untuk Tegal Cerdas 2011




Kecerdasan mungkin identik dengan nilai kognitif atau point IQ seseorang. Kurang disadari bahwa cerdas sebenarnya adalah sebuah budaya, bukan sekedar diukur dari nilai atau prestasi-prestasi yang diraih. Penciptaan lingkungan yang mampu menstimulasi adanya budaya masyarakat yang cerdas, itulah yang perlu dilakukan ketika pemerintah kota Tegal mencanangkan tema “Tegal Cerdas 2011”.

Tentu saja mewujudkan masyarakat cerdas harus disokong dengan proses pendidikan yang berkualitas.Program pendidikan yang dicanangkan bukan semata jenjang sekolah formal saja melainkan bagaimana masyarakat mampu mengembangkan diri melalui kekayaan literasi yang dimiliki. Dengan menyediakan informasi, masyarakat dapat memberitahukan kepada diri mereka sendiri tanpa suatu paksaan tentang berbagai isu muktahir. Masyarakat dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan mendapatkan berbagai informasi yang sesuai tugas atau pekerjaan masing-masing. Aktivitas ini dapat terfasilitasi dengan adanya perpustakaan. Tentu saja perpustakaan dengan pengelolaan yang baik. Dengan kata lain, melalui perpustakaan diharapkan akan terbentuk statu masyarakat yang terinformasi dengan baik, berkualitas, dan demokratis. Pentingnya peran  perpustakaan ini, maka tak berlebihan jika dapat disebut sebagai centre of learning dalam dunia pendidikan.

Perpustakaan Daerah Tegal memiliki gedung yang cukup besar dan masih baru setelah pindah dari tempatnya yang lama. Menempati gedung baru berlantai dua di daerah Mangkukusuman, gedung perpustakaan yang digabung dengan  kantor arsip tersebut cukup mudah dijangkau oleh masyarakat terutama pelajar. Melihat perpustakaan, kita akan melihat harapan bahwa banyak anak muda yang memiliki semangat belajar tinggi berkumpul disana. Tetapi nampaknya keberadaan perpustakaan tidak terasa di masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini.

Read more ...

Memaknai Spirit Perdamaian Pada Persaudaraan Tarekat Indonesia – Maroko





Tak sedikit yang memungkiri bahwa ketika mendengar kata “sufi” maka akan terasosiasikan dengan beberapa hal yang berbau kearab-araban. Mungkin kita akan membayangkan padang pasir, orang-orang berjubah, berjenggot, naik unta, dan lain sebagainya. Sufi, sufisme, tasawuf, tarekat memang belum mampu menjadi semacam trend yang diakui global oleh masyarakat. Sufi memang kadang menyiratkan sebuah kemisteriusan, karena mungkin sufi adalah sebuah jalan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sufi bagi para penganutnya adalah sebuah jalan yang memberikan ruang privasi seluas-luasnya dan sedekat-dekatnya dengan Tuhan.

Tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara seseorang berada sedekat mungkin dengan Allah swt. Kaum orientaalis Barat, menyebutnya sufisme, dan bagimeraka kata sufisme khusus untuk mistisme dalam Islam. Thariqat berarti jalan raya (road) atau jalan kecil (gang, path). Kata thariqat secara bahasa dapat juga berarti metode, yaitu cara yang khusus mencapai tujuan. Secara terminologi, istilah kata thariqat berarti jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Kemudian digunakan untuk menunjuk suatau metode psikologi moral untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan. [1]

Read more ...

Huruf 'ain Untuk Seli

(ini postingan lama, tapi belum kupost di blog, karena dalam beberapa minggu kedepan kayaknya mo ketemu Seli dkk, jadi inget note ini jd kurepost di blog.., )^_^

Dea, tata, dan Seli adalah adik-adik baru saya selama kurang lebih dua pekan ini. Dea seorang gadis manis yang sudah duduk di bangku kelas dua SD, sedangkan tata-adik dea- masih bermain di TK “nol kecil”. Selly lebih senior dibanding keduanya, karena dia sudah duduk di bangku kelas lima SD. Bersama ghafra, rafi, dan Sukma, mereka semua adalah adik-adik yang kebetulan saya ajar privat mengaji Al-Quran. Diantara mereka semua, tentu saja Selly yang sudah ada di tingkatan lanjut (sudah Iqra 2). Pertemuan terakhir kemarin cukup memakan waktu lama, karena saya baru mendengar bacaan sally pada rangkaian huruf hijaiyah yang mengandung huruf “’ain”.

Dalam dialek Banyumas, bunyi ‘a lebih familiar dilafalkan dengan bunyi “nga”. Jadi yang akan kita dengarkan bukan ‘a, tapi “nga”. Bukan surat “Al-‘ala” tapi “Al-ngala”. Bukan “Waalaikumsalam” tapi “Ngalaikumsalam”. kata "alamin" jadi berbunyi "ngalamin" . Sebenarnya ini bukan hal baru yang kita dengar. Dalam konteks dialek lain, kita akan mendengar potongan lafadz istighfar menjadi berbunyi “astaghfirullahaladjim”, atau kadang-kadang kita juga mendengar lafadz takbir terdengar “Allahu-ekbar”. Serta banyak contoh-contoh lain yang terjadi dalam masyarakat sekitar kita.

Read more ...

Benah Rumah Sehati : Pendar Senyum di Hati pak Faqih

“Terima Kasih ya mas, semoga bisa bermanfaat …..”

Itulah sebuah kalimat tulus nan merendah yang terucap dari seorang Abdul Faqih setelah rumahnya berhasil dibenahi oleh LAZIS MAFAZA. Pria Paruh Baya asal Ponorogo ini memiliki aktivitas keseharian mengajar ngaji di rumahnya di Desa Baseh Kecamatan Kedung Banteng. Tadinya Faqih sering dipusingkan dengan masalah atap rumahnya yang sering bocor, atau tiang penyangga rumahnya yang sudah mulai lapuk. Rumah yang sudah “tua” itu disana-sini mulai terlihat butuh diperbaiki, sekedar untuk melengkapi syarat sebuah rumah untuk berlindung dari hujan dan panas. Kendala pun hadir, bahwa untuk memperbaiki rumahnya itu tentunya butuh dana yang tidak sedikit.

Selain mengajar ngaji, pak Faqih bekerja serabutan. Beliau bekerja ketika ada tetangga yang memintanya membantu membangun rumah sebagai buruh bangunan, atau ketika musim tanam padi tiba saat tetangganya meminta beliau menjadi buruh taman padi. Dengan penghasilan rata-rata tidak lebih dari Rp. 30.000,- menjadi sulit bagi nya untuk memikirkan membangun rumah yang besar alias rumah“gedong”.Dengan doa serta ketulusan para muzzaki yang menyalurkan hartanya melalui LAZIS MAFAZA, Alhamdulillah rumahnya kini telah nampak jauh lebih baik dan tertata plus sebuah bonus Al Qur’an baru yang cantik dan menawan. Dengan bijak beliau berharap bahwa perubahan yang ada pada rumahnya ini semoga meningkatkan semangat belajar anak didiknya yang beliau bina. Terbayang saat beliau harus mengajar dengan hanya mengandalkan penerangan lampu 5 watt di ruang tengah rumahnya. Tanpa mengeluh atau merasa bosan beliau mengajari anak-anak disetiap Ba’da Maghrib hingga adzan Isya berkumandang. Kesibukan beliau di dasari niat yang kuat danpeduli pada pentingnya pembinaan kepada anak-anak sebagai bekal mereka sebelum menjadi dewasa dan terjun ke masyarakat. Bekal ilmu di TPA yang beliau ajarkan merupakan titik awal lahirnya orang-orang hebat disekitar kita.
Read more ...
Tuesday, May 31, 2011

Melirik Slawi di Era Digitalisasi

Masih cukup hangat di telinga kita, fragmen yang (dianggap) memalukan saat kunjungan anggota dewan ke negeri Kanguru, Australia tempo hari. Masalah yang mungkin terlihat sepele, yaitu urusan alamat email (electronic mail) atau surel (surat elektronik). Sebagai sebuah lembaga publik, sudah semestinya memiliki ruang-ruang untuk berkomunikasi dan menerima aspirasi masyarakat. Email resmi sebuah lembaga tentunya hanya salah satu dari bentuk penerapan e-goverment. Pada dasarnya semangat yang dibawa oleh penerapan e-Goverment adalah kemudahan dan transparansi.

Bill Gates sendiri pernah menyatakan bahwa seluruh dunia kini akan memasuki era digital tahap selanjutnya dimana seluruh dunia akan terhubung satu sama lain, berinteraksi dengan perangkat melalui komunikasi dan sentuhan. Di Indonesia sendiri, terjadi kemajuan perkembangan internet, pada tahun 2007 saja penetrasi internet naik menjadi 40%, pembelian produk IT 50% dari tahun sebelumnya. Menjmurnya ISP (Internet Service Provider) menambah bursa perhelatan teknologi informasi dan digitaliasasi.

Pertanyaannya, bagaimanakah dengan Slawi? Slawi ditetapkan menjadi ibukota kabupaten Tegal sejak tahun 1984, setelah sebelumnya nunut ke Kota (madya) Tegal. Sebagai sebuah ibukota kabupaten tentunya menjadi lokasi yang “pertama dilirik” ketika berbicara tentang kabupaten Tegal. Slawi adalah corongnya kabupaten Tegal. Melalui Slawi diharapkan masyarakat luas dapat melihat gambaran/representasi kabupaten Tegal. Berkaitan dengan media dan teknologi informasi, maka perlu ditilik sejauh mana Slawi dapat tertangkap “radar digitalisasi”.

Read more ...

IMPOR BERAS DAN SISTEM KETERSEDIAAN BERAS BERKELANJUTAN YANG ADAPTIF TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

IMPOR BERAS DAN SISTEM KETERSEDIAAN BERAS BERKELANJUTAN YANG ADAPTIF TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Oleh : Shinta arDjahrie

Ada beberapa alasan yang cukup penting kenapa kita perlu memberi perhatian khusus kepada permasalahan perubahan iklim. Selain bahwa dampak perubahan iklim ini dapat menyampingkan hak-hak atas kebutuhan hidup manusia paling mendasar (pangan, papan, dan sandang), pengabaian terhadap proses adaptasi perubahan iklim juga akan memperlambat proses penanggulangan kemiskinin dan pencapaian pembangunan berkelanjutan . Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2001, perubahan iklim global ini sangat peka terhadap beberapa hal dalam sistem kehidupan manusia, yaitu (1) tata air dan sumberdaya air; (2) pertanian dan ketahanan pangan; (3) ekosistem darat dan air tawar; (4) wilayah pesisir dan lautan; (5) kesehatan manusia; (6) pemukiman, energi dan industri, dan pelayanan keuangan .

Berdasarkan keterangan dari LAPAN, bahwa Iklim di Indonesia menjadi lebih hangat selama abad 20. Suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,3 derajat Celcius sejak 1900 dengan suhu tahun 1990an merupakan dekade terhangat dalam abad ini dan tahun 1998 merupakan tahun terhangat, hampir 1 derajat Celcius di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan kehangatan ini terjadi dalam semua musim di tahun itu. Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 hingga 3 persen di wilayah Indonesia di abad ini dengan pengurangan tertinggi terjadi selama perioda Desember- Februari, yang merupakan musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1082/1983, 1986/1987 dan 1997/1998 . Pemanasan global akan meningkatkan temperatur, memperpendek musim hujan, dan meningkatkan intensitas curah hujan. Kondisi ini dapat mengubah kondisi air dan kelembaban tanah yang akhirnya akan mempengaruhi sektor pertanian dan ketersediaan pangan. Pemanasan global juga akan menaikkan level permukaan air laut, sehingga menggenangi daerah pesisir produktif yang sekarang digunakan sebagai lahan pertanian. Setiap usaha tani, termasuk padi, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap cuaca dan iklim. Ketergantungan tersebut menghasilkan irama tanam dan panen yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Produksi beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya (Februari-Mei) , yang mencapai 60-65 persen dari total produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada musim panen gadu pertama (Juni-September) dengan produksi 25-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim panen Oktober-Januari .


Read more ...
Sunday, May 01, 2011

Kisah Mei (tentang cinta dan kefanaan)

Bahkan hujan pun akan berhenti ketika di bulan Mei. Rancu juga kalau saya menjadi sedikit memuji perubahan iklim yang membuatku merasa berterimakasih atas beberapa hujan yang “nimbrung” di bulan Mei. Setidaknya aku merasa bahwa hujan di hatiku juga tidak sendiri.

Entah kenapa, selalu ada kisah di bulan Mei. Selain bahwa ini adalah bulan dimana dua puluh empat tahun yang lalu aku pertamakali merasakan kefanaan dunia, kini aku baru menyadari segala “hujan bermakna” di bulan Mei.

Kisah yang membuatku merefleksikan setiap Mei adalah rangkaian kisah di tahun lalu. Namun, itu semua membuatku ingin mengumpulkan semua 24 bulan Mei yang pernah aku lewati.

Adalah Mei 2009, yang beberapa hari sebelum masuk, aku sedang menjalani acara tahunan sebuah forum, tempat dimana aku mendapatkan kesempatan untuk bersilaturahmi dan berbagi inspirasi dengan pemuda-pemuda dari penjuru bangsa. Acara tahunan yang selalu menorehkan kesan berarti di setiap peserta dan panitianya. Saya mengumpamakan sebagai ajang untuk merecharge semangat. Sebutlah itu sebagai forum Indonesia Muda. Di salah satu hari dimana saya bertugas sebagai panitia saat itu, ada kantuk yang sangat mendera, dan tak ayal saya tertidur disaat semua sedang sibuk. Di kamar nomor 4 wisma pelatih. Kenapa saya harus mengingat kantuk dan tidur itu? Karena saat tertidur itu saya merasa mendapat mimpi yang tak bisa saya lupakan dan menjadi bertanya-tanya, cemas, dan kecemasan itu terjawab sekitar satu minggu sesudahnya.


Read more ...
Tuesday, April 05, 2011

Menjaring Keterlibatan Masyarakat Melalui Optimalisasi Media Jejaring Sosial untuk Menciptakan Perpustakaan Nasional yang Dinamis

*juara harapan 2 LKT Perpusnas 2010 kategori Dosen dan Umum



Oleh :
Shinta Ardhiyani U
158/SKT/SA/1111




Pendahuluan

Keberadaan perpustakaan nasional (perpusnas) memiliki arti penting dan korelasi positif terhadap upaya pencerdasan masyarakat. Program pendidikan yang dicanangkan bukan semata jenjang sekolah formal saja melainkan bagaimana masyarakat mampu mengembangkan diri melalui kekayaan literasi yang dimiliki. Dengan menyediakan informasi, masyarakat dapat memberitahukan kepada diri mereka sendiri tanpa suatu paksaan tentang berbagai isu muktahir. Masyarakat dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan mendapatkan berbagai informasi yang sesuai tugas atau pekerjaan masing-masing. Dengan kata lain, melalui perpustakaan diharapkan akan terbentuk statu masyarakat yang terinformasi dengan baik, berkualitas, dan demokratis .

Walaupun belum ada definisi resmi apa itu perpustakaan nasional, namun dari nama-nya kita akan mengetahui posisi nya sebagai penyimpan dokumentasi nasional. Selain itu, keberadaannya yang dipusat dan bersifat nasional, maka perpusnas menjadi lembaga koordinator perpustakaan-perpustakaan yang ada di daerah. Sifat nasional ini menjadi istimewa karena berkonsekuensi untuk dapat diterima masyarakat secara luas dan menasional. Namun kedudukan nasional ternyata juga memberikan kesan menara suar yang susah digapai oleh masyarakat. Tak banyak masyarakat yang mengenal perpustakaan nasional pun warga ibukota yang memiliki lokasi dekat. Hal ini perlu menjadi perhatian sendiri karena dinamika perpustakaan nasional akan tercipta ketika masyarakat melakukan banyak aktivitas bersama perpusnas. Dinamika perpustakaan adalah sebuah aktivitas literasi mandiri dari para anggota-nya. Walaupun ada inovasi jemput bola dengan agenda perpustakaan keliling, tetap saja aktivitas literasi masyarakat dilakukan secara mandiri dan butuh tingkat kesadaran yang tinggi. Tanpa membangun kesadaran literasi pada masyarakat, maka tak ayal peran perpustakaan hanya sebagai ”brankas” saja tanpa adanya dinamika.

Dalam sosialiasi perpusnas perlu adanya media yang membangun kesadaran literasi pribadi. Maka media yang diperlukan adalah yang mampu menciptakan sebuah citizen library, dimana masyarakat dapat terstimulasi untuk turut serta melakukan beberapa peranan-peranan perpustakaan. Jadi nanti perpustakaan masyarakat menjadi lembaga yang dijalankan bersama-sama dengan masyarakat. Atau dengan kata lain, keterlibatan masyarakat menjadi penggerak/dinamisator perpustakaan nasional.

Maraknya jejaring sosial di era digitalisasi dewasa ini menjadi salah satu budaya populer yang sudah menjadi salah satu bagian gaya hidup masyarakat Indonesia. Bahkan menurut sebuah riset, per Juni 2009, Facebook menduduki peringkat pertama sebagai situs yang paling sering diakses oleh masyarakat Indonesia. Fakta ini merupakan hal yang potensial dalam melakukan efektifitas dan masifitas agenda perpustakaan nasional.

Read more ...

Kidung Teladan Pak Kuding


Sudah menjadi bagian dari kisah yang termaktub dalam kitab sejarah negara kita, bahwa penjajah itu adalah orang-orang yang serakah. Bahwa kolonial adalah kaum yang sangat membuat kesal. Berabad-abad negara kita pernah betah menjadi tongkrongan para penjajah. Namun penjajahan juga lah yang membuat kita mengenal adanya para pemimpin bangsa. Para bapak bangsa yang tak terkira mulianya. Penjajahan pada sisi lain melahirkan manusia-manusia luar biasa yang bisa dijadikan sebagai teladan pembelajaran bagi kaum selanjutnya. Benar bahwa, there is no growth in comfort zone, there is no comfort in growth zone., masa-masa penjajahan yang tak nyaman kemudian melahirkan manusia-manusia yang memiliki mental tangguh yang luar biasa.

Adalah seorang pak Kuding - panggilan Syafrudin Prawiranegara-nyang sebenarnya tak akan berlebihan jika kita panggil dengan sebutan Presiden Prawiranegara. Namun, kerendahhatian serta tingginya pekerti beliau, menjadikan sebutan Presiden adalah sesuatu yang pantang untuk diterima. Pun oleh anak cucunya yang keberatan ketika nama “Presiden Prawiranegara” menjadi salah satu judul dalam sebuah novel besutan Akmal Nasery Barsal.

Sebagai novel, sebuah karya kreatif-imajinatif, itu yang coba ditegaskan oleh Akmal Nasery di awal bukunya. Kisah ini bukan ingin menjadi buku sejarah atau bahkan memberikan temuan historis baru. Adapun setting sejarah yang mengiringi tokoh Kamil Koto dalam novel ini adalah sebatas setting yang memberi penguatan pada sebentuk epik indah tentang seorang Presiden Prawiranegara saat menjadi ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).

Agresi militer II Belanda pada 19 Desember 1948 berujung pada dijadikannya Bung Karno-Bung Hatta serta petinggi negara lainnya menjadi huissarrest (tahanan rumah). Hal ini tak kepalang menjadikan kondisi negara agak kacau. Yogyakarta telah dikuasai oleh penjajah. Beberapa petinggi bangsa yang tidak di ibukota, tetap bertekad melanjutkan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Hal itu yang menjadikan Pak Syaf berinisiatif untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat, yang kemudian oleh forum beliau dimanahi menjadi ketuanya. PDRI awalnya berkedudukan di Bukittinggi, namun karena penjajah terus berusaha untuk menduduki wilayah Indonesia, PDRI pun bergerilya keluar masuk rimba, naik turun gunung di wilayah sumatra bagian barat hingga aceh, hingga akhirnya di daerah bernama Bidar Alam. Disinilah kisah berurai. Kisah yang sungguh dramatik dan membuat pembaca larut di dalamnya. Bukan sebuah kisah sejarah yang penuh diksi membosankan. Namun, dengan kepiawaian seorang Akmal Nasery Barsal menggugah jiwa pembaca dengan kisah yang indah.
Read more ...

Indonesia Sebagai Lebih Dari Sebuah Batas Negara

Apa yang terbersit di pikiran anak muda ketika mereka diberikan kata ”Indonesia” atau ”nasionalisme”? Mungkin ada yang bilang bahwa nasionalisme adalah ketika Indonesia mampu menjadi finalis dalam liga sepakbola AFF. Ada jg jawaban bahwa ketika kita bicara Indonesia adalah Bali, reog ponorogo, batik, sate padang, dan lain-lain. Lebih heroik lagi adalah ketika bicara Indonesia adalah saat kemarahan kepada orang saudi arabia yang menganiaya TKI, atau bicara nasionalisme adalah saat harus memperjuangkan Indonesia ketika terlibat konflik dengan negara jiran. Jawaban-jawaban itu tidak salah walaupun tidak seratus persen benar. Lebih dari itu, bahwa nasionalisme tidak tersempitkan melalui batas-batas negara secara fisik atau kekayaan budaya yang harus dijaga eksistensinya. Indonesia memungkinkan para generasi muda untuk bicara lebih luas, dengan prinsip-prinsip yang bukan mengungkung nasionalisme itu sendiri tetapi justru menjadi kebanggaan di dada setiap pemuda. Maka, tak heran kita akan melihat semangat nasionalisme yang luar biasa dari warga negara Indonesia yang mungkin tidak bertempattinggal di Indonesia. Mereka mampu melihat Indonesia secara lebih objektif dan luas.

Begitu pula ketika kita membaca buku dengan judul ”Notes From Qatar” (#NFQ) yang dibesut oleh Muhammad Assad. Buku yang sederhana tetapi punya efek yang luar biasa buat anak muda yang mau membacanya. Sebenarnya #NFQ ini tak lebih dari sebuah catatan harian dari Assad selama berada di Qatar. Assad adalah anak muda cemerlang yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di negeri jiran-Malaysia, mendapat full scholarship dari petronas dan melanjutkan studi master di Qatar Faculty of Islamic Studies (QFIS), Doha, dengan beasiswa penuh dari emir Qatar, His Highness sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani.

Menyadari bahwa dirinya diberi kesempatan untuk merasakan berbagai pengalaman serta meraih berbagai prestasi, Assad berkeinginan untuk membaginya kepada orang lain. Semangat, pengalaman, curahan hati-nya rajin ia sampaikan melalui sebuah blog www.muhammadassad.wordpress.com . Kemudian dari beberapa tulisan di blog tersebut ia ajukan ke penerbit dan lahirlah sebuah buku cantik dengan judul ”Notes From Qatar”.
Read more ...

JOMBLO DALAM SEBUAH REPORTASE MERAH MUDA




Dunia kampus selalu menjadi dunia yang penuh cerita, bagi mereka yang berkuliah tentunya. Tanpa menafikan bahwa tingkat akses pendidikan tinggi di Negara kita masih terbilang rendah, kampus selalu menjadi ruang-ruang yang penuh kisah indah bagi para penghuninya. Bagi sebagian orang, kampus menjadi tembok tinggi yang membuat jarak dan penghalang bagi masyarakat di sekitarnya. Anak kuliahan dianggap anak-anak yang memiliki “kode bahasa” tertentu yang cenderung njelimet bin ribet untuk dipahami oleh masyarakat awam. Belum lagi dengan visualisasi demonstrasi yang kerap mewarnai layar kaca di rumah kita. Banyak sekali gelar yang akan disandingkan kepada para mahasiswa itu, sebagai intelektual, cendekiawan, hingga demonstran. Tak sedikit pula menyandang gelar borjuis, karena kuliah bagi beberapa kelompok mahasiswa adalah prestise, ke kampus gonta-ganti mobil, ajang mejeng fashion, belum lagi event-event yang mengatasnakaman kebersamaan dari mulai nongkrong di kantin sampai bermalam di villa, itu sudah menjadi adat tak tertulis.

Fakta itu tidak salah, walaupun juga tidak seratus persen benar. Menjadi mahasiswa adalah ”tiket masuk” untuk menggembleng potensi diri. Saat itulah seorang anak manusia tidak dianggap anak-anak lagi namun belum juga bisa dipandang sebagai orang tua. Posisi tawar seorang pemuda banyak dibangun di masa-masa mereka menjadi mahasiswa. Maka tak heran jika kita mendapati banyak jenis organisasi mahasiswa, dari yang bersifat hobi, kerohanian, hingga politik. Nah, beberapa persen dari sekian banyak jumlah mahasiswa memilih ini, lazimnya mereka disebut sebagai aktivis. Entah itu dari BEM, UKM, atau bahkan ormas ekstra kampus. Dan mereka punya dunia yang menarik hingga tak salah jika seorang Zakky Ramadhani mencoba mengangkat satu dari ribuan kisah yang ada di dunia aktivis mahasiswa.

Read more ...
Tuesday, March 15, 2011

Dari Kisah Tentang Sepotong Jendela

”Tapi kitalah masa depan, kanak-kanak yang harus menjalin airmata negeri menjadi cahaya” (Abdurahman Faiz)


Kesenjangan sosial yang didalamnya termasuk rentang perbedaan antara kaya dan miskin sudah menjadi bagian dari sketsa warna kehidupan. Ibarat kedua kutub yang membuat bumi ini menjadi padat, maka senjang status sosial itu juga membuat dinamika hidup semakin mampat. Fenomena sosial ini sudah tak asing lagi, dan mungkin bagi kita sebagai warga negara yang bertempat tinggal di bumi Indonesia dengan kemajemukan rakyatnya. Saking biasanya, kadang kita tergerus oleh keapatisan untuk menengok jurang kesenjangan itu. Bahkan mungkin dari kita sudah menganggap itu sebagai kodrat bahwa ada yang kaya dan miskin jadi tak perlu saling teringat. Cara pandang pragmatis yang biasanya menjadi salah satu fase ketika tumbuh dewasa. Semakin bertambah usia, semakin banyak permasalahan hidup yang terlihat, semakin tergoda kita untuk saling melupakan sesama, dan saat itulah sebenarnya waktu yang tepat untuk kita berterimakasih pada anak-anak.

Karena fenomena sosial itu ternyata akan memiliki bingkai lain oleh anak-anak, terutama yang belum teracuni pikirannya. Anak-anak dengan kepolosannya akan memiliki cara yang sederhana untuk melihat kehidupan yang keras ini. Seperti itulah yang mungkin terulas dalam kisah Rara dan teman-temannya di Film Rumah Tanpa Jendela.
Read more ...
Sunday, March 06, 2011

Ketika Hidup Penuh Warna, Ambillah dengan Merah Muda : La vie en Rose (Review)

Pernah merasa hidup kita selalu banyak penderitaan?atau kita pernah mengeluhkan banyak kekurangan dalam hidup kita? yang kemudian penderitaan dan atau kekurangan itu dijadikan alasan untuk kita tidak produktif berkarya? Terlalu banyak alasan terparafrasekan untuk kita enggan melangkah. Padahal, hanya perlu ada satu keyakinan bahwa kita itu semua punya peluang yang sama, tinggal bagaimana kita punya kemauan dan usaha yang gigih untuk mencapainya.

Adalah Édith Giovanna Gassion, yang lahir di Paris, Perancis hamper satu abad yang lalu. Siapa orang yang ingin dilahirkan di tempat yang bisa dibilang cukup terpencil, pada situasi perang. Dilahirkan oleh seorang penyanyi cafe, Edith kecil tidak mendapatkan perhatian yang layak. Oleh ayahnya yang seorang pemain sirkus, Edith dititipkan di rumah bordil milik neneknya. Dari kecil ia sudah terbiasa untuk menerima apapun kondisi yang dimilikinya. Kondisi kekurangan gizi bahkan sempat mengalami kebutaan saat kecil, hingga dibawa ayahnya dalam rombongan sirkus, semua dijalani Edith. Satu hal yang selalu ia ingat , yaitu saat mengalami kebutaan, ia diajak ke tempat dimana ada patung bunda Theresa. Oleh salah satu wanita PSK di rumah bordil milik neneknya, ia diajari untuk berdoa , meminta kepada bunda Theresa.

“Bunda Theresa, aku mau melihat lagi. Aku ingin bisa membaca. Aku ingin bisa berlari. Terima kasih Bunda……”

Kebutaan Edith ternyata tak berlangsung lama, ia sembuh. Sejak saat itu ia yakin dengan kekuatan doa, dan berprasangka baik bahwa jika ia berdoa pasti dikabulkan dan jika tidak dikabulkan pasti digantikan dengan hal lain yang lebih baik. Keyakinan itu kuat, prasangka baik kepada Tuhan selalu ditanamkannya sepanjang hidupnya. Tak terkecuali hingga di beberapa tahun kemudian saat kiprah seorang Edith tak dapat dilupakan dalam sejarah musik Perancis.

Ya, edith yang malang memiliki suara emas. Walaupun kondisinya yang memprihatinkan, Edith tak pernah mematikan mimpinya untuk bisa menjadi seorang penyanyi terkenal di Paris. Berawal dari pertunjukan jalanan, penyanyi bar, teater, ingá akhirnya masuk menjadi penyanyi kelas dunia.

Klasik. Mungkin itu yang akan terungkap oleh kita saat sekilas mengetahui isi cerita dari film ’La Vie en Rose’ . Salah satu film lama di tahun 2008 yang membawa aktris pemeran utama-nya meraih piala Oscar (Marion Cotillard). Namun film ini memang menjadi istimewa karena setting dan figur yang digunakan dalam film berdurasi sekitar 134 menit ini.

Edith yang populer dengan nama Edith Piaf adalah salah satu penyanyi terkenal yang juga menjadi lambang pop negara Perancis. Di jalur balada, Edith Piaf banyak menghasilkan lagu-lagu yang menyayat hati. Salah satu karyanya yang populer, berjudul ”La vie en Rose , lagu yang dikarang saat pendudukan Jerman di Perancis pada perang dunia II. Karya-nya ini terus melegenda bahkan hingga saat ini. La vie en Rose pernah dipilih untuk Grammy Hall of Fame Award pada 1998’. Setelah diterjemahkan dalam bahasa inggris, lagu ini pun banyak dibawakan oleh ratusan musisi, juga muncul di beberapa film popular seperti French kiss, prêt-a-porter, saving private ryan, somethings gotta give, dll.

Menilik adegan-adegan film ini , kita dibawa kedalam suasana Paris era perang dunia II. Selalu menarik melihat tayangan yang memperlihatkan begitu tingginya apresiasi masyarakat Perancis terhadap seni. Melihat alur kisah film ini memang seperti menghayati makna lagu ”la vie en rose”. Alur maju-mundur yang digunakan seperti ingin membuat kita bisa melihat satu kisah secara utuh di setiap scene-nya hingga menonton film ini seperti kita memakan sandwich yang lezat dan padat berisi.

Kembali pada hikmah yang bisa kita ambil pada kisah ini adalah , seberapa sering kita mengeluh dan hampir putus asa dikarenakan kondisi yang kadang tidak seperti kita inginkan? Karena merasa miskin jadi tidak punya mimpi, karena merasa bodoh jadi tak pernah punya harapan, karena merasa punya kekurangan jadi enggan mencoba. Come on. Seorang Edith telah mengajarkan kepada kita, bahwa setiap manusia punya peluang yang sama untuk meraih mimpi-mimpinya. Setiap manusia hanya wajib berusaha, masalah hasil dan perputaran nasib itu sudah ada yang mengatur. Ketika kita mampu untuk tetap memiliki mimpi disaat terjatuh, bukankah penderitaan itu menjadi terasa manis? Enjoy this life.

give your heart and soul to me,
:and life will always be ..
:la vie en ros
Read more ...

Ketika Malaikat Berkhianat

Terkadang dalam kehidupan kita akan menemui sosok yang dianggap seperti malaikat. Mendengar diksi malaikat memang akan membuat kita mengasosiakan pada hal-hal yang bersifat indah, bagus, positif. Kehadiran malaikat sebagai vis a vis dari setan membuat kita meletakan malaikat sebagai penyelamat.

Lepas dari denotatif diksi malaikat sebagai salah satu makhluk Tuhan, setiap orang biasanya memiliki sosok yang dianggap malaikat. Bisa jadi sosok itu dianggap malaikat karena telah banyak menyelematkan kita. Bisa jadi sosok itu adalah orang tua kita, kakak atau adik kita atau sahabat kita. Tentunya ”gelar malaikat” ini akan menjadi sangat subyektif, tergantung setiap sensasi yang membentuk persepsi kita masing-masing.

Permasalahan yang kadang timbul adalah, terkadang kita lupa, bahwa manusia tetaplah manusia, tak akan pernah menjadi malaikat, (dan juga tak akan menjadi setan). Orang yang kita anggap sebagai malaikat tak mustahil akan melakukan kesalahan yang mungkin akan sangat menyakitkan. Bahkan ada kata-kata bijak yang menyebutkan bahwa ”orang yang kita cintai berada pada posisi tepat dalam untuk kita benci”. Ya, jarak antara cinta dan benci terkadang menjadi sangat tipis. Bahkan biasanya luka yang ditimbulkan oleh orang yang kita cintai bisa terasa lebih menyakitkan dibanding jika kita dilukai oleh orang lain.

Setidaknya sepenggal fenomena itu yang coba dijumput Tere-Liye dalam salah satu novel-nya ”Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Sosok Danar hadir dalam kehidupan Tania, merupakan sebuah scene yang tak akan pernah terlupakan. Kehadiran Danar benar-benar seperti sosok malaikat yang membuat kehidupan Tania dan keluarganya berubah jauh seratus delapan puluh derajat. Dari kondisi yang tinggal di rumah kardus, mengamen di bis kota, hingga menikmati pendidikan di luar negeri. Perjalanan yang sangat panjang dan mengesankan dan ternyata meninggalkan beberapa jumput perasaan dalam hati Tania. Perasaan yang terus-menerus dipupuk.

Kembali kepada topik diatas, bahwa manusia akan tetap menjadi manusia. Sosok malaikat yang hadir dalam hidup kita adalah perantara Tuhan untuk menyentuh kehidupan kita. Kemudian apa yang kita lakukan ketika malaikat itu justru menorehkan luka yang sangat mendalam dan begitu perih?

Yakinlah, bahwa itu adalah sekedar hembusan angin lembut yang membuat kita terbang dan melihat dunia ini lebih luas lagi. Angin yang membuat kita tetap belajar mengarungi indahnya pelosok dunia ini, dan lebih terpenting lagi adalah angin yang membuat kita merasakan jatuh pada lembutnya tanah dan keras bebatuan. Semua itu adalah bagian dari proses pendewasaan kita. Ya, toh daun pun tak pernah tidak pernah membenci angin yang membuatnya terlepas dari tangkai dan jatuh di pelataran. Maka tak bijak apabila kita membenci orang yang telah melemparkan pada kita untuk merasakan luka yang teramat sangat.

Bahwa pelajaran yang indahnya adalah, inilah manusia, begitu nikmatnya menjadi manusia yang dapat terjamu malaikat
dan setan. Begitu mulia-nya manusia yang memiliki dinamika indah kehidupan yang penuh dengan pernak-pernik. Bahkan jatuhnya kita ternyata adalah drama dari sebuah hikmah yang luar biasa besar. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.

Arti kehidupan yang luar biasa ini dengan gemulai ditarikan oleh pena Tere-Liye dalam novel ini. Sebuah novel sarat makna kehidupan. Alur yang terarah membuat kita seolah dibawa oleh kereta kencana dalam kisah dongeng yang membuai hingga tak sadar kita telah pada akhir cerita dan sampai kepada makna. Kepiawaian Tere-Liye dalam meramu kata memang tak diragukan lagi. Barisan novel yang telah ditelurkan dari rahim pena-nya membuktikan hal tersebut.

Dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya, memang kita tak akan melihat jurang perbedaan yang begitu dalam. Tere-Liye masih ”istiqomah” dengan semangat menulis kisah kehidupan penuh hikmah. Membacanya tak ubahnya membaca deretan tausiyah dalam alunan kalimat indah dan kisah penuh hikmah.

Kisah dengan alur yang sederhana ini sesungguhnya akan lebih menggigit dengan tidak hanya memberikan karakter tokoh yang datar. Misalnya pada sosok Danar, yang sempurna, hampir tanpa cela. Bahkan di akhir kisahnya pun ternyata Danar memiliki perasaan yang sama pada Tania. Hal ini membuat Tania sebenarnya tak pernah mengalami sebuah hal yang ”tragis” selain kehidupannya sebelum bertemu Danar. Kehidupan Danar pun belum terkuak jelas dalam kisah ini, yang sebenarnya menyisakan tanya ”siapa sih dia?”. Hal ini yang kemudian menguatkan Danar benar-benar ”malaikat” yang bukan manusia. Dengan kata lain, sosok danar kurang natural dengan kisah realis yang coba disuguhkan.
Pecinta novel Tere-Liye mungkin sempat kecewa karena haru-biru yang ditawarkan kisah ini begitu ”klise” bahkan masih bisa dibilang cukup pasaran karena ternyata konflik yang ditekankan adalah pada masalah hubungan percintaan lawan jenis. Alih-alih novel ini menjadi bacaan alternatif bagi anak muda, ternyata juga menambah daftar novel cinta remaja. ^_^ . Judul yang digunakan dalam kisah ini juga terasa kurang efektif. Judul ini yang diambil dari sebuah quote yang dipopulerkan dalam film Jepang Zatoichi : ”The Falling leaf doesn’t hate the wind”, kurang mengena pada kisahnya. Hal ini terlihat pada adegan Tania membenci Danar lebih banyak dan hanya di ending cerita saja Tania luluh. Itu pun porsinya sangat sedikit, malah semakin di-ambigu-kan dengan kondisi rumah tangga Danar. Mungkin akan lebih mengena ketika Tania memtuskan untuk bersikap ”manusiawi”, menghadapi kenyataan bahwa Danar adalah orang yang tak harus jadi miliknya. Dengan kata lain, judul ini terlalu dipaksakan pada kisah yang ada.

Maka kembali pada pembaca, untuk cerdas mengambil makna yang ada pada pengemasan kisah luar biasa ini. Tere-Liye dengan keistiqomahannya menghadirkan pesan kehidupan. Semoga pembaca pun istiqomah untuk menikmatinya. Walaupun terbersit harapan bahwa suatu saat nanti Tere-Liye bisa memberikan kejutan pada karya-nya. Sesuatu yang menyentak seperti penambahan beberapa sentuhan adegan action untuk menambahkan maskulinitas karya-karyanya sehingga tidak bisa orang bilang sembarangan bilang bahwa novel-nya sebagai novel cengeng. Maju terus Tere-Liye untuk mewarnai khazanah sastra nusantara.



Semoga kita bisa bersikap manusiawi pada ”malaikat-malaikat” kita.
Read more ...
Wednesday, January 26, 2011

Het Geheim van Meede : Sebuah Kisah “Emas” dari VOC


Buku lama yang baru kuselesaikan resensi-nya, karena sedang "tergila-gila" untuk belajar menulis resensi yang menarik.


Menanggung hutang ternyata sudah menjadi garis nasib yang harus diterima negara ini sejak zaman kolonial dahulu. Bak jatuh tertimpa tangga, berharap penjajahan bisa benar-benar berakhir, di Ronde Tofel Conferentie (Konferensi Meja Bundar) justru mengantarkan Indonesia untuk menanggung hutang colonial hingga sebesar 4,3 miliar gulden yang setara dengan 1,13 miliar dolar Amerika. Tak banyak yang mengetahui alasan delegasi Indonesia akhirnya menyetujui isi perundingan tersebut.

Sejarah kolonial memang memiliki sisi menarik untuk dipelajari. Bukan hanya sebagai refleksi mengenai kejinya penjajahan, namun kita bisa belajar lebih bijak untuk melihat sebuah rangkaian peristiwa. Buku “Rahasia Meede” bisa memberikan pencerahan itu.. Tak berlebihan rasanya jika E.S Ito disebut sebagai maestro thriller sejarah Indonesia. Tak sedikit endorsement yang menyatakan itu pada cetakakan ke III buku ini. Keakuratan fakta sejarah yang dituangkan dalam buku ini terjalin manis dengan imajinasi sang penulis. E.S Ito dengan begitu lugasnya memaparkan sejarah VOC, sebuah kongsi dagang yang tenar di masa Hindia-Belanda. Bagian penting dari hasil Konferensi Meja Bundar adalah dokumen penyerahan kedaulatan. Dokumen itu terdiri dari : empat lembar protokol, satu lembar piagam penyerahan kedaulatan, tiga lembar statuta uni Indonesia-Belanda, dua lembar persetujuan perpindahan. Mohammad Hatta (ketua delegasi Indonesia) dan Dr.W.Dress (ketua delegasi Belanda) menandatangani tiga dokumen tersebut. Sedangkan satu dokumen lainnya, yaitu akta penyerahan dan pengakuan kedaulatan sebanyak enam embar ditandatangani oleh Ratu Juliana dan Hatta serta menteri-menteri dalam kabinet Dress dan anggota delegasi Hatta.

Dalam pengiriman dokumen-dokumen tersebut ke Indonesia, terjadi kekacauan, yang diduga hal itu disengaja untuk merahasiakan salah sau dokumen. Dokumen itu diselipkan bersama-sama dengan barang cetakan dan dokumen KMB lainnya oleh Ministerie van Uniezaken en Overzeese Rijksdelen Den Haag untuk delegasi RI. Melihat tujuan pengiriman tersebut tak akan nampak bahwa didalamnya tersembunyi sebuah dokumen yanng sangat penting. Saat itu, chaos yang terjadi apakah dokumen tersebut dikirimkan pada pemerintah RI di Jogjakarta atau pemerintah RIS di Jakarta.

Keberadaan dokumen yang sangat penting itu yang pernah membuat Pieter Erberveld, laki-laki kkulit putih dikutuk sepanjang sejarah Hindia Belanda. Dokumen yang diberi sebutan ”sabda revolusi”, yang menyelematkan Indonesia dari hutang besar kolonial. Dokumen yang membuat beberapa orang mengerahkan energi dan waktunya untuk sebuah pencarian harta karun peninggalan VOC.

Kisah dalam novel ini mengajak kita kembali menilik kejayaan VOC pada era-nya. Kebangkrutan VOC seperti yang kita tahu, ternyata tidak semata-mata bangkrut dan tak memiliki peninggalan sedikitpun. Penambangan emas di Salido Ketek, sebuah daerah kecil di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, diduga merupakan sumber dari harta karun VOC yang tak pernah terkuat. Sejak pertama kali ditambang pada tahun 1670, produksi emas Salido yang ditambang VOC sangat luar biasa banyaknya. Namun VOC hanya memiliki sebagian kecil dari produksi emas tersebut.
Dalam menjalankan operasi dagangnya, VOC dikendalikan oleh suatu badan hukum yang bernama Hereen Zeventeen. Dalam bahasa Indonesia, Hereen Zeventeen berarti ”Tujuh Belas Tuan-Tuan”, yang dimaksud disini adalah sebuah badan yang terdiri dari tujuh belas orang terhormat yang mewakili enam Kamers, yaitu Amsterdam, Middlebug, Delf, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen. Hereen Zeventeen berpusat di Amsterdam. Dan sesuai Octroi kerajaan, Gubenernur Jenderal VOC bertanggungjawab kepada Hereen Zeventeen. Itu yang berlaku secara de jure.

Pada fakta-nya, VOC tidak saklek bertanggunngjawab kepada Hereen Zeventeen, namun kongsi dagang ini dikuasai oleh Monsterverbond. Monsterverbond adalah kelompok rahasia yang mengendalikan VOC, semacam klendestin pada abad pertengahan. Kontrol Hereen Zeventeen terhadap VOC sangat lemah, padahal kekuasaan VOC sangat luar terbentang. Monsterverbond memiliki kekuatan dalam pengendalian kongsi dagang ini karena komplotan ini bisa dibilang sebagai sebuah persekutuan antar unsur-unsur yang menakutkan.

Monsterverbond dikomandoi oleh Cornelis Janszoon Speelman, pejabat Belanda yang ditugasi untuk menggempur Hasanuddin di Makasar. Dalam penyerangan itu, dia dibantu oleh dua orang pribumi , yaitu Arung Palakka dan Kapitan Jongker. Tiga orang inilah yang menjadi pemimpin terkemuka dari Monsterverbond. Ketiganya mengakhiri misi di Makasar dengan Perjanjian Bongaya pada 28 November 1667. Ketiga orang tersebut terrgabung dengan sebuah kondisi psikologis yang sama yaitu perasaan tersisih. Speelman adalah petinggi VOC yang tersisih dalam pergaulan karena pernah terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah putra mahkota Bugis dari kerajaan Bone yang menjadi tawanan kerajaan Makassar dan melarikan diri ke Batavia tahun 1660 dan diterima ikeh VOC. Kapitan Jonker adalah seorang panglima dari Pulau Manipa, Ambon. Dia tak pernah menguasai satu daerah di mana oranng mengakuinya sebagai daulat. Kemudian Jonker bergabung dengan VOC.

Monsterverbond inilah yang kemudian menerima harta karun VOC sebagai bayaran. Ketiga unsur kekuatan Monsterverbond ini memiliki andil yang sangat penting bagi VOC terkait penaklukan beberapa daerah di Indonesia, Barat-Timur-dan tengah. Speelman dengan penaklukan Hasanuddin. Arung Palakka dengan keberhasilannya menghapus pengaruh Aceh di pesisir barat Sumatra. Kapitan Jonker dengan keberhasilannya menangkap Trunojoyo. Mereka bertiga telah menaklukan nusantara dan mengantarkan VOC mencapai puncak kejayannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Untuk itulah VOC harus membayar mahal kepada Monsterverbond, bukan dalam bentuk barang tetapi hak monopoli emas. Salahsatunya yaitu monopoli penambangan emas di Salido Kretek, Sumatra Barat. Karena “kewajiban membayar” ini, terjadi manipulasi data-data kekayaan VOC, sampai akhirnya VOC dinyatakan bangkrut.

Sebuah uraian falta yang menarik dan Sangay menggairahkan kita untuk mengerti runut dramatika sejarah ekonomi kolonial. Sanjungan tak berlebihan diberikan lepada E.S Ito yang lihai mengemas kisah fakta ini dalam balutan drama penculikan, pembunuhan, dan persahabatan Kalek dan Batu - dua orang alumni Sekolah Menengah Taruna Nusantara. Tak ketinggalan juga drama keluarga yang menghadirkan tokoh-tokoh rekaan yang merupakan keturunan langsung dari beberapa pelaku sejarah yang semakin menguatkan kisah “Rahasia Meede” ini.

Walaupun dalam lembar biografi E.S Ito Sangay “pelit informasi”, dan mungkin itu sebagai refleksi kerendah hati-annya, tak ayal memang penyembunyian jatidiri-nya cukup bermanfaat untuk membuat pembaca tercengang-cengan dengan kisah novel ini. Mungkin akan berbeda kalau kemudian langsung mengetahui bahwa sang penulis juga adalah alumni sekolah militer Taruna Nusantara. Karena memang latar belakang persahabatan dua orang alumni sekolah TN ini menjadi hal yang unik dan dramatik menjadi salah satu bumbu dalam kisah ini dan juga di novel E.S Ito lainnya, Negara Kelima.

Beberapa hal menarik dalam novel ini juga mengenai sejarah beberapa lokasi di Jakarta. Sangat menyenangkan dan menegangkan mengikuti lika-liku terowongan rahasia yang berada dibawah jalanan ibu kota Jakarta. Membuat kita akan penasaran dan tertarik untuk mengetahui ihwal ibu kota Negara ini.

Pengemasan kisah yanng sungguh luar biasa cerdas. Tak seperti novel sejarah lain yang mungkin cenderung membosankan. Alur yang tak terduga dengan tokoh yang sangat banyak. Ya, mungkin banyaknya tokoh ini akan membuat sulit pembaca untuk mengetahui alur cerita sebenarnya. Mulai dengan group peneliti dari ketiga negara eropa, kemudian para pagawai ANRI yang ternyata memainkan peran cukup penting dalam drama ini, sampai seorang wartawan surat kabar. Tak luput juga tentang filosofi ajaran Gandhi dan juga teguhnya para pengagum Hatta. Ah, kisah ini benar-benar sangat kompleks. Dibandingkan dengan ”Negara Kelima” -novel E.S Ito mengenai kembalinya Nusantara- Rahasia Meede ini sangat kompleks. Pola cerita-nya sebenarnya hampir sama, ada kelompok muda radikal, fakta sejarah yang sedang diungkap, serta oknum penunggang yang memiliki kepentingan pribadi. Semuanya terjalin indah, dan sebenarnya E.S Ito sedang menceritakan fenomena-fenomena yang sedang terjadi di keseharian kita di bangsa ini. Antara benar dan salah menjadi semu, kabur, sudah menyatu dengan ego dan nafsu akan kekuasaan.

Sebagai sebuah buku sejarah, buku ini sangat menghibur, dan sebagai sebuah novel, buku ini sangat informatif dan mencerahkan. Bravo Es Ito!

Data Buku

Judul Buku: Rahasia Meede : Rahasia Harta Karun OC
Penulis: Es Ito
Penerbit: Hikmah, Mizan
Cetakan: ketiga, 2008
Isi: 675
ISBN:


*Sedang belajar menulis resensi yang menarik, mohon bimbingannya...^_^
Read more ...

SIDEKICK

Pada olahraga beladiri karate, dikenal adanya gerakan tendangan samping, tapi istilahnya bukan sidekick. Dalam karate kita menyebut sidekick sebagai yoko geri. Tapi, sidekick yang dibicarakan disini bukan mengenai olahraga. Tetapi mengenai “partner” yang kadang kita ambigú juga untuk memaknainya, apakah sebagai partner atau sebagai “batu loncatan”.

Dalam film-film superhero, kita mengenal banyak tokoh sidekick, kayak Batman and Robin, Sam dan Frodo Baggins, Gabrielle dan Xena (warrior princess). Kenapa sih sang jagoan harus punya partner? Apakah memang untuk membantu atau seperti kisah persahabatan yang tulus dan Kadang membuat termehek-mehek?

Ternyata tidak sekedar seperti itu, seorang tokoh ternyata membutuhkan “partner” untuk menguatkan karakter ”super”nya. Ternyata kadang kita membutuhkan pembanding untuk menguatkan karakter kekuatan kita. Orang yang kaya berteman dengan yang miskin, bukan sekedar untuk saling berbagi, tetapi untuk menguatkan bahwa ini lho yang kaya, soalnya ada pembanding miskin-nya. Anak yang pintar berduet dengan yang bodoh untuk mempertahankan identifikasi pintar-nya itu. Kalau berteman pada yang sama-sama pintar, nanti keduanya akan kompetitif, dan yang satu pasti akan terlihat lebih pintar dibanding yang lain. Karena ketika ada dua hal, maka kita akan cenderung untuk membandingkan. Dalam bahasa sederhana-nya, identifikasi seseorang itu tergantung pembandingnya, dan pembanding itu jelas yang se-tipe. Maka terkadang ada orang yang butuh partner untuk menguatkan karakter-nya. Ini yang kemudian disebut ”sidekick”.


So, apa yang ingin diungkapkan disini. Keriuhan di salah satu group di jejaring sosial facebook, cukup membawa saya untuk mengasosiasikan tema ini kesana. Ya, tak terbantah jika muncul sebuah praduga bahwa antara HMI MPO dan Dipo adalah hubungan seorang superhero dan sidekick-nya. Posisi itu bisa dibolak-balik, tentunya. Walaupun saya kebetulan kader dari kategori MPO, tidak bisa juga mengklaim bahwa adanya Dipo itu adalah side-kick kita. Posisi peran itu terserah dikembalikan kepada teman-teman saja.

Kenapa saya mengasosiasikan sidekick pada dualisme HMI ini? Ya, alasan simple-nya , karena ternyata mereka sampai detik ini juga masih ngotot untuk sama-sama menjadi HMI. Dengan kata lain, sebenarnya dualisme ini juga dimanfaatkan oleh kepentingan masing-masing kelompok. Kalau kemudian orang yang mengusung ide rekonsiliasi dianggap memiliki ”kepentingan tertentu”, gak salah donk kalau ada tanggapan yang serupa bahwa orang yang kekeuh dengan dualisme ini juga punya ”kepentingan”. Toh, sebenarnya masalah motif ini bisa berbeda-beda masing-masing personal.

Back to ”sidekick”. Keberadaan MPO bagi Dipo, dan juga sebaliknya, memang terkadang dijadikan untuk memperkuat karakter masing-masing yanng secara tidak langsung juga untuk semakin menguatkan karakter minus-nya sang sidekick. MPO akan selalu ”bahagia” jika tetap ada Dipo, karena itu akan memperkuat karakter MPO sebagai ”penyelamat organisasi” dengan latar historis mengenai kasus asas tunggal. Sebaliknya juga bisa, Dipo akan selalu ”bahagia” jika tetap ada ”MPO” karena itu akan memperkuat karakter Dipo sebagai organisasi yang original dari awal berdirinya HMI di tahun 1947. Sejarah tidak akan berpihak kepada siapa-siapa, semua akan tergantung pada penafsiran subyektif masing-masing penafsir. Menyalahkan sejarah atau bahkan menjadikan sejarah sebagai kambing hitam? Itu tindakan yang teramat bodoh. Keinginan bersatu atau tetap berpecah saya fikir tidak bijak dengan menjadikan ”menghargai sejarah” sebagai alasan. Itu hanya penutup ego bahwa masing-masing ingin mempertahankan sidekick-nya. Alasan ””menghargai sejarah” mengingatkan saya kepada satu kisah tentang sekelompok anak muda yang menginginkan terbentuknya negara kelima, mengembalikan kejayaan nusantara ,dengan menjadikan mereka sebagai para pembuka (Novel Negara Kelima). Atau juga seperti dalam novel ”Rahasia Meede”, masih sama milik-nya E.S Ito, tentang harta karun VOC. Semua tokoh-tokoh itu memiliki niat suci untuk menghargai sejarah, namun tetap ada pihak ketiga yang memanfaatkan niat suci itu, akhirnya semua menjadi semu. Mungkin sama dengan teman-teman yang menganggap bahwa ide bersatunya HMI adalah sebuah ”pengkhianatan sejarah”, yang menjadi pertanyaan besar adalah ”di bagian mana hal itu terjadi?”. Kalau mau ngomong ”pengkhianatan perjuangan”, kenapa tidak melihat kepada perkembangan perkaderan yang semakin kesini semakin menurun? Itu pengkhianatan besar-besaran lho, ketika kita ternyata masih ”melek” melihat bahwa kader-kader HMI itu ternyata tidak jauh berbeda gaya pergaulannya dengan anak-anak muda yang bukan kader. Lalu, kenapa ”sejarah” hanya disempitkan pada simbol perpecahan HMI saat adanya konflik mengenai astung? Toh, semua ini adalah fase-fase dinamika HMI yang harus dilewati. Saya fikir HMI telah melewati banyak fase, yang kemudian menjadikan organiasai ini fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan bangsa dan negara. Tentunya berbeda kan HMI pada masa-masa pasca kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan sekarang kita memiliki ”masa yang baru dan berbeda lagi”. Package-nya yang berbeda, esensi-nya sma sebagai ”Himpunan Mahasiswa Islam”. Jadi, ketika kita mengatakan ”bersatunya HMI adalah sebuah kebutuhan”, kenapa harus dibilang tidak menghargai sejarah seolah-olah kita melakukan semacam ”bid’ah” yang sudah melenceng dari esensi HMI itu sendiri, lama-lama HMI jadi agama baru dan Lafran Pane jadi Nabi-nya donk???? Ups, maaf-maaf, jadi melantur kemana-mana.

Back to sidekick. Ya, sampai kapan kita akan mempertahankan pola hubungan sidekick, toh ketika ada seusatu yang negatif, maka yang mengalami kerugian adalah keduanya. Pola hubungan sidekick ini hanya akan menjadikan masing-masing pihak kehilangan karakternya, memanfaatkan jurang perbedaan untuk masing-masing kepentingan ego-nya.

Kalau kata seorang teman baik saya, hikmah dari uraian sidekick pada contoh-contoh yang terjadi pada superhero, kita nggak perlu kok mencari sidekick hanya untuk mendongkrak karakter kita. Be your self saja. Kalau memang kita ”beda”, tegaskan perbedaan itu dengan menjadi diri sendiri, tidak dengan mempertahankan perbedaan yang semu dengan menjadikan pihak lain sebagai ”sidekick”. Kalau memang tidak bisa bersatu, maka tegaskan perbedaan itu, jadilah hal yang beda, bukan HMI. Kalau memang masing-masing adalah HMI, jangan jadikan pihak lain sebagai sidekick, dan sudahi dualisme ini. Masyarakat Indonesia butuh dikembalikan kepercayaannya pada teman-teman aktivis gerakan mahasiswa, khususnya mahasiswa Islam. Bagaimana masyarakat mau percaya bahwa kita bisa membawa kemajuan umat, kalau masalah dualisme ini tak pernah kunjung diselesaikan. Ketika ada demo yang salah satu-nya rusuh, kemudian pihak lain merasa ”gak fair” dan dijatuhkan nama-nya sebagai sama-sama HMI. Karena masyarakat gak pernah tahu, kenapa harus ada MPO dan Dipo. Sejarah dipelajari untuk menjadikan kita bijak, bukan menjadi egois, mungkin itu cukup menjadi kalimat yang menyudahi tulisan ini karena saya haru menyelesaikan agenda yang lain...hohoho.



*thanx to kak Irvan Setya, udah menginspirasi dengan kisah sidekick masa muda-nya.
* ditulis saat menjelang senja, Tegal, 2011.
Read more ...

Sensasi ber-HMI untuk Cinta yang bervisi

Persamaan menghasilkan rasa saling menyukai; Perbedaan menghasilkan rasa saling membutuhkan”


Perbedaan adalah suatu hal yang indah. Tak salah juga kalau disebut sebagai rahmat /anugerah. Walaupun tak banyak yang kemudian bisa membuat sebuah perbedaan menjadi hal yang indah dan rahmat bagi seluruh alam.

Kenapa orang bisa merasakan perbedaan atau merasa berbeda? Apakah memang orang itu diciptakan ada yang bodoh dan ada yang pintar sehingga mereka punya perbedaan pandangan? Tentunya tidak , bukan. Secara kapasitas, kita memiliki kesempatan yang sama yang diberikan oleh Allah SWT, perbedaan hanyalah masalah teknis.

Sensasi => Persepsi => Kesadaran

Saya sebenarnya terinspirasi dari sebuah diskusi ringan mengenai ”cinta” yang kemudian kadar cinta tiap orang dipengaruhi oleh sensasi , persepsi yang membentuk kesadaran. Makanya kadang kita bertanya ” kok si A mau sih jadi suami-nya si B?” atau ”kenapa si C nolak jadi pacarnya si D, padahal D itu kan perfect banget”.

Setiap orang mengalami alur sensasi yang jka ditarik garis, maka masing-masin dari kita memiliki garis yang berbeda. Sensasi bersifat empiris. Orang yang pernah mengalami kecelakaan motor memiliki sensai yang berbeda dengan orang yang setiap harinya menggunakan angkutan umum. Masing-masing sensasi ini akan membentuk sebuah persepsi.

Proses pengorganisasian berbagai sensasi inilah yang disebut sebagai persespsi di mana sensasi merupakan bagian dari persepsi. Persepsi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman yang kita peroleh melalui sensasi.

Proses dialektika berbagai macam persepsi ini akan membentuk sebuah kesadaran. Kesadaran (biasanya kitya menyebutnya sebagai sebuah ”kebenaran) memiliki sebuah ke-inkonsistensi-an yang luar biasa. Siapa yang bisa menjamin bahwa orang yang kita anggap ”jelek” saat ini ternyata bisa membuat kita terkagum-kagum di kemudian hari. Sama seperti kasus bahwa dahulu saat pertama kaliya menara Eiffel diprospek di Paris, banyak sekali orang yang mengutuk bangunan megah tersebut, tapi sekarang ? well, siapa yang bisa membayangkan Paris tanpa Eiffel?

Gagasan ”HMI Bersatu” mungkin dulu (atau sampai sekarang) masih ada yang menganggapnya ”tabu” atau bahkan ada yang mengharamkan ?! Namun siapa yang tahu bahwa generasi beberapa puluh tahun kedepan tidak bisa ”habis fikir” kenapa harus ada embel-embel MPO dan Dipo.

Dulu, sebuah naskah yang bernama ”khittah perjuangan” adalah proses diskusi para kakanda-ayunda yang mungkin sambil diselingi makan kacang, maen kartu (hal yang sebenarnya tidak saya suka di temen2temen HMI, tapi ini sebatas subjektifitas saya saja). Siapa sangka , naskah tersebut kemudian menjadi salah satu rujukan ketika kita akan mengambil kebijakan-kebijakan di organisasi yang kita cintai ini? Bahkan pak Nuskhi (sekjen MPO pertama) pernah bilang ” Itu Khittah adalah rumusan yang harusnya dikembangkan lagi, tapi nyatanya mandeg tidak dikembangkan”. Kemudian dari kita ada yang menyalahkan bahwa ”mensakralkan khittah”, tidak merujuk pada Al-Quran, atau ada juga yang berpendapat bahwa KP itu ”tidak relevan”. Guys, apakah KP itu relevan, sakral, potensial atau kinetis, itu semua ada di tangan kita, come on!!

Saat ini, kalau teman-teman di HMI (MPO) mungkin terlihat lebih kuat mempertahankan untuk tidak bergabung jadi satu, itu wajar. Sensasi yang dimiliki MPO berbeda dengan sensasi yang dijalani oleh Dipo. MPO melewati perjalanan sejarah yang memiliki banyak sensasi menggetarkan yang membuat kelompok ini tidak mudah untuk menerima ajakan bersatu. Berbeda lagi dengan sensasinya Dipo. Sejak perpecahan, Dipo belum pernah mengalami sensasi untuk memulai semuanya dari nol. Bayangkan MPO dengan sensasi merintis dari hanya beberapa gelintir cabang, kemudian hingga sebesar sekarang. Namun kita juga perlu memaklumi Dipo dengan sensasi-sensasi yang dilaluinya kemudian membentuk persepsi yang berbeda.

Jadi, sedikit bersikap bijak lah dengan mengurangi ”prasangka negatif” pada sikap masing-masing kelompok terhadap isu ini. Kalau MPO belum ingin bersatu bukan karena ia ”ngeyel” atau sok suci, dan juga sebalikna ketika DIPO ingin ngotot bersatu, itu juga bukan semata-mata karena ”kepentingan sesaat”.

Nah, kembali kepada sensasi. Kita juga harus memahami bahwa sensasi yang dirasakan oleh para senior kita terdahulu, berbeda dnegan sensasi-sensasi yang dirasakan kader saat ini, dan juga akan berbeda dengan sensasi yang akan dialami oleh para calon kader di masa mendatang. HMI adalah kumpulan para pemikir besar yang telahir karena llompatan berpikir jauh kedepan. Kalau saat ini, ada yang bilang bahwa ”tanpa bersatu juga kita tidak masalah”, atau ada yang berpendapat ”Bergerak di kelompok masing-masing itu sudah cukup, yang penting amar ma’ruf nahi munkar”. Hei, kita tidak bicara apakah saat in kita bisa bernafas atau tidak, tapi kita bicara tentang kondisi gerakan mahasiswa Islam, 5-10 atau 50 tahun kedepan. Melihat kenyataan saat ini saja, animo terhadap pergerakan mahasiswa Islam semakin berkurang (maaf untuk saat ini saya belum sempat menyertakan data statistik-nya). Membuat organisasi sekarang semudah makan kacang goreng, yang penting ada orang, pendukung, tempat ngumpul, jadi deh. Lama kelamaan , kita semua akan terpecah menjadi koloni-koloni kecil yang tak bisa lagi memahami ”perjuangan” secara luas. Beberapa fakta menunjukan kita kadang salahkaprah memahami makna ”independensi”, atau ”totalitas dakwah”. Bahkan makna ”ukhuwah” saja kini semakin sempt karena semakin banyaknya kelompok-kelompok yang muncul. Sama halnya dengan euforia timnas saat piala AFF kemarin, kita dibius dengan pemahaman nasionalisme sempit yang dibentuk oleh batas-batas negara saja.

So, saat ini jika kita memang benar-benar bersatu, tugas kita adalah menciptakan sensasi-sensasi yang membuat kita semakin rindu dan menciptakan persepsi baru mengenai bersatunya HMI yang kita cintai ini. Ini bukan hal yang mudah, memang. Kita butuh banyak sensasi untuk bisa membuat kader-kader kedua HMI ini bukan sekedar saling menyukai namun juga saling membutuhkan.


Saat ini kalo memang mencintai HMI, carilah substansi cinta itu, temukan sensasi, persepsi, dan akhirnya pemahaman terhadap kesadaran seperti apa yang ingin dibangun, cinta seperti apa yang kalian butuhkan. Karena cinta itu produk masa kini dan masa depan, kita harus bervisi bersama cinta itu, jangan hanya jadikan ia pajangan semu tanpa adanya kepastian mau dibawa kemana.

Kalau kita cinta HMI, jadikan cinta yang bervisi, bukan sebatas hal-hal yang bersifat heroik atau romantisme belaka. Jadikan cinta kita bukan seperti muda-mudi yang dimabuk asmara, tapi cinta yang dewasa layaknya pasangan suami-istri yang memiliki pandangan cinta kedepan untuk kelangsungan masa depan anak-anaknya.

Yakinlah, HMI ini bukan sebatas urusan dari konferca ke konferca berikutnya, dari kongres ke kongres berikutnya, come on!! ^_^

Tulisan sederhana ini sebatas kontemplasi awal sebelum melangkah pada hal-hal teknis yang konkret.




*trimakasih utnuk sahabat saya , riri (fim 9) yang dulu sempat mengungkapkan bahasan ini (tentunya dengan kasus yang berbeda dan lebih “romantic”).
Read more ...