Pages

Monday, January 02, 2012

[repost] Sekolah tanpa Komputer bagi Anak Petinggi Silicon Valley: Keseimbangan dalam Domain Utama Pendidikan



"Silicon Valley terkenal sebagai tempat berkumpulnya perusahaan-perusahaan teknologi dunia. Namun, para petinggi  perusahaan-perusahaan di Silicon Valley justru menyekolahkan anak mereka di sekolah yang tidak memiliki komputer sama sekali di Waldorf School of The Peninsula".

Itu adalah sepenggal paragraf dalam media online (Kompas.com, 2 November 2011) yang saya peroleh dari perbincangan dalam milist mengenai pendidikan yang lebih disukai yang justru menghindarkan anaknya dari sekolah yang berbau komputer. Tampaknya memang aneh, di mana sekarang adalah era digital, justru di negara maju, para petinggi perusahaan tekonologi tersebut malah mengarahkan anaknya untuk bersekolah yang bernuansa sebaliknya.

No pain No gain..Begitulah sederhananya melihat bagaimana usaha orang tua mendidik anak-anaknya untuk mengejar cita-cita(ortu)nya serta pengorbanan anak dalam mengikutinya. Saya pribadi merasa sangat ngeri melihat pola belajar anak sekarang (di Indonesia) yang belajar dari pagi sampai sore bahkan malam. Belum lagi melihat anak kecil dengan tubuh mungilnya namun harus terbebani membawa tasnya dengan berbagai macam buku yang digunakan untuk sekolah, les mata pelajaran, les tambahan, belum lagi les-lesnya. Lantas kalau dipikir lebih dalam, kapan waktunya mereka untuk bersosialisasi dengan tetangganya, saudaranya, atau komunitas masyarakat lainnya. Seolah-olah tiada waktu kecuali digunakan untuk belajar terlebih sekarang sepertinya suatu kewajiban bagi anak untuk menambah jadwalnya mengikuti lembaga bimbingan belajar. Kalau mau jujur ini sebenarnya peningkatan budaya belajar atau menurunnnya kualitas pembelajaran di sekolah formal ketika LBB bermunculan bahkan mengalahkan upaya yang dilakukan oleh tenaga pengajar di sekolahnya sendiri. Hemhhhhh


Kalau melihat secara ekstrim kasus orang-orang besar tetapi "janggal/ganjil" (ada sesuatu yang kurang) pasti ada yg salah dalam mendidiknya. Kita bisa melihat lebih dalam kasus M.Jackson, Madonna, M Tyson, atau orang besar lainnya mungkin seperti itu. Mereka memang besar dari apa yang telah diperjuangkan namun ada kekosongan yang tidak tergantikan bagi mereka. Terlihat dari berbagai kasus yang ada bahwa kekosongan mengemuka ketika sisi negatif dari mereka dibuka misalnya masa kanak-kanak yang hilang, kurang kasih sayang ibu, bapak, dsb. Dan itu cukup membekas di mereka. Tentunya itu tidak mudah bahkan bisa tergantikan.

Saya bukan ahli pendidikan tapi saya coba share apa yang saya tahu, tolong koreksi bagi yg lebih tahu. Pendidikan itu mempunyai tiga domain utama yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Pendidikan yang baik yang diberikan kepada anak adalah akumulasi pendidikan yang mencakup berbagai aspek katakanlah kognitif, psikomotorik, dan afektif tersebut. Memang tidak semuanya terpenuhi bahkan secara proporsional bisa jadi suatu pendidikan terhadap kompetensi tertentu tidaklah mencakup aspek atau domain utama ketiganya. Namun akan sangat buruk ketika akumulasi pendidikan yang diterima anak mengabaikan pertimbangan keseimbangan antara ketiganya bahkan akan sangat buruk jika 1 atau 2 lainnya terabaikan. Artinya ketika secara akumulasi pendidikan-pendidikan yang telah diberikan tidak memenuhi ketiga domain tersebut maka tentunya tidaklah baik jika dibandingkan ketika ketiga domain tersebut terpenuhi sekali lagi tentunya tidak mungkin/sulit memenuhi proporsi yang sama.

Kognitif itu yg berkaitan dengan penggunaan otak untuk mendapatkan pengetahuan dari yang mulai sederhana yaitu sebatas mengetahui sampai yang kompleks yaitu pemecahan masalah dan evaluasi. Psikomotorik berkaitan dengan gerak fisik memukul, menendang,berlari, pokoknya yang berkaitan dengan gerak tubuh yang sangatlah sederhana hingga yang kompleks seperti koreografi. Sedangkan afektif itu berkaitan dgn perilaku, perasaan, dan emosi tentunya tidak sekedar pada sesamanya melainkan juga pada lingkungan alam dan mahkluk lainnya. Memang betul tidak mungkin proporsi yang diterima oleh anak (kita dari kecil hingga dewasa) sama persis namun sekalilagi akan sangat riskan ketika kita mengabaikan salah satunya.

Dia pinter angka-angka, hitungan, hafalan, dsb intinya dia pintar "anak sekolahan". Itu akan berbahaya kalo care terhadap lingkungan, keluarga, ato sesamanya kurang (kurangnya aspek afektif). Simpel saja kita bisa melihat, merasakan, bagaimana suatu anak yang pandai/cerdas sekolahan namun ketika dilepas di KKN maka melakukan sikap yang justru merugikan diri bahkan kelompoknya. Akibatnya cara dia berbicara memang bagus dari sisi rasional namun ketika diungkapkan dgn cara yang tidak tepat, pendekatan sosialnya gak bagus maka tidak jarang mahasiswa sperti itu "dikeplaki" oleh orang kampung tempat KKN, jadinya itu merugikan dia bahkan kelompoknya.

Sebaliknya ada kasus anak mendapatkan banyak pendidikan dalam psikomotor bagus. Dia enak diajak main, olahraga dsb..namun sisi kognitifnya kosong alias "oon" maka karakter mahasiswa juga kosong dan cenderung kalau mengobrol kaya orang di warkop dsb alias asal komen. Tipe ini terlalu mementingkan gerak dan kekuatan fisik.

Memang betul ada profesi tertentu yg dominan akan aspek tertentu namun bukan berarti ada aspek yang sangat kurang bahkan sama sekali tidak boleh dihilangkan. Misalkan seorang peneliti mungkin memang mempunyai domain kognitif yang dominan, atlet psikomotorik, agamawan afektif namun akan baik itu kedominannya tersebut tidak menghilangkan yang lainnya. Untuk peneliti ekonomi katakanlah kemampuan kognitifnya OK namun ketika afektifnya kurang maka sense of human-nya kurang sehingga dia memandang sesuatu hanya berdasar perspektif ekonominya. Akibatnya apa?? Kalo dia merekomendasikan sesuatu maka biasanya dia selalu berpikir black n whiteatau terlalu sederhana dalam memandang suatu masalah. Ketika dia terjun ke masyarakat maka dia tidak menyatu dalam masyarakat akibatnya rekomendasi yang dikeluarkan kacau karena tidak ada down to earth-nya atau menyepelakan kontekstual yang ada. Padahal dalam kehidupan nyata di masyarakat ada banyak masalah berada dalam grey area atau mempunyai kompleksitas masalah alias multidimensi, muncul ketidakrasionalan dsb.

Kembali lagi ke petinggi tersebut yang memilih sekolah ke yang non komputer dalam proses pembelajaran. Dia punya pertimbangan bahwa secara kognitif, kebutuhan pendidikan dalam aspek tersebut akan mudah terpenuhi di rumah atau lingkungan rumahnya karena terlebih paradigmanya sekarang adalah "dari brick ke click" artinya dengan tinggal pencet gitu aja aspek kognitifnya semua terpenuhi. Makanya mereka menyekolahkan dengan konsen bahwa anak mereka butuh sosialisasi dan bersikap dgn baik serta butuh sesuatu yang sifatnya menggerakkan motor mereka sehingga mereka lebih sehat, kuat, dan yg penting juga care terhadap yg lain sehingga sisi humanisnya anak2 mereka tdk hilang.

Amiin semoga sikap para petinggi tersebut ditiru oleh ORTU2 di Indonesia yang seringkali SALAH KAPRAH pinginnya kepingin anaknya menjadi generasi yang INTELEK namun KEBABLASAN dalam menerapkan pendidikan terhadap anak-anaknya. Apakah Anda sudah menerapkan keseimbangan dalam memberikan pendidikan pada anak-anak/adik Anda????
Title: [repost] Sekolah tanpa Komputer bagi Anak Petinggi Silicon Valley: Keseimbangan dalam Domain Utama Pendidikan; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: