"Silicon Valley
terkenal sebagai tempat berkumpulnya perusahaan-perusahaan teknologi dunia.
Namun, para petinggi perusahaan-perusahaan di Silicon Valley
justru menyekolahkan anak mereka di sekolah yang tidak memiliki komputer sama
sekali di Waldorf School of The Peninsula ".
Itu adalah sepenggal paragraf dalam
media online (Kompas.com, 2 November 2011 )
yang saya peroleh dari perbincangan dalam milist mengenai pendidikan yang lebih
disukai yang justru menghindarkan anaknya dari sekolah yang berbau komputer.
Tampaknya memang aneh, di mana sekarang adalah era digital, justru di negara
maju, para petinggi perusahaan tekonologi tersebut malah mengarahkan anaknya
untuk bersekolah yang bernuansa sebaliknya.
No pain No gain..Begitulah sederhananya melihat bagaimana usaha orang tua
mendidik anak-anaknya untuk mengejar cita-cita(ortu)nya serta pengorbanan anak
dalam mengikutinya. Saya pribadi merasa sangat ngeri melihat pola belajar anak sekarang (di
Indonesia) yang belajar dari pagi sampai sore bahkan malam. Belum lagi melihat
anak kecil dengan tubuh mungilnya namun harus terbebani membawa tasnya dengan
berbagai macam buku yang digunakan untuk sekolah, les mata pelajaran, les
tambahan, belum lagi les-lesnya. Lantas kalau dipikir lebih dalam, kapan
waktunya mereka untuk bersosialisasi dengan tetangganya, saudaranya, atau
komunitas masyarakat lainnya. Seolah-olah tiada waktu kecuali digunakan untuk
belajar terlebih sekarang sepertinya suatu kewajiban bagi anak untuk menambah
jadwalnya mengikuti lembaga bimbingan belajar. Kalau mau jujur ini sebenarnya
peningkatan budaya belajar atau menurunnnya kualitas pembelajaran di sekolah
formal ketika LBB bermunculan bahkan mengalahkan upaya yang dilakukan oleh
tenaga pengajar di sekolahnya sendiri. Hemhhhhh
Kalau melihat
secara ekstrim kasus orang-orang besar tetapi "janggal/ganjil" (ada
sesuatu yang kurang) pasti ada yg salah dalam mendidiknya. Kita bisa melihat
lebih dalam kasus M.Jackson, Madonna, M Tyson, atau orang besar lainnya mungkin
seperti itu. Mereka memang besar dari apa yang telah diperjuangkan namun ada
kekosongan yang tidak tergantikan bagi mereka. Terlihat dari berbagai kasus
yang ada bahwa kekosongan mengemuka ketika sisi negatif dari mereka dibuka
misalnya masa kanak-kanak yang hilang, kurang kasih sayang ibu, bapak, dsb. Dan
itu cukup membekas di mereka. Tentunya itu tidak mudah bahkan bisa tergantikan.
Saya bukan ahli
pendidikan tapi saya coba share apa yang saya tahu, tolong koreksi bagi yg
lebih tahu. Pendidikan itu mempunyai tiga domain utama yaitu kognitif,
psikomotorik, dan afektif. Pendidikan yang baik yang diberikan kepada anak
adalah akumulasi pendidikan yang mencakup berbagai aspek katakanlah kognitif,
psikomotorik, dan afektif tersebut. Memang tidak semuanya terpenuhi bahkan
secara proporsional bisa jadi suatu pendidikan terhadap kompetensi tertentu
tidaklah mencakup aspek atau domain utama ketiganya. Namun akan sangat buruk
ketika akumulasi pendidikan yang diterima anak mengabaikan pertimbangan
keseimbangan antara ketiganya bahkan akan sangat buruk jika 1 atau 2 lainnya
terabaikan. Artinya ketika secara akumulasi pendidikan-pendidikan yang telah
diberikan tidak memenuhi ketiga domain tersebut maka tentunya tidaklah baik
jika dibandingkan ketika ketiga domain tersebut terpenuhi sekali lagi tentunya
tidak mungkin/sulit memenuhi proporsi yang sama.
Kognitif itu yg
berkaitan dengan penggunaan otak untuk mendapatkan pengetahuan dari yang mulai
sederhana yaitu sebatas mengetahui sampai yang kompleks yaitu pemecahan masalah
dan evaluasi. Psikomotorik berkaitan dengan gerak fisik memukul,
menendang,berlari, pokoknya yang berkaitan dengan gerak tubuh yang sangatlah
sederhana hingga yang kompleks seperti koreografi. Sedangkan afektif itu
berkaitan dgn perilaku, perasaan, dan emosi tentunya tidak sekedar pada
sesamanya melainkan juga pada lingkungan alam dan mahkluk lainnya. Memang betul
tidak mungkin proporsi yang diterima oleh anak (kita dari kecil hingga dewasa)
sama persis namun sekalilagi akan sangat riskan ketika kita mengabaikan salah
satunya.
Dia pinter
angka-angka, hitungan, hafalan, dsb intinya dia pintar "anak
sekolahan". Itu akan berbahaya kalo care terhadap lingkungan,
keluarga, ato sesamanya kurang (kurangnya aspek afektif). Simpel saja kita bisa
melihat, merasakan, bagaimana suatu anak yang pandai/cerdas sekolahan namun ketika
dilepas di KKN maka melakukan sikap yang justru merugikan diri bahkan
kelompoknya. Akibatnya cara dia berbicara memang bagus dari sisi rasional namun
ketika diungkapkan dgn cara yang tidak tepat, pendekatan sosialnya gak bagus
maka tidak jarang mahasiswa sperti itu "dikeplaki" oleh orang kampung
tempat KKN, jadinya itu merugikan dia bahkan kelompoknya.
Sebaliknya ada
kasus anak mendapatkan banyak pendidikan dalam psikomotor bagus. Dia enak
diajak main, olahraga dsb..namun sisi kognitifnya kosong alias "oon"
maka karakter mahasiswa juga kosong dan cenderung kalau mengobrol kaya orang di
warkop dsb alias asal komen. Tipe ini terlalu mementingkan gerak dan kekuatan
fisik.
Memang betul
ada profesi tertentu yg dominan akan aspek tertentu namun bukan berarti ada
aspek yang sangat kurang bahkan sama sekali tidak boleh dihilangkan. Misalkan
seorang peneliti mungkin memang mempunyai domain kognitif yang dominan, atlet
psikomotorik, agamawan afektif namun akan baik itu kedominannya tersebut tidak
menghilangkan yang lainnya. Untuk peneliti ekonomi katakanlah kemampuan
kognitifnya OK namun ketika afektifnya kurang maka sense of human-nya
kurang sehingga dia memandang sesuatu hanya berdasar perspektif ekonominya. Akibatnya
apa?? Kalo dia merekomendasikan sesuatu maka biasanya dia selalu berpikir black
n whiteatau terlalu sederhana dalam memandang suatu masalah. Ketika dia
terjun ke masyarakat maka dia tidak menyatu dalam masyarakat akibatnya
rekomendasi yang dikeluarkan kacau karena tidak ada down to earth-nya atau
menyepelakan kontekstual yang ada. Padahal dalam kehidupan nyata di masyarakat
ada banyak masalah berada dalam grey area atau mempunyai kompleksitas masalah
alias multidimensi, muncul ketidakrasionalan dsb.
Kembali lagi ke
petinggi tersebut yang memilih sekolah ke yang non komputer dalam proses
pembelajaran. Dia punya pertimbangan bahwa secara kognitif, kebutuhan
pendidikan dalam aspek tersebut akan mudah terpenuhi di rumah atau lingkungan
rumahnya karena terlebih paradigmanya sekarang adalah "dari brick ke
click" artinya dengan tinggal pencet gitu aja aspek kognitifnya semua
terpenuhi. Makanya mereka menyekolahkan dengan konsen bahwa anak mereka butuh
sosialisasi dan bersikap dgn baik serta butuh sesuatu yang sifatnya
menggerakkan motor mereka sehingga mereka lebih sehat, kuat, dan yg penting
juga care terhadap yg lain sehingga sisi humanisnya anak2 mereka tdk hilang.
Amiin semoga
sikap para petinggi tersebut ditiru oleh ORTU2 di Indonesia yang seringkali
SALAH KAPRAH pinginnya kepingin anaknya menjadi generasi yang INTELEK namun
KEBABLASAN dalam menerapkan pendidikan terhadap anak-anaknya. Apakah Anda sudah
menerapkan keseimbangan dalam memberikan pendidikan pada anak-anak/adik
Anda????
No comments:
Post a Comment