Pages

Friday, January 20, 2012

Coretan Jumat


#SSM

Kemarin siang, ada pertanyaan dari seorang teman perempuan yang cukup menggelitik walaupun klasik. Tentang perempuan dan aktualisasi diri. Pertanyaannya, ketika kita—perempuan—sudah married ,  apakah kita boleh beraktualisasi di luar rumah atau tidak. Pertanyaan persisnya memang bukan ini, tapi yang pengen aku bahas di #SSM yang ini aja.Hehe.
Tiap orang tentunya punya jawaban masing-masing. Seperti yang sering banget saya sampaikan kalo lagi diskusi sama teman, bahwa tiap orang punya sensasi masing-masing dalam menjalani hidup. Sensasi ini bersifat kasuistik dan simbolik tidak bisa digeneralisasi. Sensasi-sensasi yang kita rasakan akan membentuk sebuah persepsi. Orang yang sedari kecil tinggal di pesisir pantai akan merasakan sensasi panas sinar matahari yang berbeda dengan orang yang tinggal di pegunungan.Nggak usah ribet-ribet deh , kondisi dingin menurut orang Tegal berbeda dengan orang Purwokerto, iya nggak ? Ini bukan masalah ukuran beberapa celcius, tetapi sensasi yang terekam di memori otak kita dan membangun persepsi. Tapi, sensasi dan persepsi ini bisa dibentuk karena manusia memiliki kemampuan adaptasi (pelajaran biologi SMP nih.hehe). Misalnya, saya yang punya rintis alergika alias alergi dingin.., harus punya cara menyiasati diri ketika tinggal di Purwokerto Utara yang cenderung lebih dingin. Selama kita mau membuka diri, manusia punya banyak kemampuan untuk survive, termasuk dalam lingkungan sosial.

Baik, kembali ke topik. Entah itu perempuan ataupun laki-laki membutuhkan aktualisasi diri. Bisa itu di rumah ataupun diluar rumah. Kondisi sosial kita mungkin mengasosiasikan bekerja dengan aktivitas diluar rumah. Padahal, belum tentu. Papaku dulu ya kerjanya di rumah karena emang toko-nya ada di rumah. Hehe. Maksudnya, kadang kita hanya belum melihat sesuatu dengan lebih terbuka saja.

Betul bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan punya kewajiban mencari nafkah. Saya sepakat itu. Tapi sebenarnya statement itu tidak bisa sepenuhnya menjadi argumen untuk melarang perempuan bekerja atau beraktivitas diluar rumah. Walaupun pada beberapa kasus memang ada yang tidak terkontrol dan menjadikan perempuan merasa superior. Namun, keluarga adalah bangunan sosial yang cenderung bersifat etis dan bukan politis. Sesuper apapun seorang perempuan sebagai istri, ia bukanlah kepala keluarga. Namun perempuan bisa menjadi tangan, kaki, hati, rempela, apapun deh, tapi kepala/pusat tetap pada laki-laki. Perlu diingat pula bahwa sistem saraf yang berpusat di otak adalah sistem yang terkoordinasi dengan rapih dengan segala simpul-simpulnya. Segala yang diterima di otak adalah rangkaian proses yang berjalan di organ tubuh yang lain, bener nggak? Seotoriter apapun otak, kerjanya tetap tak bisa hanya sendirian. Tuhan yang Maha Keren telah menciptakan tubuh kita sebagai sebuah sistem organ yang saling berkait satu sama lain. Jadi, ini pentingnya kita belajar ilmu biologi walaupun nantinya nggak bakal masuk dunia kerja di bidang tersebut, itulah kenapa pendidikan dasar dan menengah menjadi penting dan bukan sekedar untuk mengarahkan akan kuliah atau kerja dimana. Dan tulisan saya sudah mulai ngelantur. Baguuusss!! :D

Jadi, apa jawaban kamu shin?Boleh nggak seorang istri beraktualisasi diluar rumah?  Tunggu sebentar, walaupun jawaban saya sebenarnya sudah bisa ditebak (apalagi yang udah kenal saya), tapi saya pengen menjabarkannya terlebih dahulu.he-he-he.

Bekerja itu bagi beberapa orang bukanlah untuk sekedar mencari tambahan uang. Selain itu, pemahaman “nafkah lahir” juga bukan sebatas uang belanja bukan? Sungguh masalah perempuan boleh atau tidak keluar rumah sebenarnya bukan sesederhana masalah uang. Uang itu kan hanya masalah alat tukar. Jaman dulu malah pake barter. Jaman dulunya lagi pake berburu dan meramu. Masa-masa mendatang kita akan akrab dengan dunia digital, ada uang digital dan mungkin ada nasi goreng digital *ngaco*. Jadi permasalahan nafkah dan bertahan hidup tak bisa langsung diasosiasikan dengan larangan perempuan keluar rumah.

Keluar rumah adalah bagian dari sosialisasi dan kata temanku tadi, yaitu aktualisasi diri. Itu fitrah. Mau laki-laki dan perempuan tidak bisa hanya hidup dengan batasan tembok rumah saja. Ringkas saja, setiap aktivitas sosial yang kita lakukan adalah upaya untuk beribadah dan meningkatkan kualitas diri *tagline radioku nih.hehe*.  Minimal, bagaimana kita bisa bicara pada anak-anak kita bahwa “pelangi itu indah, nak” ketika kita sendiri tidak pernah tahu dunia diluar tembok kita? *ini kiasan ya*

Dulu saya sempat dianggap sebagai orang yang tidak betahan di rumah. Mungkin karena aktivitasku yang bejibun ya. Bahkan sepupuku pernah bilang bahwa “aku ngebayangin kamu nanti tuh sebagai aktivis LSM, aktif disana sini, bla.,bla..bla”. Ada juga teman yang bilang bahwa aku lebih cenderung menjadi wanita karier atau waniti aktifis, dan yang lain-lain. Mereka semua tidak pernah tahu apa cita-citaku sebenarnya. Aku justru ingin beraktifitas di rumah, dengan aktivitas menulis dan menjadi ibu rumah tangga. Beneran. Itu sebuah profesi yang sangat sulit lho. Makanya, sementara aku masih punya banyak kesempatan, aku akan memanfaatkan untuk beraktifitas diluar. Kalau kata temanku, istilahnya itu adalah sebagai wujud wakaf sosial kita. Jangan ditanya saya pernah ikut organisasi apa saja. Jangan ditanya tentang aktivitas saya diluar rumah. Saya sudah ikut sanggar teater dari kelas satu SMP. Waktu SD saya adalah inisiator kelompok belajar (aku menyebut mereka laskar pelangi..hehe). Berkelana dari satu kota ke kota lain hingga ke jiran, coba saya jabani sebagai bentuk belajar. Saya tak peduli title pendidikan apa yang bisa melekat di nama saya, itu tidak penting bagi anak-anak saya nanti, yang terpenting adalah bagaimana saya nanti bisa menyampaikan tentang luasnya dunia kepada mereka. Saya ingin menulis banyak hal, itu berarti saya harus sudah membaca banyak hal pula. Bukan sebatas membaca buku tetapi bagaimana kita membaca dalam arti luas. Saya orang yang isenang beraktifitas (positif) diluar rumah, tetapi juga mencintai aktifitas di rumah. Wah saya sangat senang kalau lagi libur. Bayangin bisa baca novel, nonton film , nulis berbagai hal, bisa masak nasi goreng , bereksperimen dengan resep-resep masakah atau sekedar ngaduk-aduk nutri jell, bisa luluran atau sekedar dengerin musik akustik sambil sesekali menyesap cappuchino. Apalagi kalo ngumpul bersama keluarga. Tapi kalo anak kos kayak saya ya, apalagi masa liburan kayak gini ya home alone.hehe. Kalau saat ini saya jadi wartawan freelance , penyiar, atau segudang aktivitas yang lainnya, ya karena itu adalah upaya saya untuk memanfaatkan waktu. Oke, dan paragraf ini lebih banyak ke curcol. Tapi setidaknya curcolan ini menguraikan sensasi yang saya rasakan yang membentuk persepsi saya mengenai perempuan dan aktualisasi diri.

Jadi ketika ditanya apakah perempuan/istri boleh beraktualisasi diluar rumah, jawabannya adalah sebagai entitas manusia, bukan boleh atau tidak boleh, tetapi harus! Selama tanggungjawab pokoknya tetap dilaksanakan. Jadi udah nggak ada ceritanya lagi tentang aktivis perempuan yang kemudian tidak aktif lagi setelah menikah. Lembaga rumah tangga itu bukan untuk mengungkung produktivitas. Tapi tanggungjawab yang lebih besar adalah bagaimana setelah pasca pernikahan kita tetap harus lebih produktif. Tanggungjawab perempuan menjadi lebih besar ketika berbicara keumatan. *cieee…bahasanya aktipis banget nih*  Hal yang biasanya terjadi juga adalah kita mencampuradukan permasalahan prinsipil dan masalah komunikasi. Misalnya bahwa perempuan keluar rumah itu nggak syar’i , kemudian merembetnya ke masalah aqidah. Heeemh.., pada beberapa kasus kita salah mengidentifikasikan apakah ini persoalan aqidah, akhlak, atau muamalah. Itulah kenapa kita harus berIslam secara kaffah. BerIslam itu bukan proses instant dengan ngaji dua-tiga minggu, bulan, dan tahun. Hingga nafas kita terhenti pun mungkin hanya seujung kuku Islam yang pahami. Kalau kata istilah di bahasa jawa itu “ilmune jero tapak meri”. Belajar, belajar, dan terus belajar. 

So, saya sedang tidak ingin berpanjang lebar di tulisan #SSM kali ini. Seharusnya tulisan ini menjadi tulisan yang ringan tapi kenapa jadi banyak hal-hal yang filosofis gini yak? Hehehe.

Oke, sekian dulu kisah #SSM pagi ini. Saatnya mandiiiiiiiiiii… :D

Jumat Khidmat, 20 Januari 2012.. ditingkahi suaranya Elliot Smith di Lets Got Lost, setelah ngahfi di pagi hari dengan rintik hujan.

#Aku sedang merasa dipermalukan oleh hujan, tak ingin keluar.

#kenapa dari kemarin sepupu dan budhe ku pada nanyain pacar sih?? Ckckckck. Jomblo itu memang banyak godaannya.. Makanya lebih hebat si jomblo, sudah terlatih menghindari godaan..:p. Eitz, tapi saya jomblo idealis ya bukan jomblo karena nasib..hehehe. Eh, sepupu dan keponakanku juga lagi pada ngejomblo semuaaa..haiyaaaa..yang satu pacaran sama mobil, yang satu lagi sama rumah sakit….hahahaha. Asik..asik..punya bahan ledekan.. :D

#semalem aku nonton hafalan sholat delisa. Heemh..filmnya tidak terlalu memuaskan. Yang seru tuh aku berdua bareng mbak titin, tadinya dikira cuma berdua di bioskop karena sepi banget. Trus sepanjang nonton kita jadi seenaknya pake kaki nangkring segala kedepan. Dianggepnya bioskop pribadi. Eh, ternyata setelah film selesai dan lampu dinyalakan, di barisan belakang itu banyak orang.., hiyaaaa…, untung kami adalah cewek-cewek yang pintar memainkan acting cuek. Hahahahay. 

#aku kemarin udah ngomong masalah “voice to voiceless” ke mas dayat, sebagai kesan dari petualangan ke Desa Kemrenjen. Kemudian kami banyak berdiskusi mengenai Banyumas dan sekitarnyaa…, arrgh, ada bagian-bagian yang ingin aku eksplore disini..
#*judulnya menandakan aku kehabisan ide*..:p
Title: Coretan Jumat; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: