Pages

Sunday, March 06, 2011

Ketika Malaikat Berkhianat

Terkadang dalam kehidupan kita akan menemui sosok yang dianggap seperti malaikat. Mendengar diksi malaikat memang akan membuat kita mengasosiakan pada hal-hal yang bersifat indah, bagus, positif. Kehadiran malaikat sebagai vis a vis dari setan membuat kita meletakan malaikat sebagai penyelamat.

Lepas dari denotatif diksi malaikat sebagai salah satu makhluk Tuhan, setiap orang biasanya memiliki sosok yang dianggap malaikat. Bisa jadi sosok itu dianggap malaikat karena telah banyak menyelematkan kita. Bisa jadi sosok itu adalah orang tua kita, kakak atau adik kita atau sahabat kita. Tentunya ”gelar malaikat” ini akan menjadi sangat subyektif, tergantung setiap sensasi yang membentuk persepsi kita masing-masing.

Permasalahan yang kadang timbul adalah, terkadang kita lupa, bahwa manusia tetaplah manusia, tak akan pernah menjadi malaikat, (dan juga tak akan menjadi setan). Orang yang kita anggap sebagai malaikat tak mustahil akan melakukan kesalahan yang mungkin akan sangat menyakitkan. Bahkan ada kata-kata bijak yang menyebutkan bahwa ”orang yang kita cintai berada pada posisi tepat dalam untuk kita benci”. Ya, jarak antara cinta dan benci terkadang menjadi sangat tipis. Bahkan biasanya luka yang ditimbulkan oleh orang yang kita cintai bisa terasa lebih menyakitkan dibanding jika kita dilukai oleh orang lain.

Setidaknya sepenggal fenomena itu yang coba dijumput Tere-Liye dalam salah satu novel-nya ”Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Sosok Danar hadir dalam kehidupan Tania, merupakan sebuah scene yang tak akan pernah terlupakan. Kehadiran Danar benar-benar seperti sosok malaikat yang membuat kehidupan Tania dan keluarganya berubah jauh seratus delapan puluh derajat. Dari kondisi yang tinggal di rumah kardus, mengamen di bis kota, hingga menikmati pendidikan di luar negeri. Perjalanan yang sangat panjang dan mengesankan dan ternyata meninggalkan beberapa jumput perasaan dalam hati Tania. Perasaan yang terus-menerus dipupuk.

Kembali kepada topik diatas, bahwa manusia akan tetap menjadi manusia. Sosok malaikat yang hadir dalam hidup kita adalah perantara Tuhan untuk menyentuh kehidupan kita. Kemudian apa yang kita lakukan ketika malaikat itu justru menorehkan luka yang sangat mendalam dan begitu perih?

Yakinlah, bahwa itu adalah sekedar hembusan angin lembut yang membuat kita terbang dan melihat dunia ini lebih luas lagi. Angin yang membuat kita tetap belajar mengarungi indahnya pelosok dunia ini, dan lebih terpenting lagi adalah angin yang membuat kita merasakan jatuh pada lembutnya tanah dan keras bebatuan. Semua itu adalah bagian dari proses pendewasaan kita. Ya, toh daun pun tak pernah tidak pernah membenci angin yang membuatnya terlepas dari tangkai dan jatuh di pelataran. Maka tak bijak apabila kita membenci orang yang telah melemparkan pada kita untuk merasakan luka yang teramat sangat.

Bahwa pelajaran yang indahnya adalah, inilah manusia, begitu nikmatnya menjadi manusia yang dapat terjamu malaikat
dan setan. Begitu mulia-nya manusia yang memiliki dinamika indah kehidupan yang penuh dengan pernak-pernik. Bahkan jatuhnya kita ternyata adalah drama dari sebuah hikmah yang luar biasa besar. Maka, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan.

Arti kehidupan yang luar biasa ini dengan gemulai ditarikan oleh pena Tere-Liye dalam novel ini. Sebuah novel sarat makna kehidupan. Alur yang terarah membuat kita seolah dibawa oleh kereta kencana dalam kisah dongeng yang membuai hingga tak sadar kita telah pada akhir cerita dan sampai kepada makna. Kepiawaian Tere-Liye dalam meramu kata memang tak diragukan lagi. Barisan novel yang telah ditelurkan dari rahim pena-nya membuktikan hal tersebut.

Dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya, memang kita tak akan melihat jurang perbedaan yang begitu dalam. Tere-Liye masih ”istiqomah” dengan semangat menulis kisah kehidupan penuh hikmah. Membacanya tak ubahnya membaca deretan tausiyah dalam alunan kalimat indah dan kisah penuh hikmah.

Kisah dengan alur yang sederhana ini sesungguhnya akan lebih menggigit dengan tidak hanya memberikan karakter tokoh yang datar. Misalnya pada sosok Danar, yang sempurna, hampir tanpa cela. Bahkan di akhir kisahnya pun ternyata Danar memiliki perasaan yang sama pada Tania. Hal ini membuat Tania sebenarnya tak pernah mengalami sebuah hal yang ”tragis” selain kehidupannya sebelum bertemu Danar. Kehidupan Danar pun belum terkuak jelas dalam kisah ini, yang sebenarnya menyisakan tanya ”siapa sih dia?”. Hal ini yang kemudian menguatkan Danar benar-benar ”malaikat” yang bukan manusia. Dengan kata lain, sosok danar kurang natural dengan kisah realis yang coba disuguhkan.
Pecinta novel Tere-Liye mungkin sempat kecewa karena haru-biru yang ditawarkan kisah ini begitu ”klise” bahkan masih bisa dibilang cukup pasaran karena ternyata konflik yang ditekankan adalah pada masalah hubungan percintaan lawan jenis. Alih-alih novel ini menjadi bacaan alternatif bagi anak muda, ternyata juga menambah daftar novel cinta remaja. ^_^ . Judul yang digunakan dalam kisah ini juga terasa kurang efektif. Judul ini yang diambil dari sebuah quote yang dipopulerkan dalam film Jepang Zatoichi : ”The Falling leaf doesn’t hate the wind”, kurang mengena pada kisahnya. Hal ini terlihat pada adegan Tania membenci Danar lebih banyak dan hanya di ending cerita saja Tania luluh. Itu pun porsinya sangat sedikit, malah semakin di-ambigu-kan dengan kondisi rumah tangga Danar. Mungkin akan lebih mengena ketika Tania memtuskan untuk bersikap ”manusiawi”, menghadapi kenyataan bahwa Danar adalah orang yang tak harus jadi miliknya. Dengan kata lain, judul ini terlalu dipaksakan pada kisah yang ada.

Maka kembali pada pembaca, untuk cerdas mengambil makna yang ada pada pengemasan kisah luar biasa ini. Tere-Liye dengan keistiqomahannya menghadirkan pesan kehidupan. Semoga pembaca pun istiqomah untuk menikmatinya. Walaupun terbersit harapan bahwa suatu saat nanti Tere-Liye bisa memberikan kejutan pada karya-nya. Sesuatu yang menyentak seperti penambahan beberapa sentuhan adegan action untuk menambahkan maskulinitas karya-karyanya sehingga tidak bisa orang bilang sembarangan bilang bahwa novel-nya sebagai novel cengeng. Maju terus Tere-Liye untuk mewarnai khazanah sastra nusantara.



Semoga kita bisa bersikap manusiawi pada ”malaikat-malaikat” kita.
Title: Ketika Malaikat Berkhianat; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: