Pages

Monday, December 11, 2006

UJIAN NASIONAL : SEBUAH ROMAN PENDIDIKAN INDONESIA

Ada kabar terbaru di dunia pendidikan mengenai Ujian Nasional (UN). Tahun-tahun sebelumnya yang biasanya dilaksanakan pada bulan Mei, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun ini menetapkan pelaksanaan ujian nasional dilakukan pada April 2007. Banyak pertimbangan yang mendasari adanya percepatan waktu pelaksanaan UN ini. Mengingat di bulan Mei, bangsa kita memiliki banyak event seperti Hari Pendidikan Nasional, Hari Buruh Sedunia, dan juga peristiwa Mei. Kondisi bangsa pada saar event-event itu biasanya tidak bisa dibilang tenang. Jadi untuk lebih mengkondusifkan UN, maka dipilihlah bulan April sebagai waktu pelaksanaan. Jadi, kalau tahun-tahun sebelumnya Ujian Sekolah baru kemudian UN maka tahun ini dibalik menjadi UN terlebih dahulu baru kemudian Ujian Sekolah.
Kebijakan ini merupakan salah satu upaya Depdiknas dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Bukan hanya sekedar waktunya saja yang mengalami perubahan, namun juga dalam hal standart kelulusan. Standart kelulusan ujian nasional 2007 yaitu :
1. Memiliki nilai rata-rata minimum 5.00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan daengan tidak ada nilai dibawah 4.25, atau :
2. Memiliki nilai minimum 4.00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai mata pelajaran lainnya minimum 6.00
Jadi, semisal seorang siswa memperoleh nilai masing-masing 4.00 ; 9.50 ; 5.50, maka ia tidak bisa dinyatakan lulus sebab salah satu mata pelajaran lainnya ada yang mendapat dibawah 6.00. alternatif kriteria kedua ini bermaksud untuk mengakomodasi siswa yang memiliki kelemahan di salah satu mata pelajaran.
Paradigma Masyarakat Mengenai UN
Keterangan diatas adalah sebagai informasi saja mengenai perkembangan kebijakan di dunia pendidikan. Dunia pendidikan sangatlah urgent dalam mempengaruhi tumbuh kembang suatu bangsa. Kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikannya.
Sebuah cerita klise kalau mengungkap mengenai kualitas pendidikan bangsa jamrud khatulistiwa ini. Kondisi pendidikan bangsa kita sudah tertinggal jauh diantara bangsa-bangsa lain. Dulu, Malaysia mendatangkan guru dari Indonesia untuk mengajar disana. Kini keadaannya sudah terbalik. Kita sudah sangat tertinggal jauh dibandingkan Malaysia.
Mengenai UN, masih banyak pro dan kontra seputar hal ini. Semenjak UN diberlakukan tiga tahun silam, banyak kritikan yang masuk dari masyarakat. Ada pula yang mengusulkan UN dihapus saja. Namun, itu bukanlah jawaban atas segala permasalahan. Kebijakan-kebijakan yang terus berkembang mengenai UN adalah suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Ironis sekali jika ada protes mengenai standart kelulusan yang dinilai terlalu tinggi. Coba kita tengok negara-negara lain, Malaysia nilai kelulussannya sudah mencapai 8.00, Thailand 7.00, Singapura 8.00. Sedangkan Indonesia, diberlakukan dengan standart 5.00 saja sudah banyak protes.
Sebenarnya Indonesia tidak terlalu buruk. Toh semua manusia diciptakan dengan seadil-adilnya oleh Tuhan. Tidak mungkin Tuhan menginginkan orang-orang di barat sana lebih pintar daripada di Indonesia.
Budaya masyarakat yang menjadi sedikit hambatan. Masyarakat kita sudah terbiasa dengan cara yang mudah, instant, tak suka dengan kerepotan atau kennjlimetan. Mereka kebanyakan lebih suka dengan sistem ujian akhir yang dulu, yaitu nilai berapapun tetap bisa lulus. Mungkin sistem seperti itu dinilai nggak neko-neko.
Bagaimana negara kita mau maju kalau untuk diajak mencapai kemajuan saja sudah enggan? Kita sudah terbiasa berjalan di lingkaran nyaman tanpa pemikiran progresif.
Bukan berarti menjelek-jelekan bangsa sendiri, namun itulah yang menjadi kenyataan. Justru dengan dijelek-jelekan, kita menjadi terpompa semangatnya untuk maju.
Kembali mengenai UN. Belajar dari tahun-tahun yang lalu , saat pertama kali diadakan UN, memang cukup membuat shock sehingga tak heran tingkat ketidaklulusan menjadi tinggi. Namun, dengan tonggak awal itulah, kemudian tiap lembaga pendidikan akhirnya terstimulan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Standart kelulusan yag terus dinaikkan menjadi penyemangat mereka untuk menambah jam mata pelajaran, membenahi kurikulu, mendisiplinkan peserta didik, serta upaya-upaya poritif lainnya.
Itulah bangsa kita. Harus dicambuk dulu baru mau bangkit.
Standart Kelulusan = Mencerminkan Potensi Anak Didik?
Pelaksanaan UN tahun lalu sempat membawa Depdiknas ke jalur hukum. Protes-protes banyak dilontarkan. Mereka adalah yang merasa kecewa karena tidak lulus padahal mereka merasa memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan yang lulus. Tak sulit menjumpai siswa yang juara kelas namun ternyata di UN, mereka tak lulus. Ada juga yang bersuara anak-anak yang tidak lulus adalah ank-anak yang rajin dan memiliki image baik di sekolahnya.
Ini yang menjadi PR berat bagi Depdiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Perlu dimengerti lagi bahwa UN adalah salah satu penilaian kognitif. Mungkin memang terlihat tidak adil, hasil pembelajaran selama tiga tahun hanya dilihat dari hasil mengerjakan soal selama tiga hari. Pendidikan bagaimanapun juga adalah suatu hal yang abstrak. Untuk melakukan penilaiannya tidaklah dapat hanya dengan standar nilai. Namun, kognitifikasi penilaian pendidikan adalah sebagai sebuah cara untuk mengetahui hasil belajar. Jika kita menginginkan penilaian yang benar-benar detail, maka UN bisa dilakukan sebualan lebih, dengan tes kepribadian, tes praktikum, tes psikologi, dan sebagainya. Dan juga harus menganbil nilai rata-rata yang diperoleh dari awal siswa bersekolah disitu. Itu akan menciptakan suatu standarisasi yang lebih rumit lagi. Yang sederhana saja banyak diprotes, apalagi yang rumit.
Statemen bahwa : UN tidak adil karena buktinya siswa yang pinter banyak yang tidak lulus. Itu saya nilai sebagai pernyataan emosional. Kalau yang pintar tidak lulus, apa berarti yang tidak pintar juga tidak boleh lulus. Wah, berarti standar kelulusan dirubah saja, patokannya adalah Si Pintar itu. Padahal pintar tidak pintar bukanlah sebuah jaminan. Dan kelulusan itu hanyalah sebagai sebuah syarat untuk mendapat ijazah. Banyak juga yang tidak lulus tapi ternyata sukses di kemudian hari. Bagaimanapun potensi manusia tidak bisa diukur dari nilai-nilai yang tercantum dalam ijazah. UN hanyalah syarat mendapatkan ijazah. Itu bagi mereka yang memang bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan atau pekerjaan yang memang harus menggunakan ijazah. Toh pada kenyataannya, ijazah juga hanya berpengaruh sekian persen.
Lepas dari itu, yang pasti,langkah Depdiknas memperbaharui sistem adalah sebuah upaya untuk memajukan kualitas pendidikan. Sebuah kebijakan akan menjadi percuma jika tidak mendapat support dari masayarakat. Maka yang terpenting sekarang adalah saling melengkapi dengan tidak menghalangi upaya positif. Menghapus UN bukanlah sebuah jawaban cerdas. Namun menkritisi secara konstruktif itu adalah sikap cerdas, dan pastinya Depdiknas juga mengharapkan itu dari masayarakat luas. Melalui tulisan ini, saya nyatakan dukungan pada upaya kebijakan Depdiknas dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Title: UJIAN NASIONAL : SEBUAH ROMAN PENDIDIKAN INDONESIA; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: