Pages

Friday, January 23, 2009

Kuch Kuch Hota Hai vs Ayat-Ayat Cinta



“mbak Shin, ntar malem di kosan kan? Brarti ntar qta nonton bareng Kuch-Kuch Hota Hai yak??!!” Hemh..tawaran yang menarik. Bertiga bareng si mamato qta bakal nonton mega asyik Bollywood yang pernah booming sekitar thn 2000-an. Yeah...kl pas lagi di kosan emang temen2 kadang ngajak nta nonton bareng, soalnya nta termasuk orang yang kuat melek malem. Ya..sekedar bwt nemenin and nggak jarang mendiskusikan isi film.

Filmnya seru… diskusi-nya juga seru. Film yang sebenarnya sudah terhitung “jadul”, tapi toh nyatanya qta masih ingat bagaimana sepak terjang si ganteng Rakhul dan si Jelita Anjeli. ^_^ .

Seperti biasa, ditengah-tengah nonton pasti kita akan mendiskusikannya. Si Miss Bollywood Echo, n Miss Lebai , Mamato , emang dua “kucluk” yang cukup asyik diajak diskusi. Kita mencoba membahas film ini dengan salah satu film yang cukup booming di Indonesia, Ayat-Ayat Cinta (AAC). Kenapa AAC? Satu hal qta sepakat, dua film itu satu genre : Film Cinta. Kalo komik nieh…jenis-nya serial cantik. Pendekatan yang dilakukan bermacam-macam, dari mulai psikologi, feminisme (he3)..sampai sosiologi. He3.

Beberapa hal yang qta simpulkan ( kl mereka baca nieh tulisan, bisa dijitak gw n diteriakin : “kita????lo aja kali mbak!!!” he3) adalah sebagai berikut :


1. ISI CERITA. Kita sepakat nieh dua film itu sama2 film cinta, lebih tepatnya tentang kisah cinta segitiga. Persetan kalo ada yang nganggap AAC itu film religi dan sebagainya, bagi qta tuh dua film sama!!! Dan menurutku kalo SBY bisa nangis di film AAC, brrti g bisa termehek-mehek nonton KKHH. Dari kesamaan itu, qta cpoba membandingkan, bahwa film cinta-nya Indonesia (AAC) masih kalah jauh dengan film cinta bollywood. Ceritanya lebih dalem, n lebih mendekati ke realistis. Satu lagi, selebai2nya film india, toh di KKHH tidak ada POLIGAMI!!!he3. AAC mungkin lbih dikenal dengan “film religi” , padahal isinya ya hanya menitikberatkan pada cinta. Toh di KKHH juga menunjukkan sebuah “religiusitas”. Ketika Rakhul mengatakan bahwa dia tunduk kepada tiga wanita, salah satunya yaitu Dewi yang ada dalam kepercayaannya. Kalo mo ngomongi religi ya kedua dilm ni sama aja. Mungkin di KKHH ditunjukkan bagaimana proses pernikahan yang syar’I, tapi yang saya lihat sejauh itu lebih yang dibawa itu adalah budaya bukan sebuah norma agama. Apa yang tergambarkan dalam AAC memang itu adalah budaya pernikahan khas Arab, yang antara mempelai putri dan putra ada di dua tempat yang terpisah. Saya pernah menjadi MC di pernikahan dengan adat Arab, dari awal yang ditekankan “ nanti kamu bakal liat nikah yang syar’I”. Tapi, menurutu itu hanya sebuah budaya saja, bagaimana kemudian di adat mereka pada malm slm pernikahan ada yang namanya adat malam pacar bagi keluarga yang kedua mempelai yang cewek-cewek. Disitu juga terlihat sebuah “glamour”. Saya berfikir lebih beradab tata cara di Indonesia, karena memang say orang Indonesia. Kalo yang mereka maksud syar’I adalah karena mempelai ceweknya pake jilbab tempatnya dipisah, rsanya kok pemikiran yang “cetek” banget yak???!!! Bagiku syar’I itu ya terpenuhinya rukun-rukun yang ditetapkan ( buset dah…diskusinya sampe sini nieh….!!!kayaknya udah mulai over and lebai jeng!!!)
2. PENOKOHAN. Satu hal lagi kita sepakat bahwa KKHH lebih rasional. Kalo katanya Miss.Lebai, si Mamato : “ Its Ok lah…si Fahri emang ganteng pisan/..tapi bu, dia terlalu sempurna untuk di dunia nyata sampe2 nggak ada cacatnya sama sekali, kalo Rakhul, seperfect2nya dia, tetep digambarkan sebagai manusia yang ada cela-nya”. Itulah hidup!!! Yup, mungkin two thumbs up bwt Hanung yang udah sedikit meng-improve tokoh Fahri, hingga nggak se”imposible” di novel. Improve Hanung-lah yang kemudian bisa membawa pesan itu. Kalo di novel, sebenarnya pembaca juga harus smart bwt ngebedain antara “prinsip” dan “karakter” dalam pergaulan lawan jenis. Kalo di novel, Fahri yangkaku, pendiam, dan dingin ke cewek emang itu karakter-nya, jadi belum tentu bahwa yang dia bawa adalah sebuah “prinsip pergaulan” yang syar’i. Belu tentu cowok yang “dingin” itu adalah orang yang benar-benar paham mengenai adab bergaul. Kalo udah dari sono-nya dia emang kaku, ya emang gitu donk!!! Nggak se-ekstrim itu lah kemudian syariat harus nyuruh orang harus jadi kaku, dingin, dll.
3. Setting. Yup, yang mungkin jadi salah satu nilai lebih yang sering digembor2kan dari film AAC adalah dengan setting Mesir-nya. Sebenarnya justru itu menjadi kekecewaan kita karena kenapa kita nggak pake setting lokal. Liat KKHH and sinema Bollywood lain yang begitu bangga dengan lokalitasnya, nasionalisme lebih terlihat disana (walaupun kalo liat sekuel-nya dwilogi-nya Kang Abik qta juga bakal melihat lokalitas di KCB). Bagaimana kemudian terlihat nasionalisme Rakhul yang menguji Tina untuk menyanyi dalam bahasa Hindi. Kalo di KKHH, kita terpaku pada “arabian”culture yang kemudian menjadi salah satu alasan untuk mengklaim sebagai film religi. Jujur saja tadinya saya berharap AAC ini dibawa dengan menekankan pada setting univ.Al-Azhar dan bagaimana menggambarkan suasana akademis disana dan perjuangan Fahri dengan tesis-nya. Tapi nyatanya nonsens!!!sekali lagi ini hanya film cinta biasa..sama dengan film2 cengeng lainnya. Malah di KKHH memberikan sketsa suasana kampus disana. Dosen yang “syur”, Rektor yang “gokil”, dll.

Itu beberapa hal yang sempet didiskusikan, sbenarnya ada lagi diskusi mengenai psikis cewek dan cowok dalam film KKHH ini. Tapi pas diskusi ini gw lagi nyuci…he3 ^_^. Satu lagi kenyataan, bahwa walaupun jadul, film KKHH masih asyik ditonton sampe sekarang (bayangin udah berapa tahun tuh…ni film dirilis sejak jaman tumbangnya orde baru bo!!!), sedangkan AAC, lebaran kemaren diputer di TV aja udah bikin bosen...
Saya sedang menanti bisa nonton Perempuan Berkalung Sorban, sempet baca novelnya tapi belum selesai. Saya pikir ni film lebih “realistis” dan “cerdas” daripada film yang sudah-sudah, tapi heran juga kok nggak “booming” banget ya???nggak kyak AAC dulu atau KCB yag dari audisi-nya aja udah “ribut”… Ah, Indonesia emang bangsa yang lebai!!!
Semoga dunia sinematografi Indonesia makin maju!!!amien…
Read more ...

Iklan PKS : Keren euy!!!!


Surprise banget waktu pertama kali liat iklannya PKS. Keren coy!! Dengan dibuat singkatan2 yang oke punya, yang merupakan usaha untuk menunjukkan bahwa PKS bisa untuk semua kalangan masyarakat.

Kreatif..itu satu komentar pertama yang keluar. Dunia advertising emang dunia yang mengasyikkan. Pemilu 2009 yang semakin dekat ternyata menjadi “order” tersendiri buat para tim kreatif dunia iklan. Bintang iklan Sutrisno Bachir dengan slogan yang sekrang sudah memasyarakat “ Hidup adalah perjuangan”, Demokrat dengan “tiga kali-nya” (walaupun ini agak kurang cerdas dikir), Golkar yang minimalis (alesannya, lebih memperhitungkan strategi promosi-nya), Gerindra dengan “Tidar”nya yang selalu berkarya, Prwbowo dengan HKTI-nya, dan lain sebagainya.

Iklan PKS kali ini lebih “renyah”, ngepop banget, kyaknya emang pengen mengarah pada kalangan muda…. Dari mulai PKS sebagai partainya Kyai dan Santri sampe Partai Kita Semua dan juga Palestina Kita Sayangi, semua terangkul. Walaupun saya belum melihat kaum-kaum minoritas atau beberapa yang termarginalisasikan dalamm masyarakat yang bisa diajak serta dalam iklan ini. Misal nieh… para PSK, para pekerja malam. Para akademisi juga belum diaja (misal ada profesor-nya..dll).

Yeah…salut pada iklan ini lepas dari masalah dukungan politik. Kalo masalah realisasi partai tersebut, let’s see…!!!he3. Itu bukan wewenang saya. He3. Yang namanya iklan ya tetep iklan. Saya berharap semoga para “penikmat” iklan di Indonesia sudah cerdas, jadi bisa mencerna iklan dengan baik. Kalo di iklan, semua juga nampak hebat. Obat sakit kepala di iklan semua bisa menyembuhkan sakit dalam waktu kurang dari satu menit, pelembab wajah bisa bikin kulit putih dalam waktu kurang dari lima menit. Itu di iklan!!! Tapi dalam dunia nyata…ya itu nggak ada. Sakit kepala ya butuh waktu minimal 1-3 hari untuk sembuh. Nah, apalagi partai yang mo bangun negara!!! So, ketika kita mo pakai obat sakit kepala, bukan karena alesan bintang iklannya keren or iklannya ciamik... tapi karena obatnya cocok nggak sama tubuh kita. Gitu juga dengan partai, bukan karena iklannya yang keren, tp sreg nggak pemikiran qta sama tuh partai, tul nggak? Lagian yang bikin iklan obat sakit kepala bln tentu udah pernah coba tuh obat, para kreator iklan partai jg blm pasti kader partai tersebut.he3.

Justru disini kita akan melihat iklan shampo or kosmetik lebih mencerdaskan daripada partai iklan. Misal nieh…sebuah produk shampo menjanjikan berkurangnya rambut patah dalam jangka waktu tertentu..misal satu bulan, dengan syarat : penggunaan teratur. Nah, saya pikir ide cerdas juga ketika ada partai dengan iklan akan memberantas korupsi dengan ide konkrit dan target waktu. Misal, partai X punya “formula” pemberantas korupsi dalam waktu 10tahun, makanya butuh dukungan masyarakat untuk dua kali nyoblos tuh partai dalam dua kali pemilu. Jadi bener2 tawaran solusi..bukan sekedar janji!!

Yeah…dunia iklan dunia yang menarik. Nta pengen suatu saat bisa dapet kesempatan untuk berkarya di dunia advertising!!(he3…ngarep!!!lulus aja lm pasti!!wuayo…pokoke keep spirit!YAKUSA!)
Read more ...
Wednesday, January 21, 2009

d'beauty speech


Semalam sambil bikin resume buku-nya Bloomfield, ditemani segelas kopi susu dan roti bakar, nta nonton inaugurasi Obama live dari Cappiton Hill, Washington DC. Keren...nta suka aransemen musik sebelum pangambilan sumpah Obama dan Puisi-nya Prof.Elizabeth. Pas cek email pagi2...berharap dpt kiriman download-an aransemen musik or tekt of Elizabeth, eh malah dapet naskah pidato semalem.

Mnrtku sieh...its d'beautiful speech!! Kata2nya diplomatis. Bbrp point yang bisa diambil (ini menurut nta pribadi....mnrt pendengaran nta smlm..he3) :

1) Tantangan Amerika itu serius (ttg ekonomi) dan kita harus belajar menjadi d'responsibility Americans. Pokoke harus membangun ekonomi Amerika yangudah terpuruk. Membangun kembali Amerika. (Ini point awal yang disebut sama mas Obama stlh "basa-basi politik" berterimakasih pada om Bush)

2) Amerika sahabat bwt semua, mo merangkul semua elemen. Gak ada perbedaan, entah itu ras, agama, dll. Trus kpada umat Islam, qta mencoba merangkul semuanya...

Intinya gini deh, yang internal ke warga Amerika : mereka harus bersatu untuk membangun Amerika kembali (aku pikir ni kalimat diplomatis yang bgs lho, mereka sadar kl mereka sebenarnya "hancur", tidak ada kesan kesombongan or arogan sbg adidaya). Utk keluarnya (eksternal) : Amerika akan merangkul semua. Ya, kbnykan gk beda sama pidato2 kampanye Obama waktu dulu. Cuma ini lebih semangat n "realistis" (nta bngung mo cr kata apa, ketemu-nya itu deh...au ah...).

Yeah..kl mslh pengaruhnya ke Indonesia ya...semua pasti ada pengaruhnya baik kecil atau besar, positif or negatif. Tp, ya nggak usah lebai deh ... Obama juga manusia biasa!!he3.

Kl nta sieh memang dr dlu pernah baca2 profile presiden2 Amerika, n kagum sama bbrpa. Sebatas itu aja...nggak lebih.he3.

Btw, semalem michelle cuantik..walaupun nta agak gk suka sama tatanan rambut-nya, michelle jadi keliatan agak gemuk. Warna bajunya juga cukup berani, Kuning bo!!! pk sarung tangan ijo pula. Maria juga tampil cantik, dewasa banget!!! Whatever, i think Obama was so cute last night. he3.


shinta arDjahrie (nta)

www.ntacaholic. co.cc

kaREna hiDup ni beGiTu renYAh,soBAt! !enjoY it....


oya, ini text pidato full version :


My fellow citizens:

I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and cooperation he has shown throughout this transition.

Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace. Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and raging storms. At these moments, America has carried on not simply because of the skill or vision of those in high office, but because We the People have remained faithful to the ideals of our forbearers, and true to our founding documents.

So it has been. So it must be with this generation of Americans.

That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered. Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day brings further evidence that the ways we use energy strengthen our adversaries and threaten our planet.

These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land - a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next generation must lower its sights.

Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious and they are many. They will not be met easily or in a short span of time. But know this, America - they will be met.

On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of purpose over conflict and discord.

On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long have strangled our politics.

We remain a young nation, but in the words of Scripture, the time has come to set aside childish things.

The time has come to reaffirm our enduring spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift, that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue their full measure of happiness.

In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is never a given. It must be earned. Our journey has never been one of short-cuts or settling for less. It has not been the path for the faint-hearted - for those who prefer leisure over work, or seek only the pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the doers, the makers of things - some celebrated but more often men and women obscure in their labor, who have carried us up the long, rugged path towards prosperity and freedom.

For us, they packed up their few worldly possessions and traveled across oceans in search of a new life. For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of the whip and plowed the hard earth.

For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg; Normandy and Khe Sahn. Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked till their hands were raw so that we might live a better life. They saw America as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the differences of birth or wealth or faction.

This is the journey we continue today. We remain the most prosperous, powerful nation on Earth. Our workers are no less productive than when this crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no less needed than they were last week or last month or last year. Our capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting narrow interests and putting off unpleasant decisions - that time has surely passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and begin again the work of remaking America.

For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy calls for action, bold and swift, and we will act - not only to create new jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our factories. And we will transform our schools and colleges and universities to meet the demands of a new age. All this we can do. And all this we will do.

Now, there are some who question the scale of our ambitions - who suggest that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are short. For they have forgotten what this country has already done; what free men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and necessity to courage.

What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath them - that the stale political arguments that have consumed us for so long no longer apply. The question we ask today is not whether our government is too big or too small, but whether it works - whether it helps families find jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified. Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no, programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be held to account - to spend wisely, reform bad habits, and do our business in the light of day - because only then can we restore the vital trust between a people and their government.

Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill. Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out of control - and that a nation cannot prosper long when it favors only the prosperous.

The success of our economy has always depended not just on the size of our Gross Domestic Product, but on the reach of our prosperity; on our ability to extend opportunity to every willing heart - not out of charity, but because it is the surest route to our common good.

As for our common defense, we reject as false the choice between our safety and our ideals. Our Founding Fathers, faced with perils we can scarcely imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man, a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the world, and we will not give them up for expedience's sake.

And so to all other peoples and governments who are watching today, from the grandest capitals to the small village where my father was born: know that America is a friend of each nation and every man, woman, and child who seeks a future of peace and dignity, and that we are ready to lead once more. Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just with missiles and tanks, but with sturdy alliances and enduring convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power grows through its prudent use; our security emanates from the justness of our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and restraint.

We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we can meet those new threats that demand even greater effort - even greater cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear threat, and roll back the specter of a warming planet. We will not apologize for our way of life, nor will we waver in its defense, and for those who seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot outlast us, and we will defeat you.

For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus - and non-believers. We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this Earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in ushering in a new era of peace.

To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society's ills on the West - know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are willing to unclench your fist.

To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders; nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the world has changed, and we must change with it.

As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off deserts and distant mountains. They have something to tell us today, just as the fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honor them not only because they are guardians of our liberty, but because they embody the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater than themselves. And yet, at this moment - a moment that will define a generation - it is precisely this spirit that must inhabit us all.

For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and determination of the American people upon which this nation relies. It is the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job which sees us through our darkest hours. It is the firefighter' s courage to storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to nurture a child, that finally decides our fate.

Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be new. But those values upon which our success depends - hard work and honesty, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism - these things are old. These things are true. They have been the quiet force of progress throughout our history. What is demanded then is a return to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility - a recognition, on the part of every American, that we have duties to ourselves, our nation, and the world, duties that we do not grudgingly accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our all to a difficult task.

This is the price and the promise of citizenship.

This is the source of our confidence - the knowledge that God calls on us to shape an uncertain destiny.

This is the meaning of our liberty and our creed - why men and women and children of every race and every faith can join in celebration across this magnificent mall, and why a man whose father less than sixty years ago might not have been served at a local restaurant can now stand before you to take a most sacred oath.

So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have traveled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river. The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:

"Let it be told to the future world...that in the depth of winter, when nothing but hope and virtue could survive...that the city and the country, alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."

America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship, let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said by our children's children that when we were tested we refused to let this journey end, that we did not turn back nor did we falter; and with eyes fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great gift of freedom and delivered it safely to future generations.

Thank you. God bless you, and God bless the United States of America.
Read more ...
Sunday, January 11, 2009

Jadi Nominator Lomba Essay

Kemarin nta dapet sms, katanya essy-ku masuk nominator Lomba Essay "Agama dan Kekuasaan" Tingkat Mahasiswa se-Indonesia. Setelah dicek di internet trnyata benar, ada nama nta dan judul essay. Nta ada di nomor 25. Selain nta, dari UNSOED juga ada Mas Firdaus Putra.
Berikut pengumuman lengkapnya.

Setelah dilakukan proses seleksi terhadap 317 esai yang masuk mengikuti lomba, maka dewan juri memutuskan esai yang menjadi pemenang dan nominator adalah sebagai berikut.


Juara:

1. “Khilafah Vs Demokrasi: Relasi antara Agama dan Kekuasaan” karya Gugun El-Guyanie dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta;
2. “Islam Versus Islamisme: Reposisi Islam sebagai Agaa Kekuasaan atau Agama Peradaban” karya Ardiyansyah dari Universitas Langlangbuana Bandung;
3. “Fundamentalisme: Sengkarut Hubungan Iman dan Kuasa” karya Muhammad Ismaiel dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Nominator:

4. “Negara dan Agama dalam Panggung Sejarah Ideologi” karya Syah Azis Perangin Angin dari IAIN Walisongo Semarang;
5. “Menampung Islamisme sebuah Tantangan Demokrasi” karya Djohan Rady dari Universitas Indonesia Jakarta;
6. “Agama di Tepi Kekuasaan” karya Ahmad Asroni dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta;
7. “Power/Knowledge/Corrupt: Telisik Sosiologi Hubungan Kekuasaan dan Agama” karya Firdaus Putra A. dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
8. “Agama, Kekuasaan: Suatu Perkwinan yang Dinantikan” karya Salman Rusydie Anwar dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta;
9. “Politisasi Agama dan Sindrom Kekuasaan” karya Mohammad Takdir dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta;
10. “Tangga-Nada Kuasa Agama” karya Ahmad Khotim Muzaka dari IAIN Walisongo Semarang;
11. “Pancasila, Kekuasaan, dan Politisasi Agama dalam Negara Budaya Patron-Klien” karya Sayfa Aulia Achidsti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta;
12. “Tujuan Kekuasaan dalam Pengentasan Kemiskinan: Ekonomi Ukhuwah dan Strategi Menuju Islamic Welfare State” karya Hamzah Ali dari Universitas Negeri Jakarta;
13. “Distorsi Definisi Cinta dan Seka: dalam Bingkai Kuasa Modernisme-Barat” karya Isni Ekowati dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto;
14. “Sebuah Mozaik: Heroisme Berkedok Agama (Antara Religi dan Spiritulitas) karya I Made Dwi Ariawan dari Universitas Udayana Bali;
15. “Melacak Jejak Premanisme dalam Politik Indonesia” karya Yogi Setya Permana dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta;
16. “Kekuasaan, Tuhan, Kematian” karya Abdul Aziz Rasjid dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto;
17. “Tubuh Berotak Jamak” karya Ayu Maylani dari Universitas Diponegoro Semarang;
18. “Mewujudkan Parpol Lokal sebagai Representasi Kedaulatan Rakyat di Daerah” karya Adhitya Himawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta;
19. “Kekuasaan dalam Selimut Kolektivisme Naif” karya Riyadlotu Solikhah dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto;
20. “Politik Kekuasaan dan Agama di Indonesia” karya Muhammad Husni Mubaroq A. dari Universitas Padjajaran dan Parahiyangan Bandung;
21. “Problematika Agama dan Kekuasaan dalam Kemanusiaan” karya Cahyani Ikawoni Putri dari Universitas Airlangga;
22. “Penguasaan atas Nama Agama dalam Kancah Pertempuran Invisible Perlawanan terhadap Dua Bentuk Penjajahan atas Perempuan” karya Miftahul Anam dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokert;
23. “Agama dan Negara dalam Tradisi Pemikiran Politik” karya Moh Fairuz ad-Dailami dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
24. “Islam, Demokrasi, dan Hasrat Kuasa” karya Munawir Aziz dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus;
25. “Agama dan Ruang Perempuan” karya Shinta Ardhiyani U dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
26. “Islam dan Nasionalisme” karya Hafid Ismail dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto;
27. “Kartini Mandella dan Barack Soekarnoputri” karya Reza Praditya Yudha dari Universitas Muhammadiyah Malang;
28. “Demokratisasi Ekonomi Islam Indonesia” karya Yontomi dari Sekolah Tinggi Islam Negeri Purwokerto;
29. “Perbedaan Interpretasi Agama dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat: Dampak Kepemilikan Kekuasaan” karya Arif Hidayat dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto;
30. “Menggenggam Kekuasaan di Atas Agama” karya Vivi Novi Yanah dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto.

Keputusan Dewan Juri di atas bersifat mengikat dan tidak bisa diganggu gugat. Selanjutnya, para pemenang dan nominator akan dihubungi panitia untuk diundang dalam kegiatan Launching Buku para pemenang dan nominator
dan Serah Terima Penghargaan pada tanggal : 14 Maret 2009 di STAIN Purwokerto, Jl. A. Yani No. 40 A Purwokerto.
Selamat bagi para pemenang dan nominator.

Dewan Juri:

Drs. Ahmadun Yosi Herfanda
Abdul Wachid B.S., S.S., M.Hum.
Heru Kurniawan, S.Pd. M.A.

info lengkap bisa dilihat di sini
Read more ...
Tuesday, January 06, 2009

Udah Bego, Males Lagi!!! (sampah masyarakat!!!)


Kasar ya judulnya??
Nggak habis pikir aq sama beberapa teman di kampus, melihat aktivitas nyontek mereka. Ujian hari pertama kemarin, American Culture Studies, nta merasa harus belajar sungguh2 karena mengejar ketertinggalan akibat beberapa kali tidak masuk kuliah.
Eh, pas ujian kemaren, sebel banget nta ngliat beberapa temen ngerjain soal-soal ujian hanya mengandalkan kegesitan lirik kanan-kiri-depan belakang. Buset deh, nta liat, dari nomor satu sampe sepuluh, dia nyontek semua. Padahal dia yang selalu menyudutkan nta karena nta nggak pernah masuk kuliah. Eh, dia yg selalu masuk kuliah aja nyontek, trus dia kuliah ngapain aja bu???!!! Sebel deh gw!!!dan yang kyak gitu ternyata bukan cuma satu. Msh byk bbrpa anak lain yang cuma mengandalkan nyontek pas ujian, padahal waktu luang buat banyak banget.
Sebel aq sama orang yang GEDE OMONG, SOK PINTER, TERNYATA "KOSONG", MALES LAGI!!!

Read more ...

Bekal Kalibakal*)

Rantau jadi kacau
pusing seratus keliling
bak main-main gasing
putar-putar dibuatnya

kicau dosen yang termuliakan
bangku jadi rebutan
namun kosong tetaplah kosng
karena bukan ada isi
hanya doktrinasi


Pintar jadi ambigu
cerdas hanya asumsi
tarian kebodohan
prestise di-elukan

memang benar kalau benar sebuah kesepakatan
simbol yang sudah jadi konsensus
jika kau ingin benar, berkompromilah
cari tau kesepakatan seperti apa yang berlaku disitu
hingga kau jadi benar
menurut mereka

aku hanya pungguk bodoh nan lemah
tapi kata orang, dunia ini berputar
bodoh-pintar jadi giliran
tak usah dipikirkan
toh semua cuma anggapan???

karangwangkal, 6 januari 2009

*) Kalibakal =? nama wilayah di purwokerto,ada di jntung kota, Jl.Jend.Soedirman timur, lokasi kampus sastra UNSOED.
Read more ...
Saturday, January 03, 2009

Mengapa Kita Perlu IQ, EQ, dan SQ


Era Spiritual, begitulah yang banyak diutarakan oleh berbagai pakar di seluruh dunia. Bahkan padanan kata tersebut tidak keluar dari seorang alim ulama, tetapi keluar dari orang-orang yang bergerak di dunia pelatihan, organisasi, sampai bisnis. Begitu banyak bentuk konsep pengusungan era spiritual, ditandai dengan mulai banyaknya tulisan-tulisan atau buku-buku seperti ‘Menjual dengan Kecerdasan Spiritual’, ‘Marketing Syariah’, ‘Spiritual Capital’, buku-buku Manajemen Qalbu, ‘Financial and Spiritual Quotien’, sampai ‘ESQ Power’.


Sekarang mari kita lihat, apa itu kecerdasan IQ, EQ, dan SQ? Dan mengapa kita membutuhkannya sekaligus?
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)

Kecerdasan ini ditemukan pada sekitar tahun 1912 oleh William Stern. Digunakan sebagai pengukur kualitas seseorang pada masanya saat itu, dan ternyata masih juga di Indonesia saat ini. Bahkan untuk masuk ke militer pada saat itu, IQ lah yang menentukan tingkat keberhasilan dalam penerimaan masuk ke militer.

Kecerdasan ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung, bernalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan “What I Think“.
2. Kecerdasan Emosional (EQ)

Mulai menjadi trend pada akhir abda 20. Kecerdasan ini di otak berada pada otak belakang manusia. Kecerdasan ini memang tidak mempunya ukuran pasti seperti IQ, namun kita bisa merasakan kualitas keberadaannya dalam diri seseorang. Oleh karena itu EQ lebih tepat diukur dengan feeling.

Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami suatu kondisi perasaan seseorang, bisa terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Banyak orang yang salah memposisikan kecerdasan Emosional ini di bawah kecerdasan intelektual. Tetapi, penelitian mengatakan bahwa kecerdasan ini lebih menentukan kesuksesan seseorang dibandingkan dengan kecerdasan sosial. Kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan dengan “What I feel”
3. Kecerdasan Spiritual (SQ)

Pertama kali digagas oleh Danar Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. Dikatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.

Kecerdasan ini terletak dalam suatu titik yang disebut dengan God Spot. Mulai populer pada awal abad 21. Melalui kepopulerannya yang diangkat oleh Danar Zohar dalam bukunya Spiritual Capital dan berbagai tulisan seperti The Binding Problem karya Wolf Singer.

Kecerdasan inilah yang menurut para pakar sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini menjawab berbagai macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini menjawab dan mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am“. Siapa saya? Untuk apa saya diciptakan?
Bagaimana IQ saja tanpa EQ?

Sahabatku, banyak di dunia ini hanya diukur dari kecerdasan IQ saja. Padahal menurut penelitian para pakar, kecerdasan IQ hanya menyumbang 5% (maksimal 10%) dalam kesuksesan seseorang. Mulai dari kita belajar di Sekolah Dasar dari sistem NEM sampai kuliah dengan sistem IPK. Bahkan tidak jarang banyak perusahaan yang merekrut seseorang berdasarkan dari test IQ saja.

Seperti apa IQ tanpa EQ? Coba kita pahami melalui kisah berikut

Eki memang tidak terlalu pintar dalam mata kuliah statistik. Entah kenapa pelajaran ini terasa berat dan susah ‘nyantol’ di otaknya. Di semester kemaren dia mendapatkan nilai D untuk pelajaran ini. Namun Eki tidak putus asa, semester berikutnya dia mencoba lagi. Berbagai ramuan penahan rasa kantuk dia minum hampir setiap malamnya hanya untuk menjadi teman penahan agar tetap melek dan konsen dalam belajar. Akhirnya masa akhir semester pun tiba, dan kini dia mendapatkan nilai B. Betapa senangnya Eki ketika itu, rasanya ingin dia memberikan bingkai figura daftar nilai B tersebut dan memasangnya di kamar untuk jadi kenangan sampai akhir hidup.

Di saat kesenangannya itu dia bercerita kepada Iko salah satu seorang temannya. “Ko akhirnya statistik ku dapet nilai B“, ujar Eki dengan hebohnya bagai mendapatkan durian runtuh.

“Ah baru dapat nilai B saja udah seneng, aku yang dapet A aja biasa-biasa aja“, sahut Iko. Iko memang terkenal pintar di kelasnya. Tak pernah luput darinya rangking 3 besar semenjak SD.

Eki yang saat itu sedang berbinar-binar tiba-tiba langsung menciut hatinya ketika mendegar komentar dari Iko. Bagaikan kompor yang sedang menyulut tinggi tiba-tiba padam karena tersiram air.

Coba kita lihat bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Iko. Memang dia pintar, tetapi tidak mampu memahami perasaan yang dialami oleh Eko. Banyak orang di dunia ini yang pintar namun tidak mampu berkomunikasi secara perasaan kepada orang lain. Bagaikan paku yang pernah dihujam ke sebatang kayu, walaupun bisa dicopot kembali namun lubang itu akan masih tetap ada.

Sekarang kita lihat bagaimana EQ bekerja terhadap situasi seperti ini

“Hi, kenapa kamu terlihat sedih hari ini Ki?” sapa Intan begitu masuk ke kelas.

“Yah, aku cuman dapet nilai B dalam statistik” ujar Eki dengan nada lesu karena habis terciutkan oleh perkataan si Iko.

“Wow hebat donk, kamu ngulang lagi kan kemaren gara-gara dapet D. Bagus donk sekarang dapet B“, hibur Intan kepada Eki.

“Iya, tapi si Iko dapet A dan begitu aku cerita kepadanya….“

“Yaah… kamu tau sendiri kan si Iko orangnya gimana? Tak perlu risau, udahlah jangan kau masukkan ke dalam hati omongan dia. Aku tahu koq perjuangan kamu, kamu udah berusaha giat untuk mengejar nilai ini. Dan ingat tidak bahkan hampir setiap minggu kamu bertanya kepada orang tentang pelajaran ini yang gak kamu ngerti. Malah aku salut ngelihat mahasiswa kayak kamu Ki” ujar Intan membanggakan Eki.

Dan senyuman Eki mulai terlihat di bibirnya.

Begitulah EQ itu bekerja dan mampu memberikan kesuksesan dalam diri kita. EQ dan komunikasinya yang baik mampu memberikan apresiasi ke dalam diri sendiri dan orang lain seperti yang dilakukan Intan. Walau Intan sebenarnya juga tidak kalah pintarnya dalam pelajaran dibandingkan Iko, namun dia juga pintar memahami perasaan orang lain. EQ membantu kita menjadi seseorang yang sukses dalam bersosial dan berkehidupan.
Bagaimana IQ dan EQ tanpa SQ?

Kita sudah paham apa itu IQ dan EQ serta bagaimana keduanya apabila bekerja bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan tersebut tidak disinergikan dengan SQ maka akan berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah untuk menjadi “ahli pertapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.

Seperti apa punya IQ dan EQ tanpa SQ?

Banyak orang cakap dan pintar di dunia ini, salah satunya adalah Hittler. Kita semua mengenal Hittler sebagai pemimpin yang handal. Mampu mempengaruhi sebagian belahan dunia untuk berada di dalam kekuasaannya. Perlu diketahui pula, hittler termasuk salah seorang pempimpin yang hebat dalam hal IQ dan EQ. Buktinya dia mampu dielu-elukan oleh para pengikutnya. Bahkan ada sebuah statemen yang berasal dari dia, “Seribu kebohongan akan menjadi satu kebenaran“.

Namun dibalik kejayaannya, dia mempunyai niatan yang buruk. Tujuan yang tidak mulia. Itulah gambaran cakap IQ dan EQ namun tanpa SQ, tidak menyadari makna/value dalam diri serta siapa dirinya dan untuk apa dirinya diciptakan.

Contoh lain adalah, Yakuza. Kita mengenal berbagai bentuk sindikat di dunia. Kalau di Itali ada namanya mafia, di Jepang dikenal dengan Yakuza. Sebuah sindikasi Yakuza terdiri dari orang-orang yang hebat dan solid. Mereka memiliki kemampuan berbisnis dan berorganisasi dengan cakap. Kultur mereka mempunyai semangat juang yang tinggi, loyalitas yang hebat, serta solidaritas yang kuat. Namun jeleknya tujuan mereka (pemaknaan/value) bukan pada tujuan yang mulia. Bahkan apabila mereka melakukan kesalahan yang mengakibatkan membahayakan temannya, mereka harus memotong jari mereka.

Bagaimana di Indonesia? Tentu saja di Indonesia terdapat banyak orang pintar dan cakap (dan saya sangat yakin itu). Tetapi banyak yang berakhlak dan bermoral buruk. Bagaimana dengan koruptor? Tentu saja menjadi seorang koruptor harus memiliki EQ dan IQ yang baik. Dia cerdas dan harus jago berstrategi. Jago bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang untuk mau diajak berspekulasi dan berkompromi dengannya. Semangat juang tinggi? Tentu, mereka nampak selalu prima dan percaya diri. Namun akhlak dan moralnya? Masih bobrok. Itulah cakap IQ dan EQ namun tidak memiliki SQ.

Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ. Banyak seseorang yang diPHK dari pekerjaannya bukan karena mereka tidak pintar, bukan karena mereka tidak pintar mengoperasikan sesuatu, bahkan bukan karena ketidak mampuannya berkomunikasi. Tetapi karena tidak memiliki integritas. Tidak jujur dan tidak bertanggung jawab.

Inilah gambaran bagaimana SQ masih belum bekerja di banyak sistem di bumi ini.
Apakah SQ benar sebagai kunci keberhasilan?

Menurut survey The Leadership Challenge yang dilakukan oleh James Mc Kouzes dan Barry Z. Postner, dalam peringkat karakter CEO yang berhasil, nomor satu adalah karakter jujur. Kita sendiri meng’iya’kan dalam diri kita apa yang kita dambakan dari seorang pemimpin? Pasti karakter jujur atau akhlak serta moral yang baik bukan? Hal seperti ini andaikan tidak terkontekskan dalam survey, tetapi moral dan akhlak menjadi anggukan universal, seluruh dunia mengakuinya. Begitu pula dengan Anda bukan?
Kesimpulan

IQ digambarkan sebagai “What I think?“, EQ “What I Feel”, dan SQ adalah kemampuan menjawab “Who I am“. Siapa saya? Dan untuk apa saya diciptakan. Tuhan Maha Adil, sebenarnya kita memiliki semua kecerdasan ini tetapi tidak pernah kita asah bahkan kita munculkan. Untuk menjadi seorang pribadi yang sukses kita harus mampu menggabungkan dan mensinergikan IQ, EQ, dan SQ. Ilmu tanpa hati adalah buta, sedangkan ilmu tanpa hati dan jiwa adalah hampa. Ilmu, hati, dan jiwa yang bersinergi itulah yang memberikan makna.

Mohon maaf apabila banyak kekurangan, apabila ada kesalahan mohon koreksi.
Referensi

* ESQ: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (Ary Ginanjar A.)
* ESQ Power: Sebuah Inner Journey melalui Al-Ihsan (Ary Ginanjar A.)
* Handbook of Workplace Spirituality and Organizational Performance (Robert A. Giacalone)
* The Living Organization: Spirituality in Workplace (Daniel Goleman)

dari motivasy.net
Read more ...

Dari Tukang Ledeng menjadi General Manajer


Suatu hari bos Mercedez Benz mempunyai masalah dengan kran air di rumahnya. Kran itu selalu bocor hingga dia khawatir anaknya terpeleset jatuh. Atas rekomendasi seorang temannya, Mr. Benz menelpon seorang tukang ledeng untuk memperbaiki kran miliknya. Perjanjian perbaikan ditentukan 2 hari kemudian karena si tukang ledeng rupanya cukup sibuk. Si tukang ledeng sama sekali tidak tahu bahwa si penelpon adalah bos pemilik perusahaan mobil terbesar di Jerman.

Satu hari setelah ditelpon Mr.Benz , pak tukang ledeng menghubungi Mr.Benz untuk menyampaikan terima kasih karena sudah bersedia menunggu satu hari lagi . Bos Mercy-pun kagum atas pelayanan dan cara berbicara pak tukang ledeng.
Pada hari yang telah disepakati , si tukang ledeng datang ke rumah Mr.Benz untuk memperbaiki kran yang bocor. Setelah kutak sana kutak sini, kranpun selesai diperbaiki dan pak tukang ledeng pulang setelah menerima pembayaran atas jasanya .

Sekitar 2 minggu setelah hari itu , si tukang ledeng menghubungi Mr.Benz untuk menanyakan apakah kran yang diperbaiki sudah benar-benar beres atau masih timbul masalah ? Mr. Benz berpikir pasti orang ini orang hebat walaupun cuma tukang ledeng. Mr. Benz menjawab di telepon bahwa kran dirumahnya sudah benar-benar beres dan mengucapkan terima kasih atas pelayanan pak tukang ledeng.

Tahukah anda bahwa beberapa bulan kemudian Mr. Benz merekrut si tukang ledeng untuk bekerja di perusahaannya ? Ya , namanya Christopher L. Jr . Saat ini beliau adalah General manager Customer Satisfaction and Public Relation di Mercedez Benz.

Jangan lupa dan aplikasikan dalam tingkah laku sehari hari: ”Selalu tambahkan keju dalam pelayanan anda walaupun itu tidak diminta“.

diambil dari motivasy.net
Read more ...

"Ayah dengarlah.."

"Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuh maumu...."


pertengkaran yang kerap terjadi..yang sebetulnya menyisakan air mata...
maafkan anakmu ini ayah..
aku hanya ingin jadi diri sendiri...
Itu saja..
satu hal yang perlu dipatrikan...I love you..forever...


Read more ...