Pages

Wednesday, June 25, 2008

Pemahaman Keberagamaan


Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan sebagai salah satu aset. Kemajemukan itu mulai dari bahasa, budaya, hingga agama. Serta perlu diingat pula bahwa sejak awal digagas dan dibangun, Indonesia adalah sebagai negara yang memiliki konsep negara bangsa, yang melindungi segenap dan seluruh rakyat dan warga bangsa. Indonesia bukan didirikan dengan konsep sebagai negara agama.
Insiden Monas (sejauh berdasarkan liputan media) tersirat sebagai gejala degradasi pemahaman keberagaman pada masyarakat (dalam kasus ini adalah FPI). FPI memang dikenal sebagai organisasi Islam yang konsen pada amar ma’ruf nahi munkar. Namun, kelompok agama apapun dalam bergerak sepatutnya mampu membedakan ruang publik dan ruang kelompok agama. Islam di Indonesia dapat masuk pun karena proses kultural yang manis dengan memuat nilai-nilai universal dan bersifat transnasional, melintasi perbedaan yang ada.
Ketika ajaran agama apapun masuk ke Indonesia harus menghadapi kondisi kultural dan struktural yang ada. Secara kultural, harus mampu menerima keberagaman adat. tradisi, dan kebudayaan. Secara struktural,. mau menerima Pancasila dan NKRI sebagai dasar negara yang sudah menjadi konsensus nasional dan diterima oleh semuaelemen masyarakat. Istilahnya, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Kita harus memahami norma serta nilai yang berlaku di wilayah tempat kita tinggal.
Pada dasarnya, pemahaman keberagaman sangat terkait erat dengan paham keberagamaan. Dalam ajaran agama manapun, ada aturan mengenai hidup berdampingan dan mengajarkan tatacara hidup berdampingan yang indah dengan masyarakat lain (yang lebih beragam). Maka, jika pemahaman keberagaman ingin ditingkatkan, cara yang tepat adalah meningkatkan pemahaman keberagamaan. Agama merupakan ranah privasi yang memiliki kekuatan moril pada penganutnya. Ketika sebuah kelompok agama tidak menunjukkan sikap yang tidak bijak terhadap keberagaman, maka patut dipertanyakan tingkat pemahaman mereka dalam menjalankan agama tersebut.
Pemerintah juga tentunya menjadikan ini sebagai evaluasi, sejauh mana peran pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan keagamaan. Peran yang minim menjadikan aktivitas-aktivitas keagamaan mudah disusupi dan digerakkan oleh pihak lain yang ingin memecah belah bangsa ini. Unsur kepentingannya sudah tidak sekedar pada jalur agama lagi,ideologi yang dibawa lebih sebagai ideologi politik darapada sebagai sebuah pandangan hidup manusia.





Read more ...

Ayo Kuliah!!!!



Tadi aku habis membaca postingan bulletin mas Uud. Salah seorang senior di HMI Purwokerto dan juga alumni UNSOED, dengan kata lain sekarang beliau sudah bisa menuliskan namanya dengan M.Akhirudin, S.T.
Kayaknya bangga ya udah jadi sarjana. Secara, itu gelar pendidikan tinggi dimana nggak semua orang bisa dengan mudah mengecap pendidikan tinggi. Pendidikan di Indonesia masih menjadi momok yang entah kapan akan ada di puncak klimaks dan titik balik untuk merformasi sistem yang udah ada.
Tapi ternyata bukan kebanggan yang disiratkan dari tulisan mas Uud itu. Beliau becerita (lebih tepatnya bercerita tentang keprihatinan) mengenai almamaternya, fakultas Teknik UNSOED yang sekarang sudah berganti nama menjadi Fakultas Sains & Teknologi setelah bergabuung dengan Program Studi MIPA dan Perikanan Kelautan.
Satu hal yang merupakan bagian ungkapan perasaan mas Uud yang cukup menarik buat aku adalah mengenai nilai jual ijasah UNSOED. Mas Uud menyebutkan bahwa ijasah UNSOED itu nyatanya tidak memiliki signifikansi apa-apa di dunia kerja. Di dunia kerja, jaringan dan skill lebih berpengaruh pada “kesuksesan” yang ingin dicapai.
Mas Uud bukanlah satu-satunya orang yang bicara seperti itu. Aku ingat Mas Huzer, sewaktu kita ketemu di TIM satu tahun lalu. Beliau juga alumni UNSOED. Berbeda dengan mas Uud yang sangat menikmati masa-masa kuliah (terbukti dengan masa kuliah sampe 7tahun.he3), mas Huzer ini justru dikenal mahasiswa berprestasi saat kuliahnya dulu. Selain gelar mapres, dia juga aktivis dan pernah juga mengikuti prgram pertikaran-nya British Council ke Jerman. Saat ini, mas Huzer tergabung di crew salah satu TV swasta yang cukup punya prestise di Indonesia. Walaupun beda karakter, tapi ternyata tanggapannya sama. Mereka menyebutkan bahwa ijasah yang diperoleh saat kuliah itu nggak ada artinya.
Kesannya memang mereka durhaka pada almamater. Dua-duanya adalah sosok kakak yang sangat aku hormati dan hargai. Dari mereka banyak hal yang bisa aku dapatkan (walaupun aku agak kecewa waktu mas Uud membatalkan datang ke Purwokerto waktu aku undang jadi pembicara di stadium general pelantikanku di Komperta.hiks3). Tapi, aku kayaknya bisa memahami apa sebenarnya yang tersirat dari statement beliau berdua. Mungkin lebih tepatnya, yang dianggap “doesnt matter” bukan ijasah or pendidikan tinggi melainkan proses pendidikan yang ada di kelas doank. Apalagi dengan habit UNSOED yang (meminjam istilah mas Firdaus) itu kurang think-thank!!! Tipikal mahasiswanya kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang. Ruang-ruang diskusi merupakan sebuah hal yang kurang menjamur di kampus perjuangan yang katanya menjiwai nilai-nilai perjuangan sang Jenderal Soedirman. Padahal proses belajar di kelas apalagi yang ada di UNSOED sangat-sangat jauh dari namanya hakekat pendidikan itu sendiri. Kuliah hanya sekedar rutinitas belaka, dengarkan, ingat2, hafalkan, kerjakan tugas, praktikum, kumpulkan laporan!!!ujian, dapet IP, Skripsi, kompre, SELESAI!!! (Fiuh...aku selalu merasakan bosan yang teramat sangat kalo mengingat hal itu).
Mas Uud dan Mas Huzer bukan salah dua orang yang berbicara sep0erti itu. Masih ada deretan alumni UNSOED yang lain yang berbicara senada. Even though, not only UNSOED graduate. Bang Arp Muttaqien-alumnus FT-UI pun berbicara tak berbeda. Beliau bilang, di UI juga masih banyak mahasiswa (i) yang tipikal kupu-kupu, yang Cuma tipikal anak kuliahan, boro2 empati, simpati aja belum kesentuh. Malah disana peperangan prestise juga turut andil. Ampun DJ!!!
Yeah....kuliah itu apa sieh??? Sampai juga aku pada pertanyaan ini!!!!
Di bagian tulisan ini aku mau pake alur flash back aja atau pake metode deduktif. So, aku sebutkan dulu conclusi (awal) dari pembahasan pertanyaan diatas. Bagi aku, Kuliah is entertainment!!Kuliah itu hiburan. Lebih lengkapnya, kuliah itu hiburan yang menyenangkan seperti kita menonton film komedi saat melepas lelah.
Setelah hampir dua tahun baru aku sampai pada conclusi itu. Oya, tapi perlu diperhatikan juga bahwa “kuliah” yang aku sebutkan disini refer to a class activity. Aku rasa juga persepsi almost of student mengenai kuliah juga hanya berkutat pada aktivitas dalam kelas.
Waktu jadi junior, aku sangat bersemangat (kalo kata orang-orang sieh...emang aku tuh tipikal orng yang always have full spirit!!!). Dalam bayanganku akan menghadapi kelas-kelas dan mata kuliah yang sangat menarik. English Literature. Sebuah ilmu yang lumayan baru buatku, walaupun bergelut di dunia sastra bukan sebuah hal yang newest.
Apalagi aku yang waktu itu terpilih jadi salah satu kandidat ketua angkatan. Wah...aku termasuk salah satu jajaran orang populer di kampus. Aku sangat bersemangat dan membayangkan mimi-mimpi yang bisa ku wujudkan dengan kampus ini.
Tapi...memang benar kata orang bjak, kalo naik pohon jangan tinggi-tinggi nanti jatuhnya lebih sakit. Semangatku seharusnya jangan terlalu tinggi karena kalo berhadapan dengan kenyataan yang kurang positif bisa bikin aku jadi kecewa berat.
Yeah...awal-awal aku kecewa dengan keadaan. Alhamdulillah Allah menuntunku pada sebuah pemikiran mengenai hakikat perjuangan. Kalo semua orang bisa memilih tentunya masing masing dari kita akan memilih sesuatu yang menyenangkan. Namun, pemahaman akan hakikat perjuangan membuat kita menjadi lebih bijak dalam melihat sebuah kehidupan. Senang dan sedih, bahagia dan tidak, bukanlah sebuah hal yang hitam putih. Itulah kenapa ketika kita bahagia, air mata juga keluar dan saat kita sedih kadang kita tertawa lepas. Aku ridho bahwa disinilah tempatku menuai hikmah, di jalan perjuangan. Aku yakin dengan ikhlasku dan ridhoNya, impian-impianku bukan sebuah hal yang utopis.
Secara sederhananya, dimanapun kita menjejakkan kaki, tanggungjawab kita sama, peluan untuk berfastabiqul khairat jugas sama-sama besar.
Trus...gimana kuliahku???he3
Yup, bisa dibilang beberapa bulan kebelakang, aku merasakan berkurangnya motivasi untuk kuliah. Aku miris liat suasana belajar yang nggak sehat. Dulu, aku suka banget sama yang namanya ruang-ruang diskusi, jadi kelas itu bukan Cuma ada pendidikan satu arah tapi ada interaksi antara mahasiswa dan fasilitator. Tapi...habit membentuk sebuah sifat diskusi yang hanya berorientasi pada “ Yang pentung udah maju presentasi...........” dan “ Yang penting dapet nilai....”.
Salah satu contoh misalnya, di kelas Pengetahuan Kebudayaan Inggris. Salah satu pertanyaan yang aku ajukan di introduction dan learn contract, yaitu apa tujuan sebenarnya dari kuliah ini. Aku sangat interest dengan beberapa mata kuliah disni. Tapi kenyataannya proses pembelajaran yang terjadi nggak sreg di hati. Di kuliah PKI aja, setiap selesai kelas, aku pasti menuju ruang dosen untuk bicara ini itu mengkritisi proses yang tadi dijalankan. Bukannya aku nggak berani mengungkapkan di kelas, tapi memang waktunya tidak memungkinkan, udah terlalu sore.
Setelah sering protes, pada akhirnya emang dosen ngomong “ Ya, memang mata kuliah ini tidak bisa mengakomodir pembelajaran tentang kebudayaan inggris, sharusnya setelah kuliah ini follow-upnya yaitu mata kuliah culttur studies, etc”. Yup, tapi pada kenyataannya setelah ambil kebudayaan inggris kita diwajibkan ngambil kebudayaan australia dan amerika, nggak ada mata kuliah yang emang benert-bener “jelas” orientasinya.
So, mau jadi apa sarjana-sarjana UNSOED kalo selama kuliah mereka Cuma berkutat di bangku-bangku kelas, dibalik diktat-diktat kuliah, dan dibalik ceramah-ceramah dosen???waktu terus berjalan, kondisi masyarakat diluarsana membutuhkan peran-peran kaum intelektual untuk berkiprah!!!
Jadi, apapun pendapat orang, aku merasa bahwa pilihanku untuk terkadang tidak mengindahkan aktivitas kelas bukanlah sebuah pilihan yang salah. Turut aktifnya aku di jalan (baca : organisasi-organisasi, ruang-ruang diskusi diluar kampus, event2 pemberdayaan masyarakat, etc) adalah sebuah pilihan sadar untuk mengantualisasikan ptensiku sebagai manusia.
Tapi, aku yakin sebenarnya kita bisa menyukai sesutau hal yang tidak kita sukai. Kucoba mencari sudut mana yang bisa membuat motivasi bangkit lagi untuk aktif fi aktivitas kelas (dalam artian : selalu masuk kelas). Yup, akhirnya aku menemukan itu di teman-temanku satu kelas.
Di beberapa kelas, aku merasa terhibur dengan tingkaph polah teman-teman. Mahasiswa-mahasswa gila, tipe anak kuliahan, tipe anak SMA (yang Cuma tau kuliah dan maen2, kongkow2 bareng temen). Tapi, lepas dari itu semua, mereka itu asyik banget coy!!!! Kelasku ini berbeda dengan kelas yang lain di sastra inggris angkatan ’06. Kelas yang paling bikin pusing doesn. Kelas yang nggak bisa diem. Canda-canda segar selalu mewarnai proses-proses belajar di kelas. Canda-canda segar yang kadang juga cerdas. Kelas paling gila biasanya kalo di kelas grammar or di kels translate. Misal waktu. Mr.Pujo sedang menjelaskan tenses dalam translarte, sedang menjelaskan penggunaan kata “sedang”, tiba-tiba so andhika nyletuk “ Kapitan kan punya sedang panjang, sir!!:. Eh, malah disambung lagi sama dosen, “Ah nggak, sedang itu kan makanan dari minangkabau”. Ya, selanjutnya bisa ditebak masing2 “orang gila” menyebutkan plesetan masing, sampe mereka berhenti sendiri (tentunya nanti kalo menemukan kata yang menjadi “sasaran empuk”, plesetan2 itu akan berjalan lagi!!). belum lagi kalo sesi tanya-jawab, si Andhika gila, Acep “prancis” kayaknya berusaha menunjukan obsesi artis mereka. Penekanan2 pada kata2 lebih membuat mereka terlihat sedang “maen film” daripada sedang “mengajukan pertanyaan”. Kata2 andalan Andhika misal “ ini nggak progres ini..!!!!”, atau si unggul “Ini adalah pertanyaan yang fundamentalis”, bukan2 kata2nya yang lucu, tapi ekspresi mereka yang sengaja dibuat lucu itu merupaka sesuatu yang menghibur. Ya, untuk orang yang sering menghadapi hal-hal yang serius seperti aku, hal2 sperti ini cukup menjadi canda renyah. Setidaknya aku selalu tertawa lepas di kelas ini. Tadinya di awal, aku selalu serius menghadapi kuliah2. Tapi, malah setiap aku mo tanya, kadang aku menjadi alternatif terakhir untuk diijinkan bertanya, itupun kalo nggak ada yang nanya lagi!!Ya, jadi aku pikir aku anggep aja kelas ini sebagai sebuah hiburan, enjoy it!!! Lagipula, dengan belajar sendiri melalui buku-buku atau internet, kadang malah membuat aku lebih bisa memahami mata kuliah itu. Aku pikir, aku nggak akan mendapatkan sesuatu kalo hanya belajar dari ruang kelas, diluar sana masih banyak ruang-ruang belajar di luar kelas yang lebih menjamin terpenuhinya courius0qu. Walaupun ruang2 belajar di luar kelas tidak memberikan sebuah IP or IPK. Tapi, quiz2 disana lebih aplikatif.
Ya...kini ingin kuteriakan : AYO KULIAH!!!! (nadanya sama dengan iklan “Ayo Sekolah!!”he3)



Read more ...

MY ELITE TROOPS (Englsh Literature Troops)




Sudah 12hari lewat setelah penghitungan suara di PEMIRA (Pemilihan Raya) ketua hima prodi sastra inggris yang menghasilkan keputusan Abe sebagai ketua. Seharusnya kini organisasi itu sudah berjalan. Aku ingat betul ketika amanah sebagai ketua KPR (Komisi Pemilihan Raya) itu aku terima. Dari sejumlah orang yang hadir, lebih dari 50%suara aku dapatkan. Aku memang sengaja mengambil posisi perekayasa sosial di kampus ini. Tak ada niat secuilpun berkecimpung di struktural intra kampus. Aku lebih nyaman bekerja dibalik layar.
Masih ingat di pikiranku bagaimana protes-protes tersirat dari ekspresi rekan2 program studi sastra inggris saat mengetahui rencana jadwal PEMIRA. Aku merasa terpojokkan. Aku memang sengaja mengatur jadwal sedemikian rupa agar proses PEMIRA tidak instant. Tahun ini harus berubah. Now must be better than past. Aku sengaja menambahkan beberapa agenda dalam rangka pengoptimalan pendidikan politik bagi teman-teman dikampus. Kalau dianalogikan penyakit, kampusku sudah mengidap penyakit apatis akut stadium 4. Dengan diagnosaku, obat yang mujarab adalah mengadakan ruang-ruang dikusi bagi teman-teman. Walaupun itu juga tidak mudah. Untuk mencari fasilitator mungkin bukan hal yang sulit buatku (manggil rektor ke jurusan, aku sanggup!!!!he3). Namun untuk membujuk teman-teman untuk diskusi rasanya memang aku harus menyiapkan stamina yang prima. Bayangkan aja, bbrapa menit sebelum dikusi, aku masih harus muter-muter keliling kampus untuk menjemput dan menggandeng teman-teman menuju ruang diskusi. Sementara pembicara pun sudah menunggu kedatanganku. Aku pun harus sudah siap untuk menjadi moderator memimpin jalannya diskusi.
Terkadang aku bingung, kenapa sieh teman-teman agak susah diajak sedikit progresif??? Aku pikir, dengan turut aktif banyak hal yang bisa mereka peroleh. Kenapa harus enggan???Sungguh, aku sangat senang jika ada yanng meraih tongkat estafet yang selalu aku lambai-lambaikan. Estafet kepeloporan perubahan di kampus ini. Oh Tuhan....maafkan aku kalo hal ini terjadi karena salahku!!!!
Kembali ke HMPS, sampai saat ini aku belum melihat tanda-tanda kehidupannya. Yang bikin aku tambah sebel saat mas supri nanya “kapan pelantikan??”. Apalgi dengan nada suaranya yang aku rasa lebih mirip seperti rentenir penagih hutang. Ampun deh ngliat makhluk kayak gitu. Cuma bisa ngomong doank, seolah2 dia orang paling hebat di kampus, tapi aksinya nol besar!!!! Sekarang bayangin aja, dia mimpin HMPS periode kemaren tuh udah hampir 2tahun. Hasilnya??? Jangan tanya deh, bikin aku nangis. Dia Cuma orator handal, mulut besar. Tanggungjawab dianggapnya mainan. Ospek kemarin menuai protes terhadap posisinya, yang nggak pernah dateng rapat, eh tiba2 sok ngatur pas hari H. Belum lagi waktu musang HMPS. Boro-boro dia ngurusi, seperti biasa dia Cuma besar omong n ada di hari H. Please deh!!!!!
Menjelang PEMIRA pun dia sama sekali nggak pernah nongol!!! Sumpah, aku udah eneg sama nieh orang. Dia juga sama2 aku di BEM Universitas dulu (tapi dia menteri...aku kan sekum.he3). Apa hasilnya??? Kini kalo boleh aku dekripsikan kondisi BEM-U...luluh lantak!!! Aku jadi kasian sama mas Begs. Sebenarnya pengen banget bantu dan aku masih peduli. Tapi ada alasan-alasan ideologis yang memaksa aku mundur dari BEM. Kembali ke mas Supri, dia emang BEM Universitas, tapi ngurusin program studi aja nggak becus. Aku heran, hari gini masih aja ada orang mengejar prestise di jabatan organisasi. Biasa aja kali!!!!
Sekarang aku kadang agak serba salah, aku tau bahwa perjuangan ini belum berhenti disini, aku harus maju terus. Namun, aku juga harus mengurangi mayor2 dominasi di kancah intra kampus. Aku harus memberikan ruang-ruang buat teman yang lain. Tapi nampaknya, teman-teman harus dipancing terus. Kalo aku ngurusin ntar jangan-jangan dianggap terlalu ngatur, lagian wewenangku sebagai ketua KPR kan udah selesai. Tapi baru aku lepas 12hari aja, kok temen2 jadi stag gini ya????
Aku juga sudah memprioritaskan HMI dan Mafaza dibanding intra. Amanah ketum di komisariat membuat waktu, tenaga, dan pikiranku banyak terkuras dengan si hijau hitam. Begitu pula di Mafaza. PR divisi marketing masih menanti. Blom lagi target-target akademisku. Yeah...mungkin ini salah satu pembelajaran juga untuk lebih bijak mengelola waktu. Ya, Allah jadikan aku hamba yang mampu mensyukuri setiap nikmat perjalanan detikMu!!!Amien




Read more ...
Sunday, June 01, 2008

Elemen ke-10 Jurnalisme



Tentang Elemen ke 10 Bill Kovach dan Tom Rosenstiel

Oleh Farid Gaban

Saya baru membaca sebagian dari edisi revisi dari buku The Elements of
Journalism (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel). Jadi, belum bisa menulis
resensi yang lebih lengkap. Tapi berikut ini quick review.
[Terima kasih buat Uly Siregar, Paul dan Alana Skiera yang telah membawa
oleh-oleh buku ini dari Amerika].

Dalam buku baru ini, Kovach dan Rosenstiel memasukkan elemen ke-10:
"Citizens, too, have rights and responsibilities when it comes to the news."
Kovach dan Rosenstiel mengkaitkan elemen terbaru ini dengan
perkembangan teknologi informasi (internet khususnya) dalam beberapa tahun
terakhir: munculnya blog dan online journalism serta maraknya jurnalisme
warga (citizen journalism), community journalism dan media alternatif.

Ini elemen yang memang penting, sesuai dengan sub-judul buku asli
mereka: "What Newspeople Should Know and the Public Should Expect."
Teknologi informasi muatkhir memungkinkan orang, siapa saja,
memproduksi berita. Inilah era yang disebut oleh Alvin Toffler,
seorang futurolog pada 1980-an, sebagai era prosumsi (produksi dan
konsumsi). Publik atau masyarakat bisa menjadi produsen dan konsumen
sekaligus.

Munculnya blog, jurnalisme warga dan media alternatif sebenarnya
juga diilhami oleh kekecewaan publik terhadap media mainstream yang sekarang
ada, sebagian besar karena kesalahan para wartawan dan pemilik media
sendiri.

Tingkat kepercayaan publik terhadap media terus merosot. Di Amerika,
misalnya, sebuah survai 1999 menunjukkan bahwa hanya 21% masyarakat yang
menilai pers peduli pada rakyat, terjun bebas dari 41% pada 1987. Hanya 58%
yang mengakui pers sebagai lembaga watchdog, turun dari 67% pada 1985.
Kurang dari separo responden, 47%, yang percaya bahwa pers melindungi
demokrasi.

Kecenderungan yang sama, kita bisa menduga, juga terjadi di Indonesia.
Liberalisasi industri media setelah reformasi tidak serta merta meningkatkan
pamor pers. Pengalaman pribadi saya justru menunjukkan bahwa masyarakat
sekarang jauh lebih sinis terhadap media dan profesi kewartawanan, ketimbang
20 tahun lalu.

Liberalisasi itu sendiri menurut saya penting. Namun, nampaknya perlu
diimbangi oleh peningkatan mutu karya jurnalistik serta ketaatan wartawan
terhadap kaidah dan etika jurnalisme.

Kekritisan dan sinisme masyarakat terhadap media mainstream itu
penting dan bermanfaat. Masyarakat memang sebaiknya mamahami kaidah
jurnalistik dan dengan begitu bisa mengontrol pers, yang pada gilirannya
memacu wartawan dan pemilik media untuk kembali merenungkan eksistensinya
sendiri: untuk apa sebenarnya jurnalisme ada?

Kovach dan Rosenstiel kembali mengingatkan kita para wartawan untuk mengkaji
serta mengenali kembali prinsip-prinsip dasar jurnalisme agar kita tidak
makin tersesat jauh dari publik. Dan khususnya dalam elemen ke-10, buku baru
ini mengingatkan publik untuk ikut serta memperkaya jurnalisme dan
mengontrol pers.

Jurnalisme terlalu penting untuk hanya dipercayakan kepada para
wartawan, atau mereka yang mengaku wartawan.*** (Farid Gaban]


comment from nta:
Yup, jurnalis bukan sekedar sebuah profesi dimana kita hanya memindahkan apa yang di bibir orang ke dalam tulisan, namun jurnalis perlu juga memiliki kemampuan pengolahan berita yang akan dia buat. Jurnalisme terlalu sayang jika sekedar untuk profesi belaka. Daya kritis masyarakat juga diperlukan dalam hal ini. Tidak sekedar menikmati apa yang disuguhkan, sementara dilain pihak wartawan juga mencoba "membentuk" kesukaan masyarakat dengan mengikuti trend pasar. Media merupakan wadah edukasi masyarakat yang sangat urgent.
Hidup jurnalistik Indonesia (terus berkarya, progresif dan Yakin Usaha Sampai....^_^ =>lho???)


Read more ...