Pages

Wednesday, January 26, 2011

Het Geheim van Meede : Sebuah Kisah “Emas” dari VOC


Buku lama yang baru kuselesaikan resensi-nya, karena sedang "tergila-gila" untuk belajar menulis resensi yang menarik.


Menanggung hutang ternyata sudah menjadi garis nasib yang harus diterima negara ini sejak zaman kolonial dahulu. Bak jatuh tertimpa tangga, berharap penjajahan bisa benar-benar berakhir, di Ronde Tofel Conferentie (Konferensi Meja Bundar) justru mengantarkan Indonesia untuk menanggung hutang colonial hingga sebesar 4,3 miliar gulden yang setara dengan 1,13 miliar dolar Amerika. Tak banyak yang mengetahui alasan delegasi Indonesia akhirnya menyetujui isi perundingan tersebut.

Sejarah kolonial memang memiliki sisi menarik untuk dipelajari. Bukan hanya sebagai refleksi mengenai kejinya penjajahan, namun kita bisa belajar lebih bijak untuk melihat sebuah rangkaian peristiwa. Buku “Rahasia Meede” bisa memberikan pencerahan itu.. Tak berlebihan rasanya jika E.S Ito disebut sebagai maestro thriller sejarah Indonesia. Tak sedikit endorsement yang menyatakan itu pada cetakakan ke III buku ini. Keakuratan fakta sejarah yang dituangkan dalam buku ini terjalin manis dengan imajinasi sang penulis. E.S Ito dengan begitu lugasnya memaparkan sejarah VOC, sebuah kongsi dagang yang tenar di masa Hindia-Belanda. Bagian penting dari hasil Konferensi Meja Bundar adalah dokumen penyerahan kedaulatan. Dokumen itu terdiri dari : empat lembar protokol, satu lembar piagam penyerahan kedaulatan, tiga lembar statuta uni Indonesia-Belanda, dua lembar persetujuan perpindahan. Mohammad Hatta (ketua delegasi Indonesia) dan Dr.W.Dress (ketua delegasi Belanda) menandatangani tiga dokumen tersebut. Sedangkan satu dokumen lainnya, yaitu akta penyerahan dan pengakuan kedaulatan sebanyak enam embar ditandatangani oleh Ratu Juliana dan Hatta serta menteri-menteri dalam kabinet Dress dan anggota delegasi Hatta.

Dalam pengiriman dokumen-dokumen tersebut ke Indonesia, terjadi kekacauan, yang diduga hal itu disengaja untuk merahasiakan salah sau dokumen. Dokumen itu diselipkan bersama-sama dengan barang cetakan dan dokumen KMB lainnya oleh Ministerie van Uniezaken en Overzeese Rijksdelen Den Haag untuk delegasi RI. Melihat tujuan pengiriman tersebut tak akan nampak bahwa didalamnya tersembunyi sebuah dokumen yanng sangat penting. Saat itu, chaos yang terjadi apakah dokumen tersebut dikirimkan pada pemerintah RI di Jogjakarta atau pemerintah RIS di Jakarta.

Keberadaan dokumen yang sangat penting itu yang pernah membuat Pieter Erberveld, laki-laki kkulit putih dikutuk sepanjang sejarah Hindia Belanda. Dokumen yang diberi sebutan ”sabda revolusi”, yang menyelematkan Indonesia dari hutang besar kolonial. Dokumen yang membuat beberapa orang mengerahkan energi dan waktunya untuk sebuah pencarian harta karun peninggalan VOC.

Kisah dalam novel ini mengajak kita kembali menilik kejayaan VOC pada era-nya. Kebangkrutan VOC seperti yang kita tahu, ternyata tidak semata-mata bangkrut dan tak memiliki peninggalan sedikitpun. Penambangan emas di Salido Ketek, sebuah daerah kecil di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, diduga merupakan sumber dari harta karun VOC yang tak pernah terkuat. Sejak pertama kali ditambang pada tahun 1670, produksi emas Salido yang ditambang VOC sangat luar biasa banyaknya. Namun VOC hanya memiliki sebagian kecil dari produksi emas tersebut.
Dalam menjalankan operasi dagangnya, VOC dikendalikan oleh suatu badan hukum yang bernama Hereen Zeventeen. Dalam bahasa Indonesia, Hereen Zeventeen berarti ”Tujuh Belas Tuan-Tuan”, yang dimaksud disini adalah sebuah badan yang terdiri dari tujuh belas orang terhormat yang mewakili enam Kamers, yaitu Amsterdam, Middlebug, Delf, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen. Hereen Zeventeen berpusat di Amsterdam. Dan sesuai Octroi kerajaan, Gubenernur Jenderal VOC bertanggungjawab kepada Hereen Zeventeen. Itu yang berlaku secara de jure.

Pada fakta-nya, VOC tidak saklek bertanggunngjawab kepada Hereen Zeventeen, namun kongsi dagang ini dikuasai oleh Monsterverbond. Monsterverbond adalah kelompok rahasia yang mengendalikan VOC, semacam klendestin pada abad pertengahan. Kontrol Hereen Zeventeen terhadap VOC sangat lemah, padahal kekuasaan VOC sangat luar terbentang. Monsterverbond memiliki kekuatan dalam pengendalian kongsi dagang ini karena komplotan ini bisa dibilang sebagai sebuah persekutuan antar unsur-unsur yang menakutkan.

Monsterverbond dikomandoi oleh Cornelis Janszoon Speelman, pejabat Belanda yang ditugasi untuk menggempur Hasanuddin di Makasar. Dalam penyerangan itu, dia dibantu oleh dua orang pribumi , yaitu Arung Palakka dan Kapitan Jongker. Tiga orang inilah yang menjadi pemimpin terkemuka dari Monsterverbond. Ketiganya mengakhiri misi di Makasar dengan Perjanjian Bongaya pada 28 November 1667. Ketiga orang tersebut terrgabung dengan sebuah kondisi psikologis yang sama yaitu perasaan tersisih. Speelman adalah petinggi VOC yang tersisih dalam pergaulan karena pernah terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah putra mahkota Bugis dari kerajaan Bone yang menjadi tawanan kerajaan Makassar dan melarikan diri ke Batavia tahun 1660 dan diterima ikeh VOC. Kapitan Jonker adalah seorang panglima dari Pulau Manipa, Ambon. Dia tak pernah menguasai satu daerah di mana oranng mengakuinya sebagai daulat. Kemudian Jonker bergabung dengan VOC.

Monsterverbond inilah yang kemudian menerima harta karun VOC sebagai bayaran. Ketiga unsur kekuatan Monsterverbond ini memiliki andil yang sangat penting bagi VOC terkait penaklukan beberapa daerah di Indonesia, Barat-Timur-dan tengah. Speelman dengan penaklukan Hasanuddin. Arung Palakka dengan keberhasilannya menghapus pengaruh Aceh di pesisir barat Sumatra. Kapitan Jonker dengan keberhasilannya menangkap Trunojoyo. Mereka bertiga telah menaklukan nusantara dan mengantarkan VOC mencapai puncak kejayannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Untuk itulah VOC harus membayar mahal kepada Monsterverbond, bukan dalam bentuk barang tetapi hak monopoli emas. Salahsatunya yaitu monopoli penambangan emas di Salido Kretek, Sumatra Barat. Karena “kewajiban membayar” ini, terjadi manipulasi data-data kekayaan VOC, sampai akhirnya VOC dinyatakan bangkrut.

Sebuah uraian falta yang menarik dan Sangay menggairahkan kita untuk mengerti runut dramatika sejarah ekonomi kolonial. Sanjungan tak berlebihan diberikan lepada E.S Ito yang lihai mengemas kisah fakta ini dalam balutan drama penculikan, pembunuhan, dan persahabatan Kalek dan Batu - dua orang alumni Sekolah Menengah Taruna Nusantara. Tak ketinggalan juga drama keluarga yang menghadirkan tokoh-tokoh rekaan yang merupakan keturunan langsung dari beberapa pelaku sejarah yang semakin menguatkan kisah “Rahasia Meede” ini.

Walaupun dalam lembar biografi E.S Ito Sangay “pelit informasi”, dan mungkin itu sebagai refleksi kerendah hati-annya, tak ayal memang penyembunyian jatidiri-nya cukup bermanfaat untuk membuat pembaca tercengang-cengan dengan kisah novel ini. Mungkin akan berbeda kalau kemudian langsung mengetahui bahwa sang penulis juga adalah alumni sekolah militer Taruna Nusantara. Karena memang latar belakang persahabatan dua orang alumni sekolah TN ini menjadi hal yang unik dan dramatik menjadi salah satu bumbu dalam kisah ini dan juga di novel E.S Ito lainnya, Negara Kelima.

Beberapa hal menarik dalam novel ini juga mengenai sejarah beberapa lokasi di Jakarta. Sangat menyenangkan dan menegangkan mengikuti lika-liku terowongan rahasia yang berada dibawah jalanan ibu kota Jakarta. Membuat kita akan penasaran dan tertarik untuk mengetahui ihwal ibu kota Negara ini.

Pengemasan kisah yanng sungguh luar biasa cerdas. Tak seperti novel sejarah lain yang mungkin cenderung membosankan. Alur yang tak terduga dengan tokoh yang sangat banyak. Ya, mungkin banyaknya tokoh ini akan membuat sulit pembaca untuk mengetahui alur cerita sebenarnya. Mulai dengan group peneliti dari ketiga negara eropa, kemudian para pagawai ANRI yang ternyata memainkan peran cukup penting dalam drama ini, sampai seorang wartawan surat kabar. Tak luput juga tentang filosofi ajaran Gandhi dan juga teguhnya para pengagum Hatta. Ah, kisah ini benar-benar sangat kompleks. Dibandingkan dengan ”Negara Kelima” -novel E.S Ito mengenai kembalinya Nusantara- Rahasia Meede ini sangat kompleks. Pola cerita-nya sebenarnya hampir sama, ada kelompok muda radikal, fakta sejarah yang sedang diungkap, serta oknum penunggang yang memiliki kepentingan pribadi. Semuanya terjalin indah, dan sebenarnya E.S Ito sedang menceritakan fenomena-fenomena yang sedang terjadi di keseharian kita di bangsa ini. Antara benar dan salah menjadi semu, kabur, sudah menyatu dengan ego dan nafsu akan kekuasaan.

Sebagai sebuah buku sejarah, buku ini sangat menghibur, dan sebagai sebuah novel, buku ini sangat informatif dan mencerahkan. Bravo Es Ito!

Data Buku

Judul Buku: Rahasia Meede : Rahasia Harta Karun OC
Penulis: Es Ito
Penerbit: Hikmah, Mizan
Cetakan: ketiga, 2008
Isi: 675
ISBN:


*Sedang belajar menulis resensi yang menarik, mohon bimbingannya...^_^
Read more ...

SIDEKICK

Pada olahraga beladiri karate, dikenal adanya gerakan tendangan samping, tapi istilahnya bukan sidekick. Dalam karate kita menyebut sidekick sebagai yoko geri. Tapi, sidekick yang dibicarakan disini bukan mengenai olahraga. Tetapi mengenai “partner” yang kadang kita ambigĂș juga untuk memaknainya, apakah sebagai partner atau sebagai “batu loncatan”.

Dalam film-film superhero, kita mengenal banyak tokoh sidekick, kayak Batman and Robin, Sam dan Frodo Baggins, Gabrielle dan Xena (warrior princess). Kenapa sih sang jagoan harus punya partner? Apakah memang untuk membantu atau seperti kisah persahabatan yang tulus dan Kadang membuat termehek-mehek?

Ternyata tidak sekedar seperti itu, seorang tokoh ternyata membutuhkan “partner” untuk menguatkan karakter ”super”nya. Ternyata kadang kita membutuhkan pembanding untuk menguatkan karakter kekuatan kita. Orang yang kaya berteman dengan yang miskin, bukan sekedar untuk saling berbagi, tetapi untuk menguatkan bahwa ini lho yang kaya, soalnya ada pembanding miskin-nya. Anak yang pintar berduet dengan yang bodoh untuk mempertahankan identifikasi pintar-nya itu. Kalau berteman pada yang sama-sama pintar, nanti keduanya akan kompetitif, dan yang satu pasti akan terlihat lebih pintar dibanding yang lain. Karena ketika ada dua hal, maka kita akan cenderung untuk membandingkan. Dalam bahasa sederhana-nya, identifikasi seseorang itu tergantung pembandingnya, dan pembanding itu jelas yang se-tipe. Maka terkadang ada orang yang butuh partner untuk menguatkan karakter-nya. Ini yang kemudian disebut ”sidekick”.


So, apa yang ingin diungkapkan disini. Keriuhan di salah satu group di jejaring sosial facebook, cukup membawa saya untuk mengasosiasikan tema ini kesana. Ya, tak terbantah jika muncul sebuah praduga bahwa antara HMI MPO dan Dipo adalah hubungan seorang superhero dan sidekick-nya. Posisi itu bisa dibolak-balik, tentunya. Walaupun saya kebetulan kader dari kategori MPO, tidak bisa juga mengklaim bahwa adanya Dipo itu adalah side-kick kita. Posisi peran itu terserah dikembalikan kepada teman-teman saja.

Kenapa saya mengasosiasikan sidekick pada dualisme HMI ini? Ya, alasan simple-nya , karena ternyata mereka sampai detik ini juga masih ngotot untuk sama-sama menjadi HMI. Dengan kata lain, sebenarnya dualisme ini juga dimanfaatkan oleh kepentingan masing-masing kelompok. Kalau kemudian orang yang mengusung ide rekonsiliasi dianggap memiliki ”kepentingan tertentu”, gak salah donk kalau ada tanggapan yang serupa bahwa orang yang kekeuh dengan dualisme ini juga punya ”kepentingan”. Toh, sebenarnya masalah motif ini bisa berbeda-beda masing-masing personal.

Back to ”sidekick”. Keberadaan MPO bagi Dipo, dan juga sebaliknya, memang terkadang dijadikan untuk memperkuat karakter masing-masing yanng secara tidak langsung juga untuk semakin menguatkan karakter minus-nya sang sidekick. MPO akan selalu ”bahagia” jika tetap ada Dipo, karena itu akan memperkuat karakter MPO sebagai ”penyelamat organisasi” dengan latar historis mengenai kasus asas tunggal. Sebaliknya juga bisa, Dipo akan selalu ”bahagia” jika tetap ada ”MPO” karena itu akan memperkuat karakter Dipo sebagai organisasi yang original dari awal berdirinya HMI di tahun 1947. Sejarah tidak akan berpihak kepada siapa-siapa, semua akan tergantung pada penafsiran subyektif masing-masing penafsir. Menyalahkan sejarah atau bahkan menjadikan sejarah sebagai kambing hitam? Itu tindakan yang teramat bodoh. Keinginan bersatu atau tetap berpecah saya fikir tidak bijak dengan menjadikan ”menghargai sejarah” sebagai alasan. Itu hanya penutup ego bahwa masing-masing ingin mempertahankan sidekick-nya. Alasan ””menghargai sejarah” mengingatkan saya kepada satu kisah tentang sekelompok anak muda yang menginginkan terbentuknya negara kelima, mengembalikan kejayaan nusantara ,dengan menjadikan mereka sebagai para pembuka (Novel Negara Kelima). Atau juga seperti dalam novel ”Rahasia Meede”, masih sama milik-nya E.S Ito, tentang harta karun VOC. Semua tokoh-tokoh itu memiliki niat suci untuk menghargai sejarah, namun tetap ada pihak ketiga yang memanfaatkan niat suci itu, akhirnya semua menjadi semu. Mungkin sama dengan teman-teman yang menganggap bahwa ide bersatunya HMI adalah sebuah ”pengkhianatan sejarah”, yang menjadi pertanyaan besar adalah ”di bagian mana hal itu terjadi?”. Kalau mau ngomong ”pengkhianatan perjuangan”, kenapa tidak melihat kepada perkembangan perkaderan yang semakin kesini semakin menurun? Itu pengkhianatan besar-besaran lho, ketika kita ternyata masih ”melek” melihat bahwa kader-kader HMI itu ternyata tidak jauh berbeda gaya pergaulannya dengan anak-anak muda yang bukan kader. Lalu, kenapa ”sejarah” hanya disempitkan pada simbol perpecahan HMI saat adanya konflik mengenai astung? Toh, semua ini adalah fase-fase dinamika HMI yang harus dilewati. Saya fikir HMI telah melewati banyak fase, yang kemudian menjadikan organiasai ini fleksibel dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan bangsa dan negara. Tentunya berbeda kan HMI pada masa-masa pasca kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan sekarang kita memiliki ”masa yang baru dan berbeda lagi”. Package-nya yang berbeda, esensi-nya sma sebagai ”Himpunan Mahasiswa Islam”. Jadi, ketika kita mengatakan ”bersatunya HMI adalah sebuah kebutuhan”, kenapa harus dibilang tidak menghargai sejarah seolah-olah kita melakukan semacam ”bid’ah” yang sudah melenceng dari esensi HMI itu sendiri, lama-lama HMI jadi agama baru dan Lafran Pane jadi Nabi-nya donk???? Ups, maaf-maaf, jadi melantur kemana-mana.

Back to sidekick. Ya, sampai kapan kita akan mempertahankan pola hubungan sidekick, toh ketika ada seusatu yang negatif, maka yang mengalami kerugian adalah keduanya. Pola hubungan sidekick ini hanya akan menjadikan masing-masing pihak kehilangan karakternya, memanfaatkan jurang perbedaan untuk masing-masing kepentingan ego-nya.

Kalau kata seorang teman baik saya, hikmah dari uraian sidekick pada contoh-contoh yang terjadi pada superhero, kita nggak perlu kok mencari sidekick hanya untuk mendongkrak karakter kita. Be your self saja. Kalau memang kita ”beda”, tegaskan perbedaan itu dengan menjadi diri sendiri, tidak dengan mempertahankan perbedaan yang semu dengan menjadikan pihak lain sebagai ”sidekick”. Kalau memang tidak bisa bersatu, maka tegaskan perbedaan itu, jadilah hal yang beda, bukan HMI. Kalau memang masing-masing adalah HMI, jangan jadikan pihak lain sebagai sidekick, dan sudahi dualisme ini. Masyarakat Indonesia butuh dikembalikan kepercayaannya pada teman-teman aktivis gerakan mahasiswa, khususnya mahasiswa Islam. Bagaimana masyarakat mau percaya bahwa kita bisa membawa kemajuan umat, kalau masalah dualisme ini tak pernah kunjung diselesaikan. Ketika ada demo yang salah satu-nya rusuh, kemudian pihak lain merasa ”gak fair” dan dijatuhkan nama-nya sebagai sama-sama HMI. Karena masyarakat gak pernah tahu, kenapa harus ada MPO dan Dipo. Sejarah dipelajari untuk menjadikan kita bijak, bukan menjadi egois, mungkin itu cukup menjadi kalimat yang menyudahi tulisan ini karena saya haru menyelesaikan agenda yang lain...hohoho.



*thanx to kak Irvan Setya, udah menginspirasi dengan kisah sidekick masa muda-nya.
* ditulis saat menjelang senja, Tegal, 2011.
Read more ...

Sensasi ber-HMI untuk Cinta yang bervisi

Persamaan menghasilkan rasa saling menyukai; Perbedaan menghasilkan rasa saling membutuhkan”


Perbedaan adalah suatu hal yang indah. Tak salah juga kalau disebut sebagai rahmat /anugerah. Walaupun tak banyak yang kemudian bisa membuat sebuah perbedaan menjadi hal yang indah dan rahmat bagi seluruh alam.

Kenapa orang bisa merasakan perbedaan atau merasa berbeda? Apakah memang orang itu diciptakan ada yang bodoh dan ada yang pintar sehingga mereka punya perbedaan pandangan? Tentunya tidak , bukan. Secara kapasitas, kita memiliki kesempatan yang sama yang diberikan oleh Allah SWT, perbedaan hanyalah masalah teknis.

Sensasi => Persepsi => Kesadaran

Saya sebenarnya terinspirasi dari sebuah diskusi ringan mengenai ”cinta” yang kemudian kadar cinta tiap orang dipengaruhi oleh sensasi , persepsi yang membentuk kesadaran. Makanya kadang kita bertanya ” kok si A mau sih jadi suami-nya si B?” atau ”kenapa si C nolak jadi pacarnya si D, padahal D itu kan perfect banget”.

Setiap orang mengalami alur sensasi yang jka ditarik garis, maka masing-masin dari kita memiliki garis yang berbeda. Sensasi bersifat empiris. Orang yang pernah mengalami kecelakaan motor memiliki sensai yang berbeda dengan orang yang setiap harinya menggunakan angkutan umum. Masing-masing sensasi ini akan membentuk sebuah persepsi.

Proses pengorganisasian berbagai sensasi inilah yang disebut sebagai persespsi di mana sensasi merupakan bagian dari persepsi. Persepsi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman yang kita peroleh melalui sensasi.

Proses dialektika berbagai macam persepsi ini akan membentuk sebuah kesadaran. Kesadaran (biasanya kitya menyebutnya sebagai sebuah ”kebenaran) memiliki sebuah ke-inkonsistensi-an yang luar biasa. Siapa yang bisa menjamin bahwa orang yang kita anggap ”jelek” saat ini ternyata bisa membuat kita terkagum-kagum di kemudian hari. Sama seperti kasus bahwa dahulu saat pertama kaliya menara Eiffel diprospek di Paris, banyak sekali orang yang mengutuk bangunan megah tersebut, tapi sekarang ? well, siapa yang bisa membayangkan Paris tanpa Eiffel?

Gagasan ”HMI Bersatu” mungkin dulu (atau sampai sekarang) masih ada yang menganggapnya ”tabu” atau bahkan ada yang mengharamkan ?! Namun siapa yang tahu bahwa generasi beberapa puluh tahun kedepan tidak bisa ”habis fikir” kenapa harus ada embel-embel MPO dan Dipo.

Dulu, sebuah naskah yang bernama ”khittah perjuangan” adalah proses diskusi para kakanda-ayunda yang mungkin sambil diselingi makan kacang, maen kartu (hal yang sebenarnya tidak saya suka di temen2temen HMI, tapi ini sebatas subjektifitas saya saja). Siapa sangka , naskah tersebut kemudian menjadi salah satu rujukan ketika kita akan mengambil kebijakan-kebijakan di organisasi yang kita cintai ini? Bahkan pak Nuskhi (sekjen MPO pertama) pernah bilang ” Itu Khittah adalah rumusan yang harusnya dikembangkan lagi, tapi nyatanya mandeg tidak dikembangkan”. Kemudian dari kita ada yang menyalahkan bahwa ”mensakralkan khittah”, tidak merujuk pada Al-Quran, atau ada juga yang berpendapat bahwa KP itu ”tidak relevan”. Guys, apakah KP itu relevan, sakral, potensial atau kinetis, itu semua ada di tangan kita, come on!!

Saat ini, kalau teman-teman di HMI (MPO) mungkin terlihat lebih kuat mempertahankan untuk tidak bergabung jadi satu, itu wajar. Sensasi yang dimiliki MPO berbeda dengan sensasi yang dijalani oleh Dipo. MPO melewati perjalanan sejarah yang memiliki banyak sensasi menggetarkan yang membuat kelompok ini tidak mudah untuk menerima ajakan bersatu. Berbeda lagi dengan sensasinya Dipo. Sejak perpecahan, Dipo belum pernah mengalami sensasi untuk memulai semuanya dari nol. Bayangkan MPO dengan sensasi merintis dari hanya beberapa gelintir cabang, kemudian hingga sebesar sekarang. Namun kita juga perlu memaklumi Dipo dengan sensasi-sensasi yang dilaluinya kemudian membentuk persepsi yang berbeda.

Jadi, sedikit bersikap bijak lah dengan mengurangi ”prasangka negatif” pada sikap masing-masing kelompok terhadap isu ini. Kalau MPO belum ingin bersatu bukan karena ia ”ngeyel” atau sok suci, dan juga sebalikna ketika DIPO ingin ngotot bersatu, itu juga bukan semata-mata karena ”kepentingan sesaat”.

Nah, kembali kepada sensasi. Kita juga harus memahami bahwa sensasi yang dirasakan oleh para senior kita terdahulu, berbeda dnegan sensasi-sensasi yang dirasakan kader saat ini, dan juga akan berbeda dengan sensasi yang akan dialami oleh para calon kader di masa mendatang. HMI adalah kumpulan para pemikir besar yang telahir karena llompatan berpikir jauh kedepan. Kalau saat ini, ada yang bilang bahwa ”tanpa bersatu juga kita tidak masalah”, atau ada yang berpendapat ”Bergerak di kelompok masing-masing itu sudah cukup, yang penting amar ma’ruf nahi munkar”. Hei, kita tidak bicara apakah saat in kita bisa bernafas atau tidak, tapi kita bicara tentang kondisi gerakan mahasiswa Islam, 5-10 atau 50 tahun kedepan. Melihat kenyataan saat ini saja, animo terhadap pergerakan mahasiswa Islam semakin berkurang (maaf untuk saat ini saya belum sempat menyertakan data statistik-nya). Membuat organisasi sekarang semudah makan kacang goreng, yang penting ada orang, pendukung, tempat ngumpul, jadi deh. Lama kelamaan , kita semua akan terpecah menjadi koloni-koloni kecil yang tak bisa lagi memahami ”perjuangan” secara luas. Beberapa fakta menunjukan kita kadang salahkaprah memahami makna ”independensi”, atau ”totalitas dakwah”. Bahkan makna ”ukhuwah” saja kini semakin sempt karena semakin banyaknya kelompok-kelompok yang muncul. Sama halnya dengan euforia timnas saat piala AFF kemarin, kita dibius dengan pemahaman nasionalisme sempit yang dibentuk oleh batas-batas negara saja.

So, saat ini jika kita memang benar-benar bersatu, tugas kita adalah menciptakan sensasi-sensasi yang membuat kita semakin rindu dan menciptakan persepsi baru mengenai bersatunya HMI yang kita cintai ini. Ini bukan hal yang mudah, memang. Kita butuh banyak sensasi untuk bisa membuat kader-kader kedua HMI ini bukan sekedar saling menyukai namun juga saling membutuhkan.


Saat ini kalo memang mencintai HMI, carilah substansi cinta itu, temukan sensasi, persepsi, dan akhirnya pemahaman terhadap kesadaran seperti apa yang ingin dibangun, cinta seperti apa yang kalian butuhkan. Karena cinta itu produk masa kini dan masa depan, kita harus bervisi bersama cinta itu, jangan hanya jadikan ia pajangan semu tanpa adanya kepastian mau dibawa kemana.

Kalau kita cinta HMI, jadikan cinta yang bervisi, bukan sebatas hal-hal yang bersifat heroik atau romantisme belaka. Jadikan cinta kita bukan seperti muda-mudi yang dimabuk asmara, tapi cinta yang dewasa layaknya pasangan suami-istri yang memiliki pandangan cinta kedepan untuk kelangsungan masa depan anak-anaknya.

Yakinlah, HMI ini bukan sebatas urusan dari konferca ke konferca berikutnya, dari kongres ke kongres berikutnya, come on!! ^_^

Tulisan sederhana ini sebatas kontemplasi awal sebelum melangkah pada hal-hal teknis yang konkret.




*trimakasih utnuk sahabat saya , riri (fim 9) yang dulu sempat mengungkapkan bahasan ini (tentunya dengan kasus yang berbeda dan lebih “romantic”).
Read more ...