Pages

Friday, November 06, 2009

Selamatkan Kepercayaan Masyarakat


Dimuat di rubrik akademia KOMPAS JATENG, 6 November 2009.
Bisa diliat juga di www.ntacaholic.co.cc

Pemberantasan korupsi erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat yang berefek pada tingkat
kejahatan/kriminaltas di tengah masyarakat. Bahwa ketika korupsi meningkat, angka kejahatan
yang terjadi meningkat pula ( Global Corruption Report, 2005). Sebaliknya ketika korupsi berhasil
dikurangi, kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum bertambah. Kepercataan yang
membaik dan dukungan masyarakat membuat penegakan hukum menjadi efektif. Penegakan hukum yang efektif dapat mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi.

Apa yang sedang terjadi sekarang, adalah kepercayaan masyarakat kini sedang terombang-ambing. Dalam proses [erjlananan, KPK sebagai salah satu institusi hukum dalam pemmberantasan tindakk pidana korupsi, berbenturan dengan sesama penegak hukum, yaitu kepolisian Republik Indonesia
(POLRI). Adegan ini seolah menjadi fragmen sensasional di hadapan ratusan juta masyarakat Indonesia. Saling berargumen, mempertahankan kebenaran posisi lembaga masing-masing. Lepas dari masalah kontroversi penahanan dua pimpinan KPK, kemelut yang sedang terjadi sebenarnya merupakan perwujudan dari semangat setiap unsur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dan tekad untuk memberantas korupsi. Polisi sebagai aparat mencoba melakukan tanggung jawabnya dengan optimal dan KPK pun sebagai komisi khusus juga bersikeras mempertahankan sebuah idealisme dalam menjalankan tugas-tugas mulianya.

Sebenarnya semangat ini adalah sebuah aset positif dalam misi bersama kita untuk memberantas korupsi. Penanganan korupsi butuh semangat yang besar seperti ini karena memang korupsi adalah kasus kriminal yang luar biasa. Penanganan korupsi tidak cukup hanya melalui mekanisme hukum konvensional. Krupsi adalah kejahatan dengan kategori yang tidak biasa. Seperti diputuskan dalam kongres PBB tahun 1980 mengenai The Prevertion of crime and The Treatment of Offenders, dunia
mengecam dan memasukan korupsi dalam kategori extraordibnary crims (kejahatan luar biasa) yang menyangkut kejahatan terhadap kesejahteraan sosial (crime againts social welfare) , kejahatan terhadap pembangunan crime againts development), dan kejahatan terhadap kualitas lingkungan hidup (crime againts the quality of life). Di dalamnya korupsi diakui dan diidentifikasi sebagai tindak pidana yang sulit dijangkau hukum offences beyond the reach the law) .

Tingkat stadium penyakit korupsi yang tinggi ini menuntut sebuah konsekuensi adanya keseriusan
dan strategi pemberantasan korupsi yang tepat. Hal ini juga menjadi reminder bahwa dalam
melakukan pemberantasan tipikor, perlu ada kerjasama dan pengorganisasian gerakan yang baik.
Seperti dikatakan oleh Sayyidina Ali ra bahwa "Kejahatan yang terorganisir dapat megalahkan
kebenaran yang tidak terorganisir." Terjadinya kemelut ini merupakan akibat kurang
terorganisirnya misi dalam pemberantasan korupsi di negara ini. Hal yang menjadi kekhawatiran
adalah perlu diingat bahwa kemelut yang terjadi diantara penegak hukum memiliki efek yang
sangat luas, Selain berakibat terganggunya sistematika pemberantasan korupsi, kemelut ini telah
berpengaruh pada kepercayaan masyarakat. Hal ini diperkuat lagi oleh aktor media yang dalam
fungsinya untuk menyuguhkan realita kepada masyarakat.

Apapun yang menjadi akar masalah kemelut ini, baik itu politik, hukum, ekonomi, atau yang
lainnya, harapannya masyarakat jangan sampai hancur kepercayaannya pada aparat. Sungguh miris
melihatn masayarakat terbentuk kelompok-kelompok, ada yang membenci POLRI atau sebaliknya.
Masyarakat jangan menjadi korban untuk diarahkan dalam membentuk koloni-koloni yang hanya
akan menimbulkan perpecahan juga. Penyelesaian kemelut KPK-POLRI secara bijak harus segera
diwujudkan untuk menyelematkan kepercayaan masyarakat.

Shinta arDjahrie
Mahasiswi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Read more ...
Thursday, November 05, 2009

Cewek Mandiri : Bukan Harus tapi BUTUH!!!




Mungkin kalo disurvey, alasan para koruptor itu melakukan “kenakalan”, selain factor keserakahan juga factor keinginan membahagiakan keluarga. Mungkin mulia banget ya seorang kepala keluarga pengen memberikan kebahagiaan duniawi pada keluarganya kemudian melakukan berbagai hal! Alasan pragmatis dari tindakan korupsi adalah “yang penting anak-istri saya bisa makan”.

Kenapa kemudian istri menjadi alasan dari sebuah tindakan yang dilarang??? Mungkin memang kecenderungan superioritas laki-laki untuk memenuhi keinginan pasangan hidupnya. Tapi, laki-laki bukan superior dan perempuan bukan inferior toh??? Ya, seorang suami memang punya kewajiban untuk menafkahi keluarganya, tapi bukan berarti sebuah ketergantungan materi seorang perempuan pada laki-laki. Makanya cewek juga butuh kemandirian!!!! Lagipula , kewajiban menafkahi tidak bisa dipersempit maknanya dengan nafkah materi saja. Kepala keluarga tentunya beda dengan bagian keuangan. Analoginya : ketua panitia beda dengan divisi usaha dana. Presiden tentunya beda dengan menteri keuangan. Kepala keluarga dengan tanggungjawabnya untuk menafkahi bukan berarti akan hilang tanggungjawabnya saat ia tak bisa memberikan nafkah materi. Tetap laki-laki adalah seorang kepala keluarga walaupun gaji-nya kecil atau bahkan pengangguran. Sama saja kondisinya dengan, seorang ketua panitia tetap sebagai ketua panitia walaupun ia tak bisa mendapatkan dana kegiatan, karena itu adalah bagian divisi usaha dana.

Saya membayangkan, berapa banyak laki-laki yang terpaksa menjadi korupsi dengan alasan pragmatis untuk memberikan kebahagiaan pada keluarganya. Atau saya membayangkan, bagaimana kekuatan semangat para istri-istri mandiri yang memberikan support kepada para suaminya dan meyakinkan bahwa kita akan tetap bahagia walaupun tanpa limpahan harta. KPK itu mungkin sulit sekali melakukan aksi-aksi pemberantasan dan pencegahan korupsi, tapi para istri-istri/suami-suami koruptor dengan kekuatan cinta yang luar biasa, bisa meyakinkan pasangannya masing-masing bahwa mahligai yang mereka bangun tidak pernah terukur dengan materi apapun, jadi jangan pernah sampai tergoda untuk korupsi. Iya nggak sieh??? Karena kita (perempuan) tidak akan menjadi lemah hanya gara-gara suami tak punya uang banyak. Iya nggak sieh???he3

Itulah yang kemudian kita bisa membangun umat melalui pembenahan keluarga. Isnt it??? Jadi sebagai cewek, istri dan calon istri, MANDIRI itu mungkin NGGAK HARUS tapi BUTUH!!!!!!! Kita butu untuk kemandirian, supaya tidak terbawa pada pragmatisme. Mandiri akan membawa kita pada kepercayaan diri supaya bisa berdiri diatas kaki sendiri, membuat kita tak goyah walaupun banyak godaan. Ayo, mulai dari keluarga kita sendiri!!!!

Teriring rindu untuk keluarga,adik2 dan kakakqu, aq bersyukur mendapat lingkungan pembelajaran yang membuatku terus belajar. Luv u all coz Allah!!!!
05november2009, pagi2. Ngapain nulis tentang ini ya???? Sialan…akhir-akhir intensitas teman-teman yang curhat tentang “jodoh” semakin banyak!!!!. Ya Allah jodohkanlah aku dengan para mukhlisin, dan bukan dengan koruptor…amien!! ^_^he3…

Read more ...

Nyontek : Dari Kenakalan hingga Pragmatisme!!!!



“ Tidak mencontek memang tidak menjamin jawaban kita benar , tetapi setidaknya kita telah berproses dengan benar”

Akhirnya dua pekan masa UTS , hampir sampai di penghujung. Kalau mengingat ujian-ujian yang kemaren, huffh….. Ternyata, masih jaman ya pada contek-contekan. Di setiap ujian, nggak usah nunggu lama, dalam waktu beberapa menit saja, kasak-kusuk itu sudah mulai terasakan. Banyak tingkahnya, dari mulai angkat alis, lirk kanan-kiri, sampai balikan badan ke belakang. Hemh…, agak dongkol seeh ketika temen yang duduk di sebelah dengan santainya menjulurkan kepalanya untuk melihat jawaban-jawaban ujian qta. Dulu waktu semester awal, ada temen sekelas yang nyebelin banget, dia itu orang yang selalu mencemooh aku ketika aku banyak bolos dan aktivitas di luar, tapi ketika ujian, dan dia duduk di belakangku, dengan seenaknya dia bilang : “kamu tuh keren banget lho sin, genius abiz!!kamu baek banget, bla…bla….bla….” DAMN!!!!! Dia bilang gitu cuma karena mo nyontek jawaban ujian. Aq bales aja : “ Iya, memang…dan kamu cupu abiz karena udah males, bego, nyontek lagi!!!!”.hahahay….

Yeah….aq nulis kayak gini juga bukan karena aku sama sekali nggak pernah nyontek. Jujur aja, aq juga dulu pernah nyontek,khususnya saat SMP. Waktu lagi “lucu-lucu”nya…he3… alias saat-saat itu adalah masa ketika lagi bandel-bandelnya. Sebagai seorang remaja yang menginjak masa puber, yang membutuhkan eksistensi, sosok diriku saat itu adalah petualang yang gemar akan tantangan , termasuk tantangan mencontek….he3.
Waktu itu aku menepis alasan nyontek adalah karena tidak percaya diri. Hemh….bisa dikatakan aku sudah cukup percaya diri untuk mengerjakan soal-soal ujian. Karena saking percaya diri itulah, yang muncul adalah m”mencari tantangan” saat ujian. Dalam benakku saat itu kayaknya keren banget deh bisa lolos dari pengawas yang galak, bisa masuk ruang ujian dengan membawa buku atau kertas contekan, dan nggak ketahuan!!! Wah…seru abiz!!!!! Dulu aq nggak tanggung-tanggung kalo mo nyontek, nggak pake nulis di kertas-kertas kecil, tapi langsung nyontek dari buku. Dalam pikiranku, ngapain juga bikin contekan, bagiku ketika menulis sesuatu otomatis kita akan menghafal apa yang qta tulis, jadi ya sama aja nggak nyontek. Kalau mo nyontek, langsung aja nyontek ke sumber terpercaya yaitu buku.he3. Lucunya, waktu itu saya nyonteknya sambil mikir, apalagi kalo matematika,contekan dari buku kan teori dan rumus-rumusnya aja. Jadi mungkin lebih tepat disebut ujian open book daripada nyontek.he3.

Suatu saat, aq pernah ketauan nyontek. Waktu itu mata pelajaran Sejarah, gurunya judes , aku juga males untuk menghafalkan banyak tahun-tahun dan peristiwa sejarah. Seperti biasa, ide-ku adalah menyiapkan buku paket Sejatrah di laci meja. Ketika ujian berlangsung, aku langsung beraksi, tangan kanan diatas meja, tangan kini gerayangan di laci meja.he3. Ternyata gerak-gerikkku diawasi dari awal oleh sang ibu guru. Malang tak dapat ditolak, aku ketahuan, buku paketku diambil. Walhasil aku melanjutkan mengerjakan ujian tanpa melihat buku. Ketika di akhir ujian, sang ibu guru menghampiriku dan melihat kertas jawaban, beliau bilang : “ Nah, ini bisa tanpa nyontek, ngapain kamu nyontek nduk?!”. Aku Cuma cengar-cengir dengan membayangkan di kantin nanti aku bakal diketawain abis-abisan (waktu SMP, temenku preman-preman semua, kita biasa naik jendela untuk bolos ke kantin…ha3). Tapi, aku jadi mikir juga : “ iya yach…ngapain juga nyontek??? Sebenarnya aq bisa kok!!”.

Tapi memang, saat itu motivasi nyontek tak lebih dari sebuah kenakalan masa remaja saja. Rasa deg-degan saat diam-diam membawa contekan, lega saat nggak ketahuan, itu ada rasa bangga yang menyelip, walaupun kebanggan yang semu. Yang namanya anak-anak kan pengen tampil hebat. Ya, itulah aku dan pengalaman nyontek saat masa-masa sekolah. Sebuah perasaan ingin mencoba tantangan. Sama aja kayak contoh begini : kalo kita pagi-pagi berangkat sekolah sebelum jam tujuh lewat gerbang depan, itu biasa sekali! Tapi ketika kita bisa berangkat sekolah pake manjat pagar, itu luar biasa!!hahahaha. Seru abiz deh pokoknya masa-masa sekolah dulu. Tapi, sedikit membela diri, semasa SMP-SMA saya lebih banyak dicontekin daripada nyontek lho!!!ha3 (tapi dosanya sama aja kok!!! Dijerat pada pasal kejahatan berencana juga tuh!!!:p ).
Tapi, sekali lagi itu hanya bentuk kenakalan saja. Saya fikir wajar aja kalo sekali-kali anak-anak ingin berkreasi dengan berangkat sekolah lewat pintu belakang. Tinggal control dari kenakalan itu khususnya dari keluarga yang menuntun kita (anak-anak) pada sisi kedewasaan. Walaupun saya ungkapkan disini pengakuan mencontek saat remaja, bukan berarti membenarkan nyontek lho ya!!!! Tetep aja, saya ya salah waktu itu!!!aku akui itu!!! Harusnya semangat kenakalan itu bisa disalurkan kepada hal positif lainnya. Jadi, mungkin kisah kenakalan ini sebatas untuk dikisahkan dan diambil hikmahnya aja, bukan ditiru…he3

Kembali kepada masalah nyontek. Kegandrungan pada segala bentuk nyontek itupun lambat laun pudar seiring bertambahnya usia (halah!!tua banget ya daku???!!he3). Ya, karena ketika kita dewasa, kita bukan hanya bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, tapi dewasa juga bisa membedakan mana yang pantas dan tidak pantas. Makanya, kalo orang-orang dewasa masih “nakal”, itu tanda bahwa mereka masa kecilnya kurang bahagia….he3. Iya donk!!!! Kalo anak Abege yang cowok sekali-kali nakal ngelirik cewek seksi mungkin itu wajar sebagai sebuah bentuk kenakalan anak, tapi kalo udah mahasiswa dan “dewasa” masih nakal dengan ngegombalin cewek-cewek, berarti dia ada masalah dengan “proses pertumbuhan”, perlu diperiksakan tuh ke dokter, mungkin makanannya kurang asupan gizi jadi hormonnya nggak berkembang.he3. Selain asupan fisik juga asupan rohani. Jadi , untuk pertumbuhan yang ideal, bukan hanya gizi untuk fisik tapi juga gizi untuk ruhani kita, jadi kita bisa dewasa lahir batin.

Nah, kembali lagi ke nyontek, malu juga kalo ngliat mahasiswa-mahasiswa pada nyontek. Saya melihat alasan kenakalan mahasiswa ini lebih kepada pragmatisme saja. Bagi mereka mungkin yang penting ujian kelar, lembar jawab nggak kosong, dapet nilai bagus, IP cukup,nggak peduli itu didapat dari mana. Jujur aja, di lingkungan kampus ku banyak yang seperti itu. Semua serba pragmatis. Apapun caranya, yang pasti tujuan bisa tercapai. Sama aja kayak dosen juga yang bilang “saya nggak mau tahu, yang pasti saya udah ngajar 14kali pertemuan dalam satu semester, tugas saya sudah selesai!!!”. Arrgh….kadang saya bingung dan sedih kalo ngliat seperti itu. Jadi, yang penting nilai ujian bagus, masalah prosesnya benar atau salah itu urusan nanti. Ah…guys, hidup ini cuma sekali masa cuma diiisi tujuan-tujuan pendek seperti itu.

Mungkin kita jadi nggak heran kalo melihat para aparatur Negara berlomba-lomba untuk korup. Saling bahu membahu membela rekan-rekannya yang koruptor, karena memang mereka sudah terbiasa untuk “bekerjasama”, yang penting kantong kita nggak kosong, yang penting dapur bisa ngebul, yang penting anak-istri bisa makan kenyang. Sebatas itukah???? Argh…karena semua memang bermula dari ruang kelas. Semua bermula dari cara kita belajar. Jadi, buat teman-teman semua. Kita nggak harus selalu aksi demonstrasi untuk mencegah korupsi. Ayo, mulai dari kita sendiri!!!! Nyontek??amit-amit deh!!!! ^_^
(nta)

Tema ini dibahas juga pada siaran 5 november 09, di ruang siar yang “sejuk”he3. Setelah beberapa hari absen siaran karena UTS, seneng banget dapetbanyak atensi dari para sobat yang mengungkapkan kerinduannya.he3. Miss u all!!! Luv u all coz Allah!!! ^_^. *seneng banget pagi ini obrolannya seru*. Ini yang selalu membuat aku betah berlama-lama siaran sambil nulis!!! thanx banget bwt semua yang udah share n ngebuat pagi ini rame euy!!!
Read more ...
Monday, October 19, 2009

Selembar Kain Sang Putri



Perhelatan putri Indonesia 2009 telah berlangsung semarak pekan lalu. Sebuah program tahunan yang bertujuan untuk mencari duta-duta bangsa yang diharapkan menunjukan sebuah kesempurnaan perempuan yang diibaratkan seperti seorang “Putri”. Dengan mewakili setiap daerah di Indonesia, para kontestan Putri Indonesia berlaga di “panggung kerajaan”.

Tahun ini, putri dari daerah paling barat Indonesia berhasil meraih predikat sebagai “Putri Indonesia 2009”. Ada yang membuatqu cukup terhenyak ketika mendengar statement dari sang Putri, bahwa dia menanggalkan jilbabnya untuk mengikuti kontes itu. Adalah seorang Qory- putri kelahiran Jakarta 18 tahun yang lalu dan besar di Nanggroe Aceh Darussalam, yang kini bertahtakan mahkota putri Indonesia itu. Mungkin merasa terbayar dengan kemenangannya sebagai putri Indonesia, sang putri dengan bangga menyatakan bahwa dia melepas jilbab karena rambutnya Indah dan sesuatu yang indah itu tak perlu ditutup-tutupi. Rupanya bagi sang putri kita ini, kerudung hanyalah selembar kain yang hanya akan menutupi keindahan yang dianugerahkan oleh Tuhan.

Hemh…, kalau kita berfikir, memang bagian mana sih dari tubuh kita yang tidak indah??? Dari ujung rambut hingga ujung kaki, semua diciptakanNya dengan sebaik-baiknya bentuk. Sampe lubang hidung yang mungkin Cuma berisi upil-upilkita yang bau (he3), itu juga punya nilai keindahan tersendiri. Kemudian bagaimana kita memaknai keindahan dan fungsi pakaian itu???

Keindahan adalah sebuah anugerah dan nikmat dari Tuhan. Namun apakah keindahan itu untuk dipamerkan dan diperlihatkan? Keindahan adalah sebuah hal yang kita diberi tanggungjawab untuk menjaganya. Tidak semua keindahan bersifat common dan bisa dinikmati oleh semua orang. Kemudian apa fungsi pakaian???

Fungsi dasar dari pakaian adalah kebutuhan kita,bahwa manusia memliki privasi (aurat) dan rasa malu yang harus dilindungi. Sama saja dengan fungsi bank yang melindungi harta kita dengan menyimpannya disana. Tubuh juga adalah harta kita yang harus dijaga dan dilindungi dengan sebaik-baiknya. Kita punya uang saja ditaro di dompet, masa kita punya aurat nggak disimpen di pakaian sieh?

Kalau menurut pendapat temanku, kontes Putri Indonesia dan Putri-putri lainnya memang sebatas kontes kecantikan, tidak lebih dari itu. Objek yang dinilai hanyalah kecantikan, bukan lagi kecerdasan, apalagi kepribadian.

Ya, sekali lagi ini hanyalah salah satu bentuk dari bisnis sex. Putri Indonesia adalah program yang melibatkan berbagai macam sponsor kecantikan dan kewanitaan yang nilai rupiahnya cukup menggiurkan.

Sebatas membawa nama”Indonesia” dalam embel-embelnya ,karena dia lahir di Indonesia, silahkan saja… Tapi jangan anggap bahwa kau mewakili perempuan-perempuan Indonesia, karena perempuan Indonesia tidak sedangkal itu memaknai keindahan dan pakaian.
Read more ...

Rumah Bordil Masuk TV!!!



“ ampun deh, gak siang gak malem…yang ditonton gituan mulu! Ganti ah!” walaupun dengan resiko mendapat keluhan dari adhe2 kos, tapi dengan tega kukuasai remote untuk mengendalikan acara televisi malam itu. Agak kesal senja itu melihat suasana di ruang tengah. Sebuah kotak ajaib yang menjadi pusat perhatian menayangkan sebuah tontonan.

“ Ya elah mbak, sirik banget, mentang2 belum dapet jodoh!!!”

Halah!!! Enak aja tuh bocah ngomong. Tapi aq tau walaupun mereka protes, mereka paham akan alasanku mengendalikan acara tv. Cukup memprihatinkan memang dengan satu acara ini, acara import yang dikemas dengan kemasan local (halah!!!)ini cukup menarik banyak animo penikmat tv di Indonesia. Tapi kalo dipikir-pikir, penonton itu lebih tepatnya dipaksa untuk suka. Gimana nggak??? Setiap hari mereka dicekoki dengan acara itu dua kali sehari. Tadinya aku pikir acara ini nggak laku, kok siangnya diputer ulang. Tapi setelah liat barisan pariwara-nya, masih lumayan banyak, berarti tinggi juga rating-nya.

Angka penjualan yang cukup tinggi bagi acara Take Me/Him Out. Dengan menghadirkan MC kawakan, Chocky Sitohang, acara ini cukup menyedot banyak rupiah. So, kini bertambah lagi daftar tontonan yang tidak sehat di depan mata anggota keluarga/ teman-teman kita.

Dengan memberikan dua session penayangan, acara ini hadir dua kali sehari, siang dan malam. Siang hari, sekitar pukul 13.00. Kita tau di jam-jam itu , banyak tayangan bagi anak-anak. Jam tayangnya bersamaan dengan beberapa program yang disajikan khusus untuk anak-anak yang mungkin baru pulang sekolah. Jam dimana anak-anak biasa menonton si bolang, acara2 petualangan anak-anak, atau kompetisi-kompetisi bagi anak-anak hingga sore hari. Maka, Take Me/Him Out ternyata juga hadir sebagai alternative acara bagi mereka.



Di malam hari, acara ini menempati prime time, disaat semua orang kini jenuh dengan sinetron yang tidak jelas, Take Me Out hadir untuk memberikan suguhan pada penonton. Bagaimana penonton tidak tercekoki kalau seperti ini?

Acara yang berdurasi sekitar 2 x 60 menit ini, sebenarnya tidak terlalu istimewa. Hampir sama dengan program-program kontak jodoh yang lain. Tapi memang acara seperti ini mampu mengundang rasa penasaran yang cukup besar bagi penonton (khususnya di Indonesia). Dengan menghadirkan pria/wanita single, kemudian mereka diberi sessi perkenalan dan bebas dipilih dan kemudian bebas memilih, pria/wanita mana yang akan diajaknya ke romantic room.

Dengan vulgar, acara ini mempertontonkan tayangan “rumah bordil” yang elegan! Ya, bagi saya mungkin Choky Sitohang tak ada bedanya dengan (maaf) “Germo”. Dua puluh pria/wanita single tak ubah seperti pelanggannya yang ingin mengetahui para “single” yang ditawarkan perharinya. Tak perlu uang banyak, tapi “profesi” atau prestise menjanjikan cukup menentukan apakah sang “single” akan dipilih atau tidak. Untuk semakin meyakinkan bahwa acara ini bermutu, setiap peserta yang berhasil mendapatkan pasangannya, akan mendapat tanggapan dari sang Ustadz Cinta. Baru kali ini saya melihat dengan jelas bahwa ada Ustadz di rumah Bordil.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat membuat orang juga semakin pintar mengemas kemaksiatan dengan cukup elegan. Hal-hal Syirik saja bisa dikemas dengan layanan sms premium. Begitu juga dengan tayangan-tayangan di televisi. Kini kita tak perlu susah melihat bagaimana sebenarnya kinerja germo menjajakan para korbannya pada para pelanggannya. Kalau dulu mungkin masih tersembunyi di balik rumah remang-remang, tapi didalamnya warnanya merah menyala. Disana perkenalan dan transaksi dilakukan dengan diam-diam. Para lelaki hidung belang, baik yang masih lajang ataupun sudah menikah, bisa mencari “kebutuhan”nya disini.

“Sedikit agak beradab”, kini rumah remang-remang itu bisa kita tonton di layar televise dengan kemasan yang gemerlap. Tak jauh beda, para wanita akan dikenalkan dengan pria single. Penentuan pasangan akan dilakukan dengan tiga putaran. Putaran pertama, dikenalkan nama-profesi- dan usianya. Dengan dalih “mendapat chemistry”, beberapa wanita akan tetap menyalakan lampunya, dan yang “nggak daoet chemistry” dipersilahkan mematikan lampunya. Putaran kedua biasanya akan diputarkan video profile, akan semakin jelas bagaimana pekerjaan dan aktvitasnya sehari-hari. Putaran ketiga akan performance. Putaran terakhir kini giliran sang pria yang akan memilih dari para peminatnya yang tersisa. Kalau tidak ada, berarti sang pria itu harus pasrah, bahwa dia bukang orang yang diinginkan oleh para wanita.

Bisnis Sex, dimanapun dan kapanpun selalu menjadi bisnis yang besar dan menjanjikan. Pengalaman baru-baru kemarin, naiknya “isu Miyabi” semakin memperlihatkan bahwa itu merupakan sebuah keuntungan besar2an bagi para penyedia bisnis sex.

Kita lihat bagaimana Valentine, bukan hanya menguntungkan para perusahaan coklat (kalau ini Cuma beberapa persen), tapi juga membuat semua media menyuguhkan acara-acara special valentine, bertemakan kasih sayang, minimarket sampe hypermarket berlomba-lomba memberikan sale besar-besaran. Film-film dan sinetron-sinetron tidak jauh beda akan menjadikan “sex” sebagai tema tayangannya.

Kembali pada Take Me Out, kalau ada yang beranggapan bahwa itu adalah salah satu “ikhtiar” mencari jodoh, ya itu memang pilihan bagi masing-masing orang, akan memilih jodoh dimana??? Ada yang suka cari jodoh di diskotik, atau rumah bordil??ya, itu pilihan kok! Lagipula, saya tidak melihat bahwa para peserta adalah orang-orang yang memang telah siap untuk menikah. Tidak ada jaminan juga bahwa pasangan itu akan diproses ke jenjang pernikahan. Justru seperti menunjukan bahwa hubungan pranikah itu adalah sah!

Apakah para tim kreatif media kita tidak bisa lagi membuat program yang sehat bagi masyarakat Indonesia???

Read more ...

Gals, jangan lupa mukena-mu!




Iqamah Dhuhur yang berkumandang beberapa menit lalu membuatku agak menyegerakan langkah menaiki tangga menuju tempat sholat perempuan. Ada helaan nafas ketika sampai di ujung tangga dan menyaksikan pemandangan disana. Namun,kutepis dan tak mau banyak berfikir, karena sholat akan dimulai.

Sudah kuduga, seusai sholat, seorang perempuan menghampiriku untuk meminjam mukena. Jujur, sebenarnya itu cukup mengganggu. Pernah nggak ya orang-orang itu berfikir bahwa mereka mengganggu hubungan oranglain dengan Tuhan, yang seharusnya sehabis sholat itu adalah jenak-jenak kita untuk bermunajat. Belum lagi kalau kita ingin menunaikan rawatib.

Satu hal yang mungkin jadi pertanyaan, kenapa sih nggak bawa mukena sendiri??? Toh itu adalah kebutuhan pribadi, dan kita tahu bahwa akan melewati waktu sholat, kenapa untuk hubungan antara kita dengan Tuhan kita tidak mempersiapkannya? Kenapa kemana2 kita bawa make-up,tapi hanya sekedar sepotong mukena, kita lalai membawanya?
Dulu waktu kecil, saya tinggal di sebelah mushola, saya pernah melihat bapak marah-marah pada beberapa jamaah wanita. Pasalnya disaat sholat sedang berlangsung, mereka malah ngobrol ketawa-tiwi sendiri, dengan alasan menunggu giliran mukena. Lalu,dengan nada agak keras, bapakku berkata: “ Kalau niat sholat, ya bawa mukena dari rumah donk!”


Waktu itu,aku sempat berfikir “ih pelit banget sih bapak, di mushola kan ada mukena, ya kita nggak usah repot-repot bawa mukena!”

Namun, ternyata itu pelajaran kecil bagiku yang mungkin awalnya aku hanya melakukannya sebatas sebuah kebiasaan. Lama-kelamaan aku berfikir, sholat adalah kebutuhan bukan kewajiban. Kita yang butuh akan sholat itu,maka kita sendiri yang tahu apa yang harus kita lakukan untuk kebutuhan kita.

Kalau kita butuh sholat, maka kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan itu. Mukena itu adalah pakaian yang sangat penting buat kita. Bahkan tingkat pentingnya lebih dari sekedar pakaian kita sehari-hari karena ini adalah pakaian kita untuk berkencan denganNya,Allah tidak menyuruh kita untuk menggunakan kemeja berkerah atau gaun mode terbaru, jilbab yang sedang trend. Tapi ketika menghadapNya, kita ada dalam kondisi bersih, santun dan sederhana. Pakaian sholat adalah pakaian khusus, kok dengan mudahnya kita kadang berfikir “ah gampang,bisa minjem orang lain”.

Waktu sholat adalah waktu privasi kita, harus terganggu oleh orang-orang yang untuk kebutuhannya sendiri dia enggan untuk membawanya. Di tempat-tempat ibadah memang disediakan peminjaman mukena, tapi itu kan ditujukan untuk musafir dan persediaannya terbatas. Kalau sebatas anak kos yang jarak antara kampus-kos/rumahnya tidak seberapa, dan sudah gede lagi! Sudah bisa tahu, apakah hari itu aktivitasnya akan melewati waktu sholat atau tidak, seharusnya bisa mempersiapkan donk!

Alasan repot kerap kali menjadi factor kita lupa membawa mukena. Padahal hanya satu stel pakaian,apalagi sekarang ada yang kemasan mini,praktis dibawa kemana-mana (lho,kok jadi promo ya???he3). Mungkin dari kita kadang berfikir, “wah kalo cowok enak ya, nggak usah repot-repot pake mukena”. Hemh… apa iya???

Gals, sholat itu nggak repot kok dan jangan dibuat repot. Inti pada sebuah pakaian sholat adalah suci dan menutupi aurat. Ketika sholat, pakaiannya sebenarnya sama saja dengan pakaian sehari-hari kita, kalau kita memaknai bahwa kebutuhan berpakaian adalah kebutuhan untuk menutupi aurat, bukan kebutuhan untuk bergaya. Kalau kita sudah terbiasa menutup aurat, maka ketika sholat juga tidak repot, asal kita juga harus tahu apakah pakaian kita masih bersih atau tidak. Laki-laki pun sebenarnya sama, bukan berarti karena pakaian mereka sudah menutup aurat, ketika mau sholat juga asal saja. Saya salut dengan beberapa ikhwan yang benar-benar menjaga toharoh, dengan mempersiapkan pakaian khusus untuk sholat untuk lebih berjagta-jaga ketika pakaiannya terkena najis.

Mukena itu kan salah satu “budaya” kita saja, karena di lingkungan masyarakat kita, kebanyakan perempuan belum mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan benar.

Lepas dari itu semua, goresan ini hanya sebatas curahan hati untuk mencoba melakukan fungsi saudara sesame muslim,untuk saling mengingatkan. (nta)

Read more ...
Tuesday, July 21, 2009

Catatan Kecil Tentang Eyang Guru


Serial “ Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Bicara” mungkin pernah di akrab bagi kita sekitar tahun 1999 saat menjadi sebuah cerita bersambung di HU Republika. Tiga tahun kemudian kisah itu dibukukan dan dicetak ulang pada tahun 2005. Sebuah kisah dengan bahasa lugas yang menguraikan juga mengenai kehidupan aktivis pelajar dan mahasiswa. Menarik juga melihat tokoh-tokoh yang dikisahkan adalah aktivis HMI, PII, GSNI, dll. Secara content isinya mungkin masih terbilang standart mengenai kisah cinta anak muda. KIsah cinta segitiga tetapi segitiga-nya itu dengan idealisme ^-^. Tidak ada bahasa-bahasa “sastrawi” yang sulit dicerna. Disana kita menemukan sebuah kisah realis yang sarat makna namun tetap bersahaja.

Kesederhanaan penguraian kisah dalam novel “ Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Bicara” itu nampaknya memang mencerminkan penulisnya yang juga sangat bersahaja. Malam itu dengan balutan batik, kain sarung yang rapih dan selempang sajadah di bahu-nya, Pak S.N. Ratmana menyambut kami dirumahnya. Baru saja akan membuka gerbang rumah, dari arah belakang ternyata Pak Suci-panggilan yang biasa digunakan-telah menyapa kami. Nampaknya pak Suci usai menunaikan rutinitasnya menjadi imam sholat Isya.

Bangunan itu masih bersahaja, sama seperti tiga tahun lalu terakhir saya bertandang kesana. Pengaruh usia sempat membuat pak Suci tidak terlalu mengingat siapakah tamunya malam itu. Ya, bagi saya pak Suci Ningrat Ratmana memang sosok yang luar biasa, tapi bagi pak Suci, sosok shinta itu ya biasa saja,sama seperti cucu-cucunya yang lain. Ketika saya coba ceritakan kembali aktivitas-aktivitas terdahulu bersama pak Suci baik di kota kelahiran maupun di ibukota, pak Suci menjadi agak ingat dan memberikan sebuah antusiasme yang berarti. Sinar mata tua-nya sangat menyorotkan sebuah kasih sayang dan antusiasme saat saya menceritakan maksud dari kedatangan di malam hari itu.
Dengan agak tergopoh-gopoh pak Suci masuk kedalam rumahnya dan keluar kembali menemui saya dengan membawa sebuah buku tebal. Ternyata itu adalah sebuah tanda mata yang sangat berkesan dari sebuah penyair yang kondang, Taufik Ismail. Ya, mungkin sudah menjadi mindset saya jika akan bersilaturahmi ke Pak Taufik maka saya awali dengan ke pak Suci terlebih dahulu. Hal ini tidak berlebihan karena beliau berdua memang memiliki sebuah tali persahabatan yang sangat manis. Persahabatan yang hingga sekarang masih terjalin erat. Salah satu bukti kecil yang menjadi perekat persahabatan mereka adalah sebaris pernyataan di cover buku antologi puisi tersebut. Tak lupa juga pak Suci menunjukkan salah satu puisi yang berjudul ‘Surat Dari Lampung’. Dibawah temaram sinar bohlam beliau membacakan puisi itu.

Sosok seorang Suci Ningrat Ratmana, bisa dikatakan sosok yang istimewa di dunia sastra Indonesia. Pria sunda yang lahir di tahun 1936 ini telah memberikan sebuah semangat mengenai produktivitas karya bagi para generasi muda. Kecintaan beliau kepada sastra mungkin dimulai saat duduk di bangku SMA N 1 Pekalongan, satu sekolah dan satu bangku dengan Taufik Ismail. Duo genius ini ternyata memiliki hobi dan ketertarikan yang sama di dunia sastra. Mereka yang merintis adanya sebuah perpustakaan sekolah yang sederhana serta gambaran sosok pelajar yang kritis dan cerdas. Siapa sangka kecintaannya pada membaca membawanya menjadi sastrawan-sastrawan ulung. Hingga kini, pak Suci sendiri sudah menelurkan banyak novel, cerpen, dan esay. Novel terakhir yang diterbitkan oleh penerbit KOMPAS, adalah “Sedimen Senja”, yang di-launching di Taman Ismail Marzuki dua tahun yang lalu. Tentu saja dihadiri oleh sahabat sejati-nya, pak Taufik Ismail serta dibedah juga oleh salah satu kritikus sastra , Maman S Mahayana. Seingat saya waktu itu launching itu juga sebagai peringatan hari lahir pak Suci yang genap berusia 70tahun.

Sangat brilian di usia-nya yang separuh baya tersebut,pak Suci masih getol melahirkan karya-karya sastra. Bukan berhenti pada novel saja, cerpen-cerpennya hingga sekarang masih bisa dinikmati di beberapa harian baik local maupun nasional. Ketika beliau menunjukkan kepada saya beberapa copy-an cerpennya di surat kabar, saya pribadi menjadi iri sekaligus termotivasi oleh semangat pak Suci dalam berkarya.

Maestro yang rendah hati. Saya bisa menjulukinnya seperti itu. Bercengkerama ngobrol dengan pak Suci jangan dibayangkan ngobrol dengan orang terkenal yang mungkin kita akan terjebak pada ewuh pakewuh. Bersama beliau, saya tak lebihnya seperti cucu dan kakek yang sedang bercengkerama dengan sarat susasana kekeluargaan. Walaupun sebelumnya mungkin kita sudah sekian tahun tidak memiliki kontak yang dekat. Bahkan dulu waktu sempat berinteraksi saya masih menjadi orang yang belum terjun di dunia sastra secara langsung. Jadi dulu hubungannya sebatas link saja. Namun, ketika pertemuan pertama setelah tiga tahun itu, membuat saya seperti menumpahkan kerinduan pada seorang kakek. Layaknya seorang kakek pada cucunya, banyak hal yang disampaikan tentunya dengan limpahan kasih sayang. Bahkan ketika saya bercerita esay saya yang masuk nominasi lomba dan dibuku-kan serta beberapa karya-karya yang lainnya, tanpa tanggung-tanggung pak Suci bertepuk tangan memberikan apresiasi. Subhanalllah, apresiasi itu sungguh spontan dan sangat tulus,sebuah kebanggan dan semangat bagi saya pribadi. Keagungan sikap seorang sastrawan adalah saat dia benar-benar menghargai karya orang lain. Itulah beberapa hal yang saya dapatkan di dunia sastra. Semakin tinggi karya seorang sastrawan, semakin merunduk pula dalam memberikan apresiasi yang mendalam terhadap karya orang lain.

Satu hal yang istimewa lagi dari pak Suci, beliau adalah sosok sastrawan yang juga seorang pendidik. Ya, dia menjalani hidupnya dengan profesi sebagai pengajar. Beliau adalah guru fisika di SMA N 1 Tegal di era tahun 60-an, kemudian menjadi pengawas di depdikbud kota, hingga beliau menghabiskan masa profesinya. Sebagai seorang guru, beliau ada sosok pengajar yang mengayomi dan benar-benar menjadi sosok yang mampu digugu dan ditiru. Selain sebagai guru, pak Suci juga aktiv di organisasi Muhammadiyah yang mengantarkannya kini menjadi wakil ketua pengurus daerah Muhammadiyah.
Kiprahnya di dunia pendidikan tidak berhenti di profesi guru. Pak Suci ini juga salah satu perintis majalah pelajar “Kandela” di kota Tegal. Hidupnya memang sudah didedikasikan pada pendidikan. Selain sempat menjadi dewan pendidikan,beliau juga sering menjadi rujukan oleh para tim MGMP dan untuk persoalan-persoalan pendidikan. Sosok beliau sebagai Guru yang juga sastrawan memang sangat luar biasa. Tak heran kehidupan dan karyanya juga dijadikan sebuah skripsi oleh mahasiswa sastra di Universitas Indonesia. Mungkin pak Suci memang benar-benar eyang guru buat kita semua.
Sebagai seorang sastrawan, pandangan seorang S.N. Ratmana cukup luas. Bukan hanya soal pendidikan, namun beliau juga punya pandangan-pandangan di hal-hal mengenai politik dan budaya. Tulisannya tentang Bung Karno pernah dimuat dan dibukukan oleh KOMPAS. Kupasan pemikirannya melalui tulisan memang lugas dan untuk karya-karya diksinya memang cukup realis. Pak Suci tak ragu-ragu untuk mengungkapkan “kebiadaban” Jenderal Wiranto dan Prabowo dalam novel-nya. Untung saja novel itu terbit di waktu yang tepat. Kalau ditulis di era orde baru mungkin sampai saat ini novel itu tak pernah diterbitkan.

Semangatnya berkarya yang jelas tersirat dari soro matanya memang menjadi ruh bagi para genarasi muda untuk dapat terus berkarya. Pak Suci sangat mensupport ketika saya bercerita berpuluh-puluh kali tulisan ditolak media. Dari sepuluh mungkin yang dimuat Cuma satu. Pak Suci bilang, itulah proses indah yang harus dijalani. Ya, seorang nahkoda yang baik itu tak terlahir dari lautan tenang tapi justru yang sudah terlatih dengan bergulung-gulung deburan ombak. Waktu pertemuan itu, tak kurang dari sepuluh buku yang beliau keluarkan untuk ditunjukan. Di sela-sela saya diminta membaca beberapa paragraph cerpennya. Bergantian pula beberapa kali pak Suci membacakan kutipan-kutipan esay-nya.
Banyak hal yang kita obrolkan malam itu walaupun itu masih sebagian kecil. Berdiskusi dengan pak Suci memang seperti teman sebaya, beliau masih tajam wacana-nya dan luas pandangannya. Sikapnya tidak ekstrim walaupun untuk beberapa hal dia terlihat sangat prinsipil. Dari mulai ngobrol tentang Taufik Ismail, tentang sastra, pendidikan, budaya, hingga politik, dan juga gerakan mahasiswa. Sempat dia memberikan pandangannya mengenai Anas Urbaningrum, Prabowo, Megawati, dan yang lainnya. Sempat juga dia berbicara tentang HMI, PII, dan gerakan mahasiswa. Ah pak Suci, kau benar-benar menyemangati ^_^.

Tak cukup ratusan halaman untuk menguraikan makna hidup dan kehidupan dari seorang eyang guru SN Ratmana.(sebuah hal yang menginspirasikan saya juga untuk menulis sebuah buku autobiografi tentang beliau). Malam itu pertemuan yang menghadiahkan bangkitnya sebuah semangat. Namun malam memang terkadang menegur kita untuk beristirahat. Saat lonceng jam di rumah pak Suci berdentang Sembilan kali, adikku mengingatkan bahwa sudah waktunya pulang. Oya, sempat bertanya pula pak Suci “Siapa ketua HMI sekarang”. Teringat sesuatu saya jawab “ Oh iya pak...ketuanya yang sekarang kalau tidak salah juga alumni smansa Pekalongan”. Reaksi beliau cukup antusias “ Ohya???Siapa??angkatan berapa??”. Ketika saya ungkapkan jawaban yang lebih kepada perkiraan itu, respon belian “Wah jauh sekali itu angkatannya”. Mungkin cuplikan dialog ini terlihat tidak penting, namun saya ingat bagaimana kemudian perdebatan mengenai “terlalu senior”nya ketua PB yang baru. Tapi berdiskusi dengan pak Suci saya tidak merasa beliau sangat senior. Satu pelajaran bagi saya, ternyata tua-muda itu akan menjadi samar ketika kita punya karya. Mungkin kalau di HMI, kader-kader angkatan 99 atau 2000 itu sudah seperti senior banget, tapi ketika seorang angkatan 97 muncul, itu seperti hadirnya kader muda. Semoga itu menjadi sebuah semangat dalam berkarya!obat awet muda yang mahal harganya ^_^.
Kuakhiri pertemuan malam itu. Di perjalanan pulang , ungkapan adik saya “ Mbak nta, ajarin nulis yach!”. Wah...itu semangat lagi bagi saya!!! Yuk...kita bersemangat untuk terus berkarya dan berprestasi!! Ganbatene Kudasai!!!!!!

Special dedication for Eyang Suci Ningrat Ratmana.
Hari ahad tanggal 26 besok ada diskusi kepenulisan menghadirkan pak Suci dengan beberapa penulis kondang lainnya, di pendopo kota Tegal. Bagi yang berkesempatan silahkan hadir, insya Allah ada saya disana untuk menyumbangkan beberapa pembacaan puisi..he3 (numpang promo).
Read more ...
Friday, June 12, 2009

Serantai Bait Tentang Kongres HMI ke- XXVII


-- mungkin di tulisan ini ada goresan-goresan kisah yang tak sempat terexpose media, saya bagi menjadi tiga episode--

" Pada akhirnya segala lelah, marah, sedih, kecewa, terlupakan oleh bait asa....mari bangkit!"

Tentang Kongres dua puluh tujuh...
Ini kongres pertamaku. Bagi pengurus cabang Purwokerto, sebagian besar juga merupakan pengalaman pertama. Kata orang cinta pertama itu tak mudah dilupa. Benar, kongres ini juga menumbuhkan cinta pada alat prjuangan ini. Sebagai sebuah gelaran dwitahunan, yang memiliki hierarkri paling atas dalam struktur kekuasaan di HMI. tak berlebihan rasanya jika kita mengharap sebuah perubahan dalam paradigma gerakan yang lebih baik. HMI yang lebih baik...itu bukan sekedar harapan namun keHARUSan.
Tulisan ini saya tulis dengan segala kisah kecil yang mungkin tak terekspoxe oleh media.

Ratusan kader, ratusan harap, itu idealnya. Ratusan ide brilian siap berkumpul dan sinergis untuk memantapkan gerakan.
Sidang pendahuluan menjadi peluit panjang dimulainya pertempuran itu. Namanya orang mo olahraga..harus pemanasan dulu. Kalo berenang gak pemanasan dulu, ntar kram di tengah kolam. Kalo mo sprint gak pemanasan terlebih dulu ntar bisa cedera juga. Harapannya juga seperti itu. Waktu itu di benak saya adalah teman-teman seluruh Indonesia telah menyiapkan konsep perubahan HMI. Makanya saya juga pernah menyinggung "pernak-pernik" HMI yang belum diterima oleh cabang-cabang. Hal ini sangat riskan karena akhirnya di meja sidang, kita semua hanya bermain emosi dan egoisme saja. Lebih banyak menuntut daripada menyampaikan sebuah pemikiran.
LPJ PB..dalam sessi tanya jawab yang lebih banyak bergulir dan ramai hanyalah seputar hal-hal teknis seperti : telpon, email, dll. Ditambah lagi jawaban PB yang lebih bersifat apologi. Ketika saya menanyakan SK, sbrnnya itu sederhana saja, kapan teman-teman PB siap untuk memberikan dokumen resmi Sk para cabang. Kalau malam itu bisa, tinggal ketik, print, dan tandatangan, saya rasa itu menjadi bentuk rasa tanggungjawab PB. BUkan berapologi dengan sejuta alasan apalagi dengan alasan komputer kena virus. Suer, kalo kisah ini diexpose akan sangat memalukan. Saat ini hampir sebagian besar cabang, tidak memiliki dokumen resmi SK kepengurusan. Ini sangat-sangat fatal. Ini bukan persoalan teknis, tapi persoalan tanggungjawab akan kinerja masing-masing. Walaupun kongres sudah usai, saya berharap tanggungjawab ini bisa diselesaikan dengan secepatnya.

.
Sessi tanya jawab yang bergulir lebih kepada penggugatan secara teknis yang itu diakibatkan oleh miscommunication saja. Masalah pemecatan Itho Murtadha, dana diknas, dan lain-lain. Hampir lebih dari separuh waktu di sessi tanya jawab itu, dipenuhi oleh emosi dan egoisme cabang-cabang tertentu saja. Kebetulan waktu itu yang bersuara lebih banyak adalah teman-teman cabang timur dan utara. Bukan saya mendiskreditkan teman-teman di intra dan intim, namun kenyataan yang terjadi di arena kongres adalah, teman-teman lebih banyak berputar di wilayah teknis dan memainkan emosi. Mungkin ini juga menjadi salah satu akibat dari tidak optimalnya pembagian draft kongres pada sleuruh cabang. Pada akhirnya, draft kongres dari TPK tidak digunakan dan ditolak. Ketika tidak ada draft, masalah yang muncul ternyata ada tiga versi konstitusi dari Semarang, Jogja, Makasar. Padahal draft dr TPK itu telah disusun lebih dari dua bulan dan mengakomidir perbedaan2 konstitusi tersebut. Lagi-lagi permasalahannya pada komunikasi antara Roni HIdayat (Koord.TPK) dengan Bang Madjid Bati (MSO). MSO merasa tidak pernah menerima permohonan amandemen, padahal TPK telah melakukan itu secara prosedurial, dihibungi melalui telpon, dikirm melalui email, dll. Lagi-lagi yang jadi alasan adalah, email yang eror dan tidak ada data draft kongres yang diterima. Miris !!!!!!!!!!!

Pembahasan konstitusi, sebenarnya merupakan sessi penting dalam perjalanan sebuah organisasi. Dari jauh-jauh hari sebelumnya, di benak saya tergambar bahwa teman-teman kader HMI selruh Indonesia telah mempersiapkan ide-ide briliant-nya mengenai paradigma gerakan organisasi ini. Mungkin masih ingat mengenai ide rekonsiliasi yang pernah saya getol tulis? Itu bukan sekedar isu sesaat, namun coba saya kaji dari berbagai segi, historis, filosofis, sosiologis, politis,dan teknis. Saya tambah bersemangat lagi ketika tau ada ide ganti nama yang akan coba digulirkan. Bagi saya, semua ide itu sungguh-sungguh. Jujur saja, saya sudah mempersiapkan uraian kenapa kita jangan ganti nama dan harus rekonsiliasi, dengan segala alasan yang dapat diuji secara keilmuan (ada power point-nya.. dibuat sampe nglembur di sekre Mafaza ..he3). Sebenarnya hal ini harusnya disampaikan pada sebuah lokakarya, karena kongres hanya bersifat memutuskan saja. Tapi karena lokakarya tak pernah kunjung ada, ya maka kucoba persiapkan untuk kongres.
Tapi, semua tinggal kisah belaka. Karena ternyata teman-teman cabang lain tidak pernah mencoba membuat sebuah inovasi gerakan untuk disampaikan di kongres. Bahkan saya sempat berfikiran ini adalah sebuah kesengajaan untuk meminimalisir perdebatan mengenai konsep, sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah berputar-putar pada hal redaksional yang bersifat teknis.
Jujur aja, hari kedua, pembahsan AD membuat bete banget! Bertambah bete, karena melihat kenyataan bahwa ternyata sebagian besar peserta kongres justru meninggalkan ruang sidang hanya untuk konsolidasi suksesi calon ketum. Hati saya begitu marah saat itu!!! Segala umpatan berkecamuk dalam batin! Apa-apaan ini???? Forum kongres yang membahsa hal-hal mendasar malah ditinggalkan untuk sebuah suksesi. Lucu lagi, ketika salah satu kawan bilang : " Bagi kita, AD ART dan yang lainnya tidak perlu dibahas, tidak ada yang salah, yang penting..siapa nanti yang akan jadi ketum, siapa nanti pemimpinnya" .
Weleh..weleh. .. ini nieh efek dari generasi "Idol". Di kongres ini kita menghimpun mimpi, ide, dan segala potensi untuk memperkuat pondasi gerakan. Mimpi kita saja sudah tak punya, pondasi kita sudah bobrok, dipimpin oleh siapapun , akan ttap hancur. Akhirnya semua menjadi ekspresi syahwat kekuasaan belaka.

Tentang Pemilihan Formatur...
Siapapun tak bisa menampik, secara kapabilitas, Mas Chozin sangat pantas menjadi ketum PB HMI. Jangankan menjadi ketum PB, jadi presiden Indonesia pun mas chozin pantas. Dengan segala potensi yang dia miliki, saya rasa Mas Chozin adalah salah satu kader yang dapat kita banggakan di HMI.
Namun, HMI adalah sebuah organisasi perkaderan dan perjuangan. Kaderisasi adalah pondasi organisasi berlambang perisai hijau hitam ini. HMI bukan organisasi jaringan atau profesional, walaupun karya-karya kita harus disalurkan dengan kemampuan jaringan dan profesionalitas.
Maka, yang menjadi pertanyan, apakah kita yang memang sudah lelah dengan perkaderan di HMI ini, atau mas Chozin yang sudah mati orientasi kekaryaan beliau sehingga masih melihat posisi ketum PB sebagai pijakan???!. Tapi hal itu biar menjadi pertanyaan di hati kita masing-masing.

Munculnya nama mas chozin sebagai calon ketum bukan sebuah hal yang baru. Kalau tidak terexpose, mungkin itu sengaja. Dukungan teman-teman indonesia timur dan utara menjadi kekuatan utama dari naiknya mas choz di pentas kongres kemarin. Secara psikologis, wajar kalo teman-teman intim dan intra menaruh harap pada sosok yang juga menjadi moderator di milis HMI ini.
Selain teman-teman intra dan intim, bagbar juga menjadi sayap yang sangat mendukung naiknya sang alumnus Ohio- USA ini. Kondisi psikologis teman2 intra dan intim yang masih kecewa dengan kepengurusn PB kemarin dilengkapi dengan kultur pragamtisme dalam politiknya teman-teman inbagbar. Saya rasa ini gk bisa dielakan oleh siapapun. Sialahkan membela diri tapi kenyataan berkata demikian, pragmatisme adalah kultur yang sudah melekat di sebagian besar teman-teman bagian barat. Fitnah dan gosip murahan kadang dijadikan alat untuk mencapai keinginan. Entah fitnah apa saja yang sudah diberikan kepada calon ketum lain selain chozin.
Kalau memang tidak begitu, coba saja tanya, apakah mereka punya konsep untuk membangun HMI ini lebih baik. Nonsens! Mereka hanya punya strategi politik. Konseptual yang dibangun hanya berputar pada wacana. Sebenarnya potensi politik mereka baik jika dapat dikembangkan dan tetap diarah yang benar. BUkan dengan menghalalkan segala cara. Karena HMI juga bukan organisasi politik.

Inbagteng yang kuat dengan intelektualnya juga harus mengakui ketidaksolidan- nya. Dari dulu mungkin orang2 tengah yang terlalu polos dengan politik. Keilmuan dan keIslaman itulah yang kemudian menjadi pilar gerakan di bagian ini. Kemarin sebenarnya cukup kuat ketika dalam dukungan ke Azwar, walaupun agak terlambat mengkonsolidasikan gerakan. Bagian tengah juga dianggap yang "menggembosi" kinerja PB dua tahun yang lalu. Astaghfirrulah, masih ada yang tega menganggap seperti itu. Padahal kalau kita tengok, siapa saja yang kemudian berperan membangun pondasi kinerja PB selama dua tahun kemarin. Dari mulai pleno I, II, III, event2 yang ada di PB, melakukan fungsi-fungsi komisi dengan baik, kebanyakan juga teman-teman tengah. Mas Azwar, mas uud, mas trisno, sampai mbah Muhyidin, semua menjadi martir dalam perjuangan kemarin walaupun pada akhirnya semua tertutup oleh pola komunikasi yang buruk oleh Ketum. Namun, bang Syahrul juga bukan tak berusaha sebaik mungkin. Di kesempatan kali ini, (walau sudah saya sampaikan di kongres kemarin juga), saya menyatakan terimakasih dan sangat salut , apresiasi yang sangat tinggi untuk kinerja teman2 tengah yang ada di PB. Kalau kemarin ada penolakan LPJ itu murni sebagai sebuah pembelajaran untuk berusaha ke yang lebih baik. Kalau kita menerima,juga atas dasar yang kuat, bukan semata-mata karena ada orang2 bagian kita yang ada disana. Dukungan kita bukan sebatas pada penerimaan dan penolakan LPJ, tapi perhatian kita yang penuh.
Ups, agak ngelantur ya. Kembali tentang calon ketum PB. Sebenarnya saya udah speechless. Mo bilang apa? Semua terjadi karena emosional saja.
Mas Chozin secara konstitusi tidak sah untuk maju menjadi calon formatur. Beliau LK I pada tahun 1997, Sudah hitungan tahun ke-12 menjadi kader..dan itu berarti sudah alumni. Hal ini sudah disampaikan di kongres. Mengenai ayat kedua di konstitusi ttg peraturan masa keanggotaan, mas Chozin saat ini tidak menjabat apa-apa dalam kepengurusan di HMI. Kalau ada di HMINews, beliau adalah direksi PT.Kapisentra, bukan bagian dari HMI.
" Kenapa nggak ngomong di kongres kemarin shin?"
Ya, itu dia yang saya sesalkan hingga saat ini. Bukan saya nggak berani ngomong, tapi memang suasana saat itu sudah diliputi emosi. Adzan Shubuh sudah memaksa semuanya untuk menyudahi perdebatan. Ketika saya kembali dari sholat shubuh, ternyata semua sudah berkahir. Keterlambatan ini sangat saya sesalkan hingga pulang ke Purwokerto. Secara tidak langsung, saya dan konstituent kongres telah mengkhianati konstitusi kita sendiri. Padahal baru semalam kita mengesahkan konstitusi, berdebat mengenai contents yang ada dalam pedoman perkaderan, keanggotaan, dll.
Di kongres pertama ini, saya baru merasakan kesungguhan dan kecintaan yang penuh pada HMI. Saya rasa semua kader akan merasa sedih dan kecewa atas adanya inskonstitusional ini, jika mereka memang bersungguh-sungguh membangun pondasi gerakan ini.
Saya pun masih yakin mas chozin dan cabang Sleman tak pernah punya niat untuk mematikan perkaderan. Kalau katanya ada kabar untuk mematikan hegemoni sebuah golongan tertentu di kampus UGM, ya semoga mereka menganggap bahwa cara menaikkan mas Chozin di ketum PB menjadi cara yang terbaik. Walaupun dulu di awal saya bilang, " Tanpa menjadi ketum PB, mas Chozin dapat berkontribusi banyak di HMI".

Mungkin Agak lebai kalau tau , ada air mata yang sempat menetes di beberapa kader yang menyesalkan pemilihan formatur ini. Menangis karena matinya perkaderan, dan menangis karena tak dapat berbuat banyak. Namun karena perkaderan pula, kita harus bangkit.

Kemenangan mas Chozin juga tidak mutlak. Bahkan selisih dengan mas Azwar hanya sedikit (tiga suara). Lucunya lagi, ada sms tak dikenal kepada saya dengan mengatakan "tiga suara itu?" . Saya paham maksudnya, terserah mau berasumsi apa. Yang pasti, bagi saya dan juga teman-teman Purwokerto, perkaderan adalah pondasi dari organisasi ini. Dengan selisih suara yang sedikit itu, menjadi PR besar bagi ketum PB saat ini, bahwa selain dukungan besar, saat ini juga ada kekecewaan yang besar. Bahkan beberapa sempat berkata " Ah..sudahlah. .kalau kayak gini..saya outsider saja". Masih tanda tanya, apakah para personil MSO itu mau untuk menerima tawaran itu. Atau teman-teman yang seharusnya bisa masuk di PB. Beberapa selentingan juga ada yang enggan untuk membantu di PB.

Tapi, saya rasa...lepas dari itu semua. Kecelakaan perkaderan ini kita ikhlaskan saja. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Toh pada akhirnya, kecewa, sedih, lelah, dan marah, harus terhapuskan oleh sebuah asa akan sebuah cita. Di HMI itu cuma belajar ikhlas..mengikhlask an segalanya. Termasuk mengikhlaskan sebuah kematian kader. Yang terpenting adalah berkarya.

Justru kita berterimakasih pada mas Chozin yang masih mau untuk turun langsung di kancah perjuangan ini. Saya rasa itu perlu pemikiran yang sangat dalam, untuk mau terjun langsung.

Toh, PB bukanlah segalanya. Saya sebagai pengurus cabang juga menyadari bahwa ternyata kongres itu hanyalah sebagai sebuah bentuk politisasi saja. Cabang Purwokerto masih menantikan sejuta ide dan karya. PB bukanlah segalanya, ujung tombak gerakan ini ada di komisariat dan cabang. Satu pesan sms dari salah seorang kandidat ketum " ...bahwa teman-teman di cabang nggak boleh patah semangat! Pejuang itu tak boleh sedih dan kecewa. Jadikan semua momentum untuk bangkit...."

Sekali lagi air mata ini mengalir, tapi bukan sedih...melainkan sebuah semangat, bahwa asa itu harus tetap ada. Bahwa ini justru awal perjuangan kita semua.

Tentang Penutupan Kongres XXVII......
Miris. Nggak sebanding dengan pemberitaan media, sebenarnya upacara penutupan kongres kemarin adalah memperalat untuk kampanye JK saja.
Saya tidak tahu apa yang bisa disebut dengan kebanggaan pada acara penutupan kemarin? Apakah kita yang terlalu katro dengan segala kemewahan dan publisitas itu?
Saya yang memilih duduk di belakang, melihat ke-katro-an itu semua. Kita dengan seenaknya diatur-atur untuk sebuah protokoler kenegaraan saja. Hal-hal kecil, misal pakaian bang Syahrul yang kurang formal, atau tata duduk teman-teman peserta. Semua diatur-atur. Yang pake celana jeans atau kurang sopan jangan duduk disamping, nggak sopan! Saya hanya terkekeh dalam hati. Perasaan saya pernah mengikuti beberapa event yang dihadiri oleh pejabat penting nggak seekstrim itu. Waktu festival sastra internasional di Batavia Hotel, tak ada aturan2 seperti itu. Tau sendiri kan gimana penampilan para sastrawan?? Tapi..itu semua dibiarkan karena kita punya karya untuk diapresiasi. Sastrawan-sastrawan itu memang dihargai ,punya karya, jadi nggak bisa seenaknya diatur-atur protokolernya. Tapi kalau di penutupan kongres kemarin, JK yang dihargai, bukan JK yang menghargai. Kesannya memang seperti JK yang menghargai HMI karena sudi hadir. Tapi sebenarnya HMI lah yang menghargai JK karena dibela2in menutup acara hanya karena pada jam itulah JK sempat untuk mampir. Padahal, acara penutupan itu juga inkonstitusional. Masih ada dua sidang lagi yang belum terselesaikan. Berdasarkan pedoman keprotokoleran, acara penutupan kemarin itu ya nggak bener. Sekali lagi, kita sudah mengkhianati konstitusi kita sendiri. Itu padahal baru beberapa menit lho disahkan dalam kongres, Bagaimana kdepannya???
Semoga bisa menjadi pelajaran...

Tentang Sebuah Karya....... .
Dari segala potret buram di kongres kemarin, sebentuk mimpi, asa dan cita-cita masih terus akan bergulir...dan itu sempat terangkum dalam sebuah buku kecil berjudul : "HMI : Keabadian dan Inovasi Gerakan". Tersusun atas empat bagian, : HMI dan Pemikiran KeIslaman ; HMI dan MOdernitas; Kohati dan Rekayasa Sosial; Dinamika Politik Kontemporer. Di dalamnya termuat ide-ide yang bukan hanya menjadi sebuah "keabadian" namun juga merupakan bentuk inovasi gerakan yang merupakan bait asa dan cita kader. LIma belas kader yang turut rembug menulis dalam buku ini yaitu : Zubaeri; Maksun (Cak Sun); Shofa Sadulur; Ahmad Nuralam; Angga Yudhiansyah; Ahmad Sahide; Darwin; M.Syamsul HIdayat; Ade al-Ghazaki; Dusrinah, SH; Shinta arDjahrie (^_^) ; Novi Kurnia; Kusuma Dewi Subakhir; Lukman Hakim,Moh.Syafe' i; dan Zulkarnain Patwa.
Sebenarnya kalo diliat-liat. .penulisnya itu orang-orang dari cabang Jogja, atau diistilahkan sebagai sebuah bentukan karankajen. Kecuali saya tentunya. Karena ke sekre Karangkajen aja baru satu kali...he3. Tapi, lepas dari itu semua, ini adalah sebuah bentuk pemikiran yang coba diabadikan melalui tulisan. Dengan editing yang handal oleh Ahmad Nuralam dan Ahmad Sahide, buku ini dikemas apik dan patut mendapatkan rekomendasi bagus untuk konsumsi para kader. Untuk teman-teman yang berminat, bisa menghubungi teman-teman cabang JOgja, hanya Rp 20.000,00. Saya juga lampirkan scan cover dari buku tersebut. Bukan sekedar numpang promo, tapi lebih meyakinkan, bahwa kita masih dan akan terus punya asa untuk berkarya..baik itu melalui tulisan ataupun karya-karya lain.

Btw, saya ingat postingan bang Ferizal Ramli di milis brapa waktu lalu tentang pengembangan IT opensource. Mungkin bisa disampaikan idenya mas, karena di PKN (Program Kerja Nasional) PB HMI, kemarin di kongres sempat disahkan adanya sebuah program untuk pengembangan rekayasa teknologi informasi. Apalagi kalo kita liat tingkat kegaptekan temen2 kader sangat memprihatinkan. Terlihat dari permasalahan yang menjadi peredebatan di LPJ PB maupun LPT MSO,adalah masalah komunikasi lewat phone or email. Memalukan memang..tapi saat ini bukan saatnya untuk malu...tapi untuk bangkit.

Yup..sementara hanya sampai ini mungkin rantai bait kongres XXVII ini saya posting. Kongres yang menumbuhkan cinta mendalam, bahwa HMI ini hanyalah sebuah alat tapi tak dapat digantikan oleh alat apapun.
Yakin Usaha Sampai!!! (nta)




Read more ...
Sunday, April 05, 2009

Rekayasa Teknologi Informasi Berbasis Masjid

Kalau kita sering berwacana mengenai gurita kapitalisme yang telah mencengkeram begitu erat, maka PR terberat bagi para pewacana adalah bagaimana solusinya? Perkembangan teknologi yang menjadi warna dari modernisasi zaman adalah salah satu bentuk komoditi para kapitalis. Murninya Sains for sains sudah mulai pudar, semua menjadi sasaran untuk bagaimana mendapatkan keuntungan semata. Kekuatan untuk menghadapi ini adalah dengan mengembangkan daya kreasi dan inovasi dalam dunia teknologi khususnya teknologi informasi.



Membangun teknologi informasi berbasis open source melalui pemberdayaan adalah sebuah visi yang coba dirintis oleh beberapa pemuda(i) yang tergabung dalam Puskom MAFAZA (Pusat Komputer Masjid Fatimatuzahra). Berawal dari pemikiran-pemikiran yang sederhana dengan semangat perlawanan terhadap kapitalisme dalam perkembangan teknologi informasi, kita mencoba berkarya dalam dunia TI. Perkembangan teknologi adalah untuk semua, bukan sebuah hal yang eksklusif dan tak dapat disentuh oleh masyarakat. Teknologi bukan sebuah hal yang mahal yang semakin memperluas kesenjangan sosial masyarakat bahkan . Puskom Mafaza melakukan inovasi di tahun ini dengan membangun sebuah Pusat Pengembangan Keahlian Rekayasa Teknologi Informasi. Dalam dua pekan kemarin - dimulai sejak tanggal 29 Maret yang lalu- , telah melakukan open recruitment untuk divisi COC (center of Competency) IT Service, yang terdiri dari COC Aplikasi, COC Operating System, COC Database, COC Hardware, COC Elektronika, dan COC Network. Teknis kerja COC ini adalah seperti konsep perang gerilya dimana sebuah tim memiliki pasukan-pasukan komando yang memiliki keahlian husus dengan kemampuan memberikan layanan kepada unit yang membuthkan. Puskom Mafaza yang disetting sebagai pusat pembelajaran dan pengembangan rekayasa teknologi informasi terbuka untuk semua umat muslim. Beberapa hal yang menjadi syarat dasar adalah : 1) mau menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan ummat serta memakmurkan, dan 2) Berkemauan menjadikan diri pribadi unggul dibidang rekayasa Teknologi Informasi. Untuk kemampuan-kemampuan teknisnya akan dilakukan melalui test tertulis mengenai bidang-bidang khusus sesuai peminatan bidang masing-masing.

Puskom MAFAZA adalah sebuah pengembangan dari divisi kesekretariatan yang selama ini telah berfungsi sebagai pusat database takmir masjid Fatimatuzahra – Purwokerto. Pengembangan secara optimal di bidang teknologi informasi ini diharapkan mampu melahirkan insan-insan kreatif dan inovatif dalam dunia TI. Dalam lingkup kecil,disini misalnya kita belajar seperti membuat software-software yang dibutuhkan dalam ativitas sehari-hari, setidaknya kita mengenal dunia IT disini. Sistem Open Source ini membuat para anggota memiliki ruang bebas untuk belajar dan berkreasi. Pemikiran dasarnya adalah perkembangan teknologi adalah bagian dari sains yang harus kita pelajari, teknologi nggak mahal, teknologi nggak susah, belajar itu enjoy! Tentunya dalam proses pengembangan ini, Puskom telah memiliki jaringan dengan pihak-pihak yang terkait yang berkompeten di bidangnya.

Kenapa Masjid? (catatan kaki tentang MAFAZA)


Puskom Mafaza ini berbasiskan kekuatan masjid sebagai pusat ibadah umat Islam. Ibadah dalam arti yang sangat universal, termasuk didalamnya mengembangkan ilmu pengetahuan. Takmir masjid Ir.M.Nuskhi Zetka yang juga mantan sekum PB HMI (MPO) era 1986 (Periode Egy Sudjana), memiliki strategi manajemen masjid sebagai pusat aktivitas masayarakat yang berlandaskan nilai Islam. Bisa dikatakan bahwa Masjid Fatimatuzahra (Mafaza) adalah Islamic Centre di kota Satria Purwokerto ini.

Sudah saatnya kita sadari bahwa masjid adalah sebuah aset berharga bagi umat Islam. Masjid adalah benteng pertahanan umat Islam untuk menyusun strategi-strategi yang progresif. Masjid bukan saja sebagai tempat untuk sholat berjamaah, tapi lebih dari itu masjid merupakan jantung aktivitas masyarakat dan pengembangan keilmuan untuk dapat dimanfaatkan umat. Keseimbangan IPTEK dan IMTAQ serta pemberdayaan masyarakat adalah ruh dari pengembangan masjid yang berlokasi di Jl.Madrani – Grendeng Purwokerto ini. Selain di bidang pengembangan teknologi informasi, pengembangan ilmu pengetahuan juga dilakukan di berbagai bidang seperti hiburan, pendidikan, ekonomi, budaya, kesehatan, pembinaan keluarga, pemberdayaan masyarakat, dll.

Mafaza adalah salah satu benteng umat Islam di kota Satria. Dengan pemakmuran masjid di berbagai wilayah, kita harapkan pondasi kekuatan umat muslim menjadi kuat. Semoga.

Shinta arDjahrie (crew of divisi COC Elektronika Puskom Mafaza).
Read more ...
Wednesday, April 01, 2009

DAGANGAN ITU BERNAMA PENDIDIKAN

(catatan seorang mahasiswa “hampir tua”)

Teriknya cuaca akhir-akhir ini ternyata meradiasi suasana kampus yang juga jadi panas. Sekurangnya dua aksi demonstrasi terjadi dalam satu hari dengan kasus yang berbeda. Patung jenderal Soedirman masih berdiri kokoh diatas kuda tunggangannya, terdiam menatap aksi-aksi para mahasiswa. Tak beda dengan aksi-aksi pada tahun-tahun sebelumnya, lalu apa sebenarnya makna kontinuitas perjuangan itu?
Kabar memanasnya kampus sebenarnya sudah kuterima beberapa hari yang lalu. Permintaan menjadi moderator diskusi antara birokrat dan mahasiswa memang kuterima, dan setidaknya aku sedikit memberikan saran untuk lebih slow. Semua permasalahan yang ada sebenarnya berujung pada “komersialisasi pendidikan”. Terkutuk memang para kapitalis itu!! Keparat, bidadab!

AKSI SEGEL KELAS DAN MOGOK KULIAH
Kampus sastra UNSOED memanas. Ini memang kabar lokal, tapi perlu dicermati untuk dunia pendidikan kita. Sekitar belasan ruangan rabu kemarin (31/3) di kampus sastra Inggris disegel mahasiswa. Perkuliahan tidak berjalan seperti biasanya. Mahasiswa enggan untuk mengikuti perkuliahan yang semakin lama semakin terasa amburadulnya. Apa pasal? Peraturan mengenai gaji dosen mengakibatkan para tenaga pengajar melakukan penggabungan kelas. Tiap angkatan, mahasiswa sastra Inggris ada sejumlah 3-4 kelas (kelas A, B, C, dan D), masing-masing kelas terdiri dari sekitar 25-30 mahasiswa. Karena terbatasnya jumlah dosen, maka tiap dosen harus mengampu semua kelas tersebut. Dengan kata lain, dosen melakukan minimalnya dua kali tambahan mengajar untuk tiap mata kuliah di tiap angkatan. Sementara peraturan dari rektorat menentukan pembayaran gaji dosen hanya dihitung satu kali mengajar (pokok), dan satu kali tambahan. Untuk tiap mata kuliah per angkatan, dihargai sekitar Rp 60.000,00. Dengan banyaknya mahasiswa dan harus mengajar tiga kelas tiap angkatan, maka untuk tiap kali mengajar dosen dihargai Rp 20.000,00. Kabar yang ada disinyalir pula, beberapa dosen honorer belum menerima hak mereka yaitu ongkos lelah mengajar.
Lepas dari masalah ketulusan dan keikhlasan dalam mengajar, minimnya biaya lelah dalam mengajar membuat para dosen berfikir keras. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggabungkan kelas. Tiap angkatan kini menjadi dua kelas, hanya ada kelas A dan B, yang berarti tiap kelas itu muatannya bisa sampai 50 mahasiswa di tiap pertemuan. Sedangkan mata kuliah yang ada di sastra Inggris yang notabene berhubungan dengan keterampilan bahasa dan pengenalan kebudayaan, kebanyakan terdiri mata kuliah praktikum. Sebagai contoh, bisa dibayangkan saja, apakah efektif saat kelas “speaking” dilakukan dalam sebuah kelas yang terdiri dari 50 peserta didik?
Tentunya hal ini tidak bisa diterima oleh para mahasiswa. Bagaimana mereka bisa tenang saat harus belajar di kelas yang sempit, panas, dengan mahasiswa berjubel melebihi batas. Sebenarnya dari dulu hal ini sudah sering dirasakan. Nggak jarang saat akan memulai perkuliahan, kita harus mengangkat kursi dari ruangan lain karena kursinya kurang. Belum lagi kalau berbicara mengenai kualitas pengajar. Belum ada guru besar disini. Untuk melakukan rujukan-rujukan dalam hal linguistik maupun sastra, masih sangat kurang tenaga pengajarnya. Dosen-dosen muda masih banyak bertebaran disini. Di lain pihak dosen muda lebih meremaja, namun dalam hal pengalaman mengajar kita masih sangat membutuhkan ahlinya , apalagi fasilitas yang ada masih jauh dari kata “good”.
Tak heran aksi segel kelas dan demonstrasi ke dekanat mewarnai Rabu siang yang panas itu. Walaupun jarak antara prodi sastra Inggris dan dekanat FISIP lumayan jauh, namun itu tidak menyurutkan langkah para calon sarjana sastra yang juga masih belum bisa membaca jelas “future” mereka karena kurikulum yang ada juga masih berantakan. Rabu senja kutengok kampus, masih terlihat sisa-sisa kekecewaan para mahasiswa. Berdasarkan keterangan korlap, Agung Benta (Abe), “ Rencana turun ke jalan sebenarnya tidak direncanakan, ini karena emosi teman-teman mahasiswa”. Abe nampak lelah saat kukunjungi di rumah kontrakannya. Aku memang tak turut aksi ke jalan, karena sudah dari awal menilai masalah ini kunci-nya bukan pada demo, tapi pada lobying. Tapi tak mengapa, itu merupakan bentuk kekecewaan teman-teman, tapi yang pasti aksi-aksi untuk melobi para birokrat harus tetap dilakukan, karena aku sudah tahu persis bagaimana bejatnya para pejabat terhormat itu!

DILEMA BOPP


Bersamaan dengan aksi para mahasiswa sastra, ternyata juga ada aksi demonstrasi lain dari fakultas-fakultas lain di UNSOED. Aksi ini merupakan reaksi dari munculnya kebijakan munculnya BOPP (Bantuan Operasional Penyelenggara Pendidikan). Entah lembaga apa lagi yang dibentuk. Isu yang muncul itu adalah pengganti dari lembaga POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa) yang intinya adalah merupakan lembaga yang menampung dana pendidikan diluar pembayaran resmi (SPP).
Pendidikan memang membutuhkan biaya, Jer Basuki Mawa Bea, namun pendidikan bukan merupakan sebuah lembaga investasi yang digunakan untuk melipatgandakan modal untuk kepentingan beberapa pihak saja. Pabrik buruh kini adalah predikat yang melekat pada lembaga bernama kampus. Perguruan tinggi tidak lebih dari pencetak tenaga-tenaga buruh yang nantinya akan menjadi budak-budak kapitalis.
Pendidikan secara formal memang merupakan hak, maka kupikir bolehlah kita mengambil hal itu atau tidak. Namun pendidikan secara esensial adalah kewajiban dari tiap manusia. Wajib bagi kita untuk menuntut ilmu, menerima pendidikan, dan bukan untuk menjadi budak dari investasi pendidikan. Sains for sains itu adalah kode etik dari seorang yang berilmu. Terdengar cukup idealis mungkin. Tapi memang itu yang perlu ditanamkan. Ilmu setinggi apapun jika hanya untuk memenuhi kantong pribadi maka, apalagi sampai mendzholimi orang-orang yang tertindas, apalah artinya?
BHP, POM, BOPP, dan tetek bengek lainnya hampir nampak seperti ceremony yang tak berkesudahan. Miris rasanya melihat itu sebagai sebuah rutinitas demonstrasi yang tak berujung. Sebuah evaluasi untuk pergerakan mahasiswa untuk stop melakukan aksi-aksi latah yang tak memiliki sebuah nilai solutif bagi permasalahan yang ada.
Namun sebagai sebuah penanaman semangat, saya hanya bisa memberikan dukungan serta semangat untuk teman-teman mahasiswa. Tahun ketiga di kampus jenderal ini sekaligus mantan petinggi BEM (kalo kata orang seperti itu), membuatku merasa lelah dengan demonstrasi yang tak berarti. Bukan berarti lelah berjuang, namun muak melihat pongah para penjahat pendidikan dan aksi mahasiwa yang lebih bisa disebut tak tersistem. Lepas dari itu semua, semoga mahasiswa Indonesia makin cerdas dalam melihat permasalahan yang ada di sekitar kita. YAKIN USAHA SAMPAI! (nta)


Read more ...

Catatan Kaki dari Palestina

Akhir pekan (29/3) yang renyah, nampak dinamika aktivitas di salah satu area kampus Universitas berpangkat Jenderal Soedirman ini. Settingan tempat yang formal awalnya membuatku menyalahkan diri sendiri yang lupa berganti sandal jepit walaupun setelan batik rapih telah dikenakan sepulang dari kegiatan di masjid tadi. Namun, siang ini ada sebuah undangan talkshow “ Catatan Kaki Seorang Dokter di Gaza”, dengan menghadirkan keynote speaker : dr.Joserizal Jurnalis, SP.Ot.

Nama Joserizal memang bukan nama asing di Indonesia. Selain menjadi nama salah seorang penyair tenar…nama Joserizal dikenakan pula oleh salah satu putra terbaik bangsa yang mengabdikan dirinya di dunia medis. dr.Joserizal adalah salah satu dokter yang menjadi relawan dari MER-C Indonesia yang ditugaskan di Palestina saat agresi militer Israel beberapa tempo lalu. So, mengingat banyak ilmu yang bisa didapat, sandal jepit yang terkesan nggak matching itu membuatku cuek dan berkilah…”who care??!!”

Dijadwalkan dimulai pukul 10.30 WIB ternyata time error sekitar 30 menit. Beberapa tamu yang hadir -nampaknya para medisian yang fundamentalis - kemudian menyerukan panitia untuk lekas dimulai mengingat nanti bisa memotong waktu Dzuhur. Setelah dibuka oleh dua mahasiswa(i) dari jajaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan UNSOED, acara dimulai dengan dimoderatori oleh dr.Tarqib. Gaya kocak sang moderator lumayan membuat suasana cair, dan tanpa menunggu lama sang keynote speaker pun menyampaikan ulasannya.

Tragedi Gaza bak sebuah luka yang bekasnya menimbulkan luka perih yang menyebar dan menghujam di hati seluruh umat dunia. Hanya manusia yang punya hati yang mampu melihat tragedi itu sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Gaza adalah salah satu contoh saja dari sekian banyak konflik di dunia ini yang mampu membuat manusia seperti tak memiliki nilai dengan dibantai tanpa tedeng aling-aling. Sebuah tanya retoris di awal ulasan pak dokter Jose, “Kenapa Gaza?”, karena disanalah kita menghadapi “mbahnya teroris” dengan kontak fisik secara langsung. Kekejaman yahudi Israel bukan hanya membuat dunia gempar, namun lebih jauh dari itu, masa depan

Gaza yang mengundang lautan simpati dan keprihatinan menggerakan ratusan relawan yang mencoba mengabdikan potensinya untuk menolong saudara-saudara yang menjadi korban. Bukan hanya ada MER-C disana, ratusan lembaga relawan juga tak absen hadir disana termasuk pula lembaga-lembaga non muslim. Namun menurut cerita bang dokter, mereka itu masuk setelah gencatan senjata. Sedangkan MER-C masuk ke Gaza saat peperangan masih berlangsung. Ikhlas menjadi amunisi yang kuat bagi perjuangan teman-teman di MER-C. Dalam kesempatan itu Joserizal tak lupa menceritakan ihwal MER-C ini dan dari diskusi yang ada juga banyak audiens yang menanyakan kaitannya mengenai independensi lembaga ini. MER-C adalah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan berasaskan Islam serta berprinsipkan rahmatan lil alamin.

Abang dokter yang putra melayu ini menyuguhkan tayangan video perjalanan jihadnya bersama beberapa rekan yang tergabung di MER-C(Medical Emergency Rescue Committe ) Indonesia di Gaza, Palestina. Bukan sebuah travelling yang penuh hura-hura atau piknik yang fresh..tapi tim relawan dokter itu tetap nampak have fun dengan ghirah perjuangannya. Video itu tampak membius ratusan audiens yang telah diundang oleh DDII dan BEM Fapet UNSOED – Purwokerto selaku penyelenggara event tersebutt. Sekitar 120 peserta memadati ruang seminar I di lt.3 Gdg Fak.Peternakan UNSOED.

Bang joserizal bisa dibilang salah satu sosok intelektual profetik yang bisa kita tiru. Wawasannya yang luas membuat alumni FKUI ini mampu membaca masalah secara komprehensif. Beberapa kali terulang di ucapan si abang mengenai intelektual-intelektual di negara kita yang kini mudah lena oleh kipasa dollar. Sains for sains, -menurut bang jose harus dapat menjadi prinsip bagi para ilmuwan apapun bidangnya. Ungkap sang abang, orang pinter di Indonesia (baca : intelektual) mudah dibeli kapabilitas keilmuannya hanya dengan kipasan dollar atau tawaran beasiswa misalnya.

Saat ini jeratan neoliberalisme yang menurunkan paham-paham sejenis kayak kapitalisme memang sudah menggurita dengan berbagai form-nya. Beberapa skandal seperti kasus virus H5N1 menjadi salah satu contoh yang dikisahkan oleh Joserizal. Ngeri juga sieh kalo kita tahu bagaimana “cerdik”nya para antek kapitalis memainkan aksinya. Bukan hanya di bidang medis, pendidikan dan bidang lain juga tak luput menjadi sasaran.

Ulasan ini membuat kita semua merasa perlu untuk memahami filosofis ilmu itu sendiri. Bukannya sok ngefilosofis sieh, tapi dipikir kalo keilmuan yang kita miliki tak mampu menjadi sebuah alat untuk melakukan keberpihakan dan hanya terbius pada kesenangan duniawi saja….kita secara langsung merendahkan ilmu! Kalo kata abang Jose, persepsi Yahudi adalah bahwa ilmu itu : how to get d’money!, kalo kata orang Amerika melihat ilmu adalah ; “how to look the money”. Disini kita melihat adanya perbedaan persepsi mengenai ilmu yang itu berpengaruh pada implementasi yang dilakukan.

So, buat para anak muda kayak kita-kita nih kudu bisa memahami hakikat ilmu yang kita cari selama ini. Biar ilmunya jadi berkah. Perjuangan yang dilakukan dokter Jose adalah salah satu bentuk jihad. Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan yang tentunya dengan potensi kita masing-masing. Jangan dikira Yahudi cuma memerangi secara fisik aja!!! Bagi para pejuang medis...berjuanglah dengan ilmunya, bagi para pejuang pena gunakanlah ketajaman pena dan pemikiran, bagi yang punya ilmu di bidang hukum bisa berjuang dengan kemampuannya. Kita adalah kita saat mampu berbuat, saat mampu berkarya untuk hidup ini. Tapi..hati-hati jangan sampai kita nggak bisa membedakan mana yang perjuangan dan mana yang “antek”. (nta)

bisa dilihat di www.hminews.com
Read more ...

Penyimpangan DPT : Pemilih Bagai Manekin

Menghitunghari di beberapa pekan terakhir menuju Pemilu 9 April 2009, suasana semakin memanas. Bukan sekedar saling adu sindiran antara pentolan partai, namun isu kekeliruan Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi episode dengan rating tinggi. Daerah timur pulau Jawa nampaknya tak bosan-bosannya membuat sensasi di fragmen bangsa ini. Setelah lepas dari kemunculan Ryan “tukang jagal” dan “sang bocah sakti” Ponari, provinsi Jawa Timur kini juga menjadi daerah pemicu adanya dugaan penggelembungan suara melalui penyimpangan DPT.

Kejadian ini memunculkan wacana pemunduran jadwal PEMILU. Dengan asumsi bahwa Pemilu ini tidak untuk menjadi bahan pertaruhan atas kehancuran bangsa lima tahun mendatang, usulan Pemilu diundur menjadi topik menarik untuk diangkat.
Mengenai DPT sendiri, tentunya telah melalui proses-proses yang telah diatur oleh KPU. Semenjak 5 April 2008, diawali dengan penyerahan Daftar Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh pemerintah (depdagri) kepada KPU. Berdasarkan data waktu itu, jumlah pemilih ada 154.741.787. Proses ini kemudian berlanjut pada 20 Juni 2008 melalui SK KPU no 139/2008 yang mencantumkan Daftar Oemilih Sementara 9DPS) sebanyak 174.410.453. Angka tersebut mengalami perbaikan pada 15 September 2008 dengan berkurang sekitar 2juta hingga menjadi 170.752.862. SK KPU mengenai DPT keluar tanggal 24 November 2008(setelah sebelumnnya sudah ada ketetapan no 383/2008 namun tanpa data pemilih dari Papua dan Luar Negeri yang belum masuk), dengan jumlah pemilih 171.068.667. Kemudian melalui keputusak KPU no 164/KPTS/KPU/tahun 2009, pada tanggal 7 Maret 2009, KPU mengumumkan DPT hasil revisi dengan jumlah pemilih menjadi 171.265.442 atau bertambah 195.775 dari jumlah sebelumnya (republika 23 Maret 2009).
Di beberapa KPUD, data DPT rupa-rupanya masih ada yang diambil berdasarkan teknis copy-paste dari data DPT Pilkada. Hal ini menjadi riskan kepada terjadinya penyimpangan, hingga muncul nama-nama “gaib” pada daftar pemilih tetap. Beberapa kasus penyimpangan yang menjadi modus antara lain, NIK dan nama sama; NIK dan TTL (Tempat Tanggal Lahir) sama; Usia dibawah 17 tahun dan belum menikah; usia nol atau sudah meninggal. Munculnya pengaduan atas kekeliruan DPT, dapat diambil beberapa analisa.

Pemasangan DPT di masing-masing kelurahan tentunya sudah harus dilakukan dari beberapa waktu yang lalu, namun dari pengaduan yang ada, tidak ada yang datang dari pemilih. Ini benar-benar menunjukkan tidak adanya antusiasme dari masyarakat mengenai penyelenggeraan Pemilu 2009. Tercantumnya nama diri di DPT merupakan sebuah hak politik dari setiap warga masyarakat. Sama halnya saat mencari pengumuman lolos seleksi CPNS dan sejenisnya, seharusnya pemilih juga berantusias untuk mengetahui apakah dirinya sudah ada di DPT atau belum.Ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan juga semestinya masyarakat lah yang pertama kali tahu mengenai hal itu, karena nama-nama yang dimanipulasi adalah nama-nama warga yang secara langsung mereka berinteraksidi setiap harinya. Namun, boro-boro mau ngadu.. ada atau tidak adanya nama mereka di DPT juga bodo amat.
Ini merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Selain mengkritik kinerja-kinerja KPU, mengadakan kampanye-kampanye besar-besaran, yang lebih penting diperhatikan adalah bagaimana membangun kesadaran kritis masyarakat akan pentingnya hak politik mereka. Pesta ini dibiayai dengan uanng rakyat, pesta ini untuk rakyat. Bukan berarti kemudian dihambur-hamburkan untuk mengadakan kampanye hiburan bagi rakyat, namun bagaimana pengelolaan dana ini menjadi agenda-agenda pendidikan politik bagi masyarakat. Kalau sekedar memberikan hal-hal manis pada masyarakat saat kampanye, itu tak lebih dari upaya pembodohan dan penistaan rakyat. Dan itu adalah hal terculas yang dilakukan di drama politik Indonesia!
Kehadiran Panwaslu memang cukup membantu untuk menertibkan pelanggaran – pelanggaran yang ada. Namun, jika sebatas permainan sepakbola yang mempertemukan 22 orang saja, memang cukup dengan satu wasit, tapi kalau untuk mengawasi ratusan juta pemilih, lebih dari 40 parpol, kehadiran panwaslu sebagai satu-satunya wasit menjadi terengah-engah dan kurang efektif. Wasit yang paling efektif adalah rakyat itu sendiri sebagai pelaku pesta demokrasi. Walaupun KPU udah banting tulang mempersiapkan logistik pemliu hingga berdarah-darah dan panwaslu juga sudah jatuh bangun, jika rakyat masih seperti “mayat hidup” terhadap pelaksanaan Pemilu, hal itu seperti menuli di atas air. Kinerja KPU dan Panwaslu memang patut diacungi jempol dan kita anugerahkan berjuta terima kasih kepada kedua lembaga tersebut. Namun, apa artinya jika sang pemegang kedaulatan suara apatis terhadap semua itu?
Gerakan pemilih cerdas merupakan sebuah agenda besar, PR utama bagi para pelaksana Pemilu, baik itu KPU, Panwaslu, dan tak kalah pentinya yaitu partai polotik. Kalau memang hak suara bukan dianggap sebagai sebuah hak dasar, ya udah nggak usah ada Pemilu saja!!! . Biarkan saja pemerintahan dilakukan dengan model aristokrat tanpa pemilihan umum, sehingga tidak menjadi demokrasi yang dipaksakan bukan atas kesadaran…begitukah???sedemikian parahkah kondisi kesadaran kritis masyarakat Indonesia?
Jika memang penegakan demokrasi menjadi tujuan kita bersama, mari kita melihat titik point yang urgent. Bukan sebatas pada pengkritisan kerja-kerja teknis pemilu atau bahkan saling sikut untuk berlomba memberikan sindiran terpedas kepada lawan politik, namun bersama-sama membangun pencerdasan masyarakat. Ketika tujuan Pemilu ini tulus untuk pendewasaan politik rakyat, maka seharusnya agenda-agenda yang dirancang adalah agenda pencerdasan , sehingga rakyat akan proaktif dengan posisinya nanti sebagai pemilih, sebagai “aktor utama”, peserta VVIP dalam pesta demokrasi besok. Mari sukseskan Gerakan Pemilih Cerdas Untuk Pemilu 2009! (nta)
Read more ...

Kampanye dan Perempuan

Tahap kampanye menjelang pemilu legislatif 2009 telah menginjak pada tahapan untuk melakukan kampanye terbuka. Pada fase ini, tiap partai politik sebagai mesin demokrasi diberi kesempatan untuk melakukan propaganda secara terbuka pada masyarakat Indonesia.
Kampanye terbuka yang telah berjalan beberapa hari memberikan sebuah warna di negara ini, warna cerah dan tak pelak muncul juga warna suram. Kreativitas dan inovasi banyak dilakukan sebagai media kampanye. Hiburan rakyat menjadi salah satu pilihan terlaris bagi banyak parpol dalam melakukan kampanye. Alternatif ini dipilih lebih memiliki kecenderungan dalam meraih simpati masyarakat khususnya rakyat kelas bawah. Asal rakyat senang, dengan janji-janji manis, para juru kampanye dnegan lihai mempropagandakan parpolnya masing-masing. Entah rakyat menyadari atau tidak bahwa pesta pora itu juga bukan sebuah keniscayaan jaminan kebahagiaan jika memilih parpol tersebut. Bahwa rakyat juga sudah semakin cerdas dan memhami bahwa pesta pora hiburan rakyat bukan sebuah jaminan, dan mereka juga tidak meminta itu. Toh pesta itu sudah diselenggarakan, apa salahnya jika ikut bersenang-senang? Ikut kampanye bukan berarti nanti memilih partai yang bersangkutan. Entah pula para designer kampanye tahu atau tidak mengenai pandangan rakyat ini. Jika rakyat dianggap cerdas toh sudah semestinya menyelenggarakan kampanye-kampanye cerdas tanpa mengurangi interest dari rakyat. Atau ini pertanda rendahnya daya kreatifitas para jurkam dalam mendesign bentuk-bentuk acara kampanye parpol.

Satu point yang juga perlu mendapat perahatian serius adalah posisi perempuan dalam keterlibatannya di berbagai kampanye. Tidak sudah mendapati bentuk-bentuk kampanye yang menampilkan hiburan rakyat yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek hiburan. Kampanye dengan konser tarian erotis nyatanya masih mudah ditemui di berbagai daerah. Selain itu, penggunaan biduan-biduan perempuan sebagai daya tarik, tak beda jika diibaratkan dengan menempatkan perempuan sebagai hidangan pesta. Partai politik yang mengusung pembelaan terhadap hal perempuan-pun pada kenyataannya masih menarapkan hal-hal seperti ini. Proses demokrasi dan pencerdasan seperti apakah yang diciptakan oleh para parpol dengan tetap mengumbar janji-janji manis yang sudah terbukti palsu, bahkan masih di tahap kampanye.
Perempuan baik disadari maupun tidak disadari telah menjadi korban maskulinitas model politik yang merendahkan harga diri seorang perempuan. Ribuan lembar undang-undang pronografi dirancang dengan maksud menghargai nilai kehormatan seorang perempuan hanya menjadi ganjal meja di senayan yang semakin hari semakin timpang.
Demokrasi bangsa ini dalam tahap belajar, dalam proses. Proses yang diharapkan menjadi sebuah alur proses yang menitikberatkan pada proses pembelajaran yang memiliki substansi pada pencerdasan. Kenyataannya yang terjadi adalah pembodohan. Memberikan janji-janji dan kesenangan sesaat pada rakyat. Dalam konteks ini adalah pada perempuan, komponen bangsa yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Sampai kapanpun politik akan tetap menjadi sebuah mesin eksploitasi perempuan dan pembodohan rakyat jika dalam praktik-praktiknya masih tak mampu menghargai harkat seorang manusia khususnya perempuan. Rakyat dibeli dengan uang, perempuan dianggap sebagai hidangan.
Pencerdasan rakyat diharapkan selalu menjadi prioritas bagi proses pembelajaran politik bangsa ini. Karena hanya dari sebuah kesadaran kritis yang terbangun dari upaya pencerdasan massa itulah bangsa ini mampu belajar demokrasi yang sehat. Semoga. (nta)
Read more ...

Gerakan Cerdas Memilih Untuk Representasi Politik Perempuan

Pemilu yang didengung-dengungkan sebagai sebuah pesta demokrasi kian dekat menghampiri kita seperti jadwal yang sudah ditetapkan, 9 April esok. Reaksi rakyat bermacam-macam, dari yang antusias hingga apatis terhadap perhelatan akbar tersebut. Dari kebermacaman reaksi pemilih, klasifikasi pemilih yang berhak memberikan suaranya esok juga bermacam-macam, salah satunya yaitu pemilih perempuan. Sebagai komponen bangsa, perempuan merupakan unsur pemilih yang tak boleh dipandang sebelah mata. Berdasarkan data, pada pemilu 1999 diperkirakan angka pemilih perempuan sekitar 57% dari seluruh pemilih.
Selama ini kerap muncul pandangan pemilih perempuan cenderung sebagai pemilih yang pragmatis. Padahal satu suara itu itu berpengaruh terhadap nasib bangsa ini. Bahkan ketika golput menjadi pilihan, diharapkan juga dapat menjadi sebuah pilihan yang bertanggungjawab, pilihan cerdas yang bukan muncul karena sebatas keterputusasaan atau sikap apatis. Esensi dari pemilih cerdas adalah sebuah sikap yang tidak apatis terhadap apa yang terjadi di negara ini.
Berbicara memilih sebagai sebuah hak tentunya tidak bisa dipelaskan dari jati diri setiap indivisu pemilih tersebut. Pemilih perempuan sebagai sesosok warga negara berjenis kelamin perempuan memang memiliki sebuah karakter khas sama halnya dengan pemilih yang lain (baca : laki-laki). Ada anggapan bahwa dalam membuat sebuah keputusan biasanya perempuan lebih dilandaskan pada perasan dan laki-laki pada logika. Jadi seolah-olah laki-laki adalah makhluk yang logis dan perempuan unlogic. Pada dasarnya akal (logika) bukan sebuah hal yang terpisah dari hati (perasaan). Mungkin yang terjadi laki-laki lebih memiliki kecenderungan dengan porsi logika yang lebih besar dibanding perasaan dan sebaliknya pada perempuan. Ini adalah sebuah hal yang merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat kita dikotomikan dengan menganggap yang satu lebih baik. Politik bukan sebuah hal yang “keras” tanpa memperhitungkan hati nurani, dan sebaliknya juga bukan sebuah hal yang “lembut” dan unlogic. Maka “partisipasi logika” dan “partisipasi hati” ini harus memainkan peran yang seimbang, dengan kata lain hak politik perempuan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diikutsertakan untuk membangun suasana politik yang dinamis.
Pada awal abad ke-21, lebih dari 95% negara di dunia menjamin hak demokratik mendasar pada perempuan, yakni : hak memilih (right to vote), dan hak untuk dipilih (right to stand for election). Dalam historynya, Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan hak suara pada perempuan pada tahun 1893 dan Finlandia merupakan negara pertama yang mngadopsi dua hak demokratik mendasar tersebut pada tahun 1906. Lima belas abad yang lalu, Muhammad Rasulullah hadir menyampaikan risalah Islam yang membebaskan perempuan dari belenggu-belenggu kejahiliyahan, yang berarti pula perempuan memiliki potensi dasar dalam berbagai urusan termasuk politik.
Politik selama ini dianggap sebuah hal yang “maskulin”. Hal ini wajar jika pada kenyataannya bermula dari dominasi laki-laki yang secara luas mendominasi area politik; laki-laki mendominasi dalam memformulasikan aturan-aturan permainan politik, dan laki-laki pula-lah yang sering mendefinisikan standart evaluasi. Lebih jauh dari itu, model politik maskulin yang kemudian tercipta dimana kehidupan politik sering diatur dengan norma-norma kehidupan laki-laki dan bahkan dalam beberapa kasus juga menurut gaya hidup laki-laki. Sebagai contoh, politik dimainkan atas dasar “pecundang dan pemenang”, kompetitif dan konfrontasi. Akhirnya wajah politik yang hitam yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat.
Maka representasi politik perempuan disini dinilai perlu dalam sebuah dinamisasi percaturan politik sebuah bangsa. Menyuarakan pilihan secara cerdas oleh perempuan disini juga bukan semata-mata pada sebuah “kehadiran” sosok perempuan saja, namun lebih pada esensi pada terciptanya suasana politik yang lebih representatif pada rakyat. Jadi bukan semata-mata “memilih perempuan” namun saat ruang esensial “keterwakilan perempuan” mampu terwujud. Sebagai sebuah proses, logikanya bahwa hal itu mampu terwujud dengan mendongkrak keikutsertaan perempuan dalam parlemen.
Gerakan memilih cerdas merupakan sebuah hal yang perlu ditanamkan, khususnya pada perempuan dengan melihatk konteks saat ini. Jadi pemilih perempuan memiliki bargaining position dalam perhelatan demokrasi bukan sebatas dari tingkat kuanttitasnya saja melainkan dengan kemampuan aktualisasi dirinya dalam ranah politik. Keputusan yang dimiliki pemilih perempuan diharapkan adalah sebuah kesadaran kritis yang muncul sebagai warga negara. Dengan cerdas memilih, pemilih perempuan telah melakukan sebuah upaya humanisasi atas dirinya secara khusus dan pada seluruh rakyat pada umumnya. Sukses Untuk Pemilu Indonesia 2009! (nta).
Read more ...

AKU BERKARYA MAKA AKU ADA (Aku Untuk Negeriku)

*) disusun untuk FIM


Pagi ku jelang, bertemu kabut nan tebal yang menggantung dalam suasana sejuk bumi Purwokerto. Langkah kaki terasa ringan menyambut datangnya pagi. Kini rutinitas itu mungkin aku jalani tiap awal pekan, setelah jadwal siar berubah. Karena sudah terhitung sebagai “senior”, maka kini harus rela jam siarku dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada teman-teman baru.

Pagi yang indah dulu selalu kusambut saat hari-hari dengan jadwal siaran pagi. Tiap pukul enam tepat, dengan sigap kusama para pendengar, berbagi semangat dan kisah. Apapun kondisi mood yang kurasakan, harus tetap ceria, karena program pagi adalah program yang sifatnya memang “menyemangati” para pendengarnya.

Dunia broadcast yang sudah digeluti lebih dari tiga tahun memberikan sebuah pelajaran tersendiri. Belajar berbagi dan juga banyak hal manis yang bisa didapatkan di dunia ini.
Bersyukur media yang aku geluti ada sebagai media dakwah. Radio bukan sebagai sebuah “kotak musik” yang bersifat entertaint saja, melainkan menjadi sebuah “box magic” bagi masyarakat untuk dapat memperoleh berbagai hal yang berguna. Selepas SMA dulu, saya sempat menuntut ilmu di sebuah sekolah perfilman. Namun karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup, maka saya “diderpotasi” untuk belajar di sebuah pondok pesantren di kawasamn pegunungan Guci-Tegal. Hari-hari awal disana merupakan sesuatu yang membosankan karena ada beberapa batasan-batasan yang tidak nyaman bagiku.

Di pondok ternyata bukan hanya ada lembaga pendidikan, tetapi mencakup banyak bidang, salah satunya ada radio station. Mungkin melihat minatku pada dunia media, sang pak Kyai memintaku untuk mengelola radio dengan posisi 91.0 FM itu. Melihat radio itu, dalam pikiranku ini adalah harta mati yang potensial. Dalam radius sekian ratus meter, radio ini tidak memiliki kompetitor, dan radion ini (Darussalam FM) sudah memiliki kelompok fans sendiri. Permasalahan dalam pengelolaan radio ini adalah kurangnya SDM yang mampu dan mau mengelola manajemen radio. Berbeda dengan radio yang lain,disini para pengelola radio bukan hanya berstatus pegawai radio tetapi dituntut sebuah “pengabdian” pada Yayasan Pondok pesantren.
Awalnya saya hanya menjadi announcer, siaran beberapa program acara. Setelah beberapa waktu, rupanya sang pak Kyai tertarik dengan minat saya kemudian mempercayakan pengelolaannya kepada saya. Bukan hal yang mudah. Dibandingkan teman-teman lain disana, saya terlalu muda. Masih bau kencur. Namun, semua aku lihat sebagai sebuah tantangan.

Satu hal yang berkesan saat itu adalah ketika aku punya keinginan untuk memasukkan program-program “pencerdasan masyarakat” di radio itu. Awalnya banyak penentangan. Saya dianggap “orang kota; yang terlalu idealis. Menurut mereka pendengar yang rata-rata orang desa membutuhkan hiburan, nggak usah dibuat pusing dnegan program-program yang bikun mumet. Namun menurutku, justru melalui media radio itulah, kita mampu melakukan sebuah perubahan mindset masyarakat. Kalau mereka suka musik-musik dangdut, bukan berarti mereka tak mampu untuk mencerna informasi-informasi “berat”. Justru musik itu adalah sebuah alat untuk kita menyisipkan pesan-pesan pencerdasan masyarakat. Jadi hiburan bukan sebagai tujuan namun sebagai alat.
Dengan segala perjuangan, akhirnya program-program di DS FM banyak mengalami perubahan. Secara prinsip kita tetap menjadi radio dakwah dengan menyiarkan beberapa program yang menjadi jadwal dari pondok. Namun secara varian acara, kita perlu melakukan beberapa inovasi dan kreativitas.
Kebersamaan di radio DS FM memang tidak lama, karena aku harus melanjutkan study di Universitas Jenderal Soedirman. Namun, aku berjanji aku akan tetap kembali untuk membangun terus DS FM. Sementara ini biarlah teman-teman yang lain disana untuk berjuang membangun radio.
Ketertarikanku di dunia media membuatku memiliki curious untuk mencari pengalaman di dunia tersebut. Membaca, menulis, dan berbicara adalah aktivitas hoby, dan nampaknya Allah memberikan amanah kepadaku dengan sedikit potensi. Aku sadar bahwa potensi yang merupakan anugerah Allah itu hanyalah menjadi sebuah energi potensial yang tidak akan berguna jika kita tidak mengolahnya.
Selain aktivitas di dunia broadcast, menulis adalah salah satu kegiatan yang bisa diasebut sebagai jiwaku. Manusia diciptakan sebagai khalifah, berbagi merupakan suatu hal yang menjadi kebahagiaan tersendiri. Tak ada kebahagiaan yang lebih indah selain kita bisa berbagi dengan siapapun. Sesungguhnya ketika kita berbagi itu bukan untuk orang lain namun itu adalah kebutuhan diri kita sendiri , apalagi pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Maka bagiku dakwah merupakan sebuah kebutuhan, sebuah konsekuensi kita sebagai seorang manusia.
Kalau kita jadi da’I , mungkin kita mampu memberikan segala ilmu kita dengan ceramah-ceramah di berbagai tempat. Nemun dakwah juga memerlukan media untuk kita mampu bersentuhan langsung dengan masyarakat. Tulisan adalah salah satu media yang efektif. Bayangkan saja, kalau kita menyampaikan dnegan “bicara”, mungkin yang mampu menerima itu hanyalah sekelompok orang yang saat itu mendengarkan, namun dengan tulisan, kita bisa menyampaikan ide dan pemikiran kepada seluruh antero dunia.
Kegemaranku pada menulis dan sebuah kebutuhan serta kesadaran membawaku pada sebuah prinsip untuk menciptakan karya-karya dalam tulisan yang diharapkan mampu memberikan sebuah enlightmen pada masyarakat. Beberapa kali saya mencoba menulis di berbagai media, baik itu media cetak maupun elektronik. Sebuah kepuasan tersendiri saat mampu mengakomodir ide melalui tulisan dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dunia media adalah hal yang menarik bagiku. Miris rasanya saat melihat media-media di Indonesia kadang tidak mampu memberikan sebuah pencerdasan. Media itu benda mati. Media itu alat, maka saat alat itu dipegang orang-orang yang “jahat” akan menjadikan media itu sebagai sebuah hal yang mebhayakan.
Misalnya televisi. Hampir lebih dari separuh hari kita diisi oleh televisi. Coba tengok acara-acara di televisi, apa yang kita dapatkan? Sinetron-sinetron picisan memiliki rating tinggi. Berbagai tayangan-tayangan yang seronok bukan hal yang jarang kit atemui di Televisi Indonesia. Tak heran jika tingkat kriminalitas dan kenakalan remaja kini sangat meningkat, apa yang mereka tonton itulah yang menjadi tuntunan. Bukan hanya televisi, internet, majalah, radio, semua media kini sebagian besar programnya lebih berorientasi pada hiburan-hiburan yang bersifat hedonis.
Hal itu tak akan terjadi saat para pelaku media mampu menerjemahkan apa yang menjadi hakekat sebuah media. Di era globalisasi seperti sekarang, pemodal menjadi Tuhan baru bagi manusia. Uang adalah tujuan hidup manusia. Hal ini tak beda menimpa media-media kita. Para pemodal itu hanya memikirkan berapa rupiah yang mampu mereka hasilkan melalui media tanpa memikirkan efek yang terjadi dari para penikmat media itu. Cengkeraman kapitalis dan gurita neoliberalisme menjadikan semua diorientasikan kepada hal-hal yang bersifat materi.
Kaum muda seharusnya mampu melakukan sebuah pengkritisan. Namun kalau melihat kondisi saat ini, kaum muda juga sekarang banyak yang menjadi “korban” daripada melakukan pengkritisan.
Menciptakan media-media yang menjadi sebuah sarana pencerdasan masyarakat adalah sebuah hal yang saya cita-citakan. Mungkin bagi saya, menciptakan media-media yang mampu menyentuh masyarakat adalah salah satu misi yang bisa dilakukan. Kalau saat ini saya bergelut di dunia broadcast dan tulis-menulis, banyak hal yang mampu dilakukan. Membangun jaringan dengan banyak kaum muda dari berbagai kalangan merupakan salah satu hal yang harus saya lakukan sehingga orientasi yang dilakukan juga tidak sempit. Mampu memberikan pandangan secara global dan mengimplementasikan di masyarakat sekitar, think global act local. Majulah bangsaku, bergeraklah pemuda-pemudaku!!! YAKUSA (YAKIN USAHA SAMPAI!) – nta-
Read more ...