Pages

Saturday, December 16, 2006

Requiem from Java




This is the story about Setyo, Siti and Ludiro, who were the performer of Javanese Ramayana's Wayang Wong. Setyo and Siti are spouse who live in a village by selling earthenware products. In the village, live as well Ludiro, the head of the stockyard, who is very wealthy and secretly in love with Siti. Conflicts arrived as Setyo's earthenware company is going bankrupt and Siti started to took notice in Ludiro's desire to win her love. These triangle love transform into a civil war in the village that brings not only extremity and injustice, but also the death of the loved ones (from IMDB-the earth movie database)

OPERA JAWA - Ramayana Versi Baru

Sutradara: Garin Nugroho
Ditulis oleh :
Armantono
Garin Nugroho
Menampilkan :
Artika Sari Devi
Martinus Miroto
Eko Supriyanto
I Nyoman Sura
Retno Maruti
Jecko Siompo Pui
Slamet Gundono
Produser:
Garin Nugroho
Distributor :
SET Film Workshop
Tanggal rilis :
7 Agustus 2006
Durasi :
120 menit
Bahasa :
Bahasa Indonesia


Cerita Ramayana yang melegenda di kawasan Asia memang banyak menjadi inspirasi para seniman untuk mengembangkan kreativitasnya. Kisah Rama dan Shinta yang menghiasi dunia perwayangan ini rupanya juga menjadi inspirasi bagi Garin Nugroho untuk mengembangkan idenya mengenai dunia asal-usul.
Melalui film barunya yang berjudul Opera Jawa, Garin menyajikan gambaran kehidupan yang penuh konflik. Mulai dari permasalahan cinta segitiga dalam sebuah keluarga (dengan tokoh Setyo, Siti, dan Ludiro – yang mewakili Rama, Shinta, dan Rahwana) hingga masalah sosial, politik, dan perekonomian dimana rakyat kecil selalu menjadi korban.
Perpaduan berbagai karya seni seperti tarian Jawa yang identik dengan gamelan, tembang-tembang yang mewakili dialog, sampai dengan instalasi yang memperindah setting membuat drama musikal ini terlihat kaya dan unik. Sementara lokasi pedesaan dan kostum yang dikenakan para pemain mulai dari rakyat kecil hingga kerabat keraton membuat kita seakan dibawa menyelami kehidupan masyarakat Jawa dengan berbagai statusnya.
Dalam waktu selama kurang lebih dua jam, penonton dipukau dengan sajian berbagai karya dari para seniman ternama yang menampilkan keunikan dan kekhasan masing-masing. Rahayu Supanggah, menghidupkan suasana dengan bunyi-bunyian gamelan serta beberapa alat musik lain.
Para instalator seperti, pasangan suami istri Agus Suwage – Titarubi, Hendro Suseno (Alm), Entang Wiharso dan lainnya menampilkan karya mereka yang semakin menguatkan asal-usul siti (tanah) yang melekat dalam kehidupan tokoh utama. Sementara Samuel Watimena menguatkan penokohan masing-masing karakter melalui desain kostumnya.
Para pemain yang fasih dalam dunianya masing-masing dan telah berkeliling dunia juga tak kalah serunya dalam menampilkan kreativitas. Jadi bukan hanya tarian Jawa seperti tampilan Martinus Miroto dan Retno Maruti serta Artika Sari Devi saja yang tersaji, namun juga tarian dinamis dari Jecko Siompo dan unsur Bali dari Nyoman Sura. Sementara Slamet Gundono memberi variasi dengan senandungnya.
Pada scene awal, penonton diajak menikmati beberapa tarian seperti Bedono, dan berlanjut pada indahnya hubungan suami istri serta tentramnya suasana desa. Suasana tentram itu hilang ketika para prajurit mulai datang dan mengacaukan kehidupan warga. Sementara Setyo sebagai tokoh utama yang pekerjaannya berdagang gerabah pun bangkrut. Kehidupan menjadi tak seperti semula lagi, stress dan kekacauan muncul bukan hanya pada keluarga Siti dan Setyo yang kedatangan orang ketiga, Ludiro, namun masyarakat pun terbawa dalam arus perang.
Tidak seperti film cinta populer dengan akhir yang bahagia, seperti yang banyak muncul akhir-akhir ini, Opera Jawa diakhiri dengan klimaks menegangkan di mana Siti dibunuh dan diambil hatinya oleh sang suami yang dibakar api cemburu. Barangkali penonton jadi teringat dengan banyaknya tindak kriminal yang menghiasi media kita akhir-akhir ini, terlebih karena permasalahan perekonomian dan kecemburuan.
Film yang telah dibeli oleh distributor internasional ini dibuat untuk sekaligus mengenang 250 tahun Mozart yang bertepatan dengan ulang tahun kota Jogja yang juga ke-250. Diluncurkan pertama kali dalam pembuakaan JAFF, Jogja – Netpac Asian Film Festival yang akan berlangsung sampai dengan 12 Agustus mendatang. Opera Jawa merupakan salah satu dari 7 film Indonesia yang masuk nominasi penghargaan.
Festival film Asia yang pertama kali diselenggarakan ini diharapkan dapat mengembangkan dunia perfilman di Indonesia. Philip Cheah, salah satu kurator ajang ini mengungkapkan bahwa di Jogja ini banyak terdapat komunitas film namun belum ada festival untuk menghargai dan membantu perkembangannya, untuk itulah kota ini dipilih sebagai tempat penyelenggaraan Festival Film Asia.
Sementara Victor dari World Film Festival of Bangkok yang konsen dengan film Independent menyatakan dukungannya kepada para sineas untuk terus berkarya mengembangkan idenya. "Jangan takut untuk menjajakan filmmu dari pintu ke pintu, pasti akan ada yang menghargai karyamu," tambahnya.
from: http://trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=11&news_id=695

with luph for all my friends in cinemaAtOgraphi ( i miss u all)
Title: Requiem from Java; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: