Pages

Sunday, April 05, 2009

Rekayasa Teknologi Informasi Berbasis Masjid

Kalau kita sering berwacana mengenai gurita kapitalisme yang telah mencengkeram begitu erat, maka PR terberat bagi para pewacana adalah bagaimana solusinya? Perkembangan teknologi yang menjadi warna dari modernisasi zaman adalah salah satu bentuk komoditi para kapitalis. Murninya Sains for sains sudah mulai pudar, semua menjadi sasaran untuk bagaimana mendapatkan keuntungan semata. Kekuatan untuk menghadapi ini adalah dengan mengembangkan daya kreasi dan inovasi dalam dunia teknologi khususnya teknologi informasi.



Membangun teknologi informasi berbasis open source melalui pemberdayaan adalah sebuah visi yang coba dirintis oleh beberapa pemuda(i) yang tergabung dalam Puskom MAFAZA (Pusat Komputer Masjid Fatimatuzahra). Berawal dari pemikiran-pemikiran yang sederhana dengan semangat perlawanan terhadap kapitalisme dalam perkembangan teknologi informasi, kita mencoba berkarya dalam dunia TI. Perkembangan teknologi adalah untuk semua, bukan sebuah hal yang eksklusif dan tak dapat disentuh oleh masyarakat. Teknologi bukan sebuah hal yang mahal yang semakin memperluas kesenjangan sosial masyarakat bahkan . Puskom Mafaza melakukan inovasi di tahun ini dengan membangun sebuah Pusat Pengembangan Keahlian Rekayasa Teknologi Informasi. Dalam dua pekan kemarin - dimulai sejak tanggal 29 Maret yang lalu- , telah melakukan open recruitment untuk divisi COC (center of Competency) IT Service, yang terdiri dari COC Aplikasi, COC Operating System, COC Database, COC Hardware, COC Elektronika, dan COC Network. Teknis kerja COC ini adalah seperti konsep perang gerilya dimana sebuah tim memiliki pasukan-pasukan komando yang memiliki keahlian husus dengan kemampuan memberikan layanan kepada unit yang membuthkan. Puskom Mafaza yang disetting sebagai pusat pembelajaran dan pengembangan rekayasa teknologi informasi terbuka untuk semua umat muslim. Beberapa hal yang menjadi syarat dasar adalah : 1) mau menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan ummat serta memakmurkan, dan 2) Berkemauan menjadikan diri pribadi unggul dibidang rekayasa Teknologi Informasi. Untuk kemampuan-kemampuan teknisnya akan dilakukan melalui test tertulis mengenai bidang-bidang khusus sesuai peminatan bidang masing-masing.

Puskom MAFAZA adalah sebuah pengembangan dari divisi kesekretariatan yang selama ini telah berfungsi sebagai pusat database takmir masjid Fatimatuzahra – Purwokerto. Pengembangan secara optimal di bidang teknologi informasi ini diharapkan mampu melahirkan insan-insan kreatif dan inovatif dalam dunia TI. Dalam lingkup kecil,disini misalnya kita belajar seperti membuat software-software yang dibutuhkan dalam ativitas sehari-hari, setidaknya kita mengenal dunia IT disini. Sistem Open Source ini membuat para anggota memiliki ruang bebas untuk belajar dan berkreasi. Pemikiran dasarnya adalah perkembangan teknologi adalah bagian dari sains yang harus kita pelajari, teknologi nggak mahal, teknologi nggak susah, belajar itu enjoy! Tentunya dalam proses pengembangan ini, Puskom telah memiliki jaringan dengan pihak-pihak yang terkait yang berkompeten di bidangnya.

Kenapa Masjid? (catatan kaki tentang MAFAZA)


Puskom Mafaza ini berbasiskan kekuatan masjid sebagai pusat ibadah umat Islam. Ibadah dalam arti yang sangat universal, termasuk didalamnya mengembangkan ilmu pengetahuan. Takmir masjid Ir.M.Nuskhi Zetka yang juga mantan sekum PB HMI (MPO) era 1986 (Periode Egy Sudjana), memiliki strategi manajemen masjid sebagai pusat aktivitas masayarakat yang berlandaskan nilai Islam. Bisa dikatakan bahwa Masjid Fatimatuzahra (Mafaza) adalah Islamic Centre di kota Satria Purwokerto ini.

Sudah saatnya kita sadari bahwa masjid adalah sebuah aset berharga bagi umat Islam. Masjid adalah benteng pertahanan umat Islam untuk menyusun strategi-strategi yang progresif. Masjid bukan saja sebagai tempat untuk sholat berjamaah, tapi lebih dari itu masjid merupakan jantung aktivitas masyarakat dan pengembangan keilmuan untuk dapat dimanfaatkan umat. Keseimbangan IPTEK dan IMTAQ serta pemberdayaan masyarakat adalah ruh dari pengembangan masjid yang berlokasi di Jl.Madrani – Grendeng Purwokerto ini. Selain di bidang pengembangan teknologi informasi, pengembangan ilmu pengetahuan juga dilakukan di berbagai bidang seperti hiburan, pendidikan, ekonomi, budaya, kesehatan, pembinaan keluarga, pemberdayaan masyarakat, dll.

Mafaza adalah salah satu benteng umat Islam di kota Satria. Dengan pemakmuran masjid di berbagai wilayah, kita harapkan pondasi kekuatan umat muslim menjadi kuat. Semoga.

Shinta arDjahrie (crew of divisi COC Elektronika Puskom Mafaza).
Read more ...
Wednesday, April 01, 2009

DAGANGAN ITU BERNAMA PENDIDIKAN

(catatan seorang mahasiswa “hampir tua”)

Teriknya cuaca akhir-akhir ini ternyata meradiasi suasana kampus yang juga jadi panas. Sekurangnya dua aksi demonstrasi terjadi dalam satu hari dengan kasus yang berbeda. Patung jenderal Soedirman masih berdiri kokoh diatas kuda tunggangannya, terdiam menatap aksi-aksi para mahasiswa. Tak beda dengan aksi-aksi pada tahun-tahun sebelumnya, lalu apa sebenarnya makna kontinuitas perjuangan itu?
Kabar memanasnya kampus sebenarnya sudah kuterima beberapa hari yang lalu. Permintaan menjadi moderator diskusi antara birokrat dan mahasiswa memang kuterima, dan setidaknya aku sedikit memberikan saran untuk lebih slow. Semua permasalahan yang ada sebenarnya berujung pada “komersialisasi pendidikan”. Terkutuk memang para kapitalis itu!! Keparat, bidadab!

AKSI SEGEL KELAS DAN MOGOK KULIAH
Kampus sastra UNSOED memanas. Ini memang kabar lokal, tapi perlu dicermati untuk dunia pendidikan kita. Sekitar belasan ruangan rabu kemarin (31/3) di kampus sastra Inggris disegel mahasiswa. Perkuliahan tidak berjalan seperti biasanya. Mahasiswa enggan untuk mengikuti perkuliahan yang semakin lama semakin terasa amburadulnya. Apa pasal? Peraturan mengenai gaji dosen mengakibatkan para tenaga pengajar melakukan penggabungan kelas. Tiap angkatan, mahasiswa sastra Inggris ada sejumlah 3-4 kelas (kelas A, B, C, dan D), masing-masing kelas terdiri dari sekitar 25-30 mahasiswa. Karena terbatasnya jumlah dosen, maka tiap dosen harus mengampu semua kelas tersebut. Dengan kata lain, dosen melakukan minimalnya dua kali tambahan mengajar untuk tiap mata kuliah di tiap angkatan. Sementara peraturan dari rektorat menentukan pembayaran gaji dosen hanya dihitung satu kali mengajar (pokok), dan satu kali tambahan. Untuk tiap mata kuliah per angkatan, dihargai sekitar Rp 60.000,00. Dengan banyaknya mahasiswa dan harus mengajar tiga kelas tiap angkatan, maka untuk tiap kali mengajar dosen dihargai Rp 20.000,00. Kabar yang ada disinyalir pula, beberapa dosen honorer belum menerima hak mereka yaitu ongkos lelah mengajar.
Lepas dari masalah ketulusan dan keikhlasan dalam mengajar, minimnya biaya lelah dalam mengajar membuat para dosen berfikir keras. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggabungkan kelas. Tiap angkatan kini menjadi dua kelas, hanya ada kelas A dan B, yang berarti tiap kelas itu muatannya bisa sampai 50 mahasiswa di tiap pertemuan. Sedangkan mata kuliah yang ada di sastra Inggris yang notabene berhubungan dengan keterampilan bahasa dan pengenalan kebudayaan, kebanyakan terdiri mata kuliah praktikum. Sebagai contoh, bisa dibayangkan saja, apakah efektif saat kelas “speaking” dilakukan dalam sebuah kelas yang terdiri dari 50 peserta didik?
Tentunya hal ini tidak bisa diterima oleh para mahasiswa. Bagaimana mereka bisa tenang saat harus belajar di kelas yang sempit, panas, dengan mahasiswa berjubel melebihi batas. Sebenarnya dari dulu hal ini sudah sering dirasakan. Nggak jarang saat akan memulai perkuliahan, kita harus mengangkat kursi dari ruangan lain karena kursinya kurang. Belum lagi kalau berbicara mengenai kualitas pengajar. Belum ada guru besar disini. Untuk melakukan rujukan-rujukan dalam hal linguistik maupun sastra, masih sangat kurang tenaga pengajarnya. Dosen-dosen muda masih banyak bertebaran disini. Di lain pihak dosen muda lebih meremaja, namun dalam hal pengalaman mengajar kita masih sangat membutuhkan ahlinya , apalagi fasilitas yang ada masih jauh dari kata “good”.
Tak heran aksi segel kelas dan demonstrasi ke dekanat mewarnai Rabu siang yang panas itu. Walaupun jarak antara prodi sastra Inggris dan dekanat FISIP lumayan jauh, namun itu tidak menyurutkan langkah para calon sarjana sastra yang juga masih belum bisa membaca jelas “future” mereka karena kurikulum yang ada juga masih berantakan. Rabu senja kutengok kampus, masih terlihat sisa-sisa kekecewaan para mahasiswa. Berdasarkan keterangan korlap, Agung Benta (Abe), “ Rencana turun ke jalan sebenarnya tidak direncanakan, ini karena emosi teman-teman mahasiswa”. Abe nampak lelah saat kukunjungi di rumah kontrakannya. Aku memang tak turut aksi ke jalan, karena sudah dari awal menilai masalah ini kunci-nya bukan pada demo, tapi pada lobying. Tapi tak mengapa, itu merupakan bentuk kekecewaan teman-teman, tapi yang pasti aksi-aksi untuk melobi para birokrat harus tetap dilakukan, karena aku sudah tahu persis bagaimana bejatnya para pejabat terhormat itu!

DILEMA BOPP


Bersamaan dengan aksi para mahasiswa sastra, ternyata juga ada aksi demonstrasi lain dari fakultas-fakultas lain di UNSOED. Aksi ini merupakan reaksi dari munculnya kebijakan munculnya BOPP (Bantuan Operasional Penyelenggara Pendidikan). Entah lembaga apa lagi yang dibentuk. Isu yang muncul itu adalah pengganti dari lembaga POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa) yang intinya adalah merupakan lembaga yang menampung dana pendidikan diluar pembayaran resmi (SPP).
Pendidikan memang membutuhkan biaya, Jer Basuki Mawa Bea, namun pendidikan bukan merupakan sebuah lembaga investasi yang digunakan untuk melipatgandakan modal untuk kepentingan beberapa pihak saja. Pabrik buruh kini adalah predikat yang melekat pada lembaga bernama kampus. Perguruan tinggi tidak lebih dari pencetak tenaga-tenaga buruh yang nantinya akan menjadi budak-budak kapitalis.
Pendidikan secara formal memang merupakan hak, maka kupikir bolehlah kita mengambil hal itu atau tidak. Namun pendidikan secara esensial adalah kewajiban dari tiap manusia. Wajib bagi kita untuk menuntut ilmu, menerima pendidikan, dan bukan untuk menjadi budak dari investasi pendidikan. Sains for sains itu adalah kode etik dari seorang yang berilmu. Terdengar cukup idealis mungkin. Tapi memang itu yang perlu ditanamkan. Ilmu setinggi apapun jika hanya untuk memenuhi kantong pribadi maka, apalagi sampai mendzholimi orang-orang yang tertindas, apalah artinya?
BHP, POM, BOPP, dan tetek bengek lainnya hampir nampak seperti ceremony yang tak berkesudahan. Miris rasanya melihat itu sebagai sebuah rutinitas demonstrasi yang tak berujung. Sebuah evaluasi untuk pergerakan mahasiswa untuk stop melakukan aksi-aksi latah yang tak memiliki sebuah nilai solutif bagi permasalahan yang ada.
Namun sebagai sebuah penanaman semangat, saya hanya bisa memberikan dukungan serta semangat untuk teman-teman mahasiswa. Tahun ketiga di kampus jenderal ini sekaligus mantan petinggi BEM (kalo kata orang seperti itu), membuatku merasa lelah dengan demonstrasi yang tak berarti. Bukan berarti lelah berjuang, namun muak melihat pongah para penjahat pendidikan dan aksi mahasiwa yang lebih bisa disebut tak tersistem. Lepas dari itu semua, semoga mahasiswa Indonesia makin cerdas dalam melihat permasalahan yang ada di sekitar kita. YAKIN USAHA SAMPAI! (nta)


Read more ...

Catatan Kaki dari Palestina

Akhir pekan (29/3) yang renyah, nampak dinamika aktivitas di salah satu area kampus Universitas berpangkat Jenderal Soedirman ini. Settingan tempat yang formal awalnya membuatku menyalahkan diri sendiri yang lupa berganti sandal jepit walaupun setelan batik rapih telah dikenakan sepulang dari kegiatan di masjid tadi. Namun, siang ini ada sebuah undangan talkshow “ Catatan Kaki Seorang Dokter di Gaza”, dengan menghadirkan keynote speaker : dr.Joserizal Jurnalis, SP.Ot.

Nama Joserizal memang bukan nama asing di Indonesia. Selain menjadi nama salah seorang penyair tenar…nama Joserizal dikenakan pula oleh salah satu putra terbaik bangsa yang mengabdikan dirinya di dunia medis. dr.Joserizal adalah salah satu dokter yang menjadi relawan dari MER-C Indonesia yang ditugaskan di Palestina saat agresi militer Israel beberapa tempo lalu. So, mengingat banyak ilmu yang bisa didapat, sandal jepit yang terkesan nggak matching itu membuatku cuek dan berkilah…”who care??!!”

Dijadwalkan dimulai pukul 10.30 WIB ternyata time error sekitar 30 menit. Beberapa tamu yang hadir -nampaknya para medisian yang fundamentalis - kemudian menyerukan panitia untuk lekas dimulai mengingat nanti bisa memotong waktu Dzuhur. Setelah dibuka oleh dua mahasiswa(i) dari jajaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan UNSOED, acara dimulai dengan dimoderatori oleh dr.Tarqib. Gaya kocak sang moderator lumayan membuat suasana cair, dan tanpa menunggu lama sang keynote speaker pun menyampaikan ulasannya.

Tragedi Gaza bak sebuah luka yang bekasnya menimbulkan luka perih yang menyebar dan menghujam di hati seluruh umat dunia. Hanya manusia yang punya hati yang mampu melihat tragedi itu sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Gaza adalah salah satu contoh saja dari sekian banyak konflik di dunia ini yang mampu membuat manusia seperti tak memiliki nilai dengan dibantai tanpa tedeng aling-aling. Sebuah tanya retoris di awal ulasan pak dokter Jose, “Kenapa Gaza?”, karena disanalah kita menghadapi “mbahnya teroris” dengan kontak fisik secara langsung. Kekejaman yahudi Israel bukan hanya membuat dunia gempar, namun lebih jauh dari itu, masa depan

Gaza yang mengundang lautan simpati dan keprihatinan menggerakan ratusan relawan yang mencoba mengabdikan potensinya untuk menolong saudara-saudara yang menjadi korban. Bukan hanya ada MER-C disana, ratusan lembaga relawan juga tak absen hadir disana termasuk pula lembaga-lembaga non muslim. Namun menurut cerita bang dokter, mereka itu masuk setelah gencatan senjata. Sedangkan MER-C masuk ke Gaza saat peperangan masih berlangsung. Ikhlas menjadi amunisi yang kuat bagi perjuangan teman-teman di MER-C. Dalam kesempatan itu Joserizal tak lupa menceritakan ihwal MER-C ini dan dari diskusi yang ada juga banyak audiens yang menanyakan kaitannya mengenai independensi lembaga ini. MER-C adalah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan berasaskan Islam serta berprinsipkan rahmatan lil alamin.

Abang dokter yang putra melayu ini menyuguhkan tayangan video perjalanan jihadnya bersama beberapa rekan yang tergabung di MER-C(Medical Emergency Rescue Committe ) Indonesia di Gaza, Palestina. Bukan sebuah travelling yang penuh hura-hura atau piknik yang fresh..tapi tim relawan dokter itu tetap nampak have fun dengan ghirah perjuangannya. Video itu tampak membius ratusan audiens yang telah diundang oleh DDII dan BEM Fapet UNSOED – Purwokerto selaku penyelenggara event tersebutt. Sekitar 120 peserta memadati ruang seminar I di lt.3 Gdg Fak.Peternakan UNSOED.

Bang joserizal bisa dibilang salah satu sosok intelektual profetik yang bisa kita tiru. Wawasannya yang luas membuat alumni FKUI ini mampu membaca masalah secara komprehensif. Beberapa kali terulang di ucapan si abang mengenai intelektual-intelektual di negara kita yang kini mudah lena oleh kipasa dollar. Sains for sains, -menurut bang jose harus dapat menjadi prinsip bagi para ilmuwan apapun bidangnya. Ungkap sang abang, orang pinter di Indonesia (baca : intelektual) mudah dibeli kapabilitas keilmuannya hanya dengan kipasan dollar atau tawaran beasiswa misalnya.

Saat ini jeratan neoliberalisme yang menurunkan paham-paham sejenis kayak kapitalisme memang sudah menggurita dengan berbagai form-nya. Beberapa skandal seperti kasus virus H5N1 menjadi salah satu contoh yang dikisahkan oleh Joserizal. Ngeri juga sieh kalo kita tahu bagaimana “cerdik”nya para antek kapitalis memainkan aksinya. Bukan hanya di bidang medis, pendidikan dan bidang lain juga tak luput menjadi sasaran.

Ulasan ini membuat kita semua merasa perlu untuk memahami filosofis ilmu itu sendiri. Bukannya sok ngefilosofis sieh, tapi dipikir kalo keilmuan yang kita miliki tak mampu menjadi sebuah alat untuk melakukan keberpihakan dan hanya terbius pada kesenangan duniawi saja….kita secara langsung merendahkan ilmu! Kalo kata abang Jose, persepsi Yahudi adalah bahwa ilmu itu : how to get d’money!, kalo kata orang Amerika melihat ilmu adalah ; “how to look the money”. Disini kita melihat adanya perbedaan persepsi mengenai ilmu yang itu berpengaruh pada implementasi yang dilakukan.

So, buat para anak muda kayak kita-kita nih kudu bisa memahami hakikat ilmu yang kita cari selama ini. Biar ilmunya jadi berkah. Perjuangan yang dilakukan dokter Jose adalah salah satu bentuk jihad. Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan yang tentunya dengan potensi kita masing-masing. Jangan dikira Yahudi cuma memerangi secara fisik aja!!! Bagi para pejuang medis...berjuanglah dengan ilmunya, bagi para pejuang pena gunakanlah ketajaman pena dan pemikiran, bagi yang punya ilmu di bidang hukum bisa berjuang dengan kemampuannya. Kita adalah kita saat mampu berbuat, saat mampu berkarya untuk hidup ini. Tapi..hati-hati jangan sampai kita nggak bisa membedakan mana yang perjuangan dan mana yang “antek”. (nta)

bisa dilihat di www.hminews.com
Read more ...

Penyimpangan DPT : Pemilih Bagai Manekin

Menghitunghari di beberapa pekan terakhir menuju Pemilu 9 April 2009, suasana semakin memanas. Bukan sekedar saling adu sindiran antara pentolan partai, namun isu kekeliruan Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi episode dengan rating tinggi. Daerah timur pulau Jawa nampaknya tak bosan-bosannya membuat sensasi di fragmen bangsa ini. Setelah lepas dari kemunculan Ryan “tukang jagal” dan “sang bocah sakti” Ponari, provinsi Jawa Timur kini juga menjadi daerah pemicu adanya dugaan penggelembungan suara melalui penyimpangan DPT.

Kejadian ini memunculkan wacana pemunduran jadwal PEMILU. Dengan asumsi bahwa Pemilu ini tidak untuk menjadi bahan pertaruhan atas kehancuran bangsa lima tahun mendatang, usulan Pemilu diundur menjadi topik menarik untuk diangkat.
Mengenai DPT sendiri, tentunya telah melalui proses-proses yang telah diatur oleh KPU. Semenjak 5 April 2008, diawali dengan penyerahan Daftar Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh pemerintah (depdagri) kepada KPU. Berdasarkan data waktu itu, jumlah pemilih ada 154.741.787. Proses ini kemudian berlanjut pada 20 Juni 2008 melalui SK KPU no 139/2008 yang mencantumkan Daftar Oemilih Sementara 9DPS) sebanyak 174.410.453. Angka tersebut mengalami perbaikan pada 15 September 2008 dengan berkurang sekitar 2juta hingga menjadi 170.752.862. SK KPU mengenai DPT keluar tanggal 24 November 2008(setelah sebelumnnya sudah ada ketetapan no 383/2008 namun tanpa data pemilih dari Papua dan Luar Negeri yang belum masuk), dengan jumlah pemilih 171.068.667. Kemudian melalui keputusak KPU no 164/KPTS/KPU/tahun 2009, pada tanggal 7 Maret 2009, KPU mengumumkan DPT hasil revisi dengan jumlah pemilih menjadi 171.265.442 atau bertambah 195.775 dari jumlah sebelumnya (republika 23 Maret 2009).
Di beberapa KPUD, data DPT rupa-rupanya masih ada yang diambil berdasarkan teknis copy-paste dari data DPT Pilkada. Hal ini menjadi riskan kepada terjadinya penyimpangan, hingga muncul nama-nama “gaib” pada daftar pemilih tetap. Beberapa kasus penyimpangan yang menjadi modus antara lain, NIK dan nama sama; NIK dan TTL (Tempat Tanggal Lahir) sama; Usia dibawah 17 tahun dan belum menikah; usia nol atau sudah meninggal. Munculnya pengaduan atas kekeliruan DPT, dapat diambil beberapa analisa.

Pemasangan DPT di masing-masing kelurahan tentunya sudah harus dilakukan dari beberapa waktu yang lalu, namun dari pengaduan yang ada, tidak ada yang datang dari pemilih. Ini benar-benar menunjukkan tidak adanya antusiasme dari masyarakat mengenai penyelenggeraan Pemilu 2009. Tercantumnya nama diri di DPT merupakan sebuah hak politik dari setiap warga masyarakat. Sama halnya saat mencari pengumuman lolos seleksi CPNS dan sejenisnya, seharusnya pemilih juga berantusias untuk mengetahui apakah dirinya sudah ada di DPT atau belum.Ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan juga semestinya masyarakat lah yang pertama kali tahu mengenai hal itu, karena nama-nama yang dimanipulasi adalah nama-nama warga yang secara langsung mereka berinteraksidi setiap harinya. Namun, boro-boro mau ngadu.. ada atau tidak adanya nama mereka di DPT juga bodo amat.
Ini merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Selain mengkritik kinerja-kinerja KPU, mengadakan kampanye-kampanye besar-besaran, yang lebih penting diperhatikan adalah bagaimana membangun kesadaran kritis masyarakat akan pentingnya hak politik mereka. Pesta ini dibiayai dengan uanng rakyat, pesta ini untuk rakyat. Bukan berarti kemudian dihambur-hamburkan untuk mengadakan kampanye hiburan bagi rakyat, namun bagaimana pengelolaan dana ini menjadi agenda-agenda pendidikan politik bagi masyarakat. Kalau sekedar memberikan hal-hal manis pada masyarakat saat kampanye, itu tak lebih dari upaya pembodohan dan penistaan rakyat. Dan itu adalah hal terculas yang dilakukan di drama politik Indonesia!
Kehadiran Panwaslu memang cukup membantu untuk menertibkan pelanggaran – pelanggaran yang ada. Namun, jika sebatas permainan sepakbola yang mempertemukan 22 orang saja, memang cukup dengan satu wasit, tapi kalau untuk mengawasi ratusan juta pemilih, lebih dari 40 parpol, kehadiran panwaslu sebagai satu-satunya wasit menjadi terengah-engah dan kurang efektif. Wasit yang paling efektif adalah rakyat itu sendiri sebagai pelaku pesta demokrasi. Walaupun KPU udah banting tulang mempersiapkan logistik pemliu hingga berdarah-darah dan panwaslu juga sudah jatuh bangun, jika rakyat masih seperti “mayat hidup” terhadap pelaksanaan Pemilu, hal itu seperti menuli di atas air. Kinerja KPU dan Panwaslu memang patut diacungi jempol dan kita anugerahkan berjuta terima kasih kepada kedua lembaga tersebut. Namun, apa artinya jika sang pemegang kedaulatan suara apatis terhadap semua itu?
Gerakan pemilih cerdas merupakan sebuah agenda besar, PR utama bagi para pelaksana Pemilu, baik itu KPU, Panwaslu, dan tak kalah pentinya yaitu partai polotik. Kalau memang hak suara bukan dianggap sebagai sebuah hak dasar, ya udah nggak usah ada Pemilu saja!!! . Biarkan saja pemerintahan dilakukan dengan model aristokrat tanpa pemilihan umum, sehingga tidak menjadi demokrasi yang dipaksakan bukan atas kesadaran…begitukah???sedemikian parahkah kondisi kesadaran kritis masyarakat Indonesia?
Jika memang penegakan demokrasi menjadi tujuan kita bersama, mari kita melihat titik point yang urgent. Bukan sebatas pada pengkritisan kerja-kerja teknis pemilu atau bahkan saling sikut untuk berlomba memberikan sindiran terpedas kepada lawan politik, namun bersama-sama membangun pencerdasan masyarakat. Ketika tujuan Pemilu ini tulus untuk pendewasaan politik rakyat, maka seharusnya agenda-agenda yang dirancang adalah agenda pencerdasan , sehingga rakyat akan proaktif dengan posisinya nanti sebagai pemilih, sebagai “aktor utama”, peserta VVIP dalam pesta demokrasi besok. Mari sukseskan Gerakan Pemilih Cerdas Untuk Pemilu 2009! (nta)
Read more ...

Kampanye dan Perempuan

Tahap kampanye menjelang pemilu legislatif 2009 telah menginjak pada tahapan untuk melakukan kampanye terbuka. Pada fase ini, tiap partai politik sebagai mesin demokrasi diberi kesempatan untuk melakukan propaganda secara terbuka pada masyarakat Indonesia.
Kampanye terbuka yang telah berjalan beberapa hari memberikan sebuah warna di negara ini, warna cerah dan tak pelak muncul juga warna suram. Kreativitas dan inovasi banyak dilakukan sebagai media kampanye. Hiburan rakyat menjadi salah satu pilihan terlaris bagi banyak parpol dalam melakukan kampanye. Alternatif ini dipilih lebih memiliki kecenderungan dalam meraih simpati masyarakat khususnya rakyat kelas bawah. Asal rakyat senang, dengan janji-janji manis, para juru kampanye dnegan lihai mempropagandakan parpolnya masing-masing. Entah rakyat menyadari atau tidak bahwa pesta pora itu juga bukan sebuah keniscayaan jaminan kebahagiaan jika memilih parpol tersebut. Bahwa rakyat juga sudah semakin cerdas dan memhami bahwa pesta pora hiburan rakyat bukan sebuah jaminan, dan mereka juga tidak meminta itu. Toh pesta itu sudah diselenggarakan, apa salahnya jika ikut bersenang-senang? Ikut kampanye bukan berarti nanti memilih partai yang bersangkutan. Entah pula para designer kampanye tahu atau tidak mengenai pandangan rakyat ini. Jika rakyat dianggap cerdas toh sudah semestinya menyelenggarakan kampanye-kampanye cerdas tanpa mengurangi interest dari rakyat. Atau ini pertanda rendahnya daya kreatifitas para jurkam dalam mendesign bentuk-bentuk acara kampanye parpol.

Satu point yang juga perlu mendapat perahatian serius adalah posisi perempuan dalam keterlibatannya di berbagai kampanye. Tidak sudah mendapati bentuk-bentuk kampanye yang menampilkan hiburan rakyat yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek hiburan. Kampanye dengan konser tarian erotis nyatanya masih mudah ditemui di berbagai daerah. Selain itu, penggunaan biduan-biduan perempuan sebagai daya tarik, tak beda jika diibaratkan dengan menempatkan perempuan sebagai hidangan pesta. Partai politik yang mengusung pembelaan terhadap hal perempuan-pun pada kenyataannya masih menarapkan hal-hal seperti ini. Proses demokrasi dan pencerdasan seperti apakah yang diciptakan oleh para parpol dengan tetap mengumbar janji-janji manis yang sudah terbukti palsu, bahkan masih di tahap kampanye.
Perempuan baik disadari maupun tidak disadari telah menjadi korban maskulinitas model politik yang merendahkan harga diri seorang perempuan. Ribuan lembar undang-undang pronografi dirancang dengan maksud menghargai nilai kehormatan seorang perempuan hanya menjadi ganjal meja di senayan yang semakin hari semakin timpang.
Demokrasi bangsa ini dalam tahap belajar, dalam proses. Proses yang diharapkan menjadi sebuah alur proses yang menitikberatkan pada proses pembelajaran yang memiliki substansi pada pencerdasan. Kenyataannya yang terjadi adalah pembodohan. Memberikan janji-janji dan kesenangan sesaat pada rakyat. Dalam konteks ini adalah pada perempuan, komponen bangsa yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Sampai kapanpun politik akan tetap menjadi sebuah mesin eksploitasi perempuan dan pembodohan rakyat jika dalam praktik-praktiknya masih tak mampu menghargai harkat seorang manusia khususnya perempuan. Rakyat dibeli dengan uang, perempuan dianggap sebagai hidangan.
Pencerdasan rakyat diharapkan selalu menjadi prioritas bagi proses pembelajaran politik bangsa ini. Karena hanya dari sebuah kesadaran kritis yang terbangun dari upaya pencerdasan massa itulah bangsa ini mampu belajar demokrasi yang sehat. Semoga. (nta)
Read more ...

Gerakan Cerdas Memilih Untuk Representasi Politik Perempuan

Pemilu yang didengung-dengungkan sebagai sebuah pesta demokrasi kian dekat menghampiri kita seperti jadwal yang sudah ditetapkan, 9 April esok. Reaksi rakyat bermacam-macam, dari yang antusias hingga apatis terhadap perhelatan akbar tersebut. Dari kebermacaman reaksi pemilih, klasifikasi pemilih yang berhak memberikan suaranya esok juga bermacam-macam, salah satunya yaitu pemilih perempuan. Sebagai komponen bangsa, perempuan merupakan unsur pemilih yang tak boleh dipandang sebelah mata. Berdasarkan data, pada pemilu 1999 diperkirakan angka pemilih perempuan sekitar 57% dari seluruh pemilih.
Selama ini kerap muncul pandangan pemilih perempuan cenderung sebagai pemilih yang pragmatis. Padahal satu suara itu itu berpengaruh terhadap nasib bangsa ini. Bahkan ketika golput menjadi pilihan, diharapkan juga dapat menjadi sebuah pilihan yang bertanggungjawab, pilihan cerdas yang bukan muncul karena sebatas keterputusasaan atau sikap apatis. Esensi dari pemilih cerdas adalah sebuah sikap yang tidak apatis terhadap apa yang terjadi di negara ini.
Berbicara memilih sebagai sebuah hak tentunya tidak bisa dipelaskan dari jati diri setiap indivisu pemilih tersebut. Pemilih perempuan sebagai sesosok warga negara berjenis kelamin perempuan memang memiliki sebuah karakter khas sama halnya dengan pemilih yang lain (baca : laki-laki). Ada anggapan bahwa dalam membuat sebuah keputusan biasanya perempuan lebih dilandaskan pada perasan dan laki-laki pada logika. Jadi seolah-olah laki-laki adalah makhluk yang logis dan perempuan unlogic. Pada dasarnya akal (logika) bukan sebuah hal yang terpisah dari hati (perasaan). Mungkin yang terjadi laki-laki lebih memiliki kecenderungan dengan porsi logika yang lebih besar dibanding perasaan dan sebaliknya pada perempuan. Ini adalah sebuah hal yang merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat kita dikotomikan dengan menganggap yang satu lebih baik. Politik bukan sebuah hal yang “keras” tanpa memperhitungkan hati nurani, dan sebaliknya juga bukan sebuah hal yang “lembut” dan unlogic. Maka “partisipasi logika” dan “partisipasi hati” ini harus memainkan peran yang seimbang, dengan kata lain hak politik perempuan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diikutsertakan untuk membangun suasana politik yang dinamis.
Pada awal abad ke-21, lebih dari 95% negara di dunia menjamin hak demokratik mendasar pada perempuan, yakni : hak memilih (right to vote), dan hak untuk dipilih (right to stand for election). Dalam historynya, Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan hak suara pada perempuan pada tahun 1893 dan Finlandia merupakan negara pertama yang mngadopsi dua hak demokratik mendasar tersebut pada tahun 1906. Lima belas abad yang lalu, Muhammad Rasulullah hadir menyampaikan risalah Islam yang membebaskan perempuan dari belenggu-belenggu kejahiliyahan, yang berarti pula perempuan memiliki potensi dasar dalam berbagai urusan termasuk politik.
Politik selama ini dianggap sebuah hal yang “maskulin”. Hal ini wajar jika pada kenyataannya bermula dari dominasi laki-laki yang secara luas mendominasi area politik; laki-laki mendominasi dalam memformulasikan aturan-aturan permainan politik, dan laki-laki pula-lah yang sering mendefinisikan standart evaluasi. Lebih jauh dari itu, model politik maskulin yang kemudian tercipta dimana kehidupan politik sering diatur dengan norma-norma kehidupan laki-laki dan bahkan dalam beberapa kasus juga menurut gaya hidup laki-laki. Sebagai contoh, politik dimainkan atas dasar “pecundang dan pemenang”, kompetitif dan konfrontasi. Akhirnya wajah politik yang hitam yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat.
Maka representasi politik perempuan disini dinilai perlu dalam sebuah dinamisasi percaturan politik sebuah bangsa. Menyuarakan pilihan secara cerdas oleh perempuan disini juga bukan semata-mata pada sebuah “kehadiran” sosok perempuan saja, namun lebih pada esensi pada terciptanya suasana politik yang lebih representatif pada rakyat. Jadi bukan semata-mata “memilih perempuan” namun saat ruang esensial “keterwakilan perempuan” mampu terwujud. Sebagai sebuah proses, logikanya bahwa hal itu mampu terwujud dengan mendongkrak keikutsertaan perempuan dalam parlemen.
Gerakan memilih cerdas merupakan sebuah hal yang perlu ditanamkan, khususnya pada perempuan dengan melihatk konteks saat ini. Jadi pemilih perempuan memiliki bargaining position dalam perhelatan demokrasi bukan sebatas dari tingkat kuanttitasnya saja melainkan dengan kemampuan aktualisasi dirinya dalam ranah politik. Keputusan yang dimiliki pemilih perempuan diharapkan adalah sebuah kesadaran kritis yang muncul sebagai warga negara. Dengan cerdas memilih, pemilih perempuan telah melakukan sebuah upaya humanisasi atas dirinya secara khusus dan pada seluruh rakyat pada umumnya. Sukses Untuk Pemilu Indonesia 2009! (nta).
Read more ...

AKU BERKARYA MAKA AKU ADA (Aku Untuk Negeriku)

*) disusun untuk FIM


Pagi ku jelang, bertemu kabut nan tebal yang menggantung dalam suasana sejuk bumi Purwokerto. Langkah kaki terasa ringan menyambut datangnya pagi. Kini rutinitas itu mungkin aku jalani tiap awal pekan, setelah jadwal siar berubah. Karena sudah terhitung sebagai “senior”, maka kini harus rela jam siarku dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada teman-teman baru.

Pagi yang indah dulu selalu kusambut saat hari-hari dengan jadwal siaran pagi. Tiap pukul enam tepat, dengan sigap kusama para pendengar, berbagi semangat dan kisah. Apapun kondisi mood yang kurasakan, harus tetap ceria, karena program pagi adalah program yang sifatnya memang “menyemangati” para pendengarnya.

Dunia broadcast yang sudah digeluti lebih dari tiga tahun memberikan sebuah pelajaran tersendiri. Belajar berbagi dan juga banyak hal manis yang bisa didapatkan di dunia ini.
Bersyukur media yang aku geluti ada sebagai media dakwah. Radio bukan sebagai sebuah “kotak musik” yang bersifat entertaint saja, melainkan menjadi sebuah “box magic” bagi masyarakat untuk dapat memperoleh berbagai hal yang berguna. Selepas SMA dulu, saya sempat menuntut ilmu di sebuah sekolah perfilman. Namun karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup, maka saya “diderpotasi” untuk belajar di sebuah pondok pesantren di kawasamn pegunungan Guci-Tegal. Hari-hari awal disana merupakan sesuatu yang membosankan karena ada beberapa batasan-batasan yang tidak nyaman bagiku.

Di pondok ternyata bukan hanya ada lembaga pendidikan, tetapi mencakup banyak bidang, salah satunya ada radio station. Mungkin melihat minatku pada dunia media, sang pak Kyai memintaku untuk mengelola radio dengan posisi 91.0 FM itu. Melihat radio itu, dalam pikiranku ini adalah harta mati yang potensial. Dalam radius sekian ratus meter, radio ini tidak memiliki kompetitor, dan radion ini (Darussalam FM) sudah memiliki kelompok fans sendiri. Permasalahan dalam pengelolaan radio ini adalah kurangnya SDM yang mampu dan mau mengelola manajemen radio. Berbeda dengan radio yang lain,disini para pengelola radio bukan hanya berstatus pegawai radio tetapi dituntut sebuah “pengabdian” pada Yayasan Pondok pesantren.
Awalnya saya hanya menjadi announcer, siaran beberapa program acara. Setelah beberapa waktu, rupanya sang pak Kyai tertarik dengan minat saya kemudian mempercayakan pengelolaannya kepada saya. Bukan hal yang mudah. Dibandingkan teman-teman lain disana, saya terlalu muda. Masih bau kencur. Namun, semua aku lihat sebagai sebuah tantangan.

Satu hal yang berkesan saat itu adalah ketika aku punya keinginan untuk memasukkan program-program “pencerdasan masyarakat” di radio itu. Awalnya banyak penentangan. Saya dianggap “orang kota; yang terlalu idealis. Menurut mereka pendengar yang rata-rata orang desa membutuhkan hiburan, nggak usah dibuat pusing dnegan program-program yang bikun mumet. Namun menurutku, justru melalui media radio itulah, kita mampu melakukan sebuah perubahan mindset masyarakat. Kalau mereka suka musik-musik dangdut, bukan berarti mereka tak mampu untuk mencerna informasi-informasi “berat”. Justru musik itu adalah sebuah alat untuk kita menyisipkan pesan-pesan pencerdasan masyarakat. Jadi hiburan bukan sebagai tujuan namun sebagai alat.
Dengan segala perjuangan, akhirnya program-program di DS FM banyak mengalami perubahan. Secara prinsip kita tetap menjadi radio dakwah dengan menyiarkan beberapa program yang menjadi jadwal dari pondok. Namun secara varian acara, kita perlu melakukan beberapa inovasi dan kreativitas.
Kebersamaan di radio DS FM memang tidak lama, karena aku harus melanjutkan study di Universitas Jenderal Soedirman. Namun, aku berjanji aku akan tetap kembali untuk membangun terus DS FM. Sementara ini biarlah teman-teman yang lain disana untuk berjuang membangun radio.
Ketertarikanku di dunia media membuatku memiliki curious untuk mencari pengalaman di dunia tersebut. Membaca, menulis, dan berbicara adalah aktivitas hoby, dan nampaknya Allah memberikan amanah kepadaku dengan sedikit potensi. Aku sadar bahwa potensi yang merupakan anugerah Allah itu hanyalah menjadi sebuah energi potensial yang tidak akan berguna jika kita tidak mengolahnya.
Selain aktivitas di dunia broadcast, menulis adalah salah satu kegiatan yang bisa diasebut sebagai jiwaku. Manusia diciptakan sebagai khalifah, berbagi merupakan suatu hal yang menjadi kebahagiaan tersendiri. Tak ada kebahagiaan yang lebih indah selain kita bisa berbagi dengan siapapun. Sesungguhnya ketika kita berbagi itu bukan untuk orang lain namun itu adalah kebutuhan diri kita sendiri , apalagi pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Maka bagiku dakwah merupakan sebuah kebutuhan, sebuah konsekuensi kita sebagai seorang manusia.
Kalau kita jadi da’I , mungkin kita mampu memberikan segala ilmu kita dengan ceramah-ceramah di berbagai tempat. Nemun dakwah juga memerlukan media untuk kita mampu bersentuhan langsung dengan masyarakat. Tulisan adalah salah satu media yang efektif. Bayangkan saja, kalau kita menyampaikan dnegan “bicara”, mungkin yang mampu menerima itu hanyalah sekelompok orang yang saat itu mendengarkan, namun dengan tulisan, kita bisa menyampaikan ide dan pemikiran kepada seluruh antero dunia.
Kegemaranku pada menulis dan sebuah kebutuhan serta kesadaran membawaku pada sebuah prinsip untuk menciptakan karya-karya dalam tulisan yang diharapkan mampu memberikan sebuah enlightmen pada masyarakat. Beberapa kali saya mencoba menulis di berbagai media, baik itu media cetak maupun elektronik. Sebuah kepuasan tersendiri saat mampu mengakomodir ide melalui tulisan dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dunia media adalah hal yang menarik bagiku. Miris rasanya saat melihat media-media di Indonesia kadang tidak mampu memberikan sebuah pencerdasan. Media itu benda mati. Media itu alat, maka saat alat itu dipegang orang-orang yang “jahat” akan menjadikan media itu sebagai sebuah hal yang mebhayakan.
Misalnya televisi. Hampir lebih dari separuh hari kita diisi oleh televisi. Coba tengok acara-acara di televisi, apa yang kita dapatkan? Sinetron-sinetron picisan memiliki rating tinggi. Berbagai tayangan-tayangan yang seronok bukan hal yang jarang kit atemui di Televisi Indonesia. Tak heran jika tingkat kriminalitas dan kenakalan remaja kini sangat meningkat, apa yang mereka tonton itulah yang menjadi tuntunan. Bukan hanya televisi, internet, majalah, radio, semua media kini sebagian besar programnya lebih berorientasi pada hiburan-hiburan yang bersifat hedonis.
Hal itu tak akan terjadi saat para pelaku media mampu menerjemahkan apa yang menjadi hakekat sebuah media. Di era globalisasi seperti sekarang, pemodal menjadi Tuhan baru bagi manusia. Uang adalah tujuan hidup manusia. Hal ini tak beda menimpa media-media kita. Para pemodal itu hanya memikirkan berapa rupiah yang mampu mereka hasilkan melalui media tanpa memikirkan efek yang terjadi dari para penikmat media itu. Cengkeraman kapitalis dan gurita neoliberalisme menjadikan semua diorientasikan kepada hal-hal yang bersifat materi.
Kaum muda seharusnya mampu melakukan sebuah pengkritisan. Namun kalau melihat kondisi saat ini, kaum muda juga sekarang banyak yang menjadi “korban” daripada melakukan pengkritisan.
Menciptakan media-media yang menjadi sebuah sarana pencerdasan masyarakat adalah sebuah hal yang saya cita-citakan. Mungkin bagi saya, menciptakan media-media yang mampu menyentuh masyarakat adalah salah satu misi yang bisa dilakukan. Kalau saat ini saya bergelut di dunia broadcast dan tulis-menulis, banyak hal yang mampu dilakukan. Membangun jaringan dengan banyak kaum muda dari berbagai kalangan merupakan salah satu hal yang harus saya lakukan sehingga orientasi yang dilakukan juga tidak sempit. Mampu memberikan pandangan secara global dan mengimplementasikan di masyarakat sekitar, think global act local. Majulah bangsaku, bergeraklah pemuda-pemudaku!!! YAKUSA (YAKIN USAHA SAMPAI!) – nta-
Read more ...

Intelektual Profetik : Tanggung Jawab Peran Kekhalifahan Manusia

Oleh : Ana Mardliyah *)

Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alam,dan identik dengan istilah “Gemah Ripah Loh Jinawi”. Indonesia adalah Negara kepulauan yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah baik di darat maupun di laut. Hal itu adalah suatu potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang bila dikelola dengan baik hasilnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Indonesia mempunyai banyak pulau dengan kekayaan alamnya masing-masing. Dalam pengklasifikasian kekayaan alam tersebut, kita mengenal adanya kekayaan berupa sumber daya alam yang bisa diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui.

SDA yang dapat diperbaharui melingkupi kekayaan alam seperti air, tumbuhan, hewan, dll. Sebagai contohnya kekayaan berupa sumber daya alam yang dapat diperbaharui di Indonesia yaitu hutan dan kekayaan hayati didalamnya. Potensi dan kondisi kekayaan hayati Indonesia sangat besar, yaitu nomor dua terbesar di dunia setelah Brazil2. Namun kekayaan itu belum dimanfaatkan secara maksimal. Dan hal itu dapat berpotensi untuk dieksplorasi oleh pihak luar.


Selain sumber daya alam yang dapat diperbaharui ada pula sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, salah satunya adalah kekayaan barang tambang. Indonesia mempunyai tambang emas , perak, tembaga dan sebagainya di Irian Jaya. Besi, nikel, timah, bahkan barang-barang radioaktif ada di bumi Indonesia tercinta ini. Belum lagi kekayaan minyak bumi, gas alam, batubara dan sebagainya sangat melimpah di Indonesia.

Selain dumber daya alam ,tentunya asset bangsa yang berharga yaitu sumber daya manusia. Dengan jumlah penduduk yang padat, semestinya Indonesia patut berbangga memiliki potensi yang besar untuk SDM. Potensi SDM sangat penting artinya dalam keseimbangan hidup ketika disandingkan dengan kekayaan SDA. SDA merupakan energi potensial yang mampu dikinetisatis oleh SDM yang ada. Namun fenomena yang terjadi adalah kekayaan sumber daya alam di Indonesia ini tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang menunjang. Indonesia tidak mampu mengelola potensi kekayaan alamnya akibat ketidak mampuan sumber daya manusianya, maka Indonesia sering menggantungkan kebutuhannya pada luar negeri. Dan lagi kesadaran tentang perlunya riset dan strategi pemanfaatan sumber daya alam tersebut sangat kurang. Kekayaan alam Indonesia banyakj dijual dijual ke luar negeri masih dalam wujud bahan mentah, sehingga kecil nilai jualnya.

Hal diatas bias kita lihat pada contoh kasus yang terjadi pada nasib kekayaan barang tambang yang di Indonesia. Untuk asset SDA yang tidak dapat diperbaharui ini, bisa dibilang Indonesia adalah Negara kaya raya. Rahim Indonesia mengandungberjuta-juta milyar besi, nikel, tembaga, emas, timah, bahkan bahan-bahan radioaktif. Namun yang mengelola limpahan harta itu bukan orang Indonesia melainkan pihak-pihak asing yang merujuk pada perusahaan-perusahaan asing (Multi National Company/ MNC). Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut seolah sangat jauh jika dibandingkan dengan perusahaan domestic. Tak jauh beda kondisinya dengan zaman penjajahan dulu dimana pihak colonial sudah canggih peralatan perangnya namun kita masih menggunakan bambu runcing yang sederhana. Perusahaan-perusahaan seperti Freeport, INCO, NEWMONT, EXXON bagaikan raksasa yang menjajah negeri kurcaci. Lihat saja bagaimana Freeport membuat belt conveyor (alat pengangkut hasil tambang dari lokasi penambangan) yang mampu menembus gunung sejauh 12 kilometer atau INCO yang mampu melakukan produksi nikel dengan menggunakan listrik sebesar 9.6 Mega Watt yang dimana sumber aliran listrik tersebut mereka produk sendiri. Perusahaan perusahaan tersebut nemiliki SDM-SDM asing yang dahulu tidak dimiliki Indonesia, tetapi sekarang orang-orang sekelas McMoran – inventor dan pemilik saham terbesar di PT.Freeport – sangat banyak di Indonesia. Bukan sekedar sebagai “tamu” saja, tetapi sekarang “bule-bule” itu sudah masuk ke negeri ini. Penjajahan model baru sebagai konsekuensi dari jeratan neolib 3.

Penjajahan asing di dunia pertambangan Indonesia tidak bisa kita lihat sebagai sebuah permasalahan yang parsial atau setengah-setengah saja. Dalam sebuah proses eksplorasi barang tambang, sebenarnya bukan satu jenis tambang saja yang bisa diambil. Kita ambil contoh, PT.Freeport, hasil produksi dari tambang tersebut bukan hanya tembaga yang di pasaran per-ton-nya hanya sekian dolar. Tapi dalam setiap hari proses produksinya didapatkan juga mineral-mineral lain yang jumlahnya selalu berfluktuasi seperti emas – rata-rata 1,2 gram / ton, perak 2,9 gram/ton, seng, nikel, sulfur, selenium, molybdenum, dan thalium yang merupakan mineral radioaktif. Bertambah memprihatinkan bahwa semua komposisi tersebut tidak pernah kita ketahui secara pasti (besar/kecil) karena hasil tambang tersebut setelah menjadi bijih tembaga langsung dikapalkan menuju blok produksi selanjutnya.

Selain mendapatkan “harta rampasan” yang tak terhitungkan dalam proses penambangan tersebut, eksploitasi yang didominasi oleh pihak-pihak asing juga menimbulkan efek domino yang luas. Kondisi ekosistem kita menjadi salah satu korban. Misal saja, PT.Newmont Minahasa Raya yang membuang limbah tailing setiap harinya ke laut lepas. Jangan heran ketika kita melihat Grassberg di Papua yang mengandung bahan-bahan berharga kini sudah menjadi danau. Disetujuinya Earst berg – gunung di sebelah Grassberg – untuk dipindahkan menuju kapal-kapal pembawa bijih logam berharga yang ditandai dengan kontrak selama 30 tahun.

Betahnya bule-bule penjajah SDA di Negara ini sudah saatnya untuk disikapi dengan memantapkan peranan-peranan sumber daya manusia yang kita miliki. Pengembangan mutu SDM mutlak harus kita lakukan jika tidak ingin selamanya menjadi “budak di negeri sendiri”. Namun ternyata kondisi SDM kita juga tak miris jauh. Ada beberapa indikasi yang bisa diambil ketika melihat kondisi rendahnya kualitas SDM di Indonesia.

Salah satu indikasi dari hal tersebut diatas yaitu proses pembelajaran yang diterapkan masih membuat kita seperti “katak dalam tempurung”. Sementara dunia luar sudah mengalami perkembangan teknologi yang melesat, tapi liat saja sarjana-sarjana Indonesia ternyata masih banyak yang tak mampu mengoperasikan teknologi computer-misalnya. Boro-boro mau menciptakan inovasi di bidang iptek, untuk mengaplikasikan yang sudah ada juga masih banyak yang gagap. Ini tak lepas juga dari akibat cengkeraman neolib di dunia pendidikan, yang membuat pendidikan semakin bersifat materialisme. Untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang standart harus berkonsekuensi pelaku pendidikan berani membayar mahal. Sudah pajak ke Negara juga tinggi, masih harus bayar sekolah yang mahal pula. Sebagai contoh, untuk mengakses jurnal-jurnal internasional kita membutuhkan biaya yang besar, namun alokasi dalam peningkatan mutu pendidikan seperti itu masih kurang diperhatikan oleh pemerintah. Pembangunan yang dilakukan di Indonesia masih berorientasi pada pembangunan fisik yang bersifat materialisme, sehingga unsure-unsur softskill dan peningkatan mutu SDM menjadi kurang mendapat perhatian.

Hal lain yang juga menjadi indikasi kurang berkembangnya kualitas SDM Indonesia adalah efek dari system otoritas hak paten / lisensi pada produk-produk iptek. Di satu sisi, hal ini merupakan sebuah apresiasi terhadap sebuah karya, namun perlu dipertimbangkan juga dalam bidang pemasifan sebuah ilmu pengetahuan. System open source memungkinkan khalayak banyak untuk dapat mengembangkan sebuah produk iptek.

Dua indikasi yang disebutkan diatas hanyalah sebagian kecil dari fakta yang membuat SDM Indonesia menjadi pasif untuk berkembang. Hal tersebut merupakan efek dari gurita neoliberalisme yang sudah merasuk ke berbagai bidang, bukan hanya ekonomi saja namun hingga pendidikan menjadi salah satu sasaran dari mulusnya agenda-agenda neolib.

Kondisi ini menuntut SDM kita untuk menjadi mampu meningkatkan kemampuan profetiknya dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk kepentingan bersama. Sebuah dosa besar bagi orang-orang Indonesia ketika membiarkan kekayaan alamnya meranggas dimakan para bule colonial. Ketika kita melalaikan kekayaan alam sebagai amanah yang dianugerahkan oleh Tuhan, maka berarti pula kita meninggalkan peran-peran kekhalifahan manusia. Dalam Al-Quran , Allah berfirman “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikanseorang khalifah di muka bumi” (Al-Baqarah : 30). Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsier dijelaskan : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al-Baqarah : 30). Allah ta’ala memberitahukan ihwal pemberitahuan karunia kepada Bani Adam dan penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di al-Mala’ul Ala, sebelum mereka diadakan. Maka Allah berfirman : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat “. Maksudnya, Hai Muhammad, ceritakanlah hal itu kepada kaummu, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”, yakni suatu kaum yang akan menggantukansatu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi , sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi” (Fathir : 39). Itulah penafsiran khalifah yang benar, bukan pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam merupakan khalifah Allah di bumi dengan berdalihkan firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”4

Hari ini, saat saya berangkat ke Sleman untuk mengikuti LK2, di kampus sedang ada perhelatan wisuda sarjana-sarjana yang telah menyelesaikan masa studi-nya. Setiap tahunnya, UNSOED mengadakan kurang lebih tiga kali wisuda. Setiap satu kali acara wisuda, ada sekitar ratusan sarjana yang dilepas. Di Jawa tengah ada puluhan universitas, dan Indonesia memiliki ratusan perguruan tingggi. Hal itu berarti tiap tahun kita memiliki stok intelektual yang begitu mellimpah. Namun sayangnya, para sarjana itu tidak memiliki kesadaran akan nilai-nilai profetik. System pendidikan yang sudah tergenggam neolib telah mengarahkan mainstream kebanyakan sarjana kita menjadi pragmatis. Maka yang terlahir bukanlah intelektual tapi tak lebih dari buruh-buruh pihak colonial.

Peran-peran intelektual dalam penguatan nilai profetik merupakan syarat mutlak untuk mengembalikan Negara ini menjadi merdeka. Hal itu juga sekaligus merupakan bentuk tanggungjawab kita dalam melaksanakan peran-peran kekhalifahan manusia diatas muka bumi ini. Bencana-bencana yang beberapa kali menimpa negeri ini tidak mustahil merupakan sebuah peringatan untuk kita dalam amanah sebagai khalifah. Intelektual profetik merupakan manusia-manusia intelektual yang mampu memahami nilai-nilai ibadah dari ilmu yang dimilikinya dan memiliki kesadaran kritis untuk bertanggungjawab dalam terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Maka intelektual profetik merupakan sebuah “memorandum” yang urgent ditengah kondisi bangsa dalam genggaman neoliberalisme.

*)Ana Mardliyah : Kabid Eksternal HMI Komisariat Pertanian UNSOED (Sekaligus Pjs Ketum)
Read more ...