Pages

Tuesday, April 05, 2011

Menjaring Keterlibatan Masyarakat Melalui Optimalisasi Media Jejaring Sosial untuk Menciptakan Perpustakaan Nasional yang Dinamis

*juara harapan 2 LKT Perpusnas 2010 kategori Dosen dan Umum



Oleh :
Shinta Ardhiyani U
158/SKT/SA/1111




Pendahuluan

Keberadaan perpustakaan nasional (perpusnas) memiliki arti penting dan korelasi positif terhadap upaya pencerdasan masyarakat. Program pendidikan yang dicanangkan bukan semata jenjang sekolah formal saja melainkan bagaimana masyarakat mampu mengembangkan diri melalui kekayaan literasi yang dimiliki. Dengan menyediakan informasi, masyarakat dapat memberitahukan kepada diri mereka sendiri tanpa suatu paksaan tentang berbagai isu muktahir. Masyarakat dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan mendapatkan berbagai informasi yang sesuai tugas atau pekerjaan masing-masing. Dengan kata lain, melalui perpustakaan diharapkan akan terbentuk statu masyarakat yang terinformasi dengan baik, berkualitas, dan demokratis .

Walaupun belum ada definisi resmi apa itu perpustakaan nasional, namun dari nama-nya kita akan mengetahui posisi nya sebagai penyimpan dokumentasi nasional. Selain itu, keberadaannya yang dipusat dan bersifat nasional, maka perpusnas menjadi lembaga koordinator perpustakaan-perpustakaan yang ada di daerah. Sifat nasional ini menjadi istimewa karena berkonsekuensi untuk dapat diterima masyarakat secara luas dan menasional. Namun kedudukan nasional ternyata juga memberikan kesan menara suar yang susah digapai oleh masyarakat. Tak banyak masyarakat yang mengenal perpustakaan nasional pun warga ibukota yang memiliki lokasi dekat. Hal ini perlu menjadi perhatian sendiri karena dinamika perpustakaan nasional akan tercipta ketika masyarakat melakukan banyak aktivitas bersama perpusnas. Dinamika perpustakaan adalah sebuah aktivitas literasi mandiri dari para anggota-nya. Walaupun ada inovasi jemput bola dengan agenda perpustakaan keliling, tetap saja aktivitas literasi masyarakat dilakukan secara mandiri dan butuh tingkat kesadaran yang tinggi. Tanpa membangun kesadaran literasi pada masyarakat, maka tak ayal peran perpustakaan hanya sebagai ”brankas” saja tanpa adanya dinamika.

Dalam sosialiasi perpusnas perlu adanya media yang membangun kesadaran literasi pribadi. Maka media yang diperlukan adalah yang mampu menciptakan sebuah citizen library, dimana masyarakat dapat terstimulasi untuk turut serta melakukan beberapa peranan-peranan perpustakaan. Jadi nanti perpustakaan masyarakat menjadi lembaga yang dijalankan bersama-sama dengan masyarakat. Atau dengan kata lain, keterlibatan masyarakat menjadi penggerak/dinamisator perpustakaan nasional.

Maraknya jejaring sosial di era digitalisasi dewasa ini menjadi salah satu budaya populer yang sudah menjadi salah satu bagian gaya hidup masyarakat Indonesia. Bahkan menurut sebuah riset, per Juni 2009, Facebook menduduki peringkat pertama sebagai situs yang paling sering diakses oleh masyarakat Indonesia. Fakta ini merupakan hal yang potensial dalam melakukan efektifitas dan masifitas agenda perpustakaan nasional.

Read more ...

Kidung Teladan Pak Kuding


Sudah menjadi bagian dari kisah yang termaktub dalam kitab sejarah negara kita, bahwa penjajah itu adalah orang-orang yang serakah. Bahwa kolonial adalah kaum yang sangat membuat kesal. Berabad-abad negara kita pernah betah menjadi tongkrongan para penjajah. Namun penjajahan juga lah yang membuat kita mengenal adanya para pemimpin bangsa. Para bapak bangsa yang tak terkira mulianya. Penjajahan pada sisi lain melahirkan manusia-manusia luar biasa yang bisa dijadikan sebagai teladan pembelajaran bagi kaum selanjutnya. Benar bahwa, there is no growth in comfort zone, there is no comfort in growth zone., masa-masa penjajahan yang tak nyaman kemudian melahirkan manusia-manusia yang memiliki mental tangguh yang luar biasa.

Adalah seorang pak Kuding - panggilan Syafrudin Prawiranegara-nyang sebenarnya tak akan berlebihan jika kita panggil dengan sebutan Presiden Prawiranegara. Namun, kerendahhatian serta tingginya pekerti beliau, menjadikan sebutan Presiden adalah sesuatu yang pantang untuk diterima. Pun oleh anak cucunya yang keberatan ketika nama “Presiden Prawiranegara” menjadi salah satu judul dalam sebuah novel besutan Akmal Nasery Barsal.

Sebagai novel, sebuah karya kreatif-imajinatif, itu yang coba ditegaskan oleh Akmal Nasery di awal bukunya. Kisah ini bukan ingin menjadi buku sejarah atau bahkan memberikan temuan historis baru. Adapun setting sejarah yang mengiringi tokoh Kamil Koto dalam novel ini adalah sebatas setting yang memberi penguatan pada sebentuk epik indah tentang seorang Presiden Prawiranegara saat menjadi ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).

Agresi militer II Belanda pada 19 Desember 1948 berujung pada dijadikannya Bung Karno-Bung Hatta serta petinggi negara lainnya menjadi huissarrest (tahanan rumah). Hal ini tak kepalang menjadikan kondisi negara agak kacau. Yogyakarta telah dikuasai oleh penjajah. Beberapa petinggi bangsa yang tidak di ibukota, tetap bertekad melanjutkan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Hal itu yang menjadikan Pak Syaf berinisiatif untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat, yang kemudian oleh forum beliau dimanahi menjadi ketuanya. PDRI awalnya berkedudukan di Bukittinggi, namun karena penjajah terus berusaha untuk menduduki wilayah Indonesia, PDRI pun bergerilya keluar masuk rimba, naik turun gunung di wilayah sumatra bagian barat hingga aceh, hingga akhirnya di daerah bernama Bidar Alam. Disinilah kisah berurai. Kisah yang sungguh dramatik dan membuat pembaca larut di dalamnya. Bukan sebuah kisah sejarah yang penuh diksi membosankan. Namun, dengan kepiawaian seorang Akmal Nasery Barsal menggugah jiwa pembaca dengan kisah yang indah.
Read more ...

Indonesia Sebagai Lebih Dari Sebuah Batas Negara

Apa yang terbersit di pikiran anak muda ketika mereka diberikan kata ”Indonesia” atau ”nasionalisme”? Mungkin ada yang bilang bahwa nasionalisme adalah ketika Indonesia mampu menjadi finalis dalam liga sepakbola AFF. Ada jg jawaban bahwa ketika kita bicara Indonesia adalah Bali, reog ponorogo, batik, sate padang, dan lain-lain. Lebih heroik lagi adalah ketika bicara Indonesia adalah saat kemarahan kepada orang saudi arabia yang menganiaya TKI, atau bicara nasionalisme adalah saat harus memperjuangkan Indonesia ketika terlibat konflik dengan negara jiran. Jawaban-jawaban itu tidak salah walaupun tidak seratus persen benar. Lebih dari itu, bahwa nasionalisme tidak tersempitkan melalui batas-batas negara secara fisik atau kekayaan budaya yang harus dijaga eksistensinya. Indonesia memungkinkan para generasi muda untuk bicara lebih luas, dengan prinsip-prinsip yang bukan mengungkung nasionalisme itu sendiri tetapi justru menjadi kebanggaan di dada setiap pemuda. Maka, tak heran kita akan melihat semangat nasionalisme yang luar biasa dari warga negara Indonesia yang mungkin tidak bertempattinggal di Indonesia. Mereka mampu melihat Indonesia secara lebih objektif dan luas.

Begitu pula ketika kita membaca buku dengan judul ”Notes From Qatar” (#NFQ) yang dibesut oleh Muhammad Assad. Buku yang sederhana tetapi punya efek yang luar biasa buat anak muda yang mau membacanya. Sebenarnya #NFQ ini tak lebih dari sebuah catatan harian dari Assad selama berada di Qatar. Assad adalah anak muda cemerlang yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di negeri jiran-Malaysia, mendapat full scholarship dari petronas dan melanjutkan studi master di Qatar Faculty of Islamic Studies (QFIS), Doha, dengan beasiswa penuh dari emir Qatar, His Highness sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani.

Menyadari bahwa dirinya diberi kesempatan untuk merasakan berbagai pengalaman serta meraih berbagai prestasi, Assad berkeinginan untuk membaginya kepada orang lain. Semangat, pengalaman, curahan hati-nya rajin ia sampaikan melalui sebuah blog www.muhammadassad.wordpress.com . Kemudian dari beberapa tulisan di blog tersebut ia ajukan ke penerbit dan lahirlah sebuah buku cantik dengan judul ”Notes From Qatar”.
Read more ...

JOMBLO DALAM SEBUAH REPORTASE MERAH MUDA




Dunia kampus selalu menjadi dunia yang penuh cerita, bagi mereka yang berkuliah tentunya. Tanpa menafikan bahwa tingkat akses pendidikan tinggi di Negara kita masih terbilang rendah, kampus selalu menjadi ruang-ruang yang penuh kisah indah bagi para penghuninya. Bagi sebagian orang, kampus menjadi tembok tinggi yang membuat jarak dan penghalang bagi masyarakat di sekitarnya. Anak kuliahan dianggap anak-anak yang memiliki “kode bahasa” tertentu yang cenderung njelimet bin ribet untuk dipahami oleh masyarakat awam. Belum lagi dengan visualisasi demonstrasi yang kerap mewarnai layar kaca di rumah kita. Banyak sekali gelar yang akan disandingkan kepada para mahasiswa itu, sebagai intelektual, cendekiawan, hingga demonstran. Tak sedikit pula menyandang gelar borjuis, karena kuliah bagi beberapa kelompok mahasiswa adalah prestise, ke kampus gonta-ganti mobil, ajang mejeng fashion, belum lagi event-event yang mengatasnakaman kebersamaan dari mulai nongkrong di kantin sampai bermalam di villa, itu sudah menjadi adat tak tertulis.

Fakta itu tidak salah, walaupun juga tidak seratus persen benar. Menjadi mahasiswa adalah ”tiket masuk” untuk menggembleng potensi diri. Saat itulah seorang anak manusia tidak dianggap anak-anak lagi namun belum juga bisa dipandang sebagai orang tua. Posisi tawar seorang pemuda banyak dibangun di masa-masa mereka menjadi mahasiswa. Maka tak heran jika kita mendapati banyak jenis organisasi mahasiswa, dari yang bersifat hobi, kerohanian, hingga politik. Nah, beberapa persen dari sekian banyak jumlah mahasiswa memilih ini, lazimnya mereka disebut sebagai aktivis. Entah itu dari BEM, UKM, atau bahkan ormas ekstra kampus. Dan mereka punya dunia yang menarik hingga tak salah jika seorang Zakky Ramadhani mencoba mengangkat satu dari ribuan kisah yang ada di dunia aktivis mahasiswa.

Read more ...