Pages

Thursday, December 27, 2007

Idul Qurban Tahun ini...

Idul Qurban tahun ini akhirnya bisa kumpul lagi semua. My big family, my lovely. Dari mulai mas ardan sampe pakdhe Udin juga pada dateng. Puji syukur pada Allah...yang menganugerahkan keluarga yang begitu menjadi kekayaanku paling berharga.

Alhamdulillah juga, kita diberikan kesempatan untuk kembali melaksanakan ibadah qurban. Tahun ini setidaknya ada dua ekor sapi dan tiga ekor kambing (sebenarnya ada enam kambing tapi yang dua punya temen mama).

Itulah saat-saat yang selalu aku rindukan. Saat-saat kita dapat berkumpul bersama. Ada bahagia serta keharuan yang merasuk saat kita semua berkumpul menyaksikan pemotongan hewan qurban. Mas ardan yang mengumandangkan Takbir, mas nono yang menyembelih hewan qurban-nya, anggota keluarga yang lain juga pastinya ikut turun tangan.

Aku rindu canda tawa dan kebersamaan itu. Dhe dina, abang, jaki, ocha, bilal, mas ardan, melon, dakocan, mbak iwil kutil, gisa benjol, ogi, dll (oya dhe' NAdhira....luv u baby!!).

Hemh...tahun ini lumayan lebih riuh. Karena jumlah sapi-nya bertambah, kami jadi bekerja lebih ekstra. Duh...aq sempet kabat-kebit jauntungnya. Ngeri juga ngliat banyak orang pada berkerumun di depan menunggu hewan qurban. Duh...kalo pagarnya roboh gimana yach????dan itu terjadi sampe sore. PAdahal qta udah ngomong berkali2 kalo qta gk pake sistem kupon tapi sudah melakukan pendataan masyarakat yang berhak menerima dari berbagai area di kota Tegal.

Tentang Idul Qurban memang di keluarga qta mungkin memang sudah menjadi sebuah kebisaan. Bisa dibilang, sejak kecil aku sudah dilatih sebagai panitia idul qurban.he3. Kebun belakang rumah yang cukup luas menjadi tempat yang biasa dijadikan TKP penyembelihan.he3.

Aku bersyukur dihadirkan pada keluarga yang dapat menjadi tempatku belajar mengenalNYa. Ruang fikirku tak pernah kosong akan siluet2 mereka. Air mataku selalu berurai saat ada masalah, namun senyumku juga setiap saat untuk mereka. Aku sayang kalian semua.....luv u all!!!



Read more ...

Tentang Tiga Waktu Hari Raya

Lagi-lagi banyak perbedaan. Its ok, different is beautiful. Ada yang ngikut pemerintah (hari kamis), ada yang hari rabu, ada juga yang hari selasa.

Aku pribadi masih blm mudeng (yach..ketauan deh bego-nya.he3). Aku heran sama beberapa pendapat yang menyatakan kita berdasarkan kegiatan wukuf di arafah sono.

Aku jadi heran kenapa sieh penentuan titik tekan-nya pada prosesi ibadah haji-nya??? Kalau menurut aku, Idul Adha itu kan momentum yang dr peristiwa disembelihnya Ismail oleh Ibrahim (yang kemudian menjadi domba). Kemudian dalam perkembangannya, satu hari sebelum hari H itu dilakukan wukuf (bagi yang ibadah haji) dan puasa (bagi yang sedang tidak beribadah haji). Jadi, harusnya titik tekannya adalah Idul Adha-nya itu sendiri, bukan karena wukuf di arafah sono udah kelar trus berarti udah Idul Adha. Kalo namanya puasa arafah itu aku rasa itu sekedar nama. Apa di zaman nabi Ibrahim waktu itu ada wukuf dulu di arafah??. Proses ibadah haji itu kan turun setelah peristiwa idul qurban itu. Jadi puasa arafah itu bukan berarti puasa saat orang2 yang ibdah haji lagi wukuf di arafah tapi puasa satu hari sebelum Idul Adha, dan kalo bagi orang2 yang ibadah haji satu hari sebelum Idul Adha itu prosesi-nya adalah wukuf di arafah.Secara juga, antara Arafah dan Indonesia kan punya perbedaan waktu githu lho!!! Aq rasa Islam telah mengatur itu. Jadi, please...ini idul Adha bukan Idul Haji....(waduh..bahasa-nya maksa banget...).

Ini bukan pendapat yang didasarkan pada sebuah sentimen. Aku cuma mendasarkan pada pertanyaan2 yang muncul dalam benak kemudian diolah dalam fikir dan hati dengan senantisa berdzikir kemudian dishow-up di blog-ku yang maniz ini (he3)

ok lah gitu aja



Read more ...
Wednesday, December 12, 2007

Berdialog dengan Ahmad Wahib


Surprise kudapatkan buku ini. Buku kecil dengan cover hijau dan kertas-kertas halaman yang sudah menguning memang tanpa sengaja kudapatkan. Dari rumah temanku yang katanya mendapatkannya dari kantor redaksi suara merdeka.

Walaupun sore hingga malam aku lelah, setelah workshop dan berburu buku di bookfair, malamnya aku tak dapat memejamkan mata, sangat ingin melalap buku yang bertajuk " Pergolakan Pemikiran Islam, catatan harian Ahmad Wahib".


Cover yang aku tampilkan di postingan ini adalah yang edisi baru edisi recovery yang diterbitkan oleh Resist book.Sedangkan yang aku baca adalah yang terbitan LP3ES cetakan tahun 1982. Tidak apa perbedaan yang mendasar aku rasa.

Dulu, aku memiliki buku ini setelah membongkar-bongkar koleksi buku almarhum pakdhe di srenseng sawah. Buku ini punya kesan tersendiri buatku. Mungkin karena ini buku pertama yang aku baca tentang seorang aktivis HMI.Selain itu, buku ini mulai aku baca saat aku melalui hidup di pondok pesantren. Bisa dibayangkan, hal-hal kontras seperti apa yang aku rasakan antara realita yang aku hadapi dengan pemikiran yang aku baca. Entah mengapa, aku merasakan aku berdiskusi dengan pemikiran Ahmad Wahib saat membaca buku ini. Aku menjadi betah untuk berlama-lama dikamar seolah-olah aku mendapatkan teman berdiskusi yang mengasyikan. Apa yang tertulis membuat otakku terpancing dan kemudian pemikiranku entah kenapa bisa nyambung dengan tulisan-tulisan berikutnya jadi seperti timbul sebuah interaksi. Entahlah, mungkin aku cocok dengan cara pemikirannya. Walaupun banyak juga hal dari Ahmad wahib yang belum aku sepahami. Aku masih tak mengerti pemikiran beliau tentang fiqh baru dan hal-hal lain. Namun yang pasti aku sejalan dengan demokratis pemikirannya juga pluralisme yang dia lontarkan.

Ahmad Wahid, yang pada awal dekade 80-an menghebohkan dunia intelektual-keagamaan Indonesia dengan terbitnya sebuah buku yang ditulisnya.Buku ini berusaha menampilkan pemikiran pluralisme agama dari salah seorang eksponen angkatan ini, yaitu Ahmad Wahib (1942-1973).

Lewat catatan hariannya yang kontroversial itu, ia banyak mencetuskan gagasan menarik yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia. Dari kajian ini diharapkan akan diperoleh suatu paradigma untuk kehidupan beragama di tengah keragaman, dialog antar agama, dan toleransi antarpemeluk agama.

Semoga Tuhan selalu memberkatimu, kanda.




Read more ...

Sekali Lagi Tentang Kekuatan Indie

" Sin, wis tuku buleting anyar durung??"
Sebuah sapaan yang sudah tidak asing lagi kudengar. Mas Ryan, kakak angkatanku di komunitas teater. Banyak ilmu yang sudah aku timba dari beliau.
Dia menyodorkan sebuah buletin yang sangat sederhana, keluaran baru dari sanggar sastra wedang kendhi. Buletin edisi ke-dua (kalo nggak salah).
Yup, tanpa ragu-ragu kubeli buletin dengan sampul warna hijau itu. Sama halnya perlakuan yang kuberikan waktu buletin Diksi terbit.

MUngkin kalau diliat isi dari buletin itu, masih jauh dari kata-katau "berkualitas". Tapi setidaknya aku menghargai sebuah semangat, sebuah kekuatan indie. Aku yakin kekuatan ini akan menjadi stimulan tersendiri bagi pemasifan sastra. Aku menghargai karya karena memang hidup ini adalah berkarya.

Aku belum bisa berkata banyak disumbangkan. Ada tulisan yang ingin aku sumbangkan untuk sanggar sastra wedang kendhi ataupun diksi. Tetap berkarya. Salam budaya!!!

-purwokerto, dec '07-
sedang terburu-buru.



Read more ...

Ketika Dakwah Menjadi Bulshit!!!

Terik mentari Jumat siang itu cukup menyengat, menciptakan fatamorgana di lembaran lapangan basket yang begitu menyilaukan mata yang memandang. Dengan sisa semangat dan tetap dengan canda cawa dan nuansa gembira, tiga perempuan berjilbab asyik bercengkerama di depan ruang M2. Hampir tiap pekan seperti itu.
Ngapain cewek-cewek berjilbab nongkrong siang2??nggosip??? Ups, dengerin aja dulu.

"Marilah kita buka acara siang ini dengan bacaan basmalah.........."

Miris sebenarnya aku ceritakan ini. Saat teh Yuka membuka acara ini, biasanya MCnya gantian kalo nggak aku, mbak yuka, rina. Pembicaranya juga gantian. Percaya tidak percaya, itu adalah acara kajian keputrian rohis sastra (ICCOl = Islamic Comunity of Literature). Mungkin yang pernah terbayang atau mungkin pernah mengalami sendiri, unit kegiatan mahasiswa di bidang kerohanian (aku gk mau nyebut ini LDK....) pasti banya. Tapi tidak dengan di kampus sastraku tercinta.

Disinilah ku mengerti arti perjuangan. Kampus sastra memiliki letak geografis yang terpisah jauh dari kampus pusat UNSOED. Tiap hari aku berurbanisasi dari kawasan kampus pusat UNSOED di grendeng menuju kampus sastra Kalibakal di bilangan kota. Menempati gedung lama bekas komunitas tionghoa, kampus sastraku berkembang sebagai kampus yang lumayan "apatis".

Begitu juga dengan kegiatan kemahasiswaan. Kali ini mungkin akan kubicarakan mengenai kegiatan kerohanian. Niatku adalah dakwah. Aku sedikit mengeyampingkan fakta perekayasaan UKM Kerohanian Kampus menjadi sebuah ladang untuk kelompok tertentu, Kondisi apatis kampus aku ambil sebagai peluang yang bagus untuk memurnikan UKM Dakwah.

Di UNSOED, kegiatan kerohanian di tiap fakultas disebut dengan UKI (Unit Kerohanian Islam) di tingkat Universitas ada UKKI (Unit Kordinasi Kerohanian Islam). Aku tak mau mambahas mengenai LDK (lembaga dakwah kampus). Aku menghargai niat awalnya sebagai upaya koordinasi dakwah. Namun, aku tak mau membenarkan rekayasa politik yang dilakukan.

Kembali mengenai ICOOL di kampus sastraku. Dari awal aku sudah mengazamkan dakwah disini. Aku menyadari, bukan kebetulan belaka yang membawaku ada di kampus nan gersang ini. Fakultas sastra baru berdiri tahun 2003. Maka ini hal yang wajar di usia seumuran itu.

Fenomena seperti diungkap diatas adalah hal yang sudah biasa aku rasakan. Aku bersama mbak Yuka adalah couple yang insya Allah terus setia pada jalan dakwah ini. Aku berani berkata BULLSHIT pada UKKI Unsoed yang katanya sebagai lembaga koordinasi UKI. Aku bilang mereka sudah saatnya tobat dan memurnikan diri sebagai unit kegiatan dakwah. Di bdang keputrian saja, mana letak ukhuwah yang mereka agung-agungkan???? Kehadiran mereka di ICOOL UNSOED bisa dihitung dengan jari (setahun paling banter 5 kali). Padalah satu UNSOED, sedangkan komunikasi dengan LDK-nya mereka mungkin bisa sering banget. Maaf kalo agak emosi, tak ada niatan seperti itu. Hanya saja aku memang benci pada orang-orang yang meng-eksklusifkan dakwah untuk golongan mereka saja dan menganggap mereka adalah golongan yang paling benar. Apa sebenarnya makna "ikhwah" bagi mereka. Sejatinya ikhwah itu adalah saudara. Namun kenyataannya, ikhwah bagi mereka adalah "satu Islam, satu aliran, satu organisasi, satu......" (aku tak ingin menyebut namanya. Dimana sejatinya dakwah yang mereka usung tinggi-tinggi??? Apa hanya menjadi jargon saja???


Sudah kerap kali mbak Yuka sharing kepadaku tentang bagaimana kesalnya beliau pada rekan-rekan di UKI kampus pusat. Mereka menginginkan partisipasi kita di kampus sastra, tapi bahkan mereka mungkin tidak pernah ingat kepada kami disini. Mbak Yuka yang jelas-jelas mungkin bukan orang yang "pemberontak" seperti aku berkata seperti itu.

Murobhiku Sayang, Murobhiku Malang

Kisah lain misalnya, tentang mentoring. Aku secara pribadi bukan orang "liqo". Namun, aku tetap ikut program mentoring ini. Toh, bagiku Islam itu adalah sejatinya kebenaran. Tidak ada yang dapat memonopoli kebenaran ISlam, dari golongan manapun. NIatku adalah, mengikis kegersangan kampus sastra dengan kegiatan-kegiatan rohani. Entah apapun itu, aku nggak melihat golongan apa yang dibelakangnya. Bahkan, kalau Al-Qiyadah bisa masuk ke kampus ini, aku welcome,itu aku pandang sebagai sebuah stimulan akan kesadaran Islam. Ok, kembali mengenai liqo. Aku ikut dalam satu kelompok dengan 4 orang teman lainnya yang satu angkatan. Tadinya aku merasakan sebuah ukhuwah yang menjadi sebuah semangat tersendiri. Murobhi-nya didatangkan dari kampus pusat (fakultas pertanian) karana memang stok murobhi di sastra msh nol (itu menurut standar mereka).

Tapi apa??? pertemuan liqo itu paling banter hanya berjalan 3-4 kali selama satu tahun kemaren. Entah kenapa. Mungkin karena jarak yang jauh yang menjadi penghambat. Beberapa kali pertemuan kita gagal, padahal peserta liqo sudah menanti-nanti. Lucunya lagi, selama pertemuan di tahun itu, murobhi kita dioper-oper. Maksudnya apa nieh??? Jujur aku lumayan kesel. Aku sendiri juga kos-nya ada di kampus pusat, yang harus nunggu angkot setengah jam untuk nyampe kampus sastra. Bahkan mungkin kalo aku boleh bilang, aku sendiri banyak akses kok untuk mendapat komunitas-komunitas kajian seperti itu, tanpa harus mengikuti liqo. Tapi, sekali lagi kukatakan, bukan diriku pribadi yang aku pikirkan. Aku memikirkan teman-teman di kampus sastra. Kalau mereka tidak distimulasi dari luar, ya akan stagnan.

Entah lah, status UKKI sebagai UKM kerohanian pun masih aku ragukan.

KIsah lain yang mungkin pernah membuat aku gak habis pikir (jujur aku menangis juga waktu itu) adalah pada saat mo mengadakan TEKAD 2(training kader II). Waktu itu bekerjasama dengan UKI dari D3 Bahasa Inggris. Dengan materi-materi yang sudah dikurikulumkan, ada inisiatif mengambil pembicara-pembicara dari berbagai latar belakang. Ternyata ada masalah disni, beberapa panitia tidak setuju dengan pemilihan beberapa pembicara yaitu Mas YUda, Mas UUd, dan mas Agung.KEnapa??? Jawabannya sebenarnya jelas, nama-nama yang disebutkan tadi adalah aktivis HMI, dan mereka anggap bukan "ikhwah". Apa-apaan lagi ini????lacur nian!!! sejak kapan mereka punya kuasa untuk mengkafirkan saudaranya sendiri sesama Islam????
Wah...aku nggak kuat menceritakan hal ini. Aku sempat mengungkapkan kekecewaan pada salah satu "akhwat" itu. Aku dengan polosnya hanya berkata, "Mbak, mas Yuda adalah temenku, aku nggak mikir politis, aku sangat sedih ketika temenku mbak anggap kafir....."

Aku cuma berharap pada rekan-rekan yang mengatasnamakan sebagai aktivis dakwah kampus, Apakah memang benar-benar murni dakwah yang anda jalani???? Dakwah itu memiliki makna yang tidak sesempit daun kelor. Tolong direfleksikan kembali pemikiran dakwah yang anda jalani, saya tidak menjudge anda salah, saya yakin anda memiliki niat yang sangat mulia, namun tolong diruntut jalan dakwah yang anda lalui. Jangan sandingkan dengan hal-hal politis, walaupun itu aku yakin tidak bisa murni 100%. Elemen dakwah itu banyak. Allah menciptakan Islam sebagai rahmatan lil alamin, menciptakan golongan2 untuk saling bersaudara. Allah pun masih memiliki rasa sayang pada orang kafir dengan memberinya nafas, lalu kenapa kita picik menganggap orang diluar golongan sebagai orang yang tidak sejalan????

Mungkin aku hanyalah orang yang belum tau banyak, aku hanya menuliskan apa yang aku rasakan dan apa yang aku pikirkan. Segalanya dengan cinta.


Purwokerto, Dec '07

-with full luph--



Read more ...
Tuesday, November 20, 2007

Equality Gerakan Intelektual Melalui Praksis Gerakan Berbasis Gender

disusun sebagai persyaratan mengikuti Intermediate Training (LKII) XIV Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) cabang semarang

Maha suci Allah yang telah menciptakan makhluk-nya berpasang-pasangan.Adanya siang dan malam,langit dan bumi, laki-laki dan wanita, serta couple lain bukan sekedar estetika belaka. ada hikmah yang terkandung yang sudah semestinya menjadi bahan renungan dan pembelajaran bagi umatNya yang berfikir. Disinilah terkandung makna bahwa Islam mengajarkan konsep keseimbangan yang tetap mengerucut padasatu muara kulminasi kehadirat sang Illahi.

Gerakan intelektual sebagai gerakan yang dalam mencapai visi/misainya terbangun oleh adanya satu cara pandang yang utuh antara Tuhan,Alam,dan manusia,bersinergis dengan konsep keseimbangan yang diisyaratkan pleh Islam. Seseorangn dengan karakter ulil albab akan memahami bahwa dalam suatu gerakan apalagi dengan [engalokasian seluruh sumber daya sehingga terciptanya sebuah keseimbangan.

Berbicara mengenai keseimbangan,dalam kontekstual individu,sudah menjadi fitrah bahwa manusia diciptakan ada laki-laki dan wanita. Dalam masa Nabi Muhammad SAW - yang merupakan masa ideal Islam- wanita mempunyai ruang lebih dalammenunjukkan keterlibatannya dalam dunia sosialnya.Isu gender memang selalu menjadi isu yang cukupmempunyai "rating. Entah itu hanya menjadi hotnews belaka atau memang ada upaya mengimplementasikan teori aktualisasi potensi wanita.

Adanya sunatullah terciptanya manusia menjadi laki-laki dan wanita secara tidak langsung berpengaruh dalam interaksi sosial. Perbedaan harus tetap ada tetapi bukan pembedaan.Perbedaan itu juga sudah merupakan "proses alamiah" yang terjadi. Manurut pengamatan Robert Bierdstet di dunia barat, pada pertemuan-pertemuan yang dihadiri lelaki dan wanita mula-mula bercampur akan tetapi akhirnya masing-masing golongan memisah.Kemudian dalam masyarakat ,muncul perkumpulan-perkumpulan yang hanya untuk lelaki atau untuk wanita saja- yang dalampenelitian Bierdstet kemudian memberi contoh seperti adanya Bouy Scout dan GirlScout. Barangkali pada dasarnya yang menjadikan pengelompokan itu ialah apa yang disebut Giddings "concionusness of kind:.Hal ini mengisyaratkan bahwa pernedaan tersebit memiliki ranah potensi masing-masing.Peningkatan potensi masing-masing kelompok tersebut (dengan basis gender) akan merujuk pada konsep keseimbangan.

Tidak banyak gerakan wanita- di Indonesia khususnya -jikakita bandingkan dengan "gerakan kewanitaan:.Wanita dengan potensinya yang luar biasa sangat dibutuhkan sumbangsihnya dalam kancah gerakan intelektual. Selama ini gembar-gembor isu biasa gender memang sangat naik daun.Popularitasnya memiliki nilai jual tersendiri.Namun pada kenyataannya hal itu tidak bersignifikansi pada tingkat pasrtisipasi wanita pada gerakan intelektual. Orasi yang selalu dikumandangkan para kaum yang mengaku feminis atau sejenisnya hanya bergerak pada lingkup kewanitaan yaitu gerakan yang hanya berkutat pada hal-halseputar wanita bukan gerakan yang lebih praksis dimana wanita dituntut bukti nyata peran aktifnya dalam masayarakat.Tuntutan yang esensial adalah wanita yang bergerak bukan sekedar gerakan tentang wanita. Pada masa nabi Muhammad,jarang terdengar kelompok feminis yang berkoar-koar mengenai bias gender, yang ada saat itu ialah praksis gerakan.Seperti tertuang dalamsebuah riwayat,sebagaimana Ar-rubayy'binti Muawidz pernah menuturkan ," Kami pernah bersama Nabi Muhammad SAW dalam peperangan.Kami bertugas memberi minum prajurit,melayani mereka,mengobati orang terluka, serta mengantarkan orang terluka dan terbunuh ke Madinah" (riwayat Bukhari). Di masa tersebut,wanita juga aktif dalam memformulasikan nila-nilai agama. Tak ada kaidah-kaidah agama, terutama yang berhubungan dengan mereka yang "jadi" tanpa dialog dengan mereka. Di masa tabiin dan tabi-tabi'in,peneliti Islam kontemporer menemukan banyak fakta tercecer tentang beberapa ilmuwan wanita yang menjadi guru bagi pendiri mahzhab besar dalamIslam.Rumah mereka telah menjadi sumber bagi perkembangan tradisi keilmuan Islam saat itu. Sejarah juga tak bisa memungkiri kecemerlangan beberapa ratu dalam pemerimtahan Islam abad pertengahan. Dalam Islam, wanita (muslimah)memiliki tanggungjawab yang sama dalam menegakan amar ma'ruf nahi munkar (QS At Taubah : 71)

Selama ini yang teramati adalah kenyataan bahwa hanya lebih banyak orasi kewanitaan dengan mengatasnamakan keberpihakan pada kaum wanita dibanding dengan praksis gerakan di tengah masyarakat.Yang dibutuhkan bukan sekedar korps kewanitaan yang esensialnya malah mempersempit ruang gerak wanita.Sebenarnya cukup tepat pemikiran yang melatarbelakangi ketika bubarnya korps- PMII-Puteri (KOPRI) yang menyatakan bahwa KOPRI dianggap menjustifikasi ketidakmampuan wanita dalam bersaing dengan laki-laki dalam perebutan posisi yang lebih strategis.Menurut mereka,satu-satunya jalan untuk bisa bertarung bebas dengan laki-laki adalah meleburkan wanita dalam organisasi induknya -dalam hal ini yaitu PMII. Namun tindakan itu kemudian dipertanyakan ketika pada kenyataannnya setelah melebur di organisasi induk, di dalam struktur PB PMII hanya ada satu ketua dan sekretaris perempuan serta satu lembaga yang diketuai perempuan, yaitu lembaga kajian wanita. Hal yang justru menggambarkan kemunduran.

Dalam kasus ini, dapat dikatakan telah terjadi fallacy of misplaced concretness yaitu ksesalahan berfikir yang muncul karena kita mengkonnretkan sesuatu yang padahakikatnya abstrak. Keseteraan gender adalah sebuah hal yang abstrak,sampai ujung dunia pun tak ada sembuah parameter yang konkret yang dapat menyatakan bagaimana laki-laki dan wanita ada pada posisi yang sejajar. Yang konkret adalah ketika wanita mampu menunjukan eksistensianya dengan segala daya potensi yang dimiliki.Eksistensi wanita yang muncul bukan karena adanya laki-laki namun eksistensi yang muncul karena potensi yang dimunculkan.

Gerakan Wanita dan Arus Globalisasi

Pengaruh arus globalisasi turut andil dalam munculnya kesalahan berfikir yang hanya menjadi penghambat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik karena memang mustahil ada perubahan ke arah yang benar,kalau kesalahan berfikir ,asih menjebak pemikiran kita.

Globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya paham kapitalis dan mengglobalnya peran pasar kemudian memunculkan setting wanita dengan peran konsumerisme yang kemudian menyudutkan wanita hingga tenggelam dan lupa pada tanggungjawab pengoptimalan potensi diri sebagai manusia.

Isu gender pun dijadikan komoditi pasar yang takakan habis lumbung donasi-nya sehingga tak mudah kita temukan adanya "gerakan isu" yang independen. Praksis mereka hanya berkoar tanpa adanya bukti yang nyata. Wanita yang semestinya dapat menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapi arus global justru menjadi salah satu objek arys globalisasi.

Pada akhirnya,gerakan wanita akan menjadi kekuatan apabila itu merupakan sebuah pengejewantahan gerakan wanita bukan sekedar gerakan kewanitaan.Bagaimana wujud nyata praksis gerakan wanita dapat menciptakan equality dlam gerakan intelektual yang kemudian menjadi slide tersendiri bahwa wanita bukan objek globalisasi namun bahkan menjadi aktor.

Sedikit footnote Tentang KOHATI

Tak ada yang bisa sayang ungkapkan banyak tentang KOHATO,tidak sebanyak keinginan untuk masuk menjadi bagian yang dapat memajukan korps ini. Tiga semangan yanng melatarbelakangi lahirnya KOHATI yakni eksistensi,aktualisasi serta akselerasi dapat menjadi harapan terwujudnya gerakan wanita yang diharapkan.Eksistensi yang dimaksud adalah adanya suatu semangat dan kesadaran diri dari kaum hawa untuk dapat menjadi subjek dalam pembangunan bangsa. Sedangkan aktualisasi bermaksud untuk menyatakan dalam tindakan nyata untuk mengadalan pembaharuan dan perbaikan dalammenghadapi tantangan zaman yang senantiasa berubah.Serta,akselerasi adalah semangat dalam melakukan peran sosiologis dan politis,yang ditunjukkan sebagai lembaga. Ini adalah sebuah kerangka kolaborasi eksistensi gerakan wanita yang mengedepankan potensi dibandinng emosi. Karenanya KOHATI adalah alat perjuangan yang patut dikembangkan dengan segala potensinya yang diharapkan menjadi "rahim" lahornya insan-insan Ulil Albab disamping denotatif rahim itu sendiri sebagai wanita.

Dunia ini memang sementara tapi bukan mimpi maka menghadapinya juga bukan dengan sekedar wacana,satu kata : BERGERAK!!!
YAKUSA!

Karangwangkal,Purwokerto, 27 Oktober 2007

Referensi :

Reborn of Jong MOeslem Female :Muslimah Bangkit....MUslimah Bergerak dan Menggerakan. Sebuah essay oleh Shinta Ardhiyani U (Purwokerto,Mei 2007)

Reposisi dan Reorientasi Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai Solusi Penanggulangan KDRT di Indonesia. Sebuah karya tulis oleh Shinta Ardhiyani U (purwokerto,Agustus 2007)
Mengukir Sejarah Baru.Sebuah tulisan oleh Nefisra Viviani pada http://www.rahima.or.id/SR/01-02/Fokus.htm diposting ulang oleh www.kohatimalang.blogspot.com
Sekilas mengenai Keberadaan KORPS HMI Wati. Sebuah tulisan oleh Betty Epsilon Idroos pada www.hmimaktim.blospot.com
Rakhmat Jalaludin. Rekayasa Sosial. PT.Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan Ketiga: Januari 2005.


Read more ...
Thursday, November 08, 2007

Kemana Bargaining Position Kita??

Oleh : Shinta Ardhiyani Ummi
(untuk hijau hitamku)
Image “pemikir sejati” yang melekat pada HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan kiranya perlu kita refleksikan. Konsep, konsep, dan berkali-kali konsep lagi. Itulah produktivitas kita. Padahal tantangan yang dihadapi mahasiswa yang katanya sebagai agent of change tidak sekedar berhanti pada tahap epistemis saja.
Kiranya perlu dimaknai kembali kata “mahasiswa” dalam organisasi kita. Kenyataan yang terjadi adalah teman-teman HMI jauh dari populis mahasiswa. Hal ini lepas dari kondisi mahasiswa yang “apatis”, HMI sebagai organisasi yang beranggotakan mahasiswa perlu kembali “Back To Campus”. Sekilas mungkin dinilai sebagai pemikiran yang sempit. Tapi memang kampuslah sebenarnya lahan dakwah kita yang utama .Kalau kita tukang becak atau penyapu jalanan boleh saja kita tak terlalu memperhatikan kampus. Di sisi lain, sikap yang “menjauhi” kampus justru akan menguatkan posisi kampus hanya sebagai tempat kongkow. Dengan kata lain, kita juga sebagai aktor dalam simbolisasi kampus sebagai lembaga pendidikan. Kalau begitu, apa artinya koar-koar kita tentang matinya pendidikan Indonesia? (kalau kita juga ternyata pembunuhnya).
Fenomena krisis kader di beberapa universitas yang terbilang “favorit” merupakan sebuah indikasi degradasi peran HMI di perguruan tinggi. Kalau begitu apa bedanya dengan HMI saudara kita yang lebih mementingkan politik praktis. Timbul pertanyaan yang selama ini belum terjawab “ HMI MPO mo dibawa kemana???”.
Mahasiswa khususnya mahasiswa Islam sebagai manusia intelektual (baca :berpendidikan tinggi) identik dengan pemikirannya yang cerdas, kritis, analitis. Kemudian apakah implementasi pemikiran itu telah nyata dalam kehidupan bangsa??? Satu frasa yang mungkin dapat mewakili seluruh fenomena tersebut yaitu bahwa kita – mahasiswa Islam – telah kehilang nilai tawar sebagai generasi intelektual. Bukan hal yang rahasia lagi jika produk-produk karya ilmiah mahasiswa yang diperlombakan sekarang aspek penilaiannya adalah ekonomi, karya-karya kita hanya akan menjadi sumbangan besar bagi kaum kapitalis. Coba kita tengok dunia media massa, apakah mahasiswa sudah mendapatkan jatah yang cukup untuk mengaspirasikan pemikirannya??? Atau sudah merasa cukup dengan ketersidaan satu rubrik mingguan satu halaman yang bertajuk “mahasiswa” atau “ “Mimbar”, dll. Bahkan Sasongko Tedjo, pimred Suara Merdeka pernah menyatakan sendiri bahwa demi kualitas media-nya (yang secara tidak langsung demi oplah), dia lebih memilih tulisan-tulisan para “sesepuh” dibandingkan tulisan dari mahasiswa. Bukan hal rahasia kalau kita mau mengirimkan tulisan ke media kalau bisa menyembunyikan identitas kemahasiswaannya. Fenomena apa ini??ternyata telah berpindah predikat agent of change dari kaum muda kepada kaum kapitalis.
Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa sebenarnya secara tidak langsung HMI telah menjadi aktor dalam kenyataan hilangnya peran mahasiswa saat ini. Ya, HMI dan juga organisasi-organisasi mahasiswa yang lain kini justru buta tentang hal-hal akademis. Hal akademis disini bukan semata-mata terpaku pada indeks prestasi, namun lebih kepada optimalisasi potensi keilmuan yang dimiliki ditempat mereka belajar. Mereka lebih hafal ideologi-ideologi yang berkembang, daftar nama koruptor Indonesia dibanding dengan rumus-rumus atau pokok-pokok mata kuliah yang diambil. Lebih parahnya lagi, terkadang menjadi pejuang yang munafik. Diluar mereka berkoar-koar tentang pembodohan dalam pendidikan, namun dengan “nurut” mereka juga mengikuti sistem pembodohan yang tersistematis dalam lembaga pendidikan. Kalau begitu, apa kata dunia???
Bukan bermaksud mempermasalahkan partisipasi mahasiswa dalam mengkritisi kondisi bangsa, namun kini sudah saatnya masuk dalam tahap aksiologis. Revolusi sistemik tak akan dapat terwujud jika kita juga minim dalam hard skill. Jangan siakan displin ilmu yang telah kita dapatkan di kampus. Implementasikan pemahaman filsafat ilmu yang kita miliki. So, ditunggu lahirnya ilmuwan-ilmuwan muda dari para mahasiswa Islam. Kejayaan Islam berawal dari generasi muda-nya yang mampu mengoptimalkan potensi keilmuan untuk kemaslahata umat.
Hal ini juga yang ingin dimulai dari komisariat pertanian UNSOED dalam kegiatan LK1 yang insya Allah akan diadakan akhir bulan ini. Komisariat tertua di Purwokerto yang lahan dakwahnya mencakup hampir lima fakultas di UNSOED (Fak.Pertanian, Fak,Peternakan, FKIK, Bahasa dan Sastra, dan MIPA). Dengan mencoba menstimulan para calon kader dengan berbagai event yang berkaitan langsung dengan disiplin ilmu mereka, kita mencoba melestarikan tradisi kelimuan di HMI untuk membangun kembali bergaining position mahasiswa Islam (nta).




Read more ...
Saturday, October 13, 2007

Lagu "Rasa Sayange" Terbukti Milik Indonesi

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar)
Jero Wacik mengatakan pihaknya menemukan beberapa bukti yang
menunjukkan lagu "Rasa Sayange" milik Indonesia yaitu pada rekaman
milik Lokananta dalam bentuk piringan hitam.

"Ada lagu Rasa Sayange dalam piringan hitam yang direkam oleh
Lokananta tersebut tahun 1958, kemudian dibagi pada 15 Agustus 1962
sebanyak 100 keping tertepatan saat pelaksanaan pesta olahraga Asian
Games di Jakarta oleh Presiden Soekarno," kata Menbudpar dalam jumpa
pers mengenai Lagu Rasa Sayange di kantor Depbudpar di Jakarta, Kamis.

Presiden Soekarno memberikan piringan hitam tersebut sebagai
cenderamata kepada pimpinan kontingen tiap negara peserta Asian Games
dimana lagu "Rasa Sayange" menjadi salah satu dari delapan lagu yang ada.

Piringan hitam yang merekam delapan lagu-lagu rakyat seperti Rasa
Sayange, Caca Marica, Suwe Ora Jamu, Gelang Sipatu Gelang, dan Rayuan
Pulau Kelapa, di antaranya Rasa Sayange dari Maluku tersebut masih
terdokumentasi dengan baik di perusahaan rekaman milik negara,
Lokananta Solo.

"Kalau ingin mempermasalahkan secara hukum mengenai kepemilikan, maka
merekam merupakan salah satu bukti yang kuat," kata Jero Wacik yang
dalam jumpa pers tersebut didampingi oleh musisi asal Maluku, Christ
Pattikawa, Ketua PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan
Penata Musik Rekaman Indonesia) Dharma Oratmangun dan Sekretaris
PAPPRI, James F Sundah serta Dirjen HAKI Depkumham Andy Noorsaman Sommeng.

Dia mengatakan pihaknya dibantu dengan dan musisi Indonesia lainnya
sedang mencari bukti yang lain mengenai lagu Rasa Sayange melalui satu
Yayasan dari Jepang, Minoru Endo Music Foundation (MEMF) yang pada
1997 mengkompilasi lagu pop dan lagu rakyat yang populer dari
negara-negara di Asia.

Setelah mengkompilasi, Yayasan Minoru membukukan dua ribu lagu dalam
buku "Evergreen Song 2.000" dan menyebarluaskan buku itu.

"Tapi karena ada pembatasan, maka tidak semua ditulis, hanya ada 19
lagu Indonesia yang ditulis partiturnya dan ada 50 lagu yang terdaftar
di buku itu, dan lagu Rasa Sayange tidak terdapat dalam 50 lagu itu,"
kata Jero Wacik.

Dia mengatakan saat ini pihaknya tengah mencari informasi apakah dari
2000 lagu yang dikompilasi oleh Yayasan Minoru terdapat lagu Rasa Sayange.

Menbudpar mengatakan dirinya juga telah berbicara dengan Gubernur
Maluku, Albert Ralahalu dan telah meminta kepada gubernur Maluku untuk
mencari informasi dan bukti seputar lagu Rasa Sayange tersebut.

Dari Gubernur Maluku itu muncul informasi telah ditemukan pencipta
lagu Rasa Sayange bernama Paulus Pea.

Sementara itu musisi Christ Patikawa mengatakan banyak informasi yang
mengatakan lagu Rasa Sayange diperkenalkan di Malaysia dari misi-misi
kebudayaan Indonesia kesana.

"Saya menduga lagu Rasa Sayange lebih dikenalkan pada masyarakat
Malaysia oleh Syaiful Bachri, konduktor Orkestra Simpony Jakarta (RRI)
yang hijrah ke Malaysia tahun 1960an dengan membawa seluruh partitur
lagu-lagu milik Orkestra Symphony Jakarta, diantaranya terdapat lagu
Rasa Sayange," kata Christ.(*)

Copyright � 2007 ANTARA



Read more ...

Salam Sayang Buat Al-Gore...



Hadiah prestisius yang diberikan kepada Al-Gore sang mantan wakil Presiden Amerika Serikat bersama Panel PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) merupakan sebuah hal yang dinilai patut. Lepas dari persoalan politis Al-Gore, saya rasa patut mengacungkan jempol dan memberikan salam sayang untuk pria 59 tahun ini ^o^.

Al Gore bersama tim panel PBB tentang perubahan iklim (OPCC) keluar sebagai pemenang bersama Penghargaan Nobel Perdamaian. penghargaan diberikan atas upaya mereka membangun dan menyebarkan pengetahuan lebih besar tentang perubahan iklim akibat tindakan manusia. Al-Gore yang kita kenal sebagai aktor pemenang oscar atas peran-nya di film dokumenter “The Inconvenient Truth”,aku nilai sebagai orang yang “logis” dan bukan “alien” dalam berpropaganda. Keberhasilannya dalam mengenalkan dasar untuk langkah-langkah yang dibutuhkan dalam upaya perubahan iklim merupakan alasan yang lebih cukup untuk mengantongi Achievement itu.

Tiga kali-kutang lebih- aku sudah menonton film-nya Al-Gore. Beliau pejuang yang totalitas untuk menjalankan misi-nya menyelematkan lingkungan. Konsistensi-nya merupakan pelajaran yang dapat aku petik dalam menjalankan sebuah misi. Al Gore dipuji sebagai "orang yang kemungkinan bertindak paling banyak untuk membuat dunia memahami langkah-langkah yang harus diambil," melalui seminar, film dan buku-bukunya. Menurut pemneritaan juga, Gore mengatakan dia akan menyumbangkan separuh dari hadiah uang $1,5 juta bagi kedua pemenang kepada Aliansi bagi Perlindungan Iklim, kata laporan kantor berita Reuters.

Ok, Jia You bwt Al-Gore. Hijau itu memang mimpi kita......................



Read more ...
Tuesday, September 11, 2007

tentang cinta (lagi???!!!)

cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta romeo kepada juliet, si majnun qais kepada laila belum apa-apa
temu pisah kita lebih bermakna
dibanding temu pisah yusuf-julaikha
rindu dendam kita melebihi rindu dendam adam dan hawa
aku adalah ombak samudramu
yang lari-datang bagimu
hujan yang berkilat dan bergemuruh mendungmu
aku adalah wangi bungamu, luka berdarah-darah durimu
semilir sampai badai anginmu, aku adalah kicau burungmu, kabut puncak gunungmu,tuah tenungmu
aku adalah titik-titik hurufmu
huruf-huruf katamu
kata-kata maknamu
aku adalah sinar silau panas
dan bayang-bayang hangat mentarimu
bumi pasrah langit,u
aku adalah jasad ruhmu
fayuk kunmu
aku adalah a-k-u
k-a-u mu
(mustofa bisri)



aku mungkin takkan pernah mencintainya seperti cinta majnun pada layla.
-cinta yang membuatnya tak pernah ada-

aku mungkin juga tak akan pernah mencintainya sedahsyat cinta cinderella pada sang pangeran.
-cinta yang membuatnya menjadi ada-

atau mungkin tak pernah seindah pujangga cinta.
-cinta yang merangkai harapan-

namun cintaku tak sesederhana itu.
-seperti api pada kayu yang menjadikannya abu-
ia tak pernah sesederhana itu.

aku ingin mencintainya..
seperti aku melihat syurga.

seperti khadijah pada Muhammad, cinta yang melahirkan keteguhan.

seperti aisyah, cinta yang memnbuat gairah.

pun cinta fatimah pada ali, cinta yang menjadikannya suci.

aku ingin mencintainya seperti aku mencintai syurga.

seperti benih yang menjadikannya buah.

----pun seperti hujan yang menjadikannya padang hijau---



Read more ...
Monday, September 03, 2007

Catatan Harian OSPEK AKSARA '07

dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

Pre
Entah dimulainya kapan..aku lupa. Yang pasti awalnya aq benar-benar tidak tertarik untuk berpartisipasi di OSPEK kampus sastra. Pengalaman berdarah-darah dan cukup melelahkan pada saat dies natalis juga terlenanya aku dengan teman-teman ekstra kampus membuat enggan masuk dalam organizing commite of OSPEK.
Entah (lagi) aku lupa bagaimana akhirnya aku masuk dalam divisi bintal (pembinaan mental). Jobdesc-nya juga aku tak paham benar. Jarang dateng rapat...dan akhirnya karena nggak enak sama teman-teman aku pun hadir rapat. Seperti biasa, aku selalu buat "rusuh". Kukritisi beberapa kebijakan panitia. Yeah....aku tak bisa bercerita banyak..yang pasti aku masuk dalam divisi pembinaan mental di OSPEK yang bertajuk "AKSARA '07"
Paling satu agenda yang berkean waktu kasih pembekalan kepada kawan-kawan escort. Aku mulai semangat di OSPEK...tapi sepertinya itu hanya "anget-anget mendoan".
Kalo bukan diingatkan oleh salah satu teman (thanks a lot bro!!!) di ekstra, aku mungkin tak akan sadar tentang pentinnya sebuah pengkaderanb, tentang urgent-nya sebuah regenerasi. Walau terlambat mungkin, aku coba serius pada AKSARA.
H-7, aku merasa bahwa kawan-kawan panitia telah kuat dalam hal teknis, tapi untuk masalah esensi mereka masih "NOL BESAR"!!!!
Visi misi OSPEK sepanjang itu hanya menjadi judul saja. Rangkaian acara masih hanya sekedar "pengisi waktu". AKhirnya kucoba kritisi dengan mengkaji esensi tiap-tiap jengkal acara yang sudah disusun.

Technical Meeting, Senin, 27 Agustus 2007
Jam tujuh tepat, panitia harus sudah ada di kampus. Yup, aku terlambat 2menit, angkutan yang naiki muter dulu sampe pasar wage (cepk deh.....). Kupandangi wajah-wajah khas baru lulus SMA. Oh, nggak semua ternyta. Aku melihat beberapa wajah yang tampak lebih "dewasa" dibanding lainnya. Apapun dan siapapun itu, dalam pikiranku mereka adalah calon-calon kawan seperjuangan. Harapanku kulabuhkan pada wajah-wajah lugu maba.
Di Technical Meeting ini, selaku bintal aku langsung menghandle salah satu acara yaitu "diskusi mahasiswa". ENtah kenapa, aku yang didaulat menjadi moderator. Mungkin karena pembicaranya bang Begs, presiden BEM. Aku yang termasuk fungsionaris langsung didaulat untuk memimpin diskusi di pagi itu. Tadinya aku bingung,sudah menjadi "adat" kampus sastra yang begitu apatis, jadi aku harus memeras otak bagaimana caranya membuat kawan-kawan baru untuk berpastisipasi aktif di diskusi ini. Aku liat bang Begs juga kurang komunikatif. Akhirnya,kupilih gaya slengekan dengan bahasa yang mengingatkan aku pada saat jadi "announcer" dulu.
Sasaran kena. Di ajang tanya jawab, kupancing beberapa anak untuk bertanya. Dan ternyata umpanku tertangkap.
Walupun tema sedikt jadi melenceng, karena akhirnya diskusi-nya ngomongin "demo". Temen-temen baru ternyata tertarik untuk ngobrolin tentang aksi demonstrasi. Setiap anak mencoba mengungkapkan argumen khas "anak baru lulus SMA". Beberapa yang menarik perhatianku adalah Dimas dan Ady. Ady yang mencoba memadukan argumennya dnegan sebuah lirik dari MAriah Carey. Entah, kata temen2 dia sok cakep. Tapi menurutku, dia dewasa. Dimas....dari awal ketika dia berungkap...aku melihat adanya sinar kecerdasan dari raut mukanya. Ketika dia bercerita tentang ayahnya yang seorang ABRI kemudian dia mencoba mendakwa teman-teman mahasiswa yang berdemo yang pada sejarahnya juga membuat jatuh korban di pihak keamanan.Ungkapan yang tulus dan merupakan perwujudan dari sebuah ketidakpuasan. Aku yakin, dia bukan anak sembarangan. Dan..ternyata itu terbukti di rangkaian agenda OSPEK.
Tentang panitia, aku acungkan jempol untuk semangat mereka.
Thanks juga buat bang Begs....

First Day, tema ospek: AKU dan SASTRA
Jam 5 pagi, panitia harus sudah ada di aula. Whuaa....ku bangun dini hari...dan tak ada ritual "refleksi diri" setelah sholat Shubuh karena harus segera berangkat.
Hari pertama,komdis udah mulai beraksi.,. Teriak-teriak untuk membentak anak-anak yang melakukan kesalahan. Aku selaku bintal hanya mengikuti alur saja...sambil sesekali memprovokasi anak-anak "terdakwa" itu untuk melawan. Yup, salah satu tugasku sebagai bintal disini memang mengadvokasi "penindasan mahasiswa baru" yang terjadi di OSPEK..he....he...
Sesuai dengan tema, hari itu kawan-kawan berbusana ala sastra dan apa-apa yang dibawa harus ala sastra. Saat pertanggungjawaban ekspresi, aku dan teman-teman satu divisi yang menghandle. Aku kembali melemparkan umpan supaya kawan-kawan maba mau maju ke depan dan mengungkapkan apa yang menjadi ekspresinya yang dianggap "Nyastra".
Setlah itu,beberapa diskusi dibuka. MAsih tentang kemahasiswaan dan juga obrolan tentang satra. Hemh..yang pasti seru abiz!!!!
Seusai lelah ber-OSPEK ria, tak lupa kawan-kawan panitia briefing. Brief pertama cukup melelahkan...hampir malam kami baru selesai. Banyak hal membuat kami harus saling berargumen. MissCommunication menjadi penyebab utama. Beberapa kali kami merasa adanya tumpang tindih pelaksanaan wewenang.

Second Day, tema : Aku dan Kampusku
Tadinya aku bingung. Dari jam 9-12 dan jam 13.00-14.00 adalah acara yang diplot sama birokrat. Teringat OSPEK tahun lalu saat acara settingan birokrat yang begitu kaku hanya membuat peserta ngantuk. Waktu taun kemaren, aku sieh sempet "vokal" dnegan memprots kebijakan kampus (entah..aku jadi peserta OSPEK teraneh waktu itu...dan brani protes macem2..he...he...).
Akhirnya aku memetuskan untuk membuat acara selama 4 jam itu menjadi diskusi yang menarik dnegan mencoba (kembali) memoderatori acara tersebut. Hasilnya, waktu 3jam itu dirasa kurang...karena mahasiswa-mahasiswa baru saling berebut untuk tunjuk tangan. Sebenarnya, itu juga sudah coba kami setting dari awal dengan menyebarkan leaflet-leaflet mengenai realita kampus...untuk sedikit menstimulan kawan-kawan baru untuk bertanya.
yeah, hari kedua...is good!!


Third Day, tema : AKu dan Mereka

Whuaa...aku baru sadar bahwa hari ini adalah hari puncak tugas para divisi bintal karena disini ada agenda pemilihan ketua angkatan. Entah kenapa (lagi) aku kembali didaulat untuk bertanggungjawab pada acara itu.
Its ok....langkah pertama aku harus berfikir apa yang akan aku lakukan pada calon-calon katua angkatan itu. Tahun lalu kebetulan aku juga teramsuk dalam tiga besar yang maju ke kampanye ketua angkatan. Dan aku merasa "karantina" yang aku alami tak efektif sama sekali. Di tahun ini aku ingin teman-teman calon ketua angkatan mendapat pembekalan materi yang dapat benar-benar menjadi bekal untuk nantinya.Aku mau nggak mau juga berharap bahwa-bahwa orang-orang calon ketua ini dapat menjadi ketua angkatan. AKhirnya ku-setting acara jadi mirip kayak Basic Training, dalam 9jam aku atur dengan 3 materi yaitu :Leadership, Realita Kampus, dan juga Analisa Sosial. Semua pemateri dihubungi mendadak pada malam sebelumnya. Thanks a lot buat maz Iqo, maz Anas (^_^), n juga maz Fafa. Yeah, kucoba satukan dari beberapa ormas disini. Aku tak ingin ada anggapan aku memasukkan idealisme ormas. Semua aku undang atas nama civitas akademika UNSOED, tanpa melihat background, yeah..setidaknya aku siap apabila nanti suatu saat ada suara sumbang. Sempat kupotong ucapan maz Anaz saat ngobrol denganku hanya karena beliau mencoba mengarahkanku untuk "mengkader" unttuk komisariat. Please mas... di kampus aku harus melepas baju hijauhitamku...aku tak bolh menunjukan tanduk HMI MPO disini.
OK, yang menarik di hari ini..adalah saat diskusi tentang pendidikan mahal bareng Maz YUda n Maz Ian. Whua...maz Yuda...thankz bangetz...maz-qu yang satu ini emang top abiz deh.....luv u deh... he..he... (maap..jangan berfikiran macem2 dulu...beliau mybro...ok????)
Yup, kembali lagi nta jadi moderator, n pembicaranya maz Yuda n Maz Ian (sst..kebetulan pembicaranya ini dua2nya kawan satu HMI-quw...he..he...)
TAdinya agak-agak kaku...tapi kesana... wuih..gile... dua jam terasa kurang. Aku senang melihat satu persati tangan-tangan kawan maba mengacungkan jari untuk bertanya atau sekdar mengungkapkan pendapat. Dari sekian banyak diskusi yang aku moderatori saat OSPEK kemaren, yang berkesan ya yang sama maz Yuda itu. Sekali lagi, thankz a lot buat mAz Yuda....sang pria tampan (wueek...cuih..cuih.....)

Fourth day,

Ok, ni hari terakhir OSPEK sebelum kemudian dialnjutkan makrab di Baturaden. Yang pasti disitu puncak tugas divisi bintal yaitu pada saat pemilu ketua agkatan. Secara pribadi, aku yang mungkin selama satu hari bersama para calon ketua angkatan, merasa ada ikatan tersendiri dengan mereka. Delapan calon ketua angkatan itu adalah : Dimas, Wahyu, Ofit, Iqbal, Trias, Akbar, Ida, dan Aya. Mereka sudah aku anggap sebagai adhe2ku (kata mereka juga aku kakak mereka...he...he...). Yang pasti aku menaruh harapan besar pada adhe2ku itu.
Aku katakan pada mereka : Perjuangan ini baru dimulai, kawan!!!

Sayang sekalli aku tak bisa turut makrab di Baturaden. Selain sodaraku yang lg ospek di Fak.Teknik jatuh sakit, aku juga harus menyelesaikan tanggungjawabku di mAfaza, dan kemudaia pulang kampung mencumbu Tegal tercinta.

OSPEK yang indah...kisah yang aku tulisakan disini hanya seujung kuku dari berjuta pengalaman bermakana yang aku dapatkan. Sukses buat kawan-kawan panitia AKSARA '07. HIDUP MAHASISWA!!!



secuil tambahan : aku merasa rindu dnegan keluarga, akhirnya dapat sungkem di telapak tangan papa mama... akhirnya dapat kepeluk dan kudengarkan celoteh adhe2....
Keluargaku...salah satu lahan dakwah-quw....
Allah...berilah aku kekuatan padaku untuk istiqomah membulatkan tekad untuk mewakafkan diri di jalan perjuangan-MU.
Kugapai engkau cita-citaku............Syahid fiSabilillah!!!!




-nta-
--keep Allah in our heart--




Read more ...
Sunday, August 26, 2007

letter from sammi

Hi Dear,
Years ago, I lost my newborn son to an infection for want of a readily available antibiotic. No child should suffer this fate. Yet, every year, nearly 10 million children under the age of 5 die from completely preventable causes.

It doesn't have to be like this. We have the power to save these children's lives.

There is a bill in Congress right now that would provide some of the much needed money to save these children, but it's currently at a standstill. In order to move, the bill desperately needs the political support that ONE members like you and me can bring to bear.

These children die from a variety of causes, from pneumonia to malnutrition and diarrhea. For us, diarrhea is a nuisance. For a child in the developing world, it is a death sentence. In 2007 it is estimated that 1.8 million children will die from dehydration due to diarrhea. In many cases, all that it takes to re-hydrate these children to save their lives is a handful of sugar, a bottle of clean water, and a pinch of salt.

Sadly, there is one more ingredient needed to save these children: the will to do it. The Global Child Survival Act is an expression of that will. It would dramatically scale up funding for effective and affordable child and maternal health programs and it would require the government to develop a comprehensive plan for improving children's health around the world.
Right now while Congress is in recess, some of us have been going on lobbying visits to our local congressional offices, and talking about the Global Child Survival Act. That's been a great step forward, but we all can do more. If you send a message now, you'll drive home the message we have been delivering in person, so that when Congress reconvenes in September, the Global Child Survival Act will be high on the list of priorities.

Thank you. I can't tell you how much your support means to me.

Stay close,

Sammi in Seattle

nb : to sammi : im proud with ur action. keep fighting, keep spirit!! im support the U.S. Commitment to Global Child Survival Act and build support for this desperately needed life-saving bill!!!!
Read more ...

“ Reposisi dan Reorientasi Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sebagai Tindak Penanggulangan KDRT di Indonesia”.

ABSTRAKSI


Maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah suatu kenyataan yang cukup memprihatinkan. Dari berbagai data statistik, kian hari angka tindak KDRT di Indonesia semakin tinggi. Banyak upaya yang dilakukan, namun banyak pula kendala yang dihadapi sehingga meminimalisir KDRT masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua.

Perlu diingat oleh kita, bahwa ketika kita masuk dalam kasus yang ada di ranah keluarga, maka kita memasuki wilayah yang cukup sensitif dan privasi. Mengingat keluarga sebagai institusi privat bukan suatu yang mudah untuk membuka apa yang terjadi didalamnya apalagi secara vulgar. Tiap individu bagaimanapun juga memiliki wilayah pribadi yang tidak bisa menjadi konsumsi publik. Oleh karena itu untuk menangani KDRT memerlukan sikap yang bijaksana.

Lingkungan masyarakat adalah salah satu kontrol sosial bagi tiap individu. Begitu pula dalam kehidupan berkeluarga. Tiap keluarga tidak dapat hidup tanpa berdampingan dengan masyarakat luas. Merelevansikan dengan KDRT, maka pengoptimalan peran masayarakat sebagai kontrol sosial adalah sebuah solusi yang aplikatif.

Organisasi gerakan PKK adalah salah satu bentuk adanya kegiatan masyarakat (dalam hal ini kaum perempuan) di setiap lingkupnya (RT/RW, dll). Dalam konteks ini, PKK memiliki posisi yang tepat dalam upaya penanggulangan KDRT.Adanya pergeseran orientasi masyarakat terhadap PKK membuat wadah ini terlihat mandul tanpa signifikansi yang jelas bagi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Padahal, PKK sebagai sebuah wadah tempat berkumpulnya kaum perempuan dalam sebuah lingkup masyarakat memiliki peran yang besar dalam penanganan kasus-kasus yang bersifat pribadi dalam ranah privasi / keluarga, termasuk didalamnya mengenai KDRT.

Gerakan PKK dibalik rancangan teoritis yang ideal, memiliki catatan sejarah sebagai alat kontrol pemerintah pada rezim tertentu. Kesan yang dibangun oleh PKK selama orde baru menyisakan beban historis yang berat bagi PKK. Keterpasungan perempuan selama orde baru dibungkus oleh aktivitas PKK dengan segala kemudahan yang PKK peroleh dari kekuasaan. Gebyar reformasi menuntut gerakan PKK berubah untuk menjadi pelayan masyarakat tak sepenuhnya mampu terwujudkan. Tuntutan agar PKK dibubarkan saja jika menambah beban masyarakat, selayaknya menjadi cambuk bagi pengurus PKK untuk berbuat dalam bukti nyata. Hantaman krisis ekonomi dan politik menjadi tantangan bagi PKK untuk bertindak membebaskan kaum perempuan yang tertindas. Maraknya KDRT adalah salah satu pekerjaan rumah yang besar bagi gerakan ini.

Reorientasi serta reposisi gerakan PKK sangat diperlukan dalam membantu kaum perempuan (ibu) untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga dapat secara cerdas memposisikan peranannya dalam rumah tangga. Kekuatan seorang perempuan yang memahami peranannya dalam rumah tangga akan sangat membantu dalam mengantisipasi munculnya KDRT.BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang

Keluarga adalah struktur masyarakat terkecil dari sebuah negara. Keluarga merupakan wilayah pembinaan awal yang memiliki signifikansi terhadap lingkungan yang lebih besar diatasnya. Keluarga juga berfungsi sebagai tempat berlindung di mana setiap individu mendapatkan sebuah rasa nyaman yang didasarkan pada hubungan darah. Maraknya kekerasan dalam runah tangga (KDRT) merupakan kenyataan yang pahit yang membuat buramnya fungsi sebuah keluarga. KDRT juga telah ditegaskan sebagai salah satu bentuk diskriminasi. Hal ini juga ditegaskan dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Mencoba menilik fragmen KDRT di Indonesia, ada fenmena bahwa isu KDRT adalah sebuah isu global dengan segala macam propaganda oleh berbagai LSM Perempuan atau Lembaga-Lembaga yang mengatasnamakan perempuan. Adalah menjadi sebuah pertanyaan ketika penanganan KDRT dijadikan sebuah isu yang mengglobal dengan penanganan langsung oleh LSM atau lembaga-lembaga yang mengatasnamakan perempuan, apakah itu efektif? Pada kenyataannya pula, penanggulangan KDRT tidak sepenuhnya optimal. Banyak kasus yang terungkap, namun banyak pula yang kasusnya tidak mau diungkap.

Pada dasarnya, ketika memasuki permasalahan dunia rumah tangga, kita memasuki ranah privasi yang tidak mudah untuk dapat diungkap kepada publik. Disamping itu, berkait dengan perempuan (istri/ibu) – sebagai salah satu bagian keluarga- ada tinjauan psikologis tersendiri ketika dia mendapatkan sebuah tekanan dalam bentuk berbagai permasalahan yang termasuk didalamnya yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Disinilah lingkungan hidup memiliki peran.
Manusia dalam hidupnya berinteraksi dengan lingkungan hidupnya baik lingkungan hidup yang bersifat fisik maupun sosial. Manusia seperti adanya yaitu, fenotipenya terbentuk oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan hidupnya.

Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah sebuah wadah yang diorganisir oleh kaum perempuan dan menawarkan sebuah lingkungan bagi para kaum perempuan di lingkup masyarakat mulai dari yang kecil seperti RT/RW/ Kelurahan, dan seterusnya. PKK memberikan amanat pada kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ,mewujudkan keluarga sejahtera ,membina generasi muda. Dalam konteks ini, PKK memiliki posisi yang tepat dalam upaya penanggulangan KDRT.

Adanya pergeseran orientasi masyarakat terhadap PKK membuat wadah ini terlihat mandul tanpa signifikansi yang jelas bagi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Padahal, PKK sebagai sebuah wadah tempat berkumpulnya kaum perempuan dalam sebuah lingkup masyarakat memiliki peran yang besar dalam penanganan kasus-kasus yang bersifat dalam ranah privasi / keluarga, termasuk didalamnya mengenai KDRT.

Bagaimana merevitalkan peran PKK dalam upaya penyejahteraan keluarga dengan berperan sebagai media preventif dan adventif dalam penanggulangan KDRT, merupakan substansi konkrit dan aplikatif dalam rangka pembangunan bangsa yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penulis tertarik dan mencoba menyampaikan sebuah ide yang terangkum dalam karya sederhan ini dengan judul “ Reposisi dan Reorientasi Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sebagai Tindak Penanggulangan KDRT di Indonesia”.

I.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam karya ini adalah : “Bagaimana PKK dapat menjadi sebuah media preventif dan adventif dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia ?”

I.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ini adalah :
1.Mengetahui dan menganalisa maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia,
2.Mengetahui upaya penanggulangan kasus KDRT serta kendala yang dihadapi,
3.Mengetahui tumbuh dan berkembangnya PKK (Pembinaan Kesejateraan Keluarga) di Indonesia,
4.Mencari sebuah formula untuk merevitalkan PKK sebagai media preventif dan adventif dalam upaya penanggulangan kasus KDRT di Indonesia.

Adapun manfaat diharapkan penulis dari disusunnya karya ini adalah :
1.Memberikan sebuah pandangan serta penjelasan mengenai kasus KDRT yang marak di Indonesia,
2.Menggugah semangat kekeluargaan kaum perempuan pada khususnya melalui PKK,
3.Menjadi sebuah solusi alternatif yang aplikatif dalam peminimalisiran kasus KDRT.
BAB II
LANDASAN TEORI


II.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) disebutkan, bahwa definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah :
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga; termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Namun menurut Dra. VG Tinuk Istiarti M.Kes dari Pusat Studi Wanita/Gender Universitas Diponegoro menyebutkan, suatu kejadian dapat digolongkan KDRT jika ada pihak yang merasa dirugikan. Ia mencontohkan perlakuan sadisme yang terjadi dalam hubungan intim suami-istri. Hal ini menunjukan bahwa belum ada definisi yang jelas mengenai KDRT.

Berdasarkan duapuluh butir rekomendasi khusus dari Komite PBB yang isinya mengenai landasan aksi yang harus dilakukan negara-negara peserta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrikminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), tersebutkan bahwa KDRT merupakan sebuah tindakan diskriminasi. Hal itu dijelaskan dalam tambahan ulasan dan komentar atas pasal 16 dan pasal 5 yang merupakan bagian pasal dari konvensi tersebut.

Data statistik lengkap mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia memang belum tersedia secara lengkap. Namun begitu, sejumah informasi dan studi yang dilakukan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan, telah cukup menunjukkan fakta bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Sementara komentar yang sama, bakal keluar jika membaca data yang diberikan Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP) soal jumlah perempuan yang teraniaya di Indonesia.

KPP mencatat, sedikitnya 11,4 persen atau 24 juta perempuan dari 217 penduduk Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sebagian besar kasus kekerasan domestik itu, terjadi di pedesaan yang bias juga dianalogikan dialami oleh perempuan-perempuan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah.

II.2 Manusia dan Lingkungan Hidupnya

Manusia, seperti halnya semua makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Manusia seperti adanya yaitu, fenotipenya, terbentuk oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan hidupnya. Nampaklah bahwa manusia terbentuk oleh lingkungan hiduonya. Membicarakan manusia harus pula membicarakan lingkungan hidupnya. Manusia yanng terpisah dari lingkungan hidupnya adalah abstraksi belaka (Soemarwoto, 1994).

Lingkungan yangn dimaksudkan adalah segala sesuatu yang berada diluar diri manusia yang mempunya arti. Menurut undang-undang No. 4/1982. tentang lingkungan hidup, yang dinamakan lingkungan hidup adalah :
”kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia serta makhluk hidup lainnya”

Secara umum lingkungan dapat dibedakan kedalam dua jenis, yaitu lingkungan fisik dan nonfisik (lingkungan sosial), dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Lingkungan fisik adalah lingkungan yang berupa alam, misalnya keadaan tanah, keadaan musim dan sebagainya. Dalam klasifikasinya, dapat terbagi menjadi lingkungan fisik alam dan lingkungan fisik biatan.
2.Lingkungan nonfisik (sosial) adalah lingkungan masyarakat dalam suatu komunitas tertentu dimana diantara individu dalam masyarakat tersebut terjadi interaksi. Lingkungan sosial akan memberikan pengaruh besar terhadap perilaku manusia.

II.3 Organisasi Perempuan

Sudah menjadi kodrat alam bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Adanya diferensiasi ini secara tidak langsung juga berpengaruh dalam interaksi sosial yang dilakukan pada tiap jenis. Dalam pergaulan, kaum lelaki dan perempun sering memisahkan diri. Menurut pengamatan Bierdstet di dunia barat pada pertemuan-pertemuan yang dihadiri lelaki maupun perempuan, mula-mula mereka bercampur akan tetapi akhirnya masing-masingn golongan memisah. Dan itu terjadi tanpa direncanakan dan tak disengaja.

Juga ternyata bahwa dalam masyarakat yang sudah majupun ada banyak perkumpulan yang hanya untuk kaum lelaki atau hanya kaum perempuan saja. Robert Bierdstet kembali menyebutkan bahwa perkumpulan-perkumpulan di Amerika Serikat seperti Boy Scouts dan Girl Scouts, Young Men’s Christian Association dan Young Women’s Christian Association, dan ada perkumpulan-perkumpulan pria yang bekerja di bidang yang sama akan tetapi merupakan kelompok yang terpisah.

Jadi, meskipun lapangan pekerjaan bagi perempuan itu akhirnya tidak begitu berbeda lagi akan tetapi pengelompokan yang khusus untuk salah satu jenis tetap ada. Barangkali pada dasarnya yang menjadikan pengelompokan itu ialah apa yang disebut Giddings ”consciousness of kind”

2.3Gerakan PKK di Indonesia

Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah gerakan nasional yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat dengan perempuan sebagai motor penggeraknya menuju terwujudnya keluarga bahagia, sejahtera, maju, dan mandiri.

Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai gerakan pembangunan masyarakat bermula dari Seminar "Home Economic" di Bogor pada tahun 1957. Sebagai tindak lanjut dari seminar tersebut, pada tahun 1961 Panitia Penyusunan Tata Susunan Pelajaran pada Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kementerian Pendidkan bersama kementerian-kementerian lainnya menyusun 10 segi Kehidupan Keluarga.

Gerakan PKK di masyarakat berawal dari kepedulian Isteri Gubernur Jawa Tengah pada tahun 1967 (Ibu ISRIATI MOENADI) setelah melihat keadaan masyarakat yang menderita busung lapar. Pada awalnya program PKK adalah 10 segi pokok PKK. Tim Penggerak PKK, dibentuk di tingkat :
1.Pusat
2.Propinsi
3.Kotamadya
4.Kabupaten Administrasi
5.Kecamatan
6.Kelurahan.
Hubungan kerja antara Tim Penggerak PKK Pusat dengan Tim Penggerak PKK di Daerah (tingkat Propinsi, Kotamadya, Kabupaten Administrasi, Kecamatan, dan Kelurahan) bersifat konsultatif dan koordinatif dengan tetap memperhatikan hubungan hierarkis.

Pada tahun 1978 melalui Lokakarya Pembudayaan PKK di Jawa Tengah, disepakati 10 Segi Pokok PKK menjadi 10 Program Pokok PKK. Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga maka keluarga perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Pemberian bekal tersebut dilaksanakan antara lain melalui Gerakan PKK yang keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia.
Keberhasilan Gerakan PKK dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga telah diakui oleh masyarakat, bahkan mendapat penghargaan dari lembaga-lembaga internasional (WHO, Unicef, Unesco, dan sebagainya). Dalam TAP MPR Nomor : IV/MPR/1983 tentang GBHN telah ditetapkan bahwa PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) adalah salah satu wahana untuk meningkatkan peranan wanita dalan upaya menyejahterakan keluarga.

Tujuan Gerakan PKK adalah memberdayakan keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan lahir-batin menuju terwujudnya keluarga yang berbudaya, bahagia, sejahtera, maju, mandiri, hidup dalam suasana harmonis yang dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Sasaran Gerakan PKK adalah keluarga yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan kemampuan dan kepribadiannya baik dalam bidang mental spiritual maupun fisik material

Gerakan PKK dibalik rancangan teoritis yang ideal, memiliki catatan sejarah sebagai alat kontrol pemerintah pada rezim tertentu. Kesan yang dibangun oleh PKK selama orde baru menyisakan beban historis yang berat bagi PKK. Keterpasungan perempuan selama orde baru dibungkus oleh aktivitas PKK dengan segala kemudahan yang PKK peroleh dari kekuasaan. Gebyar reformasi menuntut gerakan PKK berubah untuk menjadi pelayan masyarakat tak sepenuhnya mampu terwujudkan. Tuntutan agar PKK dibubarkan saja jika menambah beban masyarakat, selayaknya menjadi cambuk bagi pengurus PKK untuk berbuat dalam bukti nyata. Hantaman krisis ekonomi dan politik menjadi tantangan bagi PKK untuk bertindak membebaskan kaum perempuan yang tertindas. Maraknya KDRT adalah salah satu pekerjaan rumah yang besar bagi gerakan ini.

BAB III
PENANGGULANGAN KDRT DAN AKTUALISASI PEREMPUAN MELALUI GERAKAN PKK


Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari tiap individu. Keluarga juga merupakan institusi yang menjalankan beberapa fungsi. Horton dan Hunt (1984:238-242) mengidentifikasikan beberapa fungsi keluarga, diantaranya yaitu fungsi pengaturan seks, reproduksi, sosialisasi, afeksi, definisi status, perlindungan dan ekonomi.

Kedekatan dalam keluarga memungkinkan keluarga juga berfungsi untuk menyalurkan perasaan anggota keluarga; namun keluarga juga merupakan ajang pelampiasan nafsu. Seperti yang dikemukakan Giddens, fungsi itulah yang kemudian menimbulkan terjadinya kekerasan dalam keluarga.

Maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah kenyataan yang miris. Ketika di lingkup masyarakat terkecil saja sudah marak dengan kekerasan , maka hingga lingkup yang diatasnya bukan hal yang mustahil penuh juga dengan kekerasan. Tingginya angka KDRT di Indonesia adalah sebuah fakta yang tak dapat dinyana. Diesbutkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, angka KDRT dalam satu tahun terakhir ini saja tercatat sekitar 22 ribu kasus. Itu artinya, jumlah kasus ini meningkat hingga 5 kali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Di Indonesia memang belum tersedia data statistik yang mencatat secara detail tingkat KDRT di Indonesia. Namun beberapa LSM Perempuan seperti Women's Crisis Centre (WCC) yang khusus menerima pengaduan dan membantu korban kasus KDRT, yang mengungkap fakta tersebut. Mitra Perempuan Women's Crisis Centre di Jakarta mengaku, selama periode 1997-2002 telah menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Pelaku kekerasan terbanyak dilakukan suami korban, yakni sebesar 69-74 persen. Rifka Annisa Women's Crisis Centre di Yogyakarta, selama 1994-2000, menerima pengaduan 994 kasus kekerasan terhadap istri oleh suami yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bahkan pernah mengatakan, 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 24 juta perempuan, terutama di pedesaan, mengaku pernah mengalami kekerasan, dan terbesar adalah domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga).
Data statistik tahun 2001-2005 untuk kasus kekerasan terhadap Perempuan di Mitra Perempuan WCC.
Tahun
Kasus
1.2005
2.455
2004
329
3.2003
4.272
2002
226
5.2001
6.258
(sumber : Women Crisis Center)

III.1 KDRT dan Peran Lingkungan Sosial

Perlu dicermati pula upaya-upaya penanggulangan KDRT tersebut. Perlu adanya evaluasi ketika ada kenyataan bahwa semakin tahun ternyata tingkat KDRT semakin meninggi. Satu hal yang perlu diingat, bahwa keluarga merupakan ranah pribadi yang tidak mudah untuk dikuak secara vulgar. Keluarga merupakan institusi yang paling privasi. Maka ketika akan menyelesaikan masalah berkaitan dengan keluarga sangat memerlukan kehati-hatian. Bukan sekedar rasio yang digunakan namun juga ada intuisi yang bermain.

Perempuan sering diidentikan sebagai korban dari KDRT (walaupun tidak semua KDRT menjadikan perempuan menjadi korban). Dari tinjauan psikologis, perempuan tidak mudah untuk berani melaporkan apa derita yang dialaminya. Maka tak heran bahwa salah satu kendala yang dihadapi dalam penanggulangan KDRT adalah kurangnya kesadaran perempuan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Mengingat pula bahwa keluarga adalah institusi yang bersifat privasi, serta ada stigma pula bahwa mengungkapkan apa yang terjadi dalam tubuh keluarga sama saja dengan menguak “aib” sendiri, maka perlu teknis yang khusus dalam penanggulangan KDRT ini.

Dari kondisi tersebut maka kita perlu penanggulangan dengan pendekatan khusus. Pemanfaatan lingkungan sekitar keluarga adalah sebuah solusi yang tepat guna.
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) merupakan wadah di lingkup kecil masyarakat yang dapat kita manfaatkan. Pada dasarnya manusia seperti halnya makhluk lain berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Manusia seperti adanya, yaitu, fenotipenya, terbentuk oleh interaksi antra genotype dan lingkungan hidupnya. Masyarakat sekitar merupakan cakupan dari lingkungan sosial yang ada di kehidupan manusia.

Lingkungan sekitar (tetangga), adalah salah satu alat kontrol sosial. Seperti dijelaskan oleh Sardjoe (1994:923), bahwa ada empat jenis hubungan antara individu dan lingkungannya , yakni :
1.Individu menentang lingkungannya,
2.Individu memanfaatkan lingkungannya,
3.Individu berpasrtisipasi dengan lingkungannya,
4.Individu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Dengan lingkungan sebagai kontrol sosial maka akan menjadi pengendali kepada setiap individu untuk melakukan hal-hal yang dianggap tidak benar di mata masyarakat.

Dari analisa tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa peningkatan kesadaran masyarakat sebagai kontrol sosial adalah point penting dalam upaya penanggulangan KDRT. Dengan kultur masyarakat yang semakin terkontaminasi modernitas, maka meningkatkan kesadaran tidaklah semudah diucapkan. Nilai-nilai kepekaan dan gotong royong sudah sulit untuk didapatkan. Dalam kasus KDRT ini-misalnya- ketika terkuak sebuah tindak KDRT di sebuah keluarga, maka posisi masyarakat sekitar lebih sebagai penonton yang berdecak dan berkomentar terhadap kasus tersebut. Kasus tersebut hanya akan menjadi buah bibir di obrolan-obrolan masyarakat sekitar. Padahal, masyarakat sekitar sebagai lingkungan sosial adalah substansi yang terpenting ketika salah satu bagian dari mereka mengalami tindak kekerasan – dalam hal ini KDRT. Hal ini jelas, bahwa masyarakat sekitar (tetangga) adalah orang yang berinteraksi dengan pelaku dan korban KDRT, tetangga pula yang melihat kesehariannya dan mengerti akan tabiat mereka. Maka sebenarnya, tetangga dapat menjadi media penanggulangan KDRT bahkan pencegahan KDRT. Bahkan dalam Undang –Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No.23 tahun 2004 pada pasal 15 disebutkan bahwa :
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
1.Mencegah berlangsungnya tindak pidana,
2.Memberikan perlindungan kepada korban,
3.Memberikan pertolongan darurat, dan
4.Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Maka jelas yang perlu dilakukan adalah bagaimana masyarakat sekitar bukan sekedar disuguhi cerita sedih seputar kekerasan kekerasan dalam rumah tangga, tapi juga digugah kesadarannya untuk mengantisipasi hal-hal seperti itu. Hal ini seperti diungkapkan oleh Seorang aktivis perempuan, Rita Serena Kalibonso. Sh. LLM.

III.2 KDRT dan Aktualisasi Perempuan Melalui PKK

Untuk merevitalkan peran masyarakat dalam penanggulangan KDRT maka perlu adanya upaya stimulasi untuk meningkatkan kepedulian antar sesama. Organisasi masyarakat adalah salah satu solusi yang tepat guna. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah sebuah wadah yang dapat menjadi media pencegah serta penanggulangan KDRT.

Dalam PKK, adanya kesadaran perempuan untuk saling meningkatkan kepekaan pada lingkungan sekitar, adalah point penting untuk penanggulangan KDRT. Tinggal bagaimana dalam wadah tersebut dapat mengarahkan perempuan sebagai bagian anggota keluarga dapat menjalankan peranannya.

Selama ini peran PKK dalam masyarakat hanya sebagai ritual saja. Misal ketika acara perayaan kemerdekaan, ada hajatan tingkat RT /RW, dan lain sebagainya. PKK hanya dikenal sebagai forum arisan bagi ibu-ibu rumah tangga. Padahal disana adalah wadah yang tepat untuk aktualisasi diri kaum perempuan.

Latar belakang sejarah diadakannya PKK cukup “idealis”, namun praksisnya di lapangan masih jauh dari harapan. Bahkan dengan latar belakang sejarah bahwa PKK kemudian dijadikan sebuah alat pengontrol gerakan perempuan di rezim tertentu, yang pada akhirnya di-setting sedemikian rupa hingga seperti sekarang inilah PKK yang masyarakat kenal.

Dengan mendayagunakan PKK, ada beberapa hal yang bisa kita dapatkan berkaitan dengan penanggulangan KDRT, yakni :
a.Pemahaman peran perempuan dalam keluarga.
Perempuan bukanlah satu-satunya korban dalam tindak KDRT. Dalam hal ini, peran perempuan (ibu) dapat menjadi pencipta suasana keluarga yang tenteram. Keributan dalam rumah tangga memang tidak dapat dihindari. Ketika manusia berkumpul dengan kepala berbeda tentunya dengan pola pikir yang berbeda pula, maka kontradiksi tak dapat dihindari. Maka disini perlu adanya sosok pemediasi. Dari sudut pandang inilah, kita dapat melihat bahwa domestikasi perempuan dalam rumah tangga bukanlah sebuah pendiskriminasian, namun sebaliknya, bahwa perempuan memiliki posisi yang luar biasa dalam penetralisir suasana rumah tangga. Di PKK, perempuan seharusnya mendapatkan proses pembelajaran dan aktualisasi diri bukan sekedar doktrinasi feminisme atau sebaliknya justru pengarahan peran yang menjurus pada pemasungan peran perempuan dalam keluarga. Satu hal yang perlu ditekankan adalah, bahwa peran dalam rumah tangga tidak dapat kemudian di-deferensiasi-kan dengan tanggungjawab lain. Domestikasi bukan berarti memiliki tingkatan yang lebih rendah daripada peran lain. Yang perlu ditekankan adalah, bahwa semua posisi memiliki peranan masing-masing tanpa ada tingkat mana yang lebih tinggi atau rendah. Disinilah yang disebut emansipasi.

b.Pengarahan perempuan akan hak-hak mereka dalam rumah tangga.
Dari sekian banyak KDRT yang terjadi, yang menjadi korban adalah perempuan. Dari ssudut pandang psikologis, perempuan memiliki kecenderungan daya fisiknya lemah (hal ini tidak bisa dibantah berkaitan dengan perbedaan secara kondisi biologis). Disinilah perempuan diharapkan dapat mengerti akan hak-hak mereka, sehingga tidak ada penafsiran yang membingungkan antara “pengabdian” dan “penindasan”. Kerap kali perempuan menganggap bahwa kekerasan yang dialami adalah sebuah bentuk “pengabdian” mereka terhadap suami.

c. Penguatan ikatan persaudaraan antar perempuan
Melalui PKK, sesama perempuan dapat merasakan sebuah persaudaraan yang tidak didapatkan di tempat lain. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam upaya penanggulangan KDRT. Ketika salah satu anggota mereka mengalami kasus KDRT, sebagai saudara “tak sedarah” yang paling dekat, PKK dapat menjadi mediasi. Ini menghindari adanya rasa segan perempuan untuk melaporkan kekerasan yang dialami. Diharapkan pula dari PKK dapat memberikan analisa masalah dengan lebih mendekati tepat, mengingat mereka adalah orang-orang yang tinggal di sekitar dan mengetahui keseharian yang dilakukan.

Maka untuk mengoptimalkan peran PKK sebagai media penanggulangan KDRT, perlu dilakukan beberapa reorientasi dan reposisi organ tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1.Pembinaan PKK lebih terarah oleh pemerintah dengan menghilangkan image feodalisme oraganisasi PKK serta tetap mengedepankan independensi PKK sebagai wadah perempuan sebagai rakyat,
2.Penyusunan silabus arah pendidikan PKK dalam rangka pengaktualisasikan perempuan,
3.Praksis gerakan di tengah masyarakat untuk mendayagunakan serta pengaktualisasian potensi perempuan. Orientasi pada hal praksis lebih bermanfaat bagi masyarakat,
4.Koordinasi PKK dengan lebih terarah dengan kegiatan yang variatif yang lebih berdayaguna.
BAB IV
PENUTUP


IV.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di bab sebelumnya, kita dapat menarik beberapa kesimpulan, antara lain:
1Tingkat KDRT yang semakin tinggi di Indonesia perlu dilakukan evaluasi serta analisa untuk mencapai hasil penanggulangan yang diharapkan,
2Salah satu hal yang menjadi kendala penanggulangan KDRT di Indonesia adalah masih kurangnya kesadaran kesadaran perempuan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya,
3Pengoptimalan potensi lingkungan sosial adalah solusi tepat sasaran dalam penanggulangan KDRT di Indonesia,
4PKK sebagai wadah perempuan di lingkup masyarakat kecil (RT/RW, dan sejenisnya), merupakan wadah yang tepat untuk mengaktualisasikan potensi para perempuan khususnya kaum ibu,
5Dengan Reorientasi dan Reposisi organisasi PKK diharapkan dapat menjadi media adventif serta preventif untuk menanggulangi semakin tingginya angka KDRT di Indonesia.

IV.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dalam permasalahan ini adalah peningkayan upaya untuk membangkitkan kembali gerakan PKK tanpa adanya tendensi dari mana pun, dan menjadikan PKK sebagai wadah pengaktualisasian diri bagi para kaum perempuan khususnya para ibu.

Semoga karya sederhana ini dapat berguna bagi kehidupan masyarakat Indonesia, dan sangat besar harapan kita untuk tidak kembali meningkatnya angka KDRT di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Adinda Titiana dalam “Peran Tetangga Dalam Penghapusan Kasus KDRT” pada http://titianaadinda.blogspot.com postingan edisi 22 mei 2007. diakses tanggal 15 Agutus 2007.
Anggarawaty H dalam “ ISU KDRT : Antara Fakta dan Propaganda” pada [aroen 99 society] mailing list yahoogroups.com Tanggal akses 15 Agustus 2007

Neumann Erich. 1955. The Great Mother. New York :Pantheon Books

Moore A. Helen dan Ollenburger C Jane. 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Musdah Mulia Siti, Dr, MA, APU dalam “ Perempuan : Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Perspektif Islam” pada http://www.ICRP.co.id edisi 28 Mei 2007 – 06:25. Tanggal akses 15 Agustus 2007

Sukmana Oman, Drs, M.Si. 2003. Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan. Malang : Penerbit Bayu Media dan UMM Press.

Suryo Chondro Sukanti. 1984. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta : CV.Rajawali.


Wahyuni Tri dalam “ KDRT Melonjak 5 Kali Lipat “ pada http://www.suarakaryaonline.com edisi 15 Mei 2007. tanggal akses 15 Agustus 2007.


Wahyuni Tri dalam “KDRT Hambat Jiwa Anak” pada http://www.suarakaryaonline.com edisi Senin, 2 Juli 2007. Tanggal akses 15 Agustus 2007.
--. “Perempuan dan KDRT Fenomena Memprihatinkan” pada http://www.bkkbn.co.id edisi Senin, 29 November 2004 @12 :34 :51. tanggal akses 01 Agustus 2007

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Shinta Ardhiyani Ummi
NIM : G1A006167
Prodi/jurusan : Sastra Inggris
Fakultas : ISIP & Bahasa Sastra
Universitas : Jenderal Soedirman
Tahun angkatan : 2006

Pendidikan :
SD Negeri Kejambon 2 Tegal lulus tahun 2001
SLTP Negeri 2 Tegal lulus tahun 2003
SMA Negeri 1 Tegal lulus tahun 2005
Program Keahlian Penulisan Skenario PPHUI Jakarta (2005)
Prodi Sastra Inggris Universitas Jenderal Soedirman (2006 - )

Pengalaman Organisasi:
UPM Radio Mafaza
Forum Lingkar Pena Purwokerto
Lembaga Pers Mahasiswa Islam
Himpunan Mahasiswa Islam –MPO
Ketua II Angkatan 2006 himpunan mahasiswa program sarjana bahasa dan sastra
Islamic Comunity of Literature (ICOOL)
Teater Anak Sastra (TEKSAS)
Forum Komunitas Mahasiswa Tegal
Eks. Kabid Sosial Ekonomi IMM Tegal (2005-2006)
Dept.Keputrian Remaja Islam Sunda Kelapa –RISKA (2005-2006)
Dll

Pengalaman kepenulisan :
Juara I Lomba Essay Dept.Keputrian LDK se-UNSOED (2007)
Juara III Lomba Essay tingkat Jawa Tengah (2006)
Juara I Lomba Essay se-Barlingmascakeb (2006)
Juara IV Lomba Karya Tulis bidang Korupsi kategori pelajar/mahasiswa tingkat nasional (2005)
Juara I Lomba Karya Tulis dalam rangka penanggulangan narkoba se-Tegal (2005)
dll


Read more ...
Sunday, August 05, 2007

TOTALITAS PERJUANGAN

Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan Di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan Di lembar sejarah manusia
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta



nb : ni lagu favorit yang bikin nta tambah semangat. Lagu yang nta kenal di aksi pertama, n memantapkan hati ini untuk mewakafkan diri di jalan perjuangan.......
Read more ...

Cantik Itu Lembut

Oleh
Yon’s Revolta


Cantik wajah seorang wanita akan sirna seiring berlalunya waktu. Semua orang tentu sepakat. Namun banyak lelaki sering terlena. Terlarut dalam daya pikat dan pesona kecantikan wajah. Hasilnya apa..? Terlalu banyak kisah-kisah pilu, lara dan mengenaskan terkenangkan dalam hidupnya. Tak usah mencari contohnya, saya sendiri pernah mengalaminya. Tak perlu saya ceritakan lebih lanjut, terlalu sakit. Terlalu tragis. Walaupun begitu, saya tak pernah menyesal dengan pengalaman. Seburuk apapun pengalaman, sepanjang nafas masih ada tentu saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri.


Hari ini, saya mencoba merenungkan kembali pengalaman itu. Jika ingin mendapatkan gambaran menarik tentang bagaimana nasib seorang lelaki yang terlena oleh daya pikat kencantikan wajah semata, bisa berkelana lewat sebuah novel. Sebuah gambaran dan kisah cukup memikat ada dalam novel “Pudarnya Pesona Cleopatra” karya Habibburahman El Sirazy. Kisah ini memaparkan bagaimana seorang lelaki terlampau mengejar kencantikan fisik, padahal disampingnya hadir wanita yang sejati cantiknya, tulus mencinta sepenuh kelembutan jiwa. Lelaki itu gagal mencinta karena hanya melulu terpikat fisik semata. Memang benar pesan di akhir novel, Kang Abik (panggilan akrab Habibburahman) menyirat dedikasi pesan dari sebuah karya itu, pada akhirnya kita (lelaki) memang harus sadar bahwa kecantikan wajah memang bukan segalanya.

Lalu cantik itu apa..?

Perdebatan yang panjang terjadi ketika merumuskannya. Biasanya, akan berakhir pada kesimpulan bahwa cantik itu relatif. Setiap orang bisa memandang dari sudut pandang yang berbeda-beda. Wajah, tentu tak luput dari sorotan, sebuah pesona fisik. Tak bisa dipungkiri. Hanya saja, sentuhan jiwa, pesona jiwa justru menjadi elemen yang penting karena setiap orang bisa mempunyainya. Disini, setiap wanita bisa mempunyainya. Artinya, semuanya wanita bisa menjadi cantik, bisa disebut cantik. Dan…lebih cantik lagi dari hari ke hari.

Titik tekannya sudah jelas. Letaknya ada pada kekuatan soulnya. Menggunakan parameter ini tentu lebih adil, lebih fair ketika memandang dan menyoal kencantikan wanita. Artinya apa, orang yang berwajah biasa saja, tak selalu berkulit putih pun bisa saja disebut cantik karena daya pikat soulnya. Soal soul inilah yang kemudian mendatangkan keterpikatakan tersendiri. Jika berhasil selalu memupuknya, sudahlah pasti akan selalu tumbuh dan langgeng terasakan. Kalau cantik wajah, tentu akan memudar ditelan waktu. Karena cantik ini urusan hati, lantas hati yang seperti apa…?. Ini rumit lagi. Dan bagi saya, punya subyektifitas tersendiri.

Cantik itu lembut…..

Ya, pesona kecantikan wanita terletak pada kelembutannya. Seperti pada kebanyakan kaum lelaki. Dia makluk yang kadang terlalu rasional, berpotensi kasar, angkuh, mudah tersulut ketika mensikapi keadaan. Sifatnya mirip kobaran api. Nah, kelembutan wanita itu ibarat air. Kelembutannya bisa meredakan sifat-sifat tersebut. Akhirnya, bisa mendatangkan keseimbangan dan keserasian hidup. Dengan begitu dia kita sebut cantik.

Namun kelembutan sendiri tak selalu baik, tergantung motifnya. Kelembutan yang penuh kepalsuan, justru akan melahirkan bisikan-bisikan buruk kepada kaum lelaki. Mengapa, sangat jelas. Kelembutan selalu mendatangkan keindahan. Dan setiap wanita suka keindahan. Salah satunya pernah-pernik duniawi. Bisikan kelembutan palsu disertai kemanjaan bisa menghancurkan kehidupan lelaki karena akan melakukan apapun, dengan cara apapun tanpa mengindahkan moralitas, hukum dan norma untuk kebahagiaan wanita yang dicintainya. Dalan sejarah, kaum lelaki hancur karena terlalu memperturutkan kemauan wanita untuk mendapatkan sesuatu dengan balutan kelembutan yang palsu.

Tapi disisi lain, kelembutan itu berpotensi mendatangkan kejayaan. Yaitu kelembutan yang dilandasi dengan semangat transendensi, semangat vertikal kepada Tuhan. Sebuah kelembutan moral dan beraroma religiusitas. Inilah kelembutan hati yang terpancar pada kebaikan akhlak. Dia, berwajahkan senyum manis, bening hati, sederhana dan tak mudah marah. Hasilnya apa, kalau lelaki bisa bersanding dengan wanita demikian, insyallah, lelaki yang awalnya biasa saja kelak akan menjadi sosok yang luar biasa. Sosok seorang pahlawan. Sungguh…

Rumah Kelana, 5 Agustus 2007

Read more ...

INDONESIA RAYA-quw

Berikut adalah lirik lagu Indonesia Raya versi
lengkap:

Indonesia Tanah Airkoe
Tanah Toempah Darahkoe
Disanalah Akoe Berdiri
Djadi Pandoe Iboekoe
Indonesia Kebangsaankoe
Bangsa dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe
Indonesia Bersatoe

Hidoeplah Tanahkoe
Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Semw'wanja
Bangoenlah Jiwanja
Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja

Indonesia Tanah jang Moelia
Tanah Kita jang Kaja
Di Sanalah Akoe Berdiri
Oentoek Slama-lamanja

Indonesia Tanah Poesaka
Poesaka Kita Semoeanja

Marilah Kita Mendo'a
Indonesia Bahagia

Soeboerlah Tanahnja
Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja
Sadarlah Hatinja
Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja


Reff:
Indonesia Tanah Jang Soetji
Tanah Kita Jang Sakti
Di Sanalah Akoe Berdiri
'Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri
Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji
Indonesia Abadi

Slamatlah Ra'jatnja
Slamatlah Poetranja
Poelaoenja, Laoetnja, Sem'wanja
Madjoelah Negrinja
Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja
Read more ...
Tuesday, July 31, 2007
Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Proudly present...

PUBLIC HEALTH EXPO 2007

First Step of Event
Variance of competition

Tema:
1. Ngerokok, Emang Keren?!
2. Drugs, "Friend or Foe?"
3. Negeriku Lautan Sampah

LiHat (Lomba Menulis Sehat)
- Pelajar SMA & Mahasiswa
- Karya berbentuK EssAY
- Panjang tulisan: min 3 hal A4, max 5 hal, font arial 12 pt, spasi 1,5
- Pilih salah satu tema diatas
- Peserta membuat tiga rangkap karyanya
- Fee Pendaftaran : Rp 5.000,00

Lova (Lomba Video Amatir)
- Mahasiswa & Umum
- Karya berbentuk short video dg durasi 3-5 menit
- Pilih dari salah satu tema diatas
- Fee Pendaftaran: Rp 50.000

LoPer (Lomba Poster)
- Pelajar SMA dan Mahasiswa
- Karya berbentu media penyulhan bertema : "Drugs, "friend or foe?"
- Karya berukuran A3
- Karya berbentuk design kompugrafis
- Fee Pendaftaran : Rp 30.000

NB:
- Semua hasil karya mutlak mjd milik panitia
- Hasil karya dimaksudkan ke dalam amplop coklat beserta fee pendaftaran dan
menuliskan jenis lomba yg diikuti di sudut kiri atas amplop
- Sertakan data diri: Nama, ket.kampus/SMA & no. Telp yg dpt dihubungi
- Amplop dikirimkan ke alamat Sekretaris PHE 2007: Ruang Senat Ged. A
Lt.1fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
- Pengumpulan hasil karya diterima panitia selambat-lambatnya: 25 Agt
2007-07-25 Pengumuman Pemenag: 6 Sept 2007

Read more ...
Saturday, July 07, 2007

Rumah Indie Bagi Sastra

oleh : shinta ardhiyani u


I.Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Berdialektika mengenai satra, kita tak bisa lepas dari membicarakan masyarakat. Literature is a reflection of society, sastra adalah refleksi dari kehidupan masyaarakat. Pernyataan ini mengandung determinan bahwa antara satra dan masyarakat terjadi interaksi, dalam artian bahwa sastra memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Dengan kata lain, fenomena kehidupan masyarakat saat ini adalah sebuah pengejewantahan dari karya sastra yang sedang berkembang.
Ketika kita menengok “pasaran” sastra di Indonesia, tak jauh yang kita lihat adalah jenis-jenis sastra konteporer seperti teenlit, checklit, kumcer remaja, dan lain sejenisnya. Di satu pihak adalaha suatu yang membahagiakan ketika melihat perkembangan pesat dunia sastra. Namun, cobakita tengok substansi dari karya sastra kontermporer tersebut. Nilai-nilai hedonisme, glamour, lebih mendominasi dibanding esensi sastra.
Sastrawan-sastrawan di Indonesia sebenarnya tidak mandul akan karya. Kita tak pernah krisis karya sastra, namun kitatidak melihat hal itu karena karya sastra tidak cukup masif di tengah masyarakat.
Penerbit merupakan pihak yang berperan dalam pemasifan karya sastra. Penerbit adalah alat penagakomodir karya sastra kepada masyarakat. Namun fenomena yang ada telah menunjukan belum optimalnya penerbit yang sudah ada sekarang dalam pemasifan karya sastra. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi bahwa penerbitan konvensional, di satu sisi sebagai pihak yang empertahankan nilai budaya (baca : sastra dan kecerdasan) ditengah masyarakat. Namun disisi lain, mereka juga sebuah industri yang terjebak pada kata : untung atau rugi.
Munculnya penerbitan independen (indie) mencoba menjawab permasalahan tersebut. Penerbit indie adalah sebuah usaha untuk memperjuangkan idealisme sastra tanpa harus dirugikan oleh sistem kapitalisme penerbitan konvensional. Dengan latar belakang itulah, penulis tertarik untuk mengangkat tema mengenai penerbit indie dalam sebuah makalah sederhana dengan judul “ Rumah Indie Bagi Sastra”.

1.2 Permasalahan
Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah :
1.Bagaimana tumbuh kembang dunia penerbitan di Indonesia khususnya munculnya penerbitan indie?
2.Bagaimana penrbitan indie dapat berperan dalam upaya memasifkan karya sastra ditengah masyarakat?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan berikut :
1.Memperkenalkan bagaimana ilustrasi mekanisme penerbitan sebuah karya di Indonesia
2.Menjelaskan mengenai tumbuh kembang penerbitan indie di Indonesia
3.Menjelaskan mengenai peranan penerbitan indie dalam upaya pemasifan karya sastra di tengah masyarakat.

II.Industri Penerbitan di Indonesia

2.1Idealisme Industri Penerbitan
Jika merunut perjalanan waktu, kuantitas penerbit di Indonesia bisa jadi sudah menginjak angka ribuan hingga kini. Namun dari ribuan tersebiut, hanya segelintir saja yang masih bisa bertahan dalam jangka waktu lama. Barometerlama disini adalah lebih dari 50 tahun.
Ada salah satu resep yang bisa dijadikan oleh pemilik industri penerbitan supaya usaha penerbitanna dapat berumur panjang yakni tetap memegang teguh idealisme dan tetap setia terhadap komitmen awal yang menjadi dasar mereka terjun ke dunia penerbitan. Resep ini terbukti ampuh. Hal ini bisa kita lihat pada penerbit-penerbit semacam Balai Pustaka, Kanisius, Dian Rakyat, Pradnya Paramita,maupun penerbit Madju. Hingga kini penerbit-penerbit tersebut masih survive dengan idealisme masing-masing. Misal penerbit Kanisius yang merupakan penerbitan buku rohani hingga saat ini masih memegan visi dan misai mereka yang rumusannya antara lain memuat gagasan bahwa Penerbit-Percetakan Kanisius memosisikan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa dan gereja Indonesia. Buku-buku yang diterbitkan harus yang bernuasns membangun dan memberdayakan masyarakat. Tidak banyak penerbit yang dapat terus bertahan memegang idealisme dan memegan komitmen hingga puluhan tahun. Contoh lain yang dapatkita lihat antara lain Penerbit Madju yang berlokasi di kota Medan –Sumatra Utara. Penerbit yang didirikan oleh HM Arbie pada pertengahan tahun 1949 ini hingga kini masih setia menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah. Berbekal mesin letter press yang dibeli dari hasil keuntungan menjual buku, sekitar tahun 1952, penerbitan ini membuat gerakan dnegan menerbitkan seluruh buku pelajaran dalam satu paket lengkap. Langkah ini boleh dikatakan merupakan terobosan baru yang belum pernah dilakukan penerbitan lain saat itu. Berawal dari sebuah toko buku kecil bernama Pustaka Madju di jalan Soetomo, Medan, Penerbitan Madju berkembang menjadi perusahaan penerbitan sekaligus percetakan buku-buku yang sangat laris.
Hasil yang diperoleh dari kesuksesan Penerbit Madju dari menerbitkan buku-buku pelajaran terutama buku-bukupelajaran tingkat sekolah dasar bahkan mampu melahirkan unit-unit usaha lainnya, seperti dua buah hotel dan sebuah rumah sakit di kota Medan yang bernaung di dalam Grup Madju. Namun hingga saat ini Penerbit Madju tetap konsisten dengan misi awal mereka, yaitu menerbitkan buku-buku pelajaran, sesuai dengan motonya “Setia Memajukan Pendidikan”. Buku-buku terbitan Madju tidak hanya dipakai sebagai acuanoleh sekolah-sekolah dasar di wilayah Sumatra, Aceh , dan Riau, tetapi sampai ke Pulau Jawa hingga Sulawesi. Karena kualitasnya dipandang bagus, Deprtemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu menetapkan buku pelajaran terbitan Madju sebagai acuan saat metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan.

2.2Kapitalisme Dunia Penerbitan
Tidak semua penerbit dapat memegang teguh idealisme serta setia pada komitmen awal. Hal ini bisa dimaklumi, karena industri penerbitan di satu pihak merupakan misionaris esensi dari buku-buka yang diterbitkan, namun disisi lain mereka juga sebuah rumah usaha yang tidak bisa menggantungkan sekedar pada modal idealisme. Kekuatan modal akhirnya mulai mempengaruhi dunia penerbitan. Misi tidak begitu diindahkan. Posisi untung-rugi menjadi fokus yang lebih mendapat perhatian. Akhirnya terjadi kapitalisme di dunia penerbitan.
Hal ini berpengaruh pada kualitas pemasifan karya dan pada fokus pembahasan kali iniadalah khusus mengenai karya sastra. Proses filter dan selektif terhadap karya sastra menjadi disampingkan. Esensi karya sastra tidak menjadi hal yang penting dalam keputusan menerbitkan sebuah karya. Karya yang ecek-ecek pun dapat terbit apabila ada kekuatan modal dibelakangnya. Penerbit tidak mau menanggung resiko kerugian apalagi di tengah kondisi perekonomian bangsa yang semakin merosot yang memaksa tiap individu untuk lebih membanting tulang demi memenuhi kebutuhan perut.
Hal itu dapat terlihat pada fenomena yang berkembang saat ini. Novel-novel kontemporer lebih populer daripada karya-karya para sastrawan yang sarat nilai-nilai kehidupan. Hingga muncul sebuah istilah antara “karya berkualitas” dan “karya laris”. Dua idiom itu muncul karena ternyata kenyataan yang terjadi adalah karya yang laris belum tentu yang berkualitas atau sebaliknya. Jika dalam blantika film, kita mengenal adanya box office, maka disini ada pernyataan bahwa buku-buku yang masuk dalam box office ternyata bukan karya-karya maestro yang berkualitas. Hal ini karena ada kekuatan modal untuk lebih mempublikasikan karya-karya ecek-ecek di tengah masyarakat. Kembali pada bahasan awal, adalah mengenai idealisme. Idealisme penerbit yang semakin dikacaukan oleh pengaruh modal ini akhirnya berdampak pada degradasi esensi karya sastra yang berkembang di tengah masyarakat. Berbicara lebih jauh, secara tidak langsung ini akan menciptakan mindset masyarakat Indonesia. Jika masyarakat disuguhkan karya ecek-ecek maka pola pikir mereka hanya akan dipenuhi muatan-muatan yang ecek-ecek pula. Masyarakat Indonesia akan meningkat pola hidup glamour dan hedonismenya. Khususnya dalam hal ini adalah para generasi muda yang merupakan generasi penerus bangsa ini.

III. Penerbitan Independen (indie label)

3.1Apa dan Mengapa Indie Label?
Fenomena dunia penerbitan yang tergambar sedikit pada bab sebelumnya, merupakan salah satu pemicu munculnya penerbitan independen. Sesuai namanya, maka independen adalah usaha swadaya, tidak tergantung pada pihak lain. Ada beberapa hal yang membuat seseorang lebih memilih menggunakan indie label, yakni :
3.1.1 Upaya mempertahankan idealisme
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa terbitnya karya-karya khususnya karya sastra yang berkemang saat ini sudah mulai melenceng dari idealisme yang mengangkat karya sastra sebagai pengakomodir nilai-nilai kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Bisa dikatakan sebagai bentuk kekecewaan pada penerbitan konvensional yang mulai terpengaruh kekuatan modal.
3.1.2. Teknis Penerbitan
Menerbitkan sebuah buku bukan perkara mudah. Informasi yang terbatas mengenai penulisan dan pencetakan, karir dan pekerjaan yang menyita waktu, serta banyaknya syarat dan ketentuan yang diminta penerbit konvensional, seringkli membuat proses berkarya yang sesuai dengan keinginan dan idealisme menjadi terhambat.
Ketika kita ingin menerbitkan naskah, maka keputusan untuk bisa diterbitkan atau tidak menjadi prerogatif penerbit. Biasanya banyak faktor yang masuk jadi pertimbangan penerbit konvensional. Salah satunya adalah nama pengarang atau penulis sendiri. Ada kalanya kita sebagai penulis pemula memang harus maklum bahwa penerbitan konvensional sebagai pihak yang akan menerbitkan karya kita, di satu sisi sebagai pihak yang mempertahankan nilai-nilai budaya (baca :sastra dan kecerdasan) di tengah masyarakat, di sisi lain mereka juga sebuah industri yang terjebak pada kata : untung-rugi. Seidealis apapun mereka, mau tidak mau, seringkali mereka akan bercermin pada keinginan pasar atau pembaca pada produk yang akan dipublikasikan—yang mana membawa brand nama kita sebagai penulis.
3.1.3 Perhitungan Royalti
Disamping masalah teknis penerbitan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, orientasi keuntungan juga menjadi salah satu alasan kenapa penulis memilih untuk menerbitkan buku secara independen. Harga jual yang terpampang di toko-toko buku umumnya mencapai enam kali atau bahkan lebih dari biaya produksi, padahal penulis hanya mendapatkan 8-12% dari harga jual buku, sedangkan sisanya menjadi bagian pemasaran dan penerbitan. Dengan dasar yang sama pada perhitungan royalti diatas, penulis akan mendapatkan hasil (dalam hal materi) yang jauh lebih besar. Karena sudah saat penulis menghargai hasil karyanya bukan hanya dari kepuasan batiniah tapi juga dari sisi lahiriah. Berikut contoh perhitungan royalti pada penerbit-penerbit konvensional :
Jumlah buku yang dicetak : 3000 eksemplar (jumlah cetakan minimal yang sering dipakai ukuran)
Perkiraan biaya produksi : Rp 9.000,00 /buku
Harga jual di toko : Rp 20.000,00.
Maka jumlah royalti yang diterima penulis (misal 10%) adalah 3000x 20.000 x 10% = 6 juta. Angka tersebut belum termasuk pajak sebesar 15% yang dibebankan kepada royalti penulis buku. Dan angka tersebut dengan asumsi bahwa 3000 eksemplar buku terjual habis.
3.2Penerbit Indie dan Pemasifan Karya Sastra
Dalam kaitannya dengan upaya pemasifan karya sastra, penerbitan independen memiliki kapasitas untuk itu. Dengan penerbitan independen , unsur-unsur diluar idealisme untuk mengusung esensi sastra dapat diminimalisir. Memang tidak ada yang sempurna. Tidak mungkin juga sebuah karya benar-benar independen. Namun setidaknya penerbit independen memberikan penghargaan yang layak kepada para sastrawan (dalam sudut pandang royalti misalnya).
Di Indonesia, penerbit indie yang cukup populer yaitu INDIE offset. INDIE Offset bertujuan memberikan pelayanan secara terpadu kepada para penulis yang ingin menerbitkan buku sesuai dnegan keinginannya. Menerbitkan buku sendiri akan membantu penulis untuk mewujudkan buku yang akan diterbitkannya. Mulai dari mendesain buku yang diinginkan, mengedit, mencetak, membuat publikasi, mengurus perijinan, bahkan hingga memasarkannya. Hal ini memungkinkan munculnya sebuah karya yang murni dengan komitmen dari sebuah karya itu (baca : idealisme).
Dari berkembangnya penerbitan independen sangan mungkin untuk memotivasi para sastrawan untuk produktif berkarya. Penerbit indie membuat sastrawan tak perlu memikirkan rumit serta hal-hal lain yang terdapat padapenerbit konvensional yang hanya akan menghambat tingkat produktivitas mereka. Penerbit Indie menjadi solusi baru bagi para sastrawan, menjadi rumah indie bagi sastra.

IV. Penutup
4.1Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1)Penerbit merupakan pihak yang berperan penting dalam pemasifan sebuah karya,
2)Penerbit perlu memegang teguh idealisme dan setia pada komitmen awal. Hal ini akan berpengaruh pada usia penerbitan.
3)Banyak penerbitan konvensional kini yang mulai terpengaruh pada kekuasaan modal,
4)Masuknya pengaruh kekuatan modal dapat menlunturkan idealisme serta berkurangnya esensi nilai-nilai sastra kepada masyarakat
5)Penerbitan independen dapat menjadi sebuah solusi untuk memurnikan idealisme sebuah karya sastra, sehingga dapat masif di tengah masyarakat.

4.2Saran
Dari pembahasan serta kesimpulan yang telah diambil, ada saran yang ingin disampaikan yakni berharap penerbitan independen lebih dikembangkan lagi baik dalam segi kuantitas maupun kualitas karena peran yang dipegang oleh penerbitan indie sangat strategis dalam upaya pemasifan karya sastra ditengah masyarakat. Penulis juga berharap pembaca atau penikmat karya sastra di Indonesia dapat lebih cerdas dalam mengapresiasi karya-karya satra yang berkembang di era kini.
Saran-saran tersebut semoga menjadi sebuah tindak lanjut dari pemikiran yang tertuang dalam makalah sedarhana ini. Semoga tulisan ini bukan sekedar menjadi wacana saja tapi dapat bermetafora menjadi sebuah tindak nyata. Amin.
Read more ...