Pages

Friday, December 08, 2006

KENCOT MBOK....!!!*) (sebuah cerpen)

Malam yang dingin menusuk tulang. Suasana malam khas kampus sangat terasa di pertigaan karangwangkal, di malam akhir pekan itu. Sisa gerimis masih bersahutan mencumbu aspal basah akibat hujan senja tadi. Namun, hawa dingin itu rupanya tidak mengurangi keramaian muda-mudi untuk menghabiskan weekend. Suara knalpot motor saling bersahutan menciptakan senandung malam mingguan di kota mendoan itu.
Anto duduk mencangkung di teras warung mie rebus. Segelas kopi pahit disisinya sudah mulai dingin karena memang sudah dipesannya dari seratus dua puluh menit yang lalu. Asap rokok kretek ia permainkan seolah di setiap gumpalan asap itu tergambar sebuah fragmen. Aroma sate ayam khas Madura mempermainkan lubang hidungnya. Membuat perutnya bernyanyi. Selaras dengan aroma yang mengudara itu....pikirannya pun mengawang merenungi episode hidup tempo hari.
****
“Korannya satu pak!”
Anto membuka dompet kulit hitamnya dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah. Sambil menunggu kembalian, ia tak sabar langsung membuka-buka lembar demi lembar halaman koran di depannya.
“Shitt.....aku belum beruntung mbok!”
Penjaga kios koran depan kampus kalibakal itu sempat terkejut. Dikirannya Anto mengumpat dirinya. Namun ketika tahu apa yang diumpatkan Anto, ia pun hanya tersenyum tipis sambil mengansurkan uang kembalian.
“Belum rejekinya aja to!!!”
Anto memang sudah cukup akrab dengan pemilik kios koran keturunan tionghoa itu.
Yeah...mungkin benar...kali ini belum rejekinya.
****
“Rental mas....”
“Monggo.....”
Detik selanjutnya, Anto seolah lupa daratan, pikirannya fokus ke arah layar komputer pentium empat. Di hadapannya program Microsoft Word yang tadi masih putih bersih kini mulai terisi dengan barisan aksara.
Jemarinya lincah memainkan keyboard, di otaknya diksi demi diksi seolah sudah menunggu untuk dikeluarkan.
Komputer di kosnya belum bisa berfungsi maka terpaksa ia menggunakan jasa rental yang berjamuran di sepanjang jalan Suparno.
Otak Anto memang otak imajinatif namun tak jarang pula analitik. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Kegagalan adalah awal dari keberhasilan. Begitu katanya orang bijak. Walaupun ia sendiri tak kenal dengan orang bijak itu, namun kata-kata itu bisa menjadi sugestinya.
Aku menulis bukan semata-mata untuk cari sesuap nasi. Begitu prinsipnya. Baginya, dapat menuangkan pikiran dalam deretan frasa pun dapat memenuhi rasa laparnya.
Tiga jam dilaluinya. Tak terasa dua fiksi dan satu wacana sudah tertransfer dari otaknya ke flashdisk. Tak peduli malam telah larut, sekeluarnya dari rental ia langsung menuju ke warnet untuk mengirimkan hasil tulisannya ke media.
*****
“Pak, korannya sudah datang?”
Penjaga kios itu sudah paham apa yang dimaksudkan Anto. Padahal kiosnya masih buka satu jam lagi. Namun, Anto memang sudah terbiasa seperti itu. Kemudian diangsurkannya sebuah koran harian lokal.
“Yach....belum juga” keluh Anto.
Sekali lagi Anto hanya dapat nasehat,
“”Belum rejekimu To....!!!”
****
Kapan ya tulisanku dimuat????berkali-kali hal itu menjadi bahan perenungan Anto. Apa aku memang nggak bisa nulis??? Aku juga pengen kayak Ahmad Tohari, Dharmadi, Gola Gong, NH.Dini, atau yang lain.
“Kalau tulisanmu pengen masuk media...ya kamu harus tahu karakter-karakter media itu To!!!” itu nasehat mas Kas, rekannya yang sudah lihai dalam menulis. Beberapa media sudah berhasil ia tembus.
“Lihat catatan pinggir Gunawan M di Tempo atau Politika Budiarto S di Kompas, bisa juga tengok kolom Asal Usul dr Suka Harjana dan Moh Subary di Kompas Minggu. Kolom Resonansi di Republika juga perlu kamu baca ..... “ itu lanjutan nasehat mas Kas.
Ia memang harus banyak belajar.
Aku harus banyak baca koran...mulai besok akan kubeli semua koran tiap harinya......Begitu tekad Anto.
*****
“Pak, koran, Suara Merdeka, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Radar, K-R, Republika, sama Sindo” pagi itu Anto benar-benar mewujudkan tekadnya.
Pemilik kios itu masih berkerut heran. Anak ini mau beli koran atau jadi agen koran????
“Kamu ambil yang mana?” akhirnya Ia memtuskan untuk bertanya pada Anto.
“Semuanya....” ucapan Anto nyaris disambut tawa kalau pak pemilik kios itu tidak melihat air muka serius di wajah Anto.
Kini tas ransel Anto tak hanya penuh dengan hand-out kuliah, namun bertambah juga bebannya dengan koran-koran yang baru dibelinya.
Dan di koran-koran yang dibelinya itu...tak satupun yang memuat tulisan Anto....yeah...seperti biasa...
*****
“Nih.....koran-korannya”
Kini Pak penjaga kios memiliki tugas baru menyiapkan koran-koran terbitan pagi untuk dibeli Anto. Tiap hari pula kini Anto punya kegiatan baru, yaitu mengambil pesanannya di kios depan kampus tiap paginya.
Sudah satu pekan hal itu berlangsung. Sudah satu pekan pula...di koran-koran itu tak memuat tulisan Anto. Lagi-lagi.....”memang belum rejeki To!!!”
****
Argh...belum ada juga.....
Sudah pekan kedua Anto melakukan observasinya pada media. Tiap hari pula ia ke rental dan ke warnet untuk mengirimkan tulisan-tulisannya. Dari wacana yang tematik, cerpen-cerpen, sampai sajak-sajak yang selama ini hanya tertumpuk di buku kecilnya.
Entah...kenapa...apa electronic mail-nya tidak sampai atau memang tulisannya yang belum memenuhi syarat. Hingga detik ini belum ada media yang sudi memuat pemikiran-pemikirannya.
Hampir asa itu terputus....................
****
Pagi di koridor kampus.
“Pagi-pagi ngelamun jorok ya?”
Sapaan kurang ramah dari rekan-nya membuat Anto hanya memberikan senyum tipisnya.
Ryan. Anak Inggris 03. Mbah-nya teater.
“Wis mangan mbok?” tanya Ryan
Itulah sebenarnya yang membuat Anto hanya termangu di kursi bambu depan ruang kaprodi.
“Madang koran Yan!” jawab Anto pendek.
Ya, di kamar kosnya kini dengan mudah bisa dilihat tumpukan koran yang menggunung.
Ambisinya untuk menulis dan dimuat di media membuatnya lupa akan hak tubuhnya. Tak jarang malam-malam panjang ia habiskan di depan layar komputer.Uang bulanan dari orang tua di kampung tak bersisa. Habisnya hanya untuk meraih mimpinya melihat tulisannya dimuat di koran. Tak pernah dipedulikannya perutnya yang sering meronta kelaparan. Lebih tepatnya ia tak pernah ingat kapan ia lapar. Tak pernah ingat waktu makan. Yang terpikir di otaknya aalah nulis...nulis...dan nulis...!!!
Kini uang jatah hidupnya tak bersisa. Sedangkan awal bulan masih lima belas hari lagi. Belum pernah didengarnya ada sunah puasa setengah bulan. Yang ia tahu hanyalah puasa senin-kamis dan puasa daud.
Wajah Ryan masih datar mendengar cerita dari Anto. Sebenarnya ia sudah paham. Ia paham akan jiwa ambisius dari rekannya itu.
Dicekalnya tangan Anto dan ditariknya ke warung bambu.
“Wis...kowe madang saiki!!!mas Ryan sing bayar!bocah diomongi ngeyel!!!”
****
“Kopinya nambah mas?”
Ough...lamunanya yang melankolis rupanya cukup merisaukan pemilik warung mie rebus.
“Mboten mbak, cekap!!!”
Anto pun tahu diri. Dari sore ia tidak beranjak dari warung kecil itu. Tak satupun makanan yang ia pesan. Mungkin sikapnya membuat penjaga warung itu risau.
Entahlah....kini masih ia kucoba menulis...apa jadinya kalau ceritaku kali ini tak dimuat..........batin Anto sendu.
****
*)Kencot => lapar....

sebuah kisah...thanks a lot buat temen2 penyemangatku....mas Ryan dan temen2 Texas...pak Imam... and semuanya aja...doain nta ya!!!
Title: KENCOT MBOK....!!!*) (sebuah cerpen); Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: