Pages

Tuesday, November 20, 2007

Equality Gerakan Intelektual Melalui Praksis Gerakan Berbasis Gender

disusun sebagai persyaratan mengikuti Intermediate Training (LKII) XIV Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) cabang semarang

Maha suci Allah yang telah menciptakan makhluk-nya berpasang-pasangan.Adanya siang dan malam,langit dan bumi, laki-laki dan wanita, serta couple lain bukan sekedar estetika belaka. ada hikmah yang terkandung yang sudah semestinya menjadi bahan renungan dan pembelajaran bagi umatNya yang berfikir. Disinilah terkandung makna bahwa Islam mengajarkan konsep keseimbangan yang tetap mengerucut padasatu muara kulminasi kehadirat sang Illahi.

Gerakan intelektual sebagai gerakan yang dalam mencapai visi/misainya terbangun oleh adanya satu cara pandang yang utuh antara Tuhan,Alam,dan manusia,bersinergis dengan konsep keseimbangan yang diisyaratkan pleh Islam. Seseorangn dengan karakter ulil albab akan memahami bahwa dalam suatu gerakan apalagi dengan [engalokasian seluruh sumber daya sehingga terciptanya sebuah keseimbangan.

Berbicara mengenai keseimbangan,dalam kontekstual individu,sudah menjadi fitrah bahwa manusia diciptakan ada laki-laki dan wanita. Dalam masa Nabi Muhammad SAW - yang merupakan masa ideal Islam- wanita mempunyai ruang lebih dalammenunjukkan keterlibatannya dalam dunia sosialnya.Isu gender memang selalu menjadi isu yang cukupmempunyai "rating. Entah itu hanya menjadi hotnews belaka atau memang ada upaya mengimplementasikan teori aktualisasi potensi wanita.

Adanya sunatullah terciptanya manusia menjadi laki-laki dan wanita secara tidak langsung berpengaruh dalam interaksi sosial. Perbedaan harus tetap ada tetapi bukan pembedaan.Perbedaan itu juga sudah merupakan "proses alamiah" yang terjadi. Manurut pengamatan Robert Bierdstet di dunia barat, pada pertemuan-pertemuan yang dihadiri lelaki dan wanita mula-mula bercampur akan tetapi akhirnya masing-masing golongan memisah.Kemudian dalam masyarakat ,muncul perkumpulan-perkumpulan yang hanya untuk lelaki atau untuk wanita saja- yang dalampenelitian Bierdstet kemudian memberi contoh seperti adanya Bouy Scout dan GirlScout. Barangkali pada dasarnya yang menjadikan pengelompokan itu ialah apa yang disebut Giddings "concionusness of kind:.Hal ini mengisyaratkan bahwa pernedaan tersebit memiliki ranah potensi masing-masing.Peningkatan potensi masing-masing kelompok tersebut (dengan basis gender) akan merujuk pada konsep keseimbangan.

Tidak banyak gerakan wanita- di Indonesia khususnya -jikakita bandingkan dengan "gerakan kewanitaan:.Wanita dengan potensinya yang luar biasa sangat dibutuhkan sumbangsihnya dalam kancah gerakan intelektual. Selama ini gembar-gembor isu biasa gender memang sangat naik daun.Popularitasnya memiliki nilai jual tersendiri.Namun pada kenyataannya hal itu tidak bersignifikansi pada tingkat pasrtisipasi wanita pada gerakan intelektual. Orasi yang selalu dikumandangkan para kaum yang mengaku feminis atau sejenisnya hanya bergerak pada lingkup kewanitaan yaitu gerakan yang hanya berkutat pada hal-halseputar wanita bukan gerakan yang lebih praksis dimana wanita dituntut bukti nyata peran aktifnya dalam masayarakat.Tuntutan yang esensial adalah wanita yang bergerak bukan sekedar gerakan tentang wanita. Pada masa nabi Muhammad,jarang terdengar kelompok feminis yang berkoar-koar mengenai bias gender, yang ada saat itu ialah praksis gerakan.Seperti tertuang dalamsebuah riwayat,sebagaimana Ar-rubayy'binti Muawidz pernah menuturkan ," Kami pernah bersama Nabi Muhammad SAW dalam peperangan.Kami bertugas memberi minum prajurit,melayani mereka,mengobati orang terluka, serta mengantarkan orang terluka dan terbunuh ke Madinah" (riwayat Bukhari). Di masa tersebut,wanita juga aktif dalam memformulasikan nila-nilai agama. Tak ada kaidah-kaidah agama, terutama yang berhubungan dengan mereka yang "jadi" tanpa dialog dengan mereka. Di masa tabiin dan tabi-tabi'in,peneliti Islam kontemporer menemukan banyak fakta tercecer tentang beberapa ilmuwan wanita yang menjadi guru bagi pendiri mahzhab besar dalamIslam.Rumah mereka telah menjadi sumber bagi perkembangan tradisi keilmuan Islam saat itu. Sejarah juga tak bisa memungkiri kecemerlangan beberapa ratu dalam pemerimtahan Islam abad pertengahan. Dalam Islam, wanita (muslimah)memiliki tanggungjawab yang sama dalam menegakan amar ma'ruf nahi munkar (QS At Taubah : 71)

Selama ini yang teramati adalah kenyataan bahwa hanya lebih banyak orasi kewanitaan dengan mengatasnamakan keberpihakan pada kaum wanita dibanding dengan praksis gerakan di tengah masyarakat.Yang dibutuhkan bukan sekedar korps kewanitaan yang esensialnya malah mempersempit ruang gerak wanita.Sebenarnya cukup tepat pemikiran yang melatarbelakangi ketika bubarnya korps- PMII-Puteri (KOPRI) yang menyatakan bahwa KOPRI dianggap menjustifikasi ketidakmampuan wanita dalam bersaing dengan laki-laki dalam perebutan posisi yang lebih strategis.Menurut mereka,satu-satunya jalan untuk bisa bertarung bebas dengan laki-laki adalah meleburkan wanita dalam organisasi induknya -dalam hal ini yaitu PMII. Namun tindakan itu kemudian dipertanyakan ketika pada kenyataannnya setelah melebur di organisasi induk, di dalam struktur PB PMII hanya ada satu ketua dan sekretaris perempuan serta satu lembaga yang diketuai perempuan, yaitu lembaga kajian wanita. Hal yang justru menggambarkan kemunduran.

Dalam kasus ini, dapat dikatakan telah terjadi fallacy of misplaced concretness yaitu ksesalahan berfikir yang muncul karena kita mengkonnretkan sesuatu yang padahakikatnya abstrak. Keseteraan gender adalah sebuah hal yang abstrak,sampai ujung dunia pun tak ada sembuah parameter yang konkret yang dapat menyatakan bagaimana laki-laki dan wanita ada pada posisi yang sejajar. Yang konkret adalah ketika wanita mampu menunjukan eksistensianya dengan segala daya potensi yang dimiliki.Eksistensi wanita yang muncul bukan karena adanya laki-laki namun eksistensi yang muncul karena potensi yang dimunculkan.

Gerakan Wanita dan Arus Globalisasi

Pengaruh arus globalisasi turut andil dalam munculnya kesalahan berfikir yang hanya menjadi penghambat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik karena memang mustahil ada perubahan ke arah yang benar,kalau kesalahan berfikir ,asih menjebak pemikiran kita.

Globalisasi yang ditandai dengan berkembangnya paham kapitalis dan mengglobalnya peran pasar kemudian memunculkan setting wanita dengan peran konsumerisme yang kemudian menyudutkan wanita hingga tenggelam dan lupa pada tanggungjawab pengoptimalan potensi diri sebagai manusia.

Isu gender pun dijadikan komoditi pasar yang takakan habis lumbung donasi-nya sehingga tak mudah kita temukan adanya "gerakan isu" yang independen. Praksis mereka hanya berkoar tanpa adanya bukti yang nyata. Wanita yang semestinya dapat menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapi arus global justru menjadi salah satu objek arys globalisasi.

Pada akhirnya,gerakan wanita akan menjadi kekuatan apabila itu merupakan sebuah pengejewantahan gerakan wanita bukan sekedar gerakan kewanitaan.Bagaimana wujud nyata praksis gerakan wanita dapat menciptakan equality dlam gerakan intelektual yang kemudian menjadi slide tersendiri bahwa wanita bukan objek globalisasi namun bahkan menjadi aktor.

Sedikit footnote Tentang KOHATI

Tak ada yang bisa sayang ungkapkan banyak tentang KOHATO,tidak sebanyak keinginan untuk masuk menjadi bagian yang dapat memajukan korps ini. Tiga semangan yanng melatarbelakangi lahirnya KOHATI yakni eksistensi,aktualisasi serta akselerasi dapat menjadi harapan terwujudnya gerakan wanita yang diharapkan.Eksistensi yang dimaksud adalah adanya suatu semangat dan kesadaran diri dari kaum hawa untuk dapat menjadi subjek dalam pembangunan bangsa. Sedangkan aktualisasi bermaksud untuk menyatakan dalam tindakan nyata untuk mengadalan pembaharuan dan perbaikan dalammenghadapi tantangan zaman yang senantiasa berubah.Serta,akselerasi adalah semangat dalam melakukan peran sosiologis dan politis,yang ditunjukkan sebagai lembaga. Ini adalah sebuah kerangka kolaborasi eksistensi gerakan wanita yang mengedepankan potensi dibandinng emosi. Karenanya KOHATI adalah alat perjuangan yang patut dikembangkan dengan segala potensinya yang diharapkan menjadi "rahim" lahornya insan-insan Ulil Albab disamping denotatif rahim itu sendiri sebagai wanita.

Dunia ini memang sementara tapi bukan mimpi maka menghadapinya juga bukan dengan sekedar wacana,satu kata : BERGERAK!!!
YAKUSA!

Karangwangkal,Purwokerto, 27 Oktober 2007

Referensi :

Reborn of Jong MOeslem Female :Muslimah Bangkit....MUslimah Bergerak dan Menggerakan. Sebuah essay oleh Shinta Ardhiyani U (Purwokerto,Mei 2007)

Reposisi dan Reorientasi Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai Solusi Penanggulangan KDRT di Indonesia. Sebuah karya tulis oleh Shinta Ardhiyani U (purwokerto,Agustus 2007)
Mengukir Sejarah Baru.Sebuah tulisan oleh Nefisra Viviani pada http://www.rahima.or.id/SR/01-02/Fokus.htm diposting ulang oleh www.kohatimalang.blogspot.com
Sekilas mengenai Keberadaan KORPS HMI Wati. Sebuah tulisan oleh Betty Epsilon Idroos pada www.hmimaktim.blospot.com
Rakhmat Jalaludin. Rekayasa Sosial. PT.Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan Ketiga: Januari 2005.


Read more ...
Thursday, November 08, 2007

Kemana Bargaining Position Kita??

Oleh : Shinta Ardhiyani Ummi
(untuk hijau hitamku)
Image “pemikir sejati” yang melekat pada HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan kiranya perlu kita refleksikan. Konsep, konsep, dan berkali-kali konsep lagi. Itulah produktivitas kita. Padahal tantangan yang dihadapi mahasiswa yang katanya sebagai agent of change tidak sekedar berhanti pada tahap epistemis saja.
Kiranya perlu dimaknai kembali kata “mahasiswa” dalam organisasi kita. Kenyataan yang terjadi adalah teman-teman HMI jauh dari populis mahasiswa. Hal ini lepas dari kondisi mahasiswa yang “apatis”, HMI sebagai organisasi yang beranggotakan mahasiswa perlu kembali “Back To Campus”. Sekilas mungkin dinilai sebagai pemikiran yang sempit. Tapi memang kampuslah sebenarnya lahan dakwah kita yang utama .Kalau kita tukang becak atau penyapu jalanan boleh saja kita tak terlalu memperhatikan kampus. Di sisi lain, sikap yang “menjauhi” kampus justru akan menguatkan posisi kampus hanya sebagai tempat kongkow. Dengan kata lain, kita juga sebagai aktor dalam simbolisasi kampus sebagai lembaga pendidikan. Kalau begitu, apa artinya koar-koar kita tentang matinya pendidikan Indonesia? (kalau kita juga ternyata pembunuhnya).
Fenomena krisis kader di beberapa universitas yang terbilang “favorit” merupakan sebuah indikasi degradasi peran HMI di perguruan tinggi. Kalau begitu apa bedanya dengan HMI saudara kita yang lebih mementingkan politik praktis. Timbul pertanyaan yang selama ini belum terjawab “ HMI MPO mo dibawa kemana???”.
Mahasiswa khususnya mahasiswa Islam sebagai manusia intelektual (baca :berpendidikan tinggi) identik dengan pemikirannya yang cerdas, kritis, analitis. Kemudian apakah implementasi pemikiran itu telah nyata dalam kehidupan bangsa??? Satu frasa yang mungkin dapat mewakili seluruh fenomena tersebut yaitu bahwa kita – mahasiswa Islam – telah kehilang nilai tawar sebagai generasi intelektual. Bukan hal yang rahasia lagi jika produk-produk karya ilmiah mahasiswa yang diperlombakan sekarang aspek penilaiannya adalah ekonomi, karya-karya kita hanya akan menjadi sumbangan besar bagi kaum kapitalis. Coba kita tengok dunia media massa, apakah mahasiswa sudah mendapatkan jatah yang cukup untuk mengaspirasikan pemikirannya??? Atau sudah merasa cukup dengan ketersidaan satu rubrik mingguan satu halaman yang bertajuk “mahasiswa” atau “ “Mimbar”, dll. Bahkan Sasongko Tedjo, pimred Suara Merdeka pernah menyatakan sendiri bahwa demi kualitas media-nya (yang secara tidak langsung demi oplah), dia lebih memilih tulisan-tulisan para “sesepuh” dibandingkan tulisan dari mahasiswa. Bukan hal rahasia kalau kita mau mengirimkan tulisan ke media kalau bisa menyembunyikan identitas kemahasiswaannya. Fenomena apa ini??ternyata telah berpindah predikat agent of change dari kaum muda kepada kaum kapitalis.
Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa sebenarnya secara tidak langsung HMI telah menjadi aktor dalam kenyataan hilangnya peran mahasiswa saat ini. Ya, HMI dan juga organisasi-organisasi mahasiswa yang lain kini justru buta tentang hal-hal akademis. Hal akademis disini bukan semata-mata terpaku pada indeks prestasi, namun lebih kepada optimalisasi potensi keilmuan yang dimiliki ditempat mereka belajar. Mereka lebih hafal ideologi-ideologi yang berkembang, daftar nama koruptor Indonesia dibanding dengan rumus-rumus atau pokok-pokok mata kuliah yang diambil. Lebih parahnya lagi, terkadang menjadi pejuang yang munafik. Diluar mereka berkoar-koar tentang pembodohan dalam pendidikan, namun dengan “nurut” mereka juga mengikuti sistem pembodohan yang tersistematis dalam lembaga pendidikan. Kalau begitu, apa kata dunia???
Bukan bermaksud mempermasalahkan partisipasi mahasiswa dalam mengkritisi kondisi bangsa, namun kini sudah saatnya masuk dalam tahap aksiologis. Revolusi sistemik tak akan dapat terwujud jika kita juga minim dalam hard skill. Jangan siakan displin ilmu yang telah kita dapatkan di kampus. Implementasikan pemahaman filsafat ilmu yang kita miliki. So, ditunggu lahirnya ilmuwan-ilmuwan muda dari para mahasiswa Islam. Kejayaan Islam berawal dari generasi muda-nya yang mampu mengoptimalkan potensi keilmuan untuk kemaslahata umat.
Hal ini juga yang ingin dimulai dari komisariat pertanian UNSOED dalam kegiatan LK1 yang insya Allah akan diadakan akhir bulan ini. Komisariat tertua di Purwokerto yang lahan dakwahnya mencakup hampir lima fakultas di UNSOED (Fak.Pertanian, Fak,Peternakan, FKIK, Bahasa dan Sastra, dan MIPA). Dengan mencoba menstimulan para calon kader dengan berbagai event yang berkaitan langsung dengan disiplin ilmu mereka, kita mencoba melestarikan tradisi kelimuan di HMI untuk membangun kembali bergaining position mahasiswa Islam (nta).




Read more ...