Pages

Wednesday, April 24, 2013

MARBOT : PELAYAN RUMAH TUHAN

#Catatan Mudik



Sekian menit selepas salam terakhir, satu persatu jamaah sholat Isya malam itu beranjak pulang. Saat perlahan  sepi  merayap, kuperhatikan sekeliling, dan sejurus itu baru kusadari  satu hal. Bahwa “warisan” berharga yang almarhum ayah tinggalkan kepada kami adalah bagaimana kami sedari kecil dilatih untuk  merawat rumahNya. Selintas tiba-tiba saya teringat bagaimana saat kecil dulu punya giliran tugas mematikan lampu-lampu mushola, menggulung tikar dan karpet, mengatur meja-meja kecil untuk ngaji, hingga menguras kamar mandi, semuanya pernah kami lakukan dengan atau tanpa ikhlas. Maklum, masih kecil. Semua masih karena perintah. Kadang saya dan kakak bisa ribut hanya gara-gara mempermasalahkan siapa yang akan menggulung dan menyimpan tikar. Sampai akhirnya tikar itu kehujanan diluar mushola.

Bagi  orang  lain, itu mungkin tidak istimewa.  Tapi, bagiku, saat  ini menjadi terasa sangat istimewa, ketika merasakan ternyata sampai detik ini pun apa yang telah dilakukan sejak kecil masih terus terbawa.  Teringat ramadhan tahun lalu ketika ada seorang teman bilang : “ mbak Shinta sekarang sudah gak perlu  ikut  turun ngurusin buka puasa di tempat putri, udah banyak anak-anak baru “..  Tapi, asal tau saja bahwa aku sangat menikmati masa-masa dimana harus menyiapkan ta’jil walau sekedar air putih dan kurma. Seperti ketika aku kecil dulu harus mempersiapkan teh serta makanan untuk sekedar rapat takmir atau pertemuan-pertemuan di mushola. Bedanya, dulu mungkin masih karena perintah ayah. Tapi lama-kelamaan itu aku menikmati peran sebagai pelayan rumahNya.

Aku tercenung sendiri, mengingat putaran waktu yang berjalan cukup cepat kurasa. Dulu mushola ini hanya bangunan sederhana, yang sehari harus lebih dari lima kali disapu jika tak mau ada debu menempel. Karpetnya harus sepekan sekali dijemur dipagar bunderan di sebrang. Soundsystem yang apa adanya, membuat Bapak beberapa kali harus naik keatap membetulkan toa. Sesekali dibawa ke tukang service di daerah Slerok. Hati saya kerap terseok mengingat bagaimana tangan rapuh Bapak dulu menata taman kecil samping mushola. Memasang sendiri pagarnya satu demi satu. Taman kecil itu kini memang sudah tak ada. Hanya ada satu pohon mangga cangkokan menjadi saksi hobi berkebun sang almarhum. 


Kami dididik untuk menjadi pelayan. Menjadi pelayan di rumah Tuhan. Itulah kenapa saya selalu antusias dengan teman-teman yang beraktivitas di masjid dan mushola. Dimanapun itu.  

Selalu banyak kisah, kesan, yang terasa saat kita berinteraksi dengan masjid. Tiap orang punya kesannya masing-masing. Ada yang memang mengenali masjid sebagai tempat saat ia sholat Jumat saja. Ada yang memang intim dengan masjid hanya dengan aktivitas tidur atau sekedar numpang ke kamar mandi.  Ada juga yang mungkin punya kesan dengan masjid karena tiap lima waktu sholat selalu ada disana. Pun seorang maling kotak infak, yang mencoba akrab dengan masjid disaat ia bingung harus mencari uang  kemana. Semua punya ingatan akan masjid dengan caranya masing-masing.

Kalau di mushola sebelah rumah, itu juga macam-macam. Sering ramai kalau siang karena jadi tempat istirahat para pedagang keliling dan juga tukang becak. Bahkan kami masih ingat sekali dengan pak Musa, pak Topan, pak “koboi”, para tukang becak yang setia singgah di rumah Tuhan sebelah kami. Sesekali kami tak perlu bingung jika harus mencari becak. Suatu hari saya dan adik saya pernah sedang berjalan di daerah randugunting kemudian ditawari naik becak sampai rumah. Ternyata itu adalah tukang becak yang mengenali kami sebagai anak-anak yang tinggal di sebelah mushola.

Mushola kami juga ramai dengan anak sekolah, maklum lokasinya di depan sebuah SMA negeri yang katanya cukup favorit di kota kecil itu. Dulu malah mushola kadang jadi tempat pelarian bolos saat upacara atau pelajaran yang membosankan. Membolos di mushola tentunya dengan alih-alih sholat dhuha ataupun sholat dhuhur. Untuk kasus itu, saya dan kakak sering menjadi pelakunya.hehehe.

Masjid untuk pacaran??? hahaha…, waktu SMA dulu saya juga pernah punya kisah ini.  Cinta monyet pertama saya waktu masih kecil juga karena cinlok di mushola. Bahkan orang yang beberapa tahun lalu pernah saya jatuh cintai, awal kisahnya karena sebuah acara di masjid kampus, gara-gara saya jadi moderator dan beliau jadi pembicara. Islami banget kan???hahahaha.  Ini intermezzo saja.  Kalau di masjid Fatimatuzzahra bahkan memang banyak pasangan yang menikah sesama aktivis masjid. Menjadi romantika sendiri, memang. Katanya sih menikah di jalan dakwah, ah bukan yang tepat itu menikah di jalan madrani… :D

Tulisan saya terhenti disini.  Baru nyadar, kok tulisannya curcol banget ya. Ok, agak serius deh. Bahwa ketika sebuah rumah Allah bisa menjadi milik siapa saja, maka menjadi tugas pelayan untuk memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan para tamuNya. Gelarlah acara-acara yang memang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Kalau banyak mahasiswa, dekat dengan kampus, mbok ya selenggarakan kajian-kajian keilmuan yang itu dibutuhkan untuk senam otak mereka. Masyarakat sering diajak rembugan di masjid.

Duh, beneran deh, kalo ngomongin masjid Cuma bikin saya ingat masa-masa kecil dulu. Saya masih ingat bagaimana ayah mengupayakan kajian-kajian insidental yang tematik terselenggara di mushola. Saya selalu ikut dong. Soalnya bagian bawa-bawain teh dan makanan.hihihi. Tapi nanti pas kajian usai, saya berbisik pada papa : “pa, shinta pengen nanya yg kajian tadi….bla..bla..bla…”.  Nanti pertanyaan-pertanyaan itu disampaikan oleh papaku dan aku tinggal tunggu jawabannya di rumah.. J

Sudahlah, saya bingung mau ngomong apa. Intinya kemarin ketika mudik sehari, siangnya saya sempat dimintai tolong teman untuk bantu fundraising untuk pembangunan sebuah masjid di daerah Tegal Barat. Sore sampai malamnya, saya banyak berinteraksi dengan takmir-takmir mushola di sekitar rumah. Mudik yang menyenangkan. J

Purwokerto, 22 April 2013

Title: MARBOT : PELAYAN RUMAH TUHAN; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: