Sekian menit selepas salam terakhir, satu persatu jamaah sholat Isya malam itu beranjak pulang. Saat perlahan sepi merayap, kuperhatikan sekeliling, dan sejurus itu baru kusadari satu hal. Bahwa “warisan” berharga yang almarhum ayah tinggalkan kepada kami adalah bagaimana kami sedari kecil dilatih untuk merawat rumahNya. Selintas tiba-tiba saya teringat bagaimana saat kecil dulu punya giliran tugas mematikan lampu-lampu mushola, menggulung tikar dan karpet, mengatur meja-meja kecil untuk ngaji, hingga menguras kamar mandi, semuanya pernah kami lakukan dengan atau tanpa ikhlas. Maklum, masih kecil. Semua masih karena perintah. Kadang saya dan kakak bisa ribut hanya gara-gara mempermasalahkan siapa yang akan menggulung dan menyimpan tikar. Sampai akhirnya tikar itu kehujanan diluar mushola.
Bagi orang lain, itu mungkin tidak istimewa. Tapi, bagiku, saat ini menjadi terasa sangat istimewa, ketika
merasakan ternyata sampai detik ini pun apa yang telah dilakukan sejak kecil
masih terus terbawa. Teringat ramadhan
tahun lalu ketika ada seorang teman bilang : “ mbak Shinta sekarang sudah gak
perlu ikut turun ngurusin buka puasa di tempat putri,
udah banyak anak-anak baru “.. Tapi,
asal tau saja bahwa aku sangat menikmati masa-masa dimana harus menyiapkan
ta’jil walau sekedar air putih dan kurma. Seperti ketika aku kecil dulu harus
mempersiapkan teh serta makanan untuk sekedar rapat takmir atau
pertemuan-pertemuan di mushola. Bedanya, dulu mungkin masih karena perintah ayah.
Tapi lama-kelamaan itu aku menikmati peran sebagai pelayan rumahNya.
Aku tercenung sendiri, mengingat putaran waktu yang berjalan
cukup cepat kurasa. Dulu mushola ini hanya bangunan sederhana, yang sehari
harus lebih dari lima kali disapu jika tak mau ada debu menempel. Karpetnya
harus sepekan sekali dijemur dipagar bunderan di sebrang. Soundsystem yang apa
adanya, membuat Bapak beberapa kali harus naik keatap membetulkan toa. Sesekali
dibawa ke tukang service di daerah Slerok. Hati saya kerap terseok mengingat
bagaimana tangan rapuh Bapak dulu menata taman kecil samping mushola. Memasang
sendiri pagarnya satu demi satu. Taman kecil itu kini memang sudah tak ada. Hanya
ada satu pohon mangga cangkokan menjadi saksi hobi berkebun sang almarhum.
Kami dididik untuk menjadi pelayan. Menjadi pelayan di rumah
Tuhan. Itulah kenapa saya selalu antusias dengan teman-teman yang beraktivitas
di masjid dan mushola. Dimanapun itu.
Selalu banyak kisah, kesan, yang terasa saat kita
berinteraksi dengan masjid. Tiap orang punya kesannya masing-masing. Ada yang
memang mengenali masjid sebagai tempat saat ia sholat Jumat saja. Ada yang
memang intim dengan masjid hanya dengan aktivitas tidur atau sekedar numpang ke
kamar mandi. Ada juga yang mungkin punya
kesan dengan masjid karena tiap lima waktu sholat selalu ada disana. Pun
seorang maling kotak infak, yang mencoba akrab dengan masjid disaat ia bingung
harus mencari uang kemana. Semua punya
ingatan akan masjid dengan caranya masing-masing.
Kalau di mushola sebelah rumah, itu juga macam-macam. Sering
ramai kalau siang karena jadi tempat istirahat para pedagang keliling dan juga
tukang becak. Bahkan kami masih ingat sekali dengan pak Musa, pak Topan, pak
“koboi”, para tukang becak yang setia singgah di rumah Tuhan sebelah kami.
Sesekali kami tak perlu bingung jika harus mencari becak. Suatu hari saya dan
adik saya pernah sedang berjalan di daerah randugunting kemudian ditawari naik
becak sampai rumah. Ternyata itu adalah tukang becak yang mengenali kami
sebagai anak-anak yang tinggal di sebelah mushola.
Mushola kami juga ramai dengan anak sekolah, maklum
lokasinya di depan sebuah SMA negeri yang katanya cukup favorit di kota kecil
itu. Dulu malah mushola kadang jadi tempat pelarian bolos saat upacara atau
pelajaran yang membosankan. Membolos di mushola tentunya dengan alih-alih
sholat dhuha ataupun sholat dhuhur. Untuk kasus itu, saya dan kakak sering
menjadi pelakunya.hehehe.
Masjid untuk pacaran??? hahaha…, waktu SMA dulu saya juga
pernah punya kisah ini. Cinta monyet
pertama saya waktu masih kecil juga karena cinlok di mushola. Bahkan orang yang
beberapa tahun lalu pernah saya jatuh cintai, awal kisahnya karena sebuah acara
di masjid kampus, gara-gara saya jadi moderator dan beliau jadi pembicara.
Islami banget kan???hahahaha. Ini
intermezzo saja. Kalau di masjid
Fatimatuzzahra bahkan memang banyak pasangan yang menikah sesama aktivis
masjid. Menjadi romantika sendiri, memang. Katanya sih menikah di jalan dakwah,
ah bukan yang tepat itu menikah di jalan madrani… :D
Tulisan saya terhenti disini. Baru nyadar, kok tulisannya curcol banget ya.
Ok, agak serius deh. Bahwa ketika sebuah rumah Allah bisa menjadi milik siapa
saja, maka menjadi tugas pelayan untuk memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan
para tamuNya. Gelarlah acara-acara yang memang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat sekitar. Kalau banyak mahasiswa, dekat dengan kampus, mbok
ya selenggarakan kajian-kajian keilmuan yang itu dibutuhkan untuk senam otak
mereka. Masyarakat sering diajak rembugan di masjid.
Duh, beneran deh, kalo ngomongin masjid Cuma bikin saya
ingat masa-masa kecil dulu. Saya masih ingat bagaimana ayah mengupayakan
kajian-kajian insidental yang tematik terselenggara di mushola. Saya selalu
ikut dong. Soalnya bagian bawa-bawain teh dan makanan.hihihi. Tapi nanti pas
kajian usai, saya berbisik pada papa : “pa, shinta pengen nanya yg kajian
tadi….bla..bla..bla…”. Nanti
pertanyaan-pertanyaan itu disampaikan oleh papaku dan aku tinggal tunggu jawabannya
di rumah.. J
Sudahlah, saya bingung mau ngomong apa. Intinya kemarin
ketika mudik sehari, siangnya saya sempat dimintai tolong teman untuk bantu
fundraising untuk pembangunan sebuah masjid di daerah Tegal Barat. Sore sampai
malamnya, saya banyak berinteraksi dengan takmir-takmir mushola di sekitar
rumah. Mudik yang menyenangkan. J
Purwokerto, 22 April 2013
No comments:
Post a Comment