Pages

Wednesday, April 24, 2013

Menyoal Marwah Dalam Produk Kemanusiaan Hingga Peran Jurnalisme Warga

#Sebuah Catatan Diskusi
Karena kita sebenarnya tak akan pernah benar-benar bisa memahami arti tangis dari seorang yang tertolong, apakah tangis haru, bahagia atau justru tangis malu. Maka terlalu riskan untuk menjadikan tangisan sebagai sebuah tontonan. Dimanapun, tangis akan terasa menyesakkan.

Prologue : Mungkin saya perlu membuat disclaimer terlebih dahulu, bahwa catatan ini dibuat tidak bermaksud untuk menyinggung insan media manapun. Kalaupun ada sesuatu yang terasa menohok, yakinlah bahwa tulisan ini juga muncul karena ketertohokan diri saya sendiri.. Ketertohokan yang membuat jemari ini ingin menari untuk berbagi. Mungkin sesekali biarkan saja setiap rasa sakit akibat ketertohokan menjadi sebuah media penyuci jiwa dan refleksi atas apa yang telah kita perbuat.

Kemanusiaan adalah sebuah hal yang agak rumit, menurut saya. Disana ada kata “manusia” berimbuhan ke-an. Perihal manusia yang di-katabenda-kan. Segala hal tentang manusia. Sebuah kata yang tentunya disana harus memposisikan manusia sebagai sebenar-benarnya manusia. Saya tidak tahu persis apa arti kata kemanusiaan dalam kamus. Jika kemanusiaan identik dengan sebuah aktivitas saling mengasihi antar sesama, maka disana pula lah kita akan melihat keseteraan manusia tanpa perlu melihat siapa yang mengasih dan dikasih. Kerumitan dalam urusan kemanusiaan yang sangat sensitif inilah yang membuat saya bicara agak prinsipil bahwa dalam setiap aktivitas atau karya yang mengatasnamakan kemanusiaan ada sisi etis yang tidak bisa kita terobos begitu saja.

Ketika saya ditanya kenapa di tulisan saya tidak dituangkan saja semua data-data, sehingga data dilawan data, bagi saya ini tidak etis untuk urusan kemanusiaan (toh di tulisan saya sudah jelas beberapa koreksi data dan pertanyaan yang ada, tapi teman-teman jurnalis hanya fokus pada "kecurigaan" yang dianggap sebagai "tuduhan" ) . Saya hanya ingin mengisahkan marwah seorang pakdhe atau Uwak dari bocah bernama Tasripin. Kalau ini bukan bergenre kemanusiaan, tentu saja komparasi data atau kesalahan akan bisa saya beberkan semuanya dengan mudah. Itulah yang menjadi pucuk kegalauan saya ketika akan menuliskan catatan dibeberapa hari yang lalu. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa pemberitaan yang berlebihan akan sangat mengusik marwah seorang Tasripin dan keluarganya. Jika saat ini yang merasa terusik adalah Uwak-nya, maka tak menutup kemungkinan suatu saat ketika Tasripin besar nanti ada sebuah traumatik sendiri bahwa ia pernah menjadi tokoh utama dalam sebuah feature kemanusiaan. Tasripin akan sampai pada usia dimana ia menyadari bahwa kemiskinannya telah menjadi tontonan ratusan juta orang. Tasripin seberapapun tangguhnya ia, masih memiliki wali yang perlu kita hormati. Maka memang saya mempertanyakan ketidakikutsertaan uwak dan keluarganya dalam pemberitaan itu. Meski tidak secara legal formal, semestinya perlu semacam “izin” dari wali untuk menyuarakan ketidakberdayaan Tasripin itu. Semoga itu sebuah hal yang memang sudah dilakukan oleh para pewarta.

Karena ketika para jurnalis merasakan sebuah kebanggan bahwa pemberitaannya bisa menarik perhatian para punggawa pemerintahan, ketika jurnalis bangga hasil karyanya sampai membuat presiden memberi perhatian langsung, lalu apa yang menjadi kebanggaan bagi seorang Tasripin? Apa yang menjadi kebanggaan bagi pak Suwito?Apakah ditengok pejabat karena kemiskinan adalah sebuah hal yang membanggakan?Silakan tanya kepada hati nurani sendiri. Ketika seorang wartawan foto berhasil mendapatkan sebuah penghargaan atau menang lomba atas sebuah potret bertema kemanusiaan, ia bangga, tapi kebanggaan apa yang kemudian didapat oleh objek fotonya?! Kemiskinan yang dipertontonkan secara vulgar?! Ini dilematis yang tak tak berujung, memang.

Kalimat-kalimat tersebut biasanya juga saya tanyakan pada diri sendiri ketika usai mencapai targetfundraising. Kantor saya tempat bekerja punya target-target kerja penerimaan. Ketika saya bangga bisa menggalang sesekian banyak dana, ketika saya berhasil menggaet seorang donatur besar, mungkin sedikit terselip bangga, tapi apa yang kemudian menjadi kebanggan bagi para penerima manfaat? Marilah kita menjaga marwah mereka dengan sebaik-baiknya perlakuan. Kalau kita tidak bisa menolong dan memberikan bantuan materi, mari kita bantu dengan menjaga harga diri mereka. Tasripin telah mulia dengan bekerja, tidak meminta-minta, kenapa kemudian dikonstruk dalam sebuah kisah yang membuatnya secara tidak langsung menjadi meminta?

Karena kita sebenarnya tak akan pernah benar-benar bisa memahami arti tangis dari seorang yang tertolong, apakah tangis haru, bahagia atau justru tangis malu. Maka terlalu riskan untuk menjadikan tangisan sebagai sebuah tontonan. Dimanapun, tangis akan terasa menyesakkan.

Lalu, muncul pertanyaan, kalau tidak ada publikasi bagaimana kemudian bisa terkumpul solusi?! Bagaimana kemudian melakukan pemberitaandengan tetap menjaga harga diri yang diberitakan. Ini juga jadi pertanyaan saya sendiri.hehehe. Pointnya adalah terus belajar, berusaha memperbaiki kualitas kita dalam mewartakan sesuatu. Dan disinilah kemudian media lokal dan jurnalisme warga punya peran besar.

Satu point yang menarik dari Bu Tyas tadi malam juga bahwa bagaimana penanganan permasalahan-permasalah an gender dan anak harus mengoptimalkan peran lingkungan dan keluarga. Media sebagai kontrol sosial, itu juga penting. Dalam kondisi ketika masalah sudah tidak bisa ditangani oleh lingkungan sekitar, maka memanggil media kadang menjadi "media terakhir" sebagai solusi. Menarik juga yang diungkapkan oleh Eyang Nardi bahwa kasus Tasripin tidak akan mencuat ketika unsur-unsur birokrasi menjalankan tupoksinya, seperti di tingkatan RT RW dan perangkat desa. Maka, menjadi klop ketika sebuah diskusi muncul juga (yang bertajuk promo) dari teman-teman GDM (Gerakan Desa Membangun) tentang jurnalisme warga.

Saya teringat bahwa uwaknya Tasripin, pakBau, dan pak Zayin bahkan awalnya tidak ngeh bahwa Tasripin sudah masuk Koran dan tv. Mereka tahu setelah heboh pemberitaan tasripin. Ada akses media yang tidak terjangkau oleh mereka. Saya membayangkan jika kasus Tasripin diangkat oleh warga dusun pesawahan sendiri melalui media yang mereka miliki disana. Kemampuan jurnalistik akhirnya bukan menjadi monopoli jurnalis konvensional yang memiliki media besar. Tentu saja pemberitaan akan lebih kuat “sense”nya jika itu diangkat oleh orang yang ada di sekitar Tasripin sendiri. Maka menjadi penting bahwa media-media lokal perlu digiatkan, ketrampilan-ketrampilan jurnalistik perlu dimiliki oleh warga. Nantinya radio-radio pedesaan, atau koran desa dapat berperan juga sebagai kontrol sosial. Lingkup penyebarluasannya tidak sebesar media lokal kabupaten/provinsi atau nasional. Untuk persoalan-persoalan kemanusiaan, ini akan lebih menjaga harga diri dari tokoh dalam kisah. Soalnya kalau kita menilik seperti kasus Tasripin, konon warga desa Gunung Lurah itu adalah mayoritas warga yang berkecukupan. Hanya dusun pesawahan saja yang memang aksesnya susah karena keterbatasan infrastruktur. Kalau bahasa teman saya : itu desa yang makmur jibar-jibur.. :D

Jadi menarik sekali penguatan media literasi di masyarakat desa dengan menciptakan media-media lokal, ketrampilan jurnalisme warga yang nantinya juga dibuat jejaring. Nanti ada situs jejaring sosial antar desa. Sama halnya ketika Mark Zuckerbergh pada awalnya hanya berniat untuk membuat jejaring sosial di tingkatan kampus lama-kelamaan mendunia. Saya pikir sama saja, kita perlu menggagas jejaring media antar dusun, antar desa. Media yang benar-benar menjangkau tingkatan grasroot, jadi berita-berita yang muncul juga akan muncul dari masyarakat sendiri, kayaknya itu lebih punya “sense” sendiri. Mereka menuliskan apa yang ada di sekitar dan menyuarakannya ke khalayak. Kemudian menjadi kontrol sosial dan pengakselerasi solusi-solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Epilogue : Nampaknya catatan ini sudah terlalu panjang. Akhir kata, diskusi tadi malam tentang “Cerita di Balik Tasripin” meninggalkan banyak PR untuk kita semua. Terimakasih kepada AJI Kota Purwokerto yang telah memfasilitasi diskusi tersebut. Semoga tak lekas lekang dari ingatan bahwa kita semua punya tanggung jawab yang sama dalam penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan. Kita sepakat bahwa permasalahan Tasripin hanyalah pucuk gunung es.Tanpa menafikkan tanggungjawab negara, memang sudah saatnya kita semua turun tangan , bukan tunjuk tangan, berbuat dengan porsi dan kapasitasnya masing-masing. Tabik.

Kawasan Madrani, 24 April 2013
Ditulis disaat jeda antara adzan pertama dan adzan shubuh.
"Demi malam apabila berlalu, Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal? .." (89 : 4-5)










note : seusai diskusi, ternyata ada sepotong sms masuk yang terlupa saya baca, isinya : " kok wartawan sentimentil ya?"...ada kekhawatiran lunturnya modal sosial antar komunitas dan arogansi komunitas. Saya becanda dan bilang : "arogansi komunitas? semacam jiwa corsa wartawan ya?hehe". Tapi, lepas dari apapun yang muncul di diskusi tadi malam, saya memaklumi bahwa pekerjaan seorang jurnalis amat sangat berat. Saya angkat topi untuk profesi yang satu ini. Tapi, pahami bahwa saat ini kita ada di era informasi yang serba cepat dimana segala hoax sangat mudah untuk dikonsumsi, maka pengkritisan atas setiap pemberitaan itu wajar untuk dilakukan oleh pemirsa.
Title: Menyoal Marwah Dalam Produk Kemanusiaan Hingga Peran Jurnalisme Warga; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: