Pages

Saturday, April 20, 2013

KIsah Dibalik Kos-Kosan Mewah


"Ketika sebuah kamar bisa bernilai jutaan rupiah pertahun, didekatnya ada yang bahkan tak sejengkal pun memiliki tanah"

Pintu pos kamling itu tertutup rapat, cahaya lampu di dalam meyakinkan kami bahwa ada orang didalamnya. Ada kekhawatiran bahwa penghuni di dalamnya sudah tertidur lelap. Penghuni? Ya, pos kamling itu berpenghuni. Kalau di lokasi lain, pos kamling adalah tempat berkumpul para petugas ronda, tapi disini pos kamling menjadi tempat tinggal, untuk makan – tidur dan aktivitas keseharian lainnya. Tak lebih dari tiga kali kami mengetuk pintu , seberkas sinar menyeruak dari dalam pos kamling. Pintu terbuka hanya memberikan celah. Tak bisa dibuka sempurna karena terganjal sebuah kasur. Ah, benar..sepertinya sang penghuni sudah hendak ke peraduan. Semoga kedatangan kami tak mengganggu.

Setelah kasur digulung, kami berdua pun bisa masuk ke ruangan 2 x 1 meter tersebut. Menghindari kecanggungan sang “tuan rumah”, kami enjoy saja duduk di satu kursi reyot di samping kasur. Hanya ada satu kursi, kasur, meja, dan satu lemari. Pos kamling yang memang sudah tak cukup aktif difungsikan sebagai fasilitas pengontrol keamanan warga masyarakat, semenjak delapan bulan terakhir menjadi “rumah sementara” bagi mbah Karsitem.

Hidup ini memiliki hukum kesetimbangan. Dibalik gemerlapnya kota besar, selalu ada pemukiman kumuh yang tersimpan di sudut-sudutnya. Begitu pula yang mungkin terjadi di sebuah lokasi kompleks rumah kos “kelas eksekutif” di bilangan Grendeng-Purwokerto ini. Dibandingkan dengan sudut area yang lain, Jl.H.Madrani memiliki kategori menengah keatas. Standart sewa atau kos di kawasan ini lebih tinggi dibandingkan daerah disekelilingnya. Satu menara masjid menjulang tinggi, menunjukkan sebuah cita-cita peradaban yang juga harusnya juga tinggi dan meninggikan. Namun, dibalik kawasan yang dianggap “ideal” tersebut, kami dianugerahi sosok seperti mbah Karsitem, yang karena berbagai kisah kesendiriannya kini harus pasrah tinggal di pos kamling.

Dulu, mbah Karsitem memiliki tempat tinggal yang berdiri diatas tanah orang. Sebentuk gubuk sederhana. Disanalah ia pernah tinggal bersama sang suami. Tanpa dinyana, garis hidup menuntun mbah Karsitem untuk kehilangan suaminya pada tahun 2006 silam. Pria yang dicintainya itu meninggal dunia dan membuat kesendirian mbah Karsitem semakin mendalam karena memang mereka tidak dikaruniai seorang anak pun.

Mbah Karsitem masih terus optimis bahwa dia bisa menjalani hari-hari dalam kehidupannya dengan baik. Pun hingga pada Ramadhan tahun 2012 kemarin, ia harus meninggalkan rumah pinjamannya tersebut karena sang empunya tanah meminta miliknya. Sang pemilik tanah sebenarnya tak merasa masalah jika mbah Karsitem ingin tetap tinggal disitu dengan syarat membayar uang kontrakan sebesar Rp 300.000,- / tahun . Tidak besar memang, tapi bagi seorang perempuan tua 70an yang hidup sendiri tanpa keluarga , tanpa penghasilan, tentu saja nominal itu sangat besar.

Akhirnya, mbah Karsitem meminta tolong kepada pak RT untuk diijinkan tinggal di pos kamling. Awalnya banyak pihak keberatan dan mempertanyakan. Keberatan dalam arti mempertanyakan apakah serius mbah Karsitem mau tinggal di pos kamling?! Bahkan beberapa ada yang sampai memberikan cerita horor tentang pos kamling tersebut. Tapi toh sikap keberatan itu tak bersifat solutif, mbah Karsitem cuma butuh tempat tinggal, apa dan bagaimanapun kondisinya. Toh nyatanya, tidak ada satu orang pun yang bersukarela untuk menyediakan tempat tinggal.

Akhirnya, sejak Juli 2012 kemarin pos kamling RT 4 RW 8 itu resmi “berpenghuni”. Mbah Karsitem mengisi ruang sempit itu dengan kasur dan beberapa peralatan pribadinya. Termasuk diantaranya sebuah radio tua yang sudah dimilikinya sejak tahun 90an. Meski sudah tua, radio itu masih menjalankan fungsinya. Masih ada suara-suara yang tertangkap dari lintasan gelombang di udara. Bagi mbah Karsitem, menurutnya : “setidaknya ada ‘suara’ yang menemaninya sehari-hari sehingga ia tak kesepian”.

Ketika mbah Karsitem bicara demikian, ada yang seolah menyilet urat hati ini. Seperti apa rasanya hidup berteman sepi. Kalau anak-anak muda , kesepian dikit sudah galau, pernahkah membayangkan kesepian yang dirasakan oleh mbah Karsitem??! Mendengar celoteh dan tawa mbah Karsitem akan membuat kita selalu teringat dengan orang tua dan keluarga. Sudahkah rasa syukur kita implementasikan dengan mengasihi mereka yang memang menunggu rangkul peluk kita?!


Senja Purwokerto, 20 Maret 2013, hujan deraaas...
Title: KIsah Dibalik Kos-Kosan Mewah; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: