(ternak = anter anak.red)
Pagi tadi, seusai olahraga pagi, saya dimintai
tolong untuk mengantar Sofi dan Sayyid ke sekolah. Kebetulan kalau ustadz Sofwan
sedang keluar kota, saya memang sering dimintai tolong untuk itu. Bagi saya, aktivitas-aktivitas
seperti ini punya kesan tersendiri. Mengantarkan anak ke sekolah. Tentu kalo
sekarang bukan anak saya sendiri. hehe. Selain hal teknis seperti harus
memboncengkan dua anak kecil dan tidak bisa ngebut.. :D , yang menarik bagi
saya adalah ketika sudah sampai di sekolah. Saya bukan petugas antar jemput,
jadi memang kewajiban saya bukan sekedar untuk mengantarkan anak sampai
sekolah. Dik Sofi dan Sayyid (nuna) sudah seperti keluarga saya sendiri di
Purwokerto ini, maka yang saya rasakan adalah saya harus benar-benar
“mengantar” kedua adik tersebut. Selain menjaga keselamatan hingga sekolah,
juga ketika sudah sampai di sekolah, sebaiknya jangan langsung ditinggal.
Minimal kita benar-benar melihat si kecil sudah bertemu dengan guru yang akan
menjadi orang tua sementara mereka di sekolah. Saya perlu benar-benar tahu
bahwa Shofi ketika sudah sampai di TK Al-Irsyad, ia siap untuk belajar bersama
teman-temannya, masuk ke sekolah dengan riang, dan guru-gurunya juga siap untuk
menjadi orangtuanya selama beberapa jam kedepannya. Begitu juga dengan Nuna
yang masih bersekolah di Paud, kalau ini saya perlu mengantarkan benar-benar
sampai ruang kelas dan bertemu dengan guru-gurunya.
Aktivitas seperti ini membuat saya berpikir
tentang peran orangtua dan sekolah. Pendidikan bagi anak-anak paling utama
adalah di keluarga. Tidak berlebihan jika seorang ibu disebut sebagai madrasah
pertama bagi anak-anaknya. Maka, institusi pendidikan seperti sekolah sebenarnya
hanya bersifat membantu penyelenggaraan pendidikan secara formal diluar rumah,
untuk membantu anak belajar bersosialisasi. Tanggungjawab ortu bukanlah
menyekolahkan anak-anaknya, tapi memastikan bahwa anak-anaknya mendapat
pendidikan yang tepat, salah satunya dapat berupa bentuk mempercayakan sekolah
sebagai “partner” pendidikan. Dari mulai memilih sekolah hingga mereview
aktivitas anak-anak di sekolah, merupakan bagian dari tanggungjawab ortu. Seperti
setiap mengantarkan anak ke sekolah, itu adalah moment berharga bagi ortu untuk
bisa meyakinkan putra-putrinya bahwa mereka masih dalam pengawasan ortu.
Kecuali ada kendala teknis, mengantar / melepas anak ke sekolah haruslah
menjadi waktu berharga seperti seorang ayah melepas anak gadisnya untuk
dipinang. *halah, rada lebai yak*. Kalau saya punya anak dan nantinya harus
sekolah diluar rumah (saya tentunya juga bisa nanti punya pilihan untuk homeschooling) , atau kalau sekolahnya terpaksa
harus di lokasi yang jauh dari rumah, saya akan berusaha selalu standby untuk mengantarnya.
Saya mungkin tidak punya banyak teori tentang
pendekatan ortu dalam proses pendidikan anak-anaknya. Tapi, saya mungkin punya
kesan yang ingin dishare tentang hal itu. Sejak kecil, saya sangat jarang
merasakan sekolah diantar oleh ortu. Lepas dari masalah bahwa papaku sibuk,
ortuku cerai, ataupun masalah teknis seperti jarak sekolahku yang dekat, kesan-kesan
saat kecil dulu membentuk sebuah opini tersendiri tentang pentingnya ortu
melakukan aktivitas ternak (anter anak). Konotasi akronim nya rada nggak enak
ya??hehe. Tapi jangan diambil masalah deh, biar lebih santai aja.
Dulu saya sempat mengenyam pendidikan
prasekolah atau Taman Kanak-Kanak di sebuah TK Aisyiyah Bustanul Athfal 5 (ABA
5). Yang saya ingat adalah, ketika semua teman-teman saya diantar jemput oleh
orang tuanya masing-masing, saya malah diantar-jemput oleh tukang becak, setiap
hari. Saya masih ingat sekali pada Pak Thoyib (bukan judul lagu ya), tukang
becak langganan saya yang selalu standby pukul tujuh pagi (padahal saya
berangkat pukul7.30an) di depan rumah. Kemudian berlanjut saat SD, saya
mempunyai satu moment yang sangat indah yaitu ketika Papa bisa nganter ke sekolah saat pendaftaran.
Wah, itu sangat menyenangkan. Saya menggenggam tangan Papa erat sekali sambil
banyak bertanya : sekolah SD tuh kayak apa? Ntar pas ndaftar disuruh nyanyi apa
nggak? Dan pertanyaan-pertanyaan khas
anak kecil lainnya. Papa juga menjawabnya dengan antusias dan bilang : “nanti
kalau nta disuruh nyanyi, yang keras ya, biar papa denger”. Nice!!! Aku masih
menyimpan erat semua kenangan itu, pa. Tapi sayangnya itu hanya terjadi satu
kali.hehe. Selanjutnya saya terbiasa dengan “antar jemput” yang lain. Entah itu
diantar nenek, becak, tetangga, atau saudara. Papaku dulu pedagang, jadi sering
keluar kota untuk cari barang dan lain sebagainya. Saya banyak kehilangan sosok
orang tua saat kecil. Saya masih ingat sekali, saya pernah menunggu ayah pulang
hingga larut malam dan menangis. Saya juga tidak tahu kenapa waktu itu saya
menangis. Mungkin ekspresi kerinduan yang teramat sangat. Ada beberapa moment masa
kecil yang entah kenapa saya masih merekamnya jelas. Tapi bukan itu yang ingin
saya share disini.hehe. Itulah kenapa saya sungguh mencintai almarhumah nenek.
Beliau lah yang menemani saya di hari pertama saya masuk sekolah SD. Saya
memang bukan anak cengeng, saya nggak masalah ketika sekolah tidak ditungguin
oleh orang tua. Tapi, masuk ke dunia sekolah untuk pertama kalinya, saya merasa
harus mendapat support dari orang terdekat dan itu saya dapatkan dari nenek.
*Teriring doa untuk kelapangan kubur nenek tercinta*.
Berlanjut saat SD, mulai kelas dua saya sudah
berangkat dan pulang sendiri tanpa harus diantar. Beruntungnya, saya bersekolah
yang dekat rumah dari SD hingga SMA, tak pernah lepas dari Jl.Menteri
Soepeno.hehe. Tapi memang menyenangkan bisa berangkat dan pulang sekolah bareng
teman-teman. Oya, moment indah juga adalah dulu masih sering berangkat sekolah
bareng mas ardan, kakak kandung saya. *ah, aku kangen kamu mas, kemarin pasti
habis rapat sampai larut lagi ya? YMnya aku cek masih on sampai malam. GBU*.
Sampai SMP, kebiasaan ini masih kadang-kadang berjalan. Tapi lebih seringnya
memang aku berangkat sendirian. Aku suka bosan kalau berangkat lewat jalan yang
itu-itu saja. MasDan selalu konsisten berangkat lewat barat sekolahan atau
melewati kolam renang Samudera. Sedangkan saya, selalu berganti-ganti rute.
Kadang lewat barat, kadang lewat timur, kadang juga lewat jalan pintas melalui
wisma smansa. Pernah suatu pagi saya tertabrak sepeda motor saat berangkat
sekolah. Waktu itu saya masih kelas 4SD. Kejadiannya di selatan gedung smansa,
waktu itu tubuh saya terseret sekitar 5-7meter. Katanya sih, saya terlalu aktif
pas jalan kaki, sambil loncat-loncat dan nyanyi-nyanyi segala, jadinya nggak
sadar hampir ke tengah jalan dan tertabrak. *hemmh,,itu sih alibi orang yang
nabrak aja, padahal aku ditabrak saat mau nyebrang.hehe*. Waktu itu lumayan
lah, sampai dapat banyak jahitan di dahi, dagu, dan tangan. Lucunya, kejadian
kecelakaan itu diumumkan di upacara bendera. Walhasil, siangnya anak-anak
sekelas semuanya pada datang ke rumah. Nggak cuma sekelas, tapi teman-teman
kelas lain juga datang.ha3. Lucu-lucu waktu itu, namanya juga anak kecil,
nengok orang sakit malah kayak maen. :D
Tapi kejadian kecelakaan itu tidak membuat
saya kemudian berangkat sekolah jadi diantar. Hanya saja, mas ardan jadi selalu
nungguin saya dan menemani saya berangkat. Makasih mas ^_^.
Selain bahwa saya tidak pernah punya
pengalaman berangkat sekolah dianter ortu, saya juga tidak pernah punya kesan
tentang mencium tangan ortu saat berangkat sekolah. Ini beneran. Saat kecil,
saya tidak punya kebiasaan itu dirumah. Mungkin karena dulu waktu saya sekolah,
ayah masih pada posisi yang sangat sibuk di usaha dagangnya. Pukul setengah
tujuh, sudah cek semua mesin fotokopi. Saat saya berangkat, toko sudah ramai.
Mana mungkin kami punya kesempatan untuk sarapan bareng atau sekedar cium tangan.
Bahkan untuk uang saku, kami punya kebiasaan untuk ngambil sendiri diatas
televisi atau di meja. Jadi setiap pagi, untuk mengecek apakah saya atau mas
ardan sudah berangkat atau belum, itu tinggal cek saja uang saku diatas tv
sudah diambil apa belum.hehe.
Nah, bagi saya, kesan-kesan seperti ini
menjadi pelajaran tersendiri. Entah dalam bahasa psikologisnya apa, tapi kesan
yang saya dapatkan justru membuat saya ingin melakukan hal sebaliknya yang
lebih baik kepada adik-adik atau nanti kepada anak-anak saya. Saya dulu sering
jemput adik saya saat mereka pulang dari TK. Saya selalu berusaha menyempatkan
diri mengambil raport adik-adik, pun harus bela-belain pulang dari Purwokerto.
Saya ingin merasakan bahwa mereka punya keluarga, karena saya pernah merasakan
punya pengalaman, nggak ada yang bisa ambil raport saat SMA, padahal rumah saya
dekat. Saya lupa waktu itu kenapa. Tapi yang pasti, beberapa kali saya harus
mengambil raport sendiri. Malah pernah diambil juga oleh teman saya yang
mahasiswa UPS, yang oleh wali kelas itu dikira pacar saya. Haaaiiyaaaah...
nggak penting banget. Tapi mas Agus itu emang care ( dan cakep juga.hehe) dan
dulu kami memang sering jalan bareng, entah ke kampus dia atau ke toko buku.
Tapi, bukan pacaran kok. Hanya teman. Thanx ya mas ^_^.
Kembali ke topik, menurut saya peran ortu
dalam pendidikan itu penting sekali. Saya kadang mikir, bahwa sekolah itu lama
kelamaan hanya sekedar konstruk sosial saja dan bukan benar-benar sebagai
sebuah bagian dari upaya pendidikan. Orang tua menyekolahkan anaknya karena itu
sudah jadi tuntutan sosial, bahwa anak-anak ya harus sekolah. Berangkat tiap
pagi, pulang siang (bahkan sore), ada PR, tugas, terima raport, ujian,
kelulusan, dan lain-lain. Kemudian selepas sekolah ke jenjang berikutnya,
kerja, menikah, begitu seterusnya menjadi sebuah siklus hidup. Mungkin karena
kita saat ini hidup di zaman yang sekolah itu menjadi sebuah hal yang “biasa” (walaupun
masih ada juga orang-orang yang tidak bisa bersekolah). Bayangkan ketika jaman
dahulu, saat sekolah belum menjamur seperti sekarang. Bersekolah benar-benar
sebuah perjuangan. Jumlah sekolah yang sedikit dan tidak semua bisa merasakan
bangku sekolah, hanya orang-orang dari keturunan tertentu saja yang bisa
bersekolah. Di sisi lain, saat itu pendidikan luar sekolah menjadi
dioptimalkan. Anak-anak yang tiap pagi ikut orang tuanya bekerja di sawah,
ladang, membentuk sebuah pola pendidikan tersendiri antara ortu dan
anak-anaknya.
Ini hanya pendapat sederhana saja. Tapi
mungkin cara pandang saya juga dipengaruhi bahwa saya belum melihat banyal hal
yang ada. Kalau dulu saya sempat “diomelin” sama seorang senior di sebuah
diskusi di situs jejaring sosial, bahwa saya sering ngomong muluk-muluk karena
saya tinggal pada kondisi yang enak, di pulau Jawa dengan segala fasilitas
bagus, tidak pernah merasakan panasnya aspal secara langsung karena harus
bertelanjang kaki seperti anak-anak di pedalaman. *siapa lagi yang negur kayak
gini kalau bukan mas anam.hehe* Teguran itu masih terus ngena di hati saya.
Minimal, saya diingatkan untuk selalu bersyukur dan bisa belajar serta melihat
lebih luas lagi. Walaupun saya juga merasakan sekali yang namanya “perjuangan
hidup”, saya bukan dari golongan orang berada, tapi jangan terlalu
self-centered. Maka, kadang saya lebih suka pada sudut pandang-sudut pandang
yang empiris. Ahli pendidikan bisa ngomong panjang lebar bahwa sekolah harus
peka TI dan lain sebagainya, tapi mereka nggak pernah tahu bagaimana susahnya
anak-anak di desa bahkan untuk sekedar mengakses buku pelajaran. Maka, saya
juga saat ini lebih suka untuk mengeksplorasi tempat-tempat yang mungkin jauh
di pelosok, dimana saya bisa mendapatkan pelajaran yang lebih banyak dan lebih
nyata.
Sama juga dengan topik yang ingin dibahas pada
saat ini. Para ahli parenting mungkin bisa menggelontorkan banyak teori tentang
peran ortu dalam pendidikan keluarga. Tapi saya kok cenderung tidak yakin
apakah mereka sebatas kutip teori saja atau bagaimana ya?! Saya mungkin lebih
suka belajar dari kasus. Minimal apa yang kemudian pernah saya rasakan bisa
dianalisa dan diambil pelajaran. Kebetulan saja saya punya kisah yang seperti
ini, saya yakin teman-teman lain punya perjalanan hidup yang didalamnya sarat
pelajaran. Dari hal-hal sepele seperti pengalaman berangkat sekolah, tiap orang
pasti punya sensasi tersendiri dan kemudian membentuk persepsi masing-masing.
Jadi mungkin, kalau saya kadang share tentang perjalanan hidup, sebenarnya tak
ada maksud untuk curhat colongan atau mengeluh. Sebatas berbagi kesan dan saya
lebih senang ketika nanti ada diskusi lanjutan. Kalau masalah garis hidup,
nasib, perjalanan, dan lain-lain itu sampai bagian dari kesendirian kita
masing-masing—itu kata Chairil Anwar—kalau aku tambahin, itu bukan hanya kita
sendiri..tapi ada tangan Tuhan disana. J
Lepas dari bahwa saya tak pernah merasakan
yang namanya dianter ortu atau mencium tangan ortu saat berangkat sekolah, ayah
saya tentu saja punya karakter sendiri dalam metode pendidikan di keluarganya.
Papa selalu menekankan kepada saya untuk tidak hanya belajar dari lembaga
formal seperti sekolah. Selain itu, beliau selalu ingin anaknya punya prestasi
yang menonjol. Memang ada sedikit arogansi disini. Tapi, saya pikir semua ada
negatif dan positifnya. Setidaknya pada saya dan kakak saya, ayah selalu
meminta kami untuk masuk ranking, untuk jadi anak-anak pintar dan nggak
malu-maluin. Hal inilah saya pikir sebagai motif ayah untuk menyembunyikan
segala rahasia tentang ibu kandung saya, hingga tidak mempertemukan kami semua.
Papa nggak pengen anak-anaknya minder sebagai anak dari keluarga yang broken
home. Papa mengajari saya untuk bersikap bukan sebagai orang yang lemah, saya
harus bisa membuktikan bahwa saya bisa. Beliau akan sangat marah kalau tahu
kami--anak-anaknya—tidak berprestasi di sekolah. Misalnya saat tahu bahwa kakak
saya belum bisa mengikuti pelajaran di SD dan raportnya kebakaran (banyak
merahnya). Guru les didatangkan dan saya juga yang waktu itu belum masuk usia
sekolah jadi ikut les juga. Walhasil, sebelum masuk TK saya sudah lancar
baca-tulis, kakak saya semenjak kelas empat SD hingga SMA dan kuliah selalu
dapat ranking tiga besar, cumlaude. Dia memang selalu cemerlang di akademisnya.
Saya sendiri sih nggak pinter-pinter
banget, berhenti masuk sepuluh besar semenjak kelas dua SMP. Dan itu jelas
diomelin Papa. Bahkan ketika saya masuk jurusan IPS, saya dapat kemarahan yang
cukup “dalem”. Untungnya saya punya prestasi diluar akademik. Prestasi mbolos
misalnya, hehe. Nggak ding, maksudnya saya kadang bisa punya prestasi diluar
pelajaran sekolah. Tapi tetap bahwa saya dulu menjadi anak yang kerap menjadi
sasaran kemarahan ayah karena prestasi akademis yang kurang bagus. Tapi selepas
dari SMA, ayah melunak, dan kami sering sekali berdiskusi tentang pendidikan.
Lebih tepatnya, saya yang selalu memancing ayah untuk berdiskusi banyak hal
termasuk tentang pendidikan. Saya belajar bahwa orang-orang berkarakter koleris
seperti beliau harus ada penawar yang membuatnya bisa berbagi banyak hal. Yeah,
5-6tahun terakhir, Papa justru lebih seperti sahabat saya. Kami sering berbagi
banyak hal, terkecuali satu point yang terus masih beliau simpan rapat-rapat
dari saya, bahkan hingga beliau tiada..yaitu kisah tentang ibu..^_^
Terkadang ada yang pernah nanya juga sih : “lo
nggak “kesel” sama ortu dengan segala cerita masa lalu lo shin??” Guys, sejarah itu dipelajari untuk diambil
hikmahnya, bukan untuk diambil sisi dendamnya. Misalnya, kita belajar bahwa
Indonesia pernah dijajah, semua itu bukan untuk membuat kita memusuhi Belanda,
Portugis, atau Jepang, tapi kita belajar bahwa penjajahan itu hanya akan
merugikan banyak pihak. Atau ketika kita belajar tentang perlawanan orang-orang
yang tidak suka pada Islam, bukan untuk mendendam kepada mereka, tapi untuk
belajar bahwa dakwah itu perlu pengemasan komunikasi yang lebih luwes lagi.
Kalau kita belajar justru untuk menumbuhkan kebencian, maka itu adalah doktrin,
bukan sebuah proses pendidikan sadar.
So, saya ingin belajar minimal juga dari kisah
hidup saya sendiri, kalau saya pernah merasakan nggak enaknya dicuekin sama
orang-orang terdekat, maka saya harus belajar untuk bisa menumbuhkan banyak
empati kepada orang-orang sekitar. Nah, ini kadang rada bertentangan dengan
teori bahwa : pola pendidikan di rumah bisa mempengaruhi pada karakter anak,
maksudnya kalau ortunya cuek, maka anaknya pun apatis terhadap lingkungan. Mengambil
dari pepatah : “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Tapi, kita kan bukan buah??!!.hehe.
Bisa nggak kalau kemudian justru teorinya dirubah bahwa anak-anak dalam proses
pendewasaannya akan belajar untuk menerapkan kondisi yang lebih baik lagi
dibanding dengan apa yang pernah dialaminya. Misalnya, kalau anak-anak pernah
dibesarkan dalam kekerasan, maka mereka sebenarnya justru akan belajar banyak
hal tentang kelembutan. Ini akan kembali lagi pada pada proses perkembangan
anak saat menjadi “baligh” disana akan belajar untuk bisa membedakan mana yang
baik dan tidak baik. Itulah kenapa pendidikan agama perlu diterapkan sejak
kecil, karena itu akan menjadi “bahan bakar” saat proses baligh nanti, sehingga
akan terbentuk sebuah sistem kekebalan terhadap hal-hal yang negatif.
Pendidikan agama itu bukan sebatas belajar ngaji atau sholat ya. Wah, jadi
panjang kalau udah sampai sini.hehe
Ok, tulisan ini sudah terlalu panjang dan
tidak fokus. Berbagai ketidakfokusan dalam tulisan ini bisa menjadi turunan
tulisan-tulisan yang padat dengan berbagai tema. Itu tugas saya selanjutnya.
Selamat hari Rabu..^_^
11Januari2012 (kayak lagunya GIGI ya?? :p )
2 comments:
Tulisannya menarik banget... terutama kisah di awal yang membuat cepat untuk mengikuti... apalagi para bloger yang baca postingan orang lain biasanya seperti lari cepat saja..
namun tulisannya agak kepanjangan kali ya... he hehe..
...
ehm, soal ternak di atas, sepertinya aku punya pendapat sendiri...
aku lebih suka jalan sendiri atau dengan teman2, daripada yang model diantar seperti sekarang...yah, mungkin juga sekarang jalan terllau ramai, jarak sekolah jauh dan itu semua bisa jadi alasan..
yang bagus sih, anak bisa cepat belajar mandiri..tidak manja, mempunyai emosi yang bagus.. tidak seperti kebanyakan anak sekarang yang kadang terllau manja.. :D
Salam... ditunggu lagi tulisannya
mas andri... makasih udah maen..hehe.
*iya, saya kalau nulis emang keblabasan panjang lebar, jadinya panjang banget, makanya ajarin dong nulis cerpennya..:p (btw, kok sms-ku yang terakhir nggak terkirim ya mas?? kyaknya nggak nyampe deh).
*tentang manja...Hemmh., kalo anak-anak usia TK dan kelas satu SD kayaknya terlalu riskan deh mas kalo berangkat sekolah sendiri.
Kalau anak-anak sekarang berangkat sendiri dengan sopir, mobil jemputan , dll. Wah, mendingan dianter ortu sendiri dong mas..
Kecuali kalau mau naek angkot sendiri. Mungkin maksudnya manja itu kali ya??hehe.
Maturnuwun banget lho mas, ditunggu juga update blog-nya.. ;)
Post a Comment