Pages

Wednesday, April 01, 2009

Penyimpangan DPT : Pemilih Bagai Manekin

Menghitunghari di beberapa pekan terakhir menuju Pemilu 9 April 2009, suasana semakin memanas. Bukan sekedar saling adu sindiran antara pentolan partai, namun isu kekeliruan Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi episode dengan rating tinggi. Daerah timur pulau Jawa nampaknya tak bosan-bosannya membuat sensasi di fragmen bangsa ini. Setelah lepas dari kemunculan Ryan “tukang jagal” dan “sang bocah sakti” Ponari, provinsi Jawa Timur kini juga menjadi daerah pemicu adanya dugaan penggelembungan suara melalui penyimpangan DPT.

Kejadian ini memunculkan wacana pemunduran jadwal PEMILU. Dengan asumsi bahwa Pemilu ini tidak untuk menjadi bahan pertaruhan atas kehancuran bangsa lima tahun mendatang, usulan Pemilu diundur menjadi topik menarik untuk diangkat.
Mengenai DPT sendiri, tentunya telah melalui proses-proses yang telah diatur oleh KPU. Semenjak 5 April 2008, diawali dengan penyerahan Daftar Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh pemerintah (depdagri) kepada KPU. Berdasarkan data waktu itu, jumlah pemilih ada 154.741.787. Proses ini kemudian berlanjut pada 20 Juni 2008 melalui SK KPU no 139/2008 yang mencantumkan Daftar Oemilih Sementara 9DPS) sebanyak 174.410.453. Angka tersebut mengalami perbaikan pada 15 September 2008 dengan berkurang sekitar 2juta hingga menjadi 170.752.862. SK KPU mengenai DPT keluar tanggal 24 November 2008(setelah sebelumnnya sudah ada ketetapan no 383/2008 namun tanpa data pemilih dari Papua dan Luar Negeri yang belum masuk), dengan jumlah pemilih 171.068.667. Kemudian melalui keputusak KPU no 164/KPTS/KPU/tahun 2009, pada tanggal 7 Maret 2009, KPU mengumumkan DPT hasil revisi dengan jumlah pemilih menjadi 171.265.442 atau bertambah 195.775 dari jumlah sebelumnya (republika 23 Maret 2009).
Di beberapa KPUD, data DPT rupa-rupanya masih ada yang diambil berdasarkan teknis copy-paste dari data DPT Pilkada. Hal ini menjadi riskan kepada terjadinya penyimpangan, hingga muncul nama-nama “gaib” pada daftar pemilih tetap. Beberapa kasus penyimpangan yang menjadi modus antara lain, NIK dan nama sama; NIK dan TTL (Tempat Tanggal Lahir) sama; Usia dibawah 17 tahun dan belum menikah; usia nol atau sudah meninggal. Munculnya pengaduan atas kekeliruan DPT, dapat diambil beberapa analisa.

Pemasangan DPT di masing-masing kelurahan tentunya sudah harus dilakukan dari beberapa waktu yang lalu, namun dari pengaduan yang ada, tidak ada yang datang dari pemilih. Ini benar-benar menunjukkan tidak adanya antusiasme dari masyarakat mengenai penyelenggeraan Pemilu 2009. Tercantumnya nama diri di DPT merupakan sebuah hak politik dari setiap warga masyarakat. Sama halnya saat mencari pengumuman lolos seleksi CPNS dan sejenisnya, seharusnya pemilih juga berantusias untuk mengetahui apakah dirinya sudah ada di DPT atau belum.Ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan juga semestinya masyarakat lah yang pertama kali tahu mengenai hal itu, karena nama-nama yang dimanipulasi adalah nama-nama warga yang secara langsung mereka berinteraksidi setiap harinya. Namun, boro-boro mau ngadu.. ada atau tidak adanya nama mereka di DPT juga bodo amat.
Ini merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Selain mengkritik kinerja-kinerja KPU, mengadakan kampanye-kampanye besar-besaran, yang lebih penting diperhatikan adalah bagaimana membangun kesadaran kritis masyarakat akan pentingnya hak politik mereka. Pesta ini dibiayai dengan uanng rakyat, pesta ini untuk rakyat. Bukan berarti kemudian dihambur-hamburkan untuk mengadakan kampanye hiburan bagi rakyat, namun bagaimana pengelolaan dana ini menjadi agenda-agenda pendidikan politik bagi masyarakat. Kalau sekedar memberikan hal-hal manis pada masyarakat saat kampanye, itu tak lebih dari upaya pembodohan dan penistaan rakyat. Dan itu adalah hal terculas yang dilakukan di drama politik Indonesia!
Kehadiran Panwaslu memang cukup membantu untuk menertibkan pelanggaran – pelanggaran yang ada. Namun, jika sebatas permainan sepakbola yang mempertemukan 22 orang saja, memang cukup dengan satu wasit, tapi kalau untuk mengawasi ratusan juta pemilih, lebih dari 40 parpol, kehadiran panwaslu sebagai satu-satunya wasit menjadi terengah-engah dan kurang efektif. Wasit yang paling efektif adalah rakyat itu sendiri sebagai pelaku pesta demokrasi. Walaupun KPU udah banting tulang mempersiapkan logistik pemliu hingga berdarah-darah dan panwaslu juga sudah jatuh bangun, jika rakyat masih seperti “mayat hidup” terhadap pelaksanaan Pemilu, hal itu seperti menuli di atas air. Kinerja KPU dan Panwaslu memang patut diacungi jempol dan kita anugerahkan berjuta terima kasih kepada kedua lembaga tersebut. Namun, apa artinya jika sang pemegang kedaulatan suara apatis terhadap semua itu?
Gerakan pemilih cerdas merupakan sebuah agenda besar, PR utama bagi para pelaksana Pemilu, baik itu KPU, Panwaslu, dan tak kalah pentinya yaitu partai polotik. Kalau memang hak suara bukan dianggap sebagai sebuah hak dasar, ya udah nggak usah ada Pemilu saja!!! . Biarkan saja pemerintahan dilakukan dengan model aristokrat tanpa pemilihan umum, sehingga tidak menjadi demokrasi yang dipaksakan bukan atas kesadaran…begitukah???sedemikian parahkah kondisi kesadaran kritis masyarakat Indonesia?
Jika memang penegakan demokrasi menjadi tujuan kita bersama, mari kita melihat titik point yang urgent. Bukan sebatas pada pengkritisan kerja-kerja teknis pemilu atau bahkan saling sikut untuk berlomba memberikan sindiran terpedas kepada lawan politik, namun bersama-sama membangun pencerdasan masyarakat. Ketika tujuan Pemilu ini tulus untuk pendewasaan politik rakyat, maka seharusnya agenda-agenda yang dirancang adalah agenda pencerdasan , sehingga rakyat akan proaktif dengan posisinya nanti sebagai pemilih, sebagai “aktor utama”, peserta VVIP dalam pesta demokrasi besok. Mari sukseskan Gerakan Pemilih Cerdas Untuk Pemilu 2009! (nta)
Title: Penyimpangan DPT : Pemilih Bagai Manekin; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: