Pages

Wednesday, April 01, 2009

Kampanye dan Perempuan

Tahap kampanye menjelang pemilu legislatif 2009 telah menginjak pada tahapan untuk melakukan kampanye terbuka. Pada fase ini, tiap partai politik sebagai mesin demokrasi diberi kesempatan untuk melakukan propaganda secara terbuka pada masyarakat Indonesia.
Kampanye terbuka yang telah berjalan beberapa hari memberikan sebuah warna di negara ini, warna cerah dan tak pelak muncul juga warna suram. Kreativitas dan inovasi banyak dilakukan sebagai media kampanye. Hiburan rakyat menjadi salah satu pilihan terlaris bagi banyak parpol dalam melakukan kampanye. Alternatif ini dipilih lebih memiliki kecenderungan dalam meraih simpati masyarakat khususnya rakyat kelas bawah. Asal rakyat senang, dengan janji-janji manis, para juru kampanye dnegan lihai mempropagandakan parpolnya masing-masing. Entah rakyat menyadari atau tidak bahwa pesta pora itu juga bukan sebuah keniscayaan jaminan kebahagiaan jika memilih parpol tersebut. Bahwa rakyat juga sudah semakin cerdas dan memhami bahwa pesta pora hiburan rakyat bukan sebuah jaminan, dan mereka juga tidak meminta itu. Toh pesta itu sudah diselenggarakan, apa salahnya jika ikut bersenang-senang? Ikut kampanye bukan berarti nanti memilih partai yang bersangkutan. Entah pula para designer kampanye tahu atau tidak mengenai pandangan rakyat ini. Jika rakyat dianggap cerdas toh sudah semestinya menyelenggarakan kampanye-kampanye cerdas tanpa mengurangi interest dari rakyat. Atau ini pertanda rendahnya daya kreatifitas para jurkam dalam mendesign bentuk-bentuk acara kampanye parpol.

Satu point yang juga perlu mendapat perahatian serius adalah posisi perempuan dalam keterlibatannya di berbagai kampanye. Tidak sudah mendapati bentuk-bentuk kampanye yang menampilkan hiburan rakyat yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek hiburan. Kampanye dengan konser tarian erotis nyatanya masih mudah ditemui di berbagai daerah. Selain itu, penggunaan biduan-biduan perempuan sebagai daya tarik, tak beda jika diibaratkan dengan menempatkan perempuan sebagai hidangan pesta. Partai politik yang mengusung pembelaan terhadap hal perempuan-pun pada kenyataannya masih menarapkan hal-hal seperti ini. Proses demokrasi dan pencerdasan seperti apakah yang diciptakan oleh para parpol dengan tetap mengumbar janji-janji manis yang sudah terbukti palsu, bahkan masih di tahap kampanye.
Perempuan baik disadari maupun tidak disadari telah menjadi korban maskulinitas model politik yang merendahkan harga diri seorang perempuan. Ribuan lembar undang-undang pronografi dirancang dengan maksud menghargai nilai kehormatan seorang perempuan hanya menjadi ganjal meja di senayan yang semakin hari semakin timpang.
Demokrasi bangsa ini dalam tahap belajar, dalam proses. Proses yang diharapkan menjadi sebuah alur proses yang menitikberatkan pada proses pembelajaran yang memiliki substansi pada pencerdasan. Kenyataannya yang terjadi adalah pembodohan. Memberikan janji-janji dan kesenangan sesaat pada rakyat. Dalam konteks ini adalah pada perempuan, komponen bangsa yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Sampai kapanpun politik akan tetap menjadi sebuah mesin eksploitasi perempuan dan pembodohan rakyat jika dalam praktik-praktiknya masih tak mampu menghargai harkat seorang manusia khususnya perempuan. Rakyat dibeli dengan uang, perempuan dianggap sebagai hidangan.
Pencerdasan rakyat diharapkan selalu menjadi prioritas bagi proses pembelajaran politik bangsa ini. Karena hanya dari sebuah kesadaran kritis yang terbangun dari upaya pencerdasan massa itulah bangsa ini mampu belajar demokrasi yang sehat. Semoga. (nta)
Title: Kampanye dan Perempuan; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: