Pages

Wednesday, April 01, 2009

AKU BERKARYA MAKA AKU ADA (Aku Untuk Negeriku)

*) disusun untuk FIM


Pagi ku jelang, bertemu kabut nan tebal yang menggantung dalam suasana sejuk bumi Purwokerto. Langkah kaki terasa ringan menyambut datangnya pagi. Kini rutinitas itu mungkin aku jalani tiap awal pekan, setelah jadwal siar berubah. Karena sudah terhitung sebagai “senior”, maka kini harus rela jam siarku dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada teman-teman baru.

Pagi yang indah dulu selalu kusambut saat hari-hari dengan jadwal siaran pagi. Tiap pukul enam tepat, dengan sigap kusama para pendengar, berbagi semangat dan kisah. Apapun kondisi mood yang kurasakan, harus tetap ceria, karena program pagi adalah program yang sifatnya memang “menyemangati” para pendengarnya.

Dunia broadcast yang sudah digeluti lebih dari tiga tahun memberikan sebuah pelajaran tersendiri. Belajar berbagi dan juga banyak hal manis yang bisa didapatkan di dunia ini.
Bersyukur media yang aku geluti ada sebagai media dakwah. Radio bukan sebagai sebuah “kotak musik” yang bersifat entertaint saja, melainkan menjadi sebuah “box magic” bagi masyarakat untuk dapat memperoleh berbagai hal yang berguna. Selepas SMA dulu, saya sempat menuntut ilmu di sebuah sekolah perfilman. Namun karena tidak mendapatkan dukungan yang cukup, maka saya “diderpotasi” untuk belajar di sebuah pondok pesantren di kawasamn pegunungan Guci-Tegal. Hari-hari awal disana merupakan sesuatu yang membosankan karena ada beberapa batasan-batasan yang tidak nyaman bagiku.

Di pondok ternyata bukan hanya ada lembaga pendidikan, tetapi mencakup banyak bidang, salah satunya ada radio station. Mungkin melihat minatku pada dunia media, sang pak Kyai memintaku untuk mengelola radio dengan posisi 91.0 FM itu. Melihat radio itu, dalam pikiranku ini adalah harta mati yang potensial. Dalam radius sekian ratus meter, radio ini tidak memiliki kompetitor, dan radion ini (Darussalam FM) sudah memiliki kelompok fans sendiri. Permasalahan dalam pengelolaan radio ini adalah kurangnya SDM yang mampu dan mau mengelola manajemen radio. Berbeda dengan radio yang lain,disini para pengelola radio bukan hanya berstatus pegawai radio tetapi dituntut sebuah “pengabdian” pada Yayasan Pondok pesantren.
Awalnya saya hanya menjadi announcer, siaran beberapa program acara. Setelah beberapa waktu, rupanya sang pak Kyai tertarik dengan minat saya kemudian mempercayakan pengelolaannya kepada saya. Bukan hal yang mudah. Dibandingkan teman-teman lain disana, saya terlalu muda. Masih bau kencur. Namun, semua aku lihat sebagai sebuah tantangan.

Satu hal yang berkesan saat itu adalah ketika aku punya keinginan untuk memasukkan program-program “pencerdasan masyarakat” di radio itu. Awalnya banyak penentangan. Saya dianggap “orang kota; yang terlalu idealis. Menurut mereka pendengar yang rata-rata orang desa membutuhkan hiburan, nggak usah dibuat pusing dnegan program-program yang bikun mumet. Namun menurutku, justru melalui media radio itulah, kita mampu melakukan sebuah perubahan mindset masyarakat. Kalau mereka suka musik-musik dangdut, bukan berarti mereka tak mampu untuk mencerna informasi-informasi “berat”. Justru musik itu adalah sebuah alat untuk kita menyisipkan pesan-pesan pencerdasan masyarakat. Jadi hiburan bukan sebagai tujuan namun sebagai alat.
Dengan segala perjuangan, akhirnya program-program di DS FM banyak mengalami perubahan. Secara prinsip kita tetap menjadi radio dakwah dengan menyiarkan beberapa program yang menjadi jadwal dari pondok. Namun secara varian acara, kita perlu melakukan beberapa inovasi dan kreativitas.
Kebersamaan di radio DS FM memang tidak lama, karena aku harus melanjutkan study di Universitas Jenderal Soedirman. Namun, aku berjanji aku akan tetap kembali untuk membangun terus DS FM. Sementara ini biarlah teman-teman yang lain disana untuk berjuang membangun radio.
Ketertarikanku di dunia media membuatku memiliki curious untuk mencari pengalaman di dunia tersebut. Membaca, menulis, dan berbicara adalah aktivitas hoby, dan nampaknya Allah memberikan amanah kepadaku dengan sedikit potensi. Aku sadar bahwa potensi yang merupakan anugerah Allah itu hanyalah menjadi sebuah energi potensial yang tidak akan berguna jika kita tidak mengolahnya.
Selain aktivitas di dunia broadcast, menulis adalah salah satu kegiatan yang bisa diasebut sebagai jiwaku. Manusia diciptakan sebagai khalifah, berbagi merupakan suatu hal yang menjadi kebahagiaan tersendiri. Tak ada kebahagiaan yang lebih indah selain kita bisa berbagi dengan siapapun. Sesungguhnya ketika kita berbagi itu bukan untuk orang lain namun itu adalah kebutuhan diri kita sendiri , apalagi pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Maka bagiku dakwah merupakan sebuah kebutuhan, sebuah konsekuensi kita sebagai seorang manusia.
Kalau kita jadi da’I , mungkin kita mampu memberikan segala ilmu kita dengan ceramah-ceramah di berbagai tempat. Nemun dakwah juga memerlukan media untuk kita mampu bersentuhan langsung dengan masyarakat. Tulisan adalah salah satu media yang efektif. Bayangkan saja, kalau kita menyampaikan dnegan “bicara”, mungkin yang mampu menerima itu hanyalah sekelompok orang yang saat itu mendengarkan, namun dengan tulisan, kita bisa menyampaikan ide dan pemikiran kepada seluruh antero dunia.
Kegemaranku pada menulis dan sebuah kebutuhan serta kesadaran membawaku pada sebuah prinsip untuk menciptakan karya-karya dalam tulisan yang diharapkan mampu memberikan sebuah enlightmen pada masyarakat. Beberapa kali saya mencoba menulis di berbagai media, baik itu media cetak maupun elektronik. Sebuah kepuasan tersendiri saat mampu mengakomodir ide melalui tulisan dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dunia media adalah hal yang menarik bagiku. Miris rasanya saat melihat media-media di Indonesia kadang tidak mampu memberikan sebuah pencerdasan. Media itu benda mati. Media itu alat, maka saat alat itu dipegang orang-orang yang “jahat” akan menjadikan media itu sebagai sebuah hal yang mebhayakan.
Misalnya televisi. Hampir lebih dari separuh hari kita diisi oleh televisi. Coba tengok acara-acara di televisi, apa yang kita dapatkan? Sinetron-sinetron picisan memiliki rating tinggi. Berbagai tayangan-tayangan yang seronok bukan hal yang jarang kit atemui di Televisi Indonesia. Tak heran jika tingkat kriminalitas dan kenakalan remaja kini sangat meningkat, apa yang mereka tonton itulah yang menjadi tuntunan. Bukan hanya televisi, internet, majalah, radio, semua media kini sebagian besar programnya lebih berorientasi pada hiburan-hiburan yang bersifat hedonis.
Hal itu tak akan terjadi saat para pelaku media mampu menerjemahkan apa yang menjadi hakekat sebuah media. Di era globalisasi seperti sekarang, pemodal menjadi Tuhan baru bagi manusia. Uang adalah tujuan hidup manusia. Hal ini tak beda menimpa media-media kita. Para pemodal itu hanya memikirkan berapa rupiah yang mampu mereka hasilkan melalui media tanpa memikirkan efek yang terjadi dari para penikmat media itu. Cengkeraman kapitalis dan gurita neoliberalisme menjadikan semua diorientasikan kepada hal-hal yang bersifat materi.
Kaum muda seharusnya mampu melakukan sebuah pengkritisan. Namun kalau melihat kondisi saat ini, kaum muda juga sekarang banyak yang menjadi “korban” daripada melakukan pengkritisan.
Menciptakan media-media yang menjadi sebuah sarana pencerdasan masyarakat adalah sebuah hal yang saya cita-citakan. Mungkin bagi saya, menciptakan media-media yang mampu menyentuh masyarakat adalah salah satu misi yang bisa dilakukan. Kalau saat ini saya bergelut di dunia broadcast dan tulis-menulis, banyak hal yang mampu dilakukan. Membangun jaringan dengan banyak kaum muda dari berbagai kalangan merupakan salah satu hal yang harus saya lakukan sehingga orientasi yang dilakukan juga tidak sempit. Mampu memberikan pandangan secara global dan mengimplementasikan di masyarakat sekitar, think global act local. Majulah bangsaku, bergeraklah pemuda-pemudaku!!! YAKUSA (YAKIN USAHA SAMPAI!) – nta-
Title: AKU BERKARYA MAKA AKU ADA (Aku Untuk Negeriku); Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: