Pages

Wednesday, April 01, 2009

DAGANGAN ITU BERNAMA PENDIDIKAN

(catatan seorang mahasiswa “hampir tua”)

Teriknya cuaca akhir-akhir ini ternyata meradiasi suasana kampus yang juga jadi panas. Sekurangnya dua aksi demonstrasi terjadi dalam satu hari dengan kasus yang berbeda. Patung jenderal Soedirman masih berdiri kokoh diatas kuda tunggangannya, terdiam menatap aksi-aksi para mahasiswa. Tak beda dengan aksi-aksi pada tahun-tahun sebelumnya, lalu apa sebenarnya makna kontinuitas perjuangan itu?
Kabar memanasnya kampus sebenarnya sudah kuterima beberapa hari yang lalu. Permintaan menjadi moderator diskusi antara birokrat dan mahasiswa memang kuterima, dan setidaknya aku sedikit memberikan saran untuk lebih slow. Semua permasalahan yang ada sebenarnya berujung pada “komersialisasi pendidikan”. Terkutuk memang para kapitalis itu!! Keparat, bidadab!

AKSI SEGEL KELAS DAN MOGOK KULIAH
Kampus sastra UNSOED memanas. Ini memang kabar lokal, tapi perlu dicermati untuk dunia pendidikan kita. Sekitar belasan ruangan rabu kemarin (31/3) di kampus sastra Inggris disegel mahasiswa. Perkuliahan tidak berjalan seperti biasanya. Mahasiswa enggan untuk mengikuti perkuliahan yang semakin lama semakin terasa amburadulnya. Apa pasal? Peraturan mengenai gaji dosen mengakibatkan para tenaga pengajar melakukan penggabungan kelas. Tiap angkatan, mahasiswa sastra Inggris ada sejumlah 3-4 kelas (kelas A, B, C, dan D), masing-masing kelas terdiri dari sekitar 25-30 mahasiswa. Karena terbatasnya jumlah dosen, maka tiap dosen harus mengampu semua kelas tersebut. Dengan kata lain, dosen melakukan minimalnya dua kali tambahan mengajar untuk tiap mata kuliah di tiap angkatan. Sementara peraturan dari rektorat menentukan pembayaran gaji dosen hanya dihitung satu kali mengajar (pokok), dan satu kali tambahan. Untuk tiap mata kuliah per angkatan, dihargai sekitar Rp 60.000,00. Dengan banyaknya mahasiswa dan harus mengajar tiga kelas tiap angkatan, maka untuk tiap kali mengajar dosen dihargai Rp 20.000,00. Kabar yang ada disinyalir pula, beberapa dosen honorer belum menerima hak mereka yaitu ongkos lelah mengajar.
Lepas dari masalah ketulusan dan keikhlasan dalam mengajar, minimnya biaya lelah dalam mengajar membuat para dosen berfikir keras. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggabungkan kelas. Tiap angkatan kini menjadi dua kelas, hanya ada kelas A dan B, yang berarti tiap kelas itu muatannya bisa sampai 50 mahasiswa di tiap pertemuan. Sedangkan mata kuliah yang ada di sastra Inggris yang notabene berhubungan dengan keterampilan bahasa dan pengenalan kebudayaan, kebanyakan terdiri mata kuliah praktikum. Sebagai contoh, bisa dibayangkan saja, apakah efektif saat kelas “speaking” dilakukan dalam sebuah kelas yang terdiri dari 50 peserta didik?
Tentunya hal ini tidak bisa diterima oleh para mahasiswa. Bagaimana mereka bisa tenang saat harus belajar di kelas yang sempit, panas, dengan mahasiswa berjubel melebihi batas. Sebenarnya dari dulu hal ini sudah sering dirasakan. Nggak jarang saat akan memulai perkuliahan, kita harus mengangkat kursi dari ruangan lain karena kursinya kurang. Belum lagi kalau berbicara mengenai kualitas pengajar. Belum ada guru besar disini. Untuk melakukan rujukan-rujukan dalam hal linguistik maupun sastra, masih sangat kurang tenaga pengajarnya. Dosen-dosen muda masih banyak bertebaran disini. Di lain pihak dosen muda lebih meremaja, namun dalam hal pengalaman mengajar kita masih sangat membutuhkan ahlinya , apalagi fasilitas yang ada masih jauh dari kata “good”.
Tak heran aksi segel kelas dan demonstrasi ke dekanat mewarnai Rabu siang yang panas itu. Walaupun jarak antara prodi sastra Inggris dan dekanat FISIP lumayan jauh, namun itu tidak menyurutkan langkah para calon sarjana sastra yang juga masih belum bisa membaca jelas “future” mereka karena kurikulum yang ada juga masih berantakan. Rabu senja kutengok kampus, masih terlihat sisa-sisa kekecewaan para mahasiswa. Berdasarkan keterangan korlap, Agung Benta (Abe), “ Rencana turun ke jalan sebenarnya tidak direncanakan, ini karena emosi teman-teman mahasiswa”. Abe nampak lelah saat kukunjungi di rumah kontrakannya. Aku memang tak turut aksi ke jalan, karena sudah dari awal menilai masalah ini kunci-nya bukan pada demo, tapi pada lobying. Tapi tak mengapa, itu merupakan bentuk kekecewaan teman-teman, tapi yang pasti aksi-aksi untuk melobi para birokrat harus tetap dilakukan, karena aku sudah tahu persis bagaimana bejatnya para pejabat terhormat itu!

DILEMA BOPP


Bersamaan dengan aksi para mahasiswa sastra, ternyata juga ada aksi demonstrasi lain dari fakultas-fakultas lain di UNSOED. Aksi ini merupakan reaksi dari munculnya kebijakan munculnya BOPP (Bantuan Operasional Penyelenggara Pendidikan). Entah lembaga apa lagi yang dibentuk. Isu yang muncul itu adalah pengganti dari lembaga POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa) yang intinya adalah merupakan lembaga yang menampung dana pendidikan diluar pembayaran resmi (SPP).
Pendidikan memang membutuhkan biaya, Jer Basuki Mawa Bea, namun pendidikan bukan merupakan sebuah lembaga investasi yang digunakan untuk melipatgandakan modal untuk kepentingan beberapa pihak saja. Pabrik buruh kini adalah predikat yang melekat pada lembaga bernama kampus. Perguruan tinggi tidak lebih dari pencetak tenaga-tenaga buruh yang nantinya akan menjadi budak-budak kapitalis.
Pendidikan secara formal memang merupakan hak, maka kupikir bolehlah kita mengambil hal itu atau tidak. Namun pendidikan secara esensial adalah kewajiban dari tiap manusia. Wajib bagi kita untuk menuntut ilmu, menerima pendidikan, dan bukan untuk menjadi budak dari investasi pendidikan. Sains for sains itu adalah kode etik dari seorang yang berilmu. Terdengar cukup idealis mungkin. Tapi memang itu yang perlu ditanamkan. Ilmu setinggi apapun jika hanya untuk memenuhi kantong pribadi maka, apalagi sampai mendzholimi orang-orang yang tertindas, apalah artinya?
BHP, POM, BOPP, dan tetek bengek lainnya hampir nampak seperti ceremony yang tak berkesudahan. Miris rasanya melihat itu sebagai sebuah rutinitas demonstrasi yang tak berujung. Sebuah evaluasi untuk pergerakan mahasiswa untuk stop melakukan aksi-aksi latah yang tak memiliki sebuah nilai solutif bagi permasalahan yang ada.
Namun sebagai sebuah penanaman semangat, saya hanya bisa memberikan dukungan serta semangat untuk teman-teman mahasiswa. Tahun ketiga di kampus jenderal ini sekaligus mantan petinggi BEM (kalo kata orang seperti itu), membuatku merasa lelah dengan demonstrasi yang tak berarti. Bukan berarti lelah berjuang, namun muak melihat pongah para penjahat pendidikan dan aksi mahasiwa yang lebih bisa disebut tak tersistem. Lepas dari itu semua, semoga mahasiswa Indonesia makin cerdas dalam melihat permasalahan yang ada di sekitar kita. YAKIN USAHA SAMPAI! (nta)


Title: DAGANGAN ITU BERNAMA PENDIDIKAN; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: