Pages

Sunday, September 23, 2012

Sambirata Yang Belum Merata


#CEKQurban-- Catatan Ekspedisi Kampung Qurban-- (part 1)

Prologue : Saat beranjangsana ke banyak wilayah, mungkin kita sering menemui banyak tempat dengan nama yang sama. Jika kita melakukan backpacking di Singapore dan melalui gedung imigrasi Woodlands, kita akan mudah mendapati stasiun MRT Kranji. Tentu saja stasiun itu jaraknya sangat jauh dengan stasiun Kranji, Bekasi. Masih berpuluh-puluh kilometer juga jaraknya dengan Kelurahan Kranji, Purwokerto Timur. Begitu juga ketika kita jajan es pocong di daerah Kober, Depok hal serupa tak dapat ditemui di daerah Kober, Purwokerto. Begitu juga di daerah Purbalingga ada grumbul yang bernama Sambirata, maka dengan perjalanan tak lebih dari satu jam kita akan menemui sebuah desa bernama sama, Sambirata di kecamatan Cilongok, Banyumas. Entah ada berapa lagi tempat yang benama Sambirata atau mirip-mirip seperti Sambiroto, yang pasti desa Sambirata yang ada di kecamatan Cilongok, Banyumas ini punya beberapa kisah tersirat yang istimewa.
Tak lebih dari 30menit perjalanan yang dibutuhkan dari Purwokerto untuk bisa menjangkau lokasi Desa Sambirata, Cilongok. Dari Masjid Besar Baitul Matien Pernasidi, kita akan mendapati jalan raya menuju desa Panembangan, jalanan yang di kanan kirinya bisa dengan mudah kita dapati hamparan sawah. Ada sekitar dua tikungan hingga kita harus melalui jalanan yang mulai menegak curam serta beberapa kelokan tajam. Namun jika kita menikmati perjalanan, maka tak lama akan kita jumpai lapangan Sambirata yang tepat berada didepan kantor kepala desa.

Desa Sambirata terdiri dari lima RW dengan sekitar enam Grumbul : Sambirata, Cimerang, Karang kobar, Ragung, Glempang, dan KarangGondang. Perjalanan kami sesiang itu sangat terbantukan dengan kehadiran Pak Jurjani, warga yang juga perangkat desa bagian kesra di Sambirata. Beliau yang sudah wanti-wanti untuk datang lebih pagi karena berkeliling desa Sambirata memang cukup makan waktu dan tenaga.
Grumbul Ragung termasuk grumbul yang cukup padat penduduknya. Meski begitu, lokasi rumah-rumah  penduduknya masih berjeda dengan jarak.  “neng kene tah nggih jarang sing qurban, ya kadang-kadang bae ana” (Disini jarang ada yang qurban, kadang-kadang saja ada.red). Begitu ungkapan salah satu penduduk ketika diajak berbincang sesaat sambil melepas lelah. Di dusun Ragung kami transit di masjid Al-Huda. 


Waktu-waktu menjelang Dhuhur adalah waktu dimana kami bersua dengan beberapa penderes yang pulang kerja. Ya, di RW 3 ini cukup banyak warga yang bermatapencaharian sebagai penderes. Tentu saja mereka hanyalah buruh deres yang tak memiliki pohon sendiri, yang harus berbagi penghasilan dengan sang pemilik. Di akhir perjalanan, saat di grumbul Cimerang kami sempat singgah di penduduk yang sedang memasak nira.
Dari Grumbul Cimerang perjalanan berlanjut ke Glempang. Sekitar sepelemparan batu dari desa Gunung Lurah, lokasi terparah saat dulu ada musibah angin kencang. Oya, jangan berharap bertemu jalan berlapis aspal di sepanjang grumbul-grumbul ini. Jalan aspal yang cukup halus untuk dilewati hanya di jalan desa, itupun masih berlubang disana-sini. Selebihnya, kita benar-benar hanya akan bertemu jalan berbatu dan sesekali tanah gersang dengan terbangan debu.

Buruh deres, buruh tani, itulah mata pencaharian yang dilakoni sebagian besar penduduk desa Sambirata. Ada satu gerumbul yang belum sempat kami sambangi yaitu grumbul Karanggondang. Dari awal ketika berbincang di kantor kepala desa, kami sudah diberitahu oleh bu Siti (petugas kantor kepala desa.red) : “lebih baik Karang gondang tak perlu disurvey langsung, yang pasti disana membutuhkan. Warga sini saja jika akan kesana  harus berpikir panjang. Selain jalanan yang rusak, medannya juga tak mudah, curam dan terjal”. Ah, tapi nampaknya bu Siti ini belum mengenal kami. Justru kalimat-kalimat anjuran itu membuat kami merasa tertantang untu bisa menyambangi grumbul yang lumayan “popular” tersebut. Dikatakan popular karena memang grumbul karanggondang kerap dijadikan isu untuk diangkat di tingkat kabuoaten tentang perbaikan jalan. Karanggondang sangat terkenal dengan jalanannya yang rusak, tapi popularitas itu hanya berhenti pada popularitas belaka tanpa ada langkah yang benar-benar konkrit dari pemerintah terkait.

Namun kumandang adzan Dhuhur harus menahan kami untuk mengambil jeda perjalanan. Karang gondang tak mungkin untuk dilampaui hari itu. Catatan kami hamper penuh dengan segala titik, koma dan konjungsi kisah dari perjalanan hamper setengah hari itu. Meski ada sebersit kekhawatiran dalam diri, apa yang dapat kami perbuat untuk bisa menggariskan senyum bermakna di Sambirata.

Pada akhirnya, bagi beberapa orang mungkin berqurban itu secara materi adalah ibadah yang ringan. Apalah arti satu atau sebelas  juta rupiah  untuk menebus seekor domba atau lembu. Namun, sepercik itu jika kita mampu memaknainya bisa menjadi sebuah rantai kekuatan yang bukan selesai pada onggokan daging dan darah namun berurai pada sebuah perisai yang bernama ukhuwah. Bagaimana beberapa gelintir ekor kambing dan sapi mampu menyentuh satu sisi sosial kemanusiaan. Bukan sekedar membeli kambing, bukan sekedar membagi daging, tapi bagaimana kita bisa berjalan seiring, berbagi sejuk pada lokasi dan jiwa yang kering. Tak sekedar menyembelih lembu tapi bagaimana kita melunakkan hati yang sekeras batu.

Epilogue : Rempeyek kacang hijau dan kue wajik menjadi pasangan serasi bersama segelas teh tawar. Oh, bukan hanya segelas, namun bergelas-gelas. Lelahnya mengelilingi desa membuat kami tak kuasa menolak nikmatnya “jog” dari teko berisi teh tawar hangat itu. Bahkan ketika kami sengaja menghabiskan tetes teh karena akan beranjak pulang, pak Jurjani dengan polosnya malah menuangkan kembali teh di gelas yang entah keberapa. Itupun tak kuasa pula kami habiskan kembali.
Desa Sambirata ini merupakan salah satu dari sekitar duapuluh titik KAMPUNG QURBAN Lazis Mafaza Peduli Ummat di tahun ini. Di hari raya Idul Adha, hari perayaan atas sebuah bukti cinta dan keikhlasan. Hari dimana kita bisa memaknai tentang arti penting berbagi. Jika untuk menuju kemuliaan Idul Fitri kita difasilitasi oleh Romadhon, maka  inilah saatnya kita mencoba melakukan implementasi semangat romadhon di setiap waktu untuk terus melakukan refleksi kehidupan dalam rangka memperbaiki diri menuju pribadi yang lebih baik. Tabik!



   
Title: Sambirata Yang Belum Merata; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: