Pages

Wednesday, April 01, 2009

Gerakan Cerdas Memilih Untuk Representasi Politik Perempuan

Pemilu yang didengung-dengungkan sebagai sebuah pesta demokrasi kian dekat menghampiri kita seperti jadwal yang sudah ditetapkan, 9 April esok. Reaksi rakyat bermacam-macam, dari yang antusias hingga apatis terhadap perhelatan akbar tersebut. Dari kebermacaman reaksi pemilih, klasifikasi pemilih yang berhak memberikan suaranya esok juga bermacam-macam, salah satunya yaitu pemilih perempuan. Sebagai komponen bangsa, perempuan merupakan unsur pemilih yang tak boleh dipandang sebelah mata. Berdasarkan data, pada pemilu 1999 diperkirakan angka pemilih perempuan sekitar 57% dari seluruh pemilih.
Selama ini kerap muncul pandangan pemilih perempuan cenderung sebagai pemilih yang pragmatis. Padahal satu suara itu itu berpengaruh terhadap nasib bangsa ini. Bahkan ketika golput menjadi pilihan, diharapkan juga dapat menjadi sebuah pilihan yang bertanggungjawab, pilihan cerdas yang bukan muncul karena sebatas keterputusasaan atau sikap apatis. Esensi dari pemilih cerdas adalah sebuah sikap yang tidak apatis terhadap apa yang terjadi di negara ini.
Berbicara memilih sebagai sebuah hak tentunya tidak bisa dipelaskan dari jati diri setiap indivisu pemilih tersebut. Pemilih perempuan sebagai sesosok warga negara berjenis kelamin perempuan memang memiliki sebuah karakter khas sama halnya dengan pemilih yang lain (baca : laki-laki). Ada anggapan bahwa dalam membuat sebuah keputusan biasanya perempuan lebih dilandaskan pada perasan dan laki-laki pada logika. Jadi seolah-olah laki-laki adalah makhluk yang logis dan perempuan unlogic. Pada dasarnya akal (logika) bukan sebuah hal yang terpisah dari hati (perasaan). Mungkin yang terjadi laki-laki lebih memiliki kecenderungan dengan porsi logika yang lebih besar dibanding perasaan dan sebaliknya pada perempuan. Ini adalah sebuah hal yang merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat kita dikotomikan dengan menganggap yang satu lebih baik. Politik bukan sebuah hal yang “keras” tanpa memperhitungkan hati nurani, dan sebaliknya juga bukan sebuah hal yang “lembut” dan unlogic. Maka “partisipasi logika” dan “partisipasi hati” ini harus memainkan peran yang seimbang, dengan kata lain hak politik perempuan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diikutsertakan untuk membangun suasana politik yang dinamis.
Pada awal abad ke-21, lebih dari 95% negara di dunia menjamin hak demokratik mendasar pada perempuan, yakni : hak memilih (right to vote), dan hak untuk dipilih (right to stand for election). Dalam historynya, Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan hak suara pada perempuan pada tahun 1893 dan Finlandia merupakan negara pertama yang mngadopsi dua hak demokratik mendasar tersebut pada tahun 1906. Lima belas abad yang lalu, Muhammad Rasulullah hadir menyampaikan risalah Islam yang membebaskan perempuan dari belenggu-belenggu kejahiliyahan, yang berarti pula perempuan memiliki potensi dasar dalam berbagai urusan termasuk politik.
Politik selama ini dianggap sebuah hal yang “maskulin”. Hal ini wajar jika pada kenyataannya bermula dari dominasi laki-laki yang secara luas mendominasi area politik; laki-laki mendominasi dalam memformulasikan aturan-aturan permainan politik, dan laki-laki pula-lah yang sering mendefinisikan standart evaluasi. Lebih jauh dari itu, model politik maskulin yang kemudian tercipta dimana kehidupan politik sering diatur dengan norma-norma kehidupan laki-laki dan bahkan dalam beberapa kasus juga menurut gaya hidup laki-laki. Sebagai contoh, politik dimainkan atas dasar “pecundang dan pemenang”, kompetitif dan konfrontasi. Akhirnya wajah politik yang hitam yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat.
Maka representasi politik perempuan disini dinilai perlu dalam sebuah dinamisasi percaturan politik sebuah bangsa. Menyuarakan pilihan secara cerdas oleh perempuan disini juga bukan semata-mata pada sebuah “kehadiran” sosok perempuan saja, namun lebih pada esensi pada terciptanya suasana politik yang lebih representatif pada rakyat. Jadi bukan semata-mata “memilih perempuan” namun saat ruang esensial “keterwakilan perempuan” mampu terwujud. Sebagai sebuah proses, logikanya bahwa hal itu mampu terwujud dengan mendongkrak keikutsertaan perempuan dalam parlemen.
Gerakan memilih cerdas merupakan sebuah hal yang perlu ditanamkan, khususnya pada perempuan dengan melihatk konteks saat ini. Jadi pemilih perempuan memiliki bargaining position dalam perhelatan demokrasi bukan sebatas dari tingkat kuanttitasnya saja melainkan dengan kemampuan aktualisasi dirinya dalam ranah politik. Keputusan yang dimiliki pemilih perempuan diharapkan adalah sebuah kesadaran kritis yang muncul sebagai warga negara. Dengan cerdas memilih, pemilih perempuan telah melakukan sebuah upaya humanisasi atas dirinya secara khusus dan pada seluruh rakyat pada umumnya. Sukses Untuk Pemilu Indonesia 2009! (nta).
Title: Gerakan Cerdas Memilih Untuk Representasi Politik Perempuan; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: