Pages

Wednesday, April 01, 2009

Intelektual Profetik : Tanggung Jawab Peran Kekhalifahan Manusia

Oleh : Ana Mardliyah *)

Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alam,dan identik dengan istilah “Gemah Ripah Loh Jinawi”. Indonesia adalah Negara kepulauan yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah baik di darat maupun di laut. Hal itu adalah suatu potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang bila dikelola dengan baik hasilnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Indonesia mempunyai banyak pulau dengan kekayaan alamnya masing-masing. Dalam pengklasifikasian kekayaan alam tersebut, kita mengenal adanya kekayaan berupa sumber daya alam yang bisa diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui.

SDA yang dapat diperbaharui melingkupi kekayaan alam seperti air, tumbuhan, hewan, dll. Sebagai contohnya kekayaan berupa sumber daya alam yang dapat diperbaharui di Indonesia yaitu hutan dan kekayaan hayati didalamnya. Potensi dan kondisi kekayaan hayati Indonesia sangat besar, yaitu nomor dua terbesar di dunia setelah Brazil2. Namun kekayaan itu belum dimanfaatkan secara maksimal. Dan hal itu dapat berpotensi untuk dieksplorasi oleh pihak luar.


Selain sumber daya alam yang dapat diperbaharui ada pula sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, salah satunya adalah kekayaan barang tambang. Indonesia mempunyai tambang emas , perak, tembaga dan sebagainya di Irian Jaya. Besi, nikel, timah, bahkan barang-barang radioaktif ada di bumi Indonesia tercinta ini. Belum lagi kekayaan minyak bumi, gas alam, batubara dan sebagainya sangat melimpah di Indonesia.

Selain dumber daya alam ,tentunya asset bangsa yang berharga yaitu sumber daya manusia. Dengan jumlah penduduk yang padat, semestinya Indonesia patut berbangga memiliki potensi yang besar untuk SDM. Potensi SDM sangat penting artinya dalam keseimbangan hidup ketika disandingkan dengan kekayaan SDA. SDA merupakan energi potensial yang mampu dikinetisatis oleh SDM yang ada. Namun fenomena yang terjadi adalah kekayaan sumber daya alam di Indonesia ini tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang menunjang. Indonesia tidak mampu mengelola potensi kekayaan alamnya akibat ketidak mampuan sumber daya manusianya, maka Indonesia sering menggantungkan kebutuhannya pada luar negeri. Dan lagi kesadaran tentang perlunya riset dan strategi pemanfaatan sumber daya alam tersebut sangat kurang. Kekayaan alam Indonesia banyakj dijual dijual ke luar negeri masih dalam wujud bahan mentah, sehingga kecil nilai jualnya.

Hal diatas bias kita lihat pada contoh kasus yang terjadi pada nasib kekayaan barang tambang yang di Indonesia. Untuk asset SDA yang tidak dapat diperbaharui ini, bisa dibilang Indonesia adalah Negara kaya raya. Rahim Indonesia mengandungberjuta-juta milyar besi, nikel, tembaga, emas, timah, bahkan bahan-bahan radioaktif. Namun yang mengelola limpahan harta itu bukan orang Indonesia melainkan pihak-pihak asing yang merujuk pada perusahaan-perusahaan asing (Multi National Company/ MNC). Perusahaan-perusahaan raksasa tersebut seolah sangat jauh jika dibandingkan dengan perusahaan domestic. Tak jauh beda kondisinya dengan zaman penjajahan dulu dimana pihak colonial sudah canggih peralatan perangnya namun kita masih menggunakan bambu runcing yang sederhana. Perusahaan-perusahaan seperti Freeport, INCO, NEWMONT, EXXON bagaikan raksasa yang menjajah negeri kurcaci. Lihat saja bagaimana Freeport membuat belt conveyor (alat pengangkut hasil tambang dari lokasi penambangan) yang mampu menembus gunung sejauh 12 kilometer atau INCO yang mampu melakukan produksi nikel dengan menggunakan listrik sebesar 9.6 Mega Watt yang dimana sumber aliran listrik tersebut mereka produk sendiri. Perusahaan perusahaan tersebut nemiliki SDM-SDM asing yang dahulu tidak dimiliki Indonesia, tetapi sekarang orang-orang sekelas McMoran – inventor dan pemilik saham terbesar di PT.Freeport – sangat banyak di Indonesia. Bukan sekedar sebagai “tamu” saja, tetapi sekarang “bule-bule” itu sudah masuk ke negeri ini. Penjajahan model baru sebagai konsekuensi dari jeratan neolib 3.

Penjajahan asing di dunia pertambangan Indonesia tidak bisa kita lihat sebagai sebuah permasalahan yang parsial atau setengah-setengah saja. Dalam sebuah proses eksplorasi barang tambang, sebenarnya bukan satu jenis tambang saja yang bisa diambil. Kita ambil contoh, PT.Freeport, hasil produksi dari tambang tersebut bukan hanya tembaga yang di pasaran per-ton-nya hanya sekian dolar. Tapi dalam setiap hari proses produksinya didapatkan juga mineral-mineral lain yang jumlahnya selalu berfluktuasi seperti emas – rata-rata 1,2 gram / ton, perak 2,9 gram/ton, seng, nikel, sulfur, selenium, molybdenum, dan thalium yang merupakan mineral radioaktif. Bertambah memprihatinkan bahwa semua komposisi tersebut tidak pernah kita ketahui secara pasti (besar/kecil) karena hasil tambang tersebut setelah menjadi bijih tembaga langsung dikapalkan menuju blok produksi selanjutnya.

Selain mendapatkan “harta rampasan” yang tak terhitungkan dalam proses penambangan tersebut, eksploitasi yang didominasi oleh pihak-pihak asing juga menimbulkan efek domino yang luas. Kondisi ekosistem kita menjadi salah satu korban. Misal saja, PT.Newmont Minahasa Raya yang membuang limbah tailing setiap harinya ke laut lepas. Jangan heran ketika kita melihat Grassberg di Papua yang mengandung bahan-bahan berharga kini sudah menjadi danau. Disetujuinya Earst berg – gunung di sebelah Grassberg – untuk dipindahkan menuju kapal-kapal pembawa bijih logam berharga yang ditandai dengan kontrak selama 30 tahun.

Betahnya bule-bule penjajah SDA di Negara ini sudah saatnya untuk disikapi dengan memantapkan peranan-peranan sumber daya manusia yang kita miliki. Pengembangan mutu SDM mutlak harus kita lakukan jika tidak ingin selamanya menjadi “budak di negeri sendiri”. Namun ternyata kondisi SDM kita juga tak miris jauh. Ada beberapa indikasi yang bisa diambil ketika melihat kondisi rendahnya kualitas SDM di Indonesia.

Salah satu indikasi dari hal tersebut diatas yaitu proses pembelajaran yang diterapkan masih membuat kita seperti “katak dalam tempurung”. Sementara dunia luar sudah mengalami perkembangan teknologi yang melesat, tapi liat saja sarjana-sarjana Indonesia ternyata masih banyak yang tak mampu mengoperasikan teknologi computer-misalnya. Boro-boro mau menciptakan inovasi di bidang iptek, untuk mengaplikasikan yang sudah ada juga masih banyak yang gagap. Ini tak lepas juga dari akibat cengkeraman neolib di dunia pendidikan, yang membuat pendidikan semakin bersifat materialisme. Untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang standart harus berkonsekuensi pelaku pendidikan berani membayar mahal. Sudah pajak ke Negara juga tinggi, masih harus bayar sekolah yang mahal pula. Sebagai contoh, untuk mengakses jurnal-jurnal internasional kita membutuhkan biaya yang besar, namun alokasi dalam peningkatan mutu pendidikan seperti itu masih kurang diperhatikan oleh pemerintah. Pembangunan yang dilakukan di Indonesia masih berorientasi pada pembangunan fisik yang bersifat materialisme, sehingga unsure-unsur softskill dan peningkatan mutu SDM menjadi kurang mendapat perhatian.

Hal lain yang juga menjadi indikasi kurang berkembangnya kualitas SDM Indonesia adalah efek dari system otoritas hak paten / lisensi pada produk-produk iptek. Di satu sisi, hal ini merupakan sebuah apresiasi terhadap sebuah karya, namun perlu dipertimbangkan juga dalam bidang pemasifan sebuah ilmu pengetahuan. System open source memungkinkan khalayak banyak untuk dapat mengembangkan sebuah produk iptek.

Dua indikasi yang disebutkan diatas hanyalah sebagian kecil dari fakta yang membuat SDM Indonesia menjadi pasif untuk berkembang. Hal tersebut merupakan efek dari gurita neoliberalisme yang sudah merasuk ke berbagai bidang, bukan hanya ekonomi saja namun hingga pendidikan menjadi salah satu sasaran dari mulusnya agenda-agenda neolib.

Kondisi ini menuntut SDM kita untuk menjadi mampu meningkatkan kemampuan profetiknya dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk kepentingan bersama. Sebuah dosa besar bagi orang-orang Indonesia ketika membiarkan kekayaan alamnya meranggas dimakan para bule colonial. Ketika kita melalaikan kekayaan alam sebagai amanah yang dianugerahkan oleh Tuhan, maka berarti pula kita meninggalkan peran-peran kekhalifahan manusia. Dalam Al-Quran , Allah berfirman “ Sesungguhnya Aku hendak menjadikanseorang khalifah di muka bumi” (Al-Baqarah : 30). Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsier dijelaskan : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al-Baqarah : 30). Allah ta’ala memberitahukan ihwal pemberitahuan karunia kepada Bani Adam dan penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di al-Mala’ul Ala, sebelum mereka diadakan. Maka Allah berfirman : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat “. Maksudnya, Hai Muhammad, ceritakanlah hal itu kepada kaummu, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”, yakni suatu kaum yang akan menggantukansatu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi , sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi” (Fathir : 39). Itulah penafsiran khalifah yang benar, bukan pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam merupakan khalifah Allah di bumi dengan berdalihkan firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”4

Hari ini, saat saya berangkat ke Sleman untuk mengikuti LK2, di kampus sedang ada perhelatan wisuda sarjana-sarjana yang telah menyelesaikan masa studi-nya. Setiap tahunnya, UNSOED mengadakan kurang lebih tiga kali wisuda. Setiap satu kali acara wisuda, ada sekitar ratusan sarjana yang dilepas. Di Jawa tengah ada puluhan universitas, dan Indonesia memiliki ratusan perguruan tingggi. Hal itu berarti tiap tahun kita memiliki stok intelektual yang begitu mellimpah. Namun sayangnya, para sarjana itu tidak memiliki kesadaran akan nilai-nilai profetik. System pendidikan yang sudah tergenggam neolib telah mengarahkan mainstream kebanyakan sarjana kita menjadi pragmatis. Maka yang terlahir bukanlah intelektual tapi tak lebih dari buruh-buruh pihak colonial.

Peran-peran intelektual dalam penguatan nilai profetik merupakan syarat mutlak untuk mengembalikan Negara ini menjadi merdeka. Hal itu juga sekaligus merupakan bentuk tanggungjawab kita dalam melaksanakan peran-peran kekhalifahan manusia diatas muka bumi ini. Bencana-bencana yang beberapa kali menimpa negeri ini tidak mustahil merupakan sebuah peringatan untuk kita dalam amanah sebagai khalifah. Intelektual profetik merupakan manusia-manusia intelektual yang mampu memahami nilai-nilai ibadah dari ilmu yang dimilikinya dan memiliki kesadaran kritis untuk bertanggungjawab dalam terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Maka intelektual profetik merupakan sebuah “memorandum” yang urgent ditengah kondisi bangsa dalam genggaman neoliberalisme.

*)Ana Mardliyah : Kabid Eksternal HMI Komisariat Pertanian UNSOED (Sekaligus Pjs Ketum)
Title: Intelektual Profetik : Tanggung Jawab Peran Kekhalifahan Manusia; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: