Pages

Sunday, February 15, 2009

MEMOAR OF “LASKAR PELANGI”


Widya Puri menurutku adalah salah satu istana terindah di Purwokerto. Rumah yang memiliki 19kamar dan dua lantai itu menjadi saksi bisu perenungan-perenunganku selama ada di kota satria ini. Di lantai dua ujung timur, disanalah biasanya aku melepas lelah. Persis disebelah timur rumah kos-qu, sebuah sekolah dasar negeri berdiri (SD N Karangwangkal I). Kalau pagi atau siang, sambil bertenger diatas genteng atau pagar beton, aku dapat menikmati aktivitas-aktivitas anak-anak sekolah yang masih polos. Menikmati kepolosan tingkah mereka, terkadang membuat angan mengawang pada masa-masa kecil dulu. Aku ingat ada kisah laskar pelangi yang membuatku tersenyum jika mengingatnya.

Berangkat dari sebuah pertanyaan dan keheranan akan proses belajar mengajar di sekolah, saat itu aku yang duduk di bangku kelas enam rupanya mencoba belajar mengamati keseharian teman-teman satu kelas.

Hampir enam tahun – saat itu- aku bersama-sama mereka, belajar. Kita mendapatkan guru yang sama tiap tahun. Bangku yang kami duduki juga sama, dari kayu. Kita sama-sama menulis diatas kertas. Buku panduan yang kita gunakan juga sama, malah terkadang aku tidak memiliki buku-buku itu. Seragam kita sama, merah-putih. Tetapi aku melihat ada kesenjangan diantara kita.

Saat itu, pergaulan anak-anak-walaupun secara tidak langsung -terpisah menjadi beberapa kelompok. Anak-anak yang ada di sepuluh besar ranking di kelas, biasanya bergaul dengan sesama-nya. Ada juga kelompok-nya anak-anak borjuis. Walaupun ketika bel istirahat berdentang, semuanya akan membaur jadi satu di aula sekolah. Aq dulu paling suka bermain petak lari (he3..ini nggak penting ya??)

Saat kecil, aku bertanya ” Kenapa kita belajar sama-sama tiap hari tetapi masih ada perbedaan yang pinter dan kurang pintar???”. Kenapa masih ada anak yang belum lancar membaca? Kenapa masih ada anak yang belum hafal operasi perkalian dan pembagian?? Kita kan sama-sama belajar dari kelas satu hingga kelas enam di sekolah yang sama. Aku tak suka pada kesenjangan. Semua harus punya hak yang sama. Apalagi kalau sikap guru sudah memperlihatkan diskriminasi antara yang pintar dan yang bodoh. Aku pikir, anak-anak yang nggak masuk sepuluh besar juga sama-sama manusia yang tidak boleh dibedakan antara yang pintar dan yang bodoh. Mereka hanya tidak termotivasi untuk belajar.


Pertanyaan dan pemikiran itu aku wujudkan dengan membentuk kelompok belajar. Terdiri dari sepuluh orang yang mungkin secara keseharian bukan dianggap sebagai anak yang ”pintar” hanya karena tidak bisa masuk ranking. Kebetulan hanya aku diantara mereka yang masuk tiga besar. Kesembilan anak yang lain adalah teman-teman yang menurutku mereka tidak mendapatkan motivasi saja untuk belajar. Aku masih ingat beberapa nama : Venti, Siska, Anggun, Luhur, Kiki, Erman, Lia, Farid, Firman, dan Adi. Tiap anak ini meruapakan siswa-siswa yang ”unik” di kelas terutama yang cowok. Venti, Siska, dan Anggun adalah trio yang selalu bersama...dan nampaknya sama dalam nasib.he3. Erman adalah anak seorang kepala sekolah yang dibuai dengan kemewahan. Hal yang sama terjadi juga pada Farid , Kiki dan Lia. Kalau Luhur..anak bandel di kelas yang sering dipanggil si pitak. Si Firman atau biasa dipanggil ”timank” juga anak seorang yang berkecukupan yang pergaulannya lumayan menakutkan untuk kondisi saat itu. Teman-teman sepermainan dia saat itu adalah anak-anak sekolah menengah yang sudah ngrokok, make, dll. Bahkan pernah suatu saat si timank dikeroyok oleh berandalan. Cerita tentang si Adi lain lagi, dia anak yang agak aneh, dia cukup dewasa jika dibandingkan teman-teman seusianya. Aku masih ingat dia pernah menampar teman cewek di kelas saat kita duduk di kelas empat, dan aku yang waktu itu menjadi ketua kelas hanya diam melongo, karena suer...waktu itu yang aku liat adalah sosok Adi yang ”ngeri” deh!!! Dan di kelompok belajar itu, aku menjadi pelengkap kesebelas sebagai anak yang ingin belajar bersama-sama mereka. Karena aku yakin mereka adalah teman-temanku yang cerdas-cerdas. Dari sebelas anak itu, secara tidak langsung aku ditunjuk menjadi leader, mungkin karena aku lah satu-satunya diantara mereka yang punya ranking di kelas. Alhamdulillah waktu itu masuk tiga besar (he3..narsis ^_^... gw pinter jg ya dulu...:p ).

Teknis kegiatan kelompok belajar (pokjar) itu dilakukan setiap hari minggu dan terkadang juga memanfaatkan hari libur non-minggu. Kalau hari sabtu menjelang bel pulang sekolah, biasanya aku sudah koar-koar : ” Besok di rumah si ”A” ya... bawa LKS Praktis...gak boleh bawa kunci jawaban!!!”. Nanti besoknya mereka secara otomatis akan siap-siap sekitar pukul 9 pagi untuk berangkat belajar.

Bagian kenangan favoritku sebenarnya adalah saat berangkat menuju lokasi belajar. Biasanya kita saling ”ngampiri” atau menjemput satu persatu, terutama buat yang naik sepeda. Para pengendara sepeda waktu itu : Aku, Siska, Venti, Anngun, Farid, Adi, Firman, dan Luhur. Kalau Lia dan Kiki biasanya diantar oleh keluarganya. Erman terkadang naik sepeda kadang dianter oleh pak Sehat (nama bapaknya).

Sekitar pukul delapan, biasanya aku sudah siap dengan sepeda favorit di halaman rumah. Kalau sepeda lagi nggak bisa dipake, aku sudah kontak dengan teman yang biasanya boncengan. Namanya juga anak-anak, suka rame-rame and becanda juga, kadang jam 10 kita baru ngumpul di lokasi. Semua pernah bergiliran dikunjungi, dan kebetulan sebelas anak itu tempat tinggalnya menyebar. Aku ada di tengah kota, dekat sama Firman. Venti, Siska, dan Anggun, Lia, Farid, ada di Kelurahan Slerok. Erman ada di Nusa Indah dekat dengan Luhur. Kiki dan Adi ada di desa Mejasem.

Aku merasakan setiap perjalanan itu seperti petualangan. Aku masih ingat betul waktu itu harus menyusuri sungai ”perpil” dengan sepeda..dan aku bonceng sepedanya Farid. Boncengnya berdiri karena sepeda Farid itu sepeda jenis Federal yang khusus cowok. Wuaah...menyenangkan sekali saat kita menyusuri tepi sungai dengan buku di tangan...saling bercanda penuh tawa. Oya, masih ingat juga, kebetulan rumahnya si Anggun itu di pinggir sungai...jadi kalau saat dia kebagian jatah untuk tempat belajar..sesekali kita main ke sungai. Asikna..... ^_^.

Trus aktivitas belajarnya gimana??? (he3..lupa cerita...padahal itu intinya). Ya, untuk aktivitas belajar, aku memiliki semacam kurikulum (tapi waktu itu nggak kenal kata ini..he3). Kegiatan belajar yang kita lakukan lebih kepada mengerjakan latihan-latihan soal. Waktu itu ada beberapa jenis LKS yang wajib dimiliki oleh siswa. Ada tiga jenis LKS : ”Praktis”, ”Canggih”, dan ”Cermat”. LKS itu kan kependekan dari Latihan Kerja Siswa, dan waktu itu aku pikir aku nggak bisa jadi guru yang memberikan materi kepada teman-teman. Jadi metode-nya adalah mengerjakan latihan soal bersama-sama. Biasanya ditengah-tengah mengerjakan latihan soal itu, kita berdiskusi. Walaupun aku yang dianggap leader, tapi bukan berarti aku akan memberikan semua jawaban, tapi lebih kepada sharing tentang pemecahan masalah. Memang sieh terkadang ada beberapa anak yang hanya tinggal mencontek jawabannya saja. Tapi biasanya mereka juga akan menanyakan ”jawaban ini dapatnya dari mana shin???caranya gmn???bla..bla..bla...” . Porsi waktu mengerjakan latihan soal biasanya hanya sekitar satu hingga satu setengah jam. Sisa waktu lebih buat ngobrol...tapi kadang aku kaitkan dengan contoh soal yang habis dikerjakan. Nah, setelah itu biasanya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh kita semua.....karena setelah belajar biasanya tuan rumah akan memberikan sekedar makan siang atau snack-snack lezat.he3.

Aku melihat bahwa metode pokjar dengan mengerjakan latihan soal lebih efektif. Biasanya guru kelas akan menggunakan LKS sebagai bahan ajar untuk mengisi waktu jatah mengajarnya. Saya pikir, di sekolah adalah saat kita mendapatkan materi, bukan mengandalkan LKS. Kalo di sekolah Cuma ngerjain soal-soal LKS, nggak usah pergi ke sekolah juga bisa, di rumah juga sama saja. Apalagi tiap LKS biasanya tersedia kunci jawaban yang bisa kita gunakan untuk mengoreksi ketepatan jawaban.

Jadi teman-teman pokjar biasanya ”selangkah lebih maju” dibanding teman-teman yang lain. Kalau guru sudah bilang ” Kerjakan LKS!”, kita bersebelas udah tenang..karena sudah mengerjakan bareng-bareng dan dikoreksi jawabannya, waktu yang ada bisa digunakan untuk baca-baca materi. Emang sieh bukan jaminan bahwa jawaban kita betul, tapi setidaknya kita sudah lebih dulu mengetahui apa yang harus dikerjakan saat itu. Lagipula kalau mengerjakan di sekolah itu kan ”terbatas” waktunya, karena oleh guru diberikan tenggang waktu, misal 30menit harus selesai...habis itu dicocokkan. Makanya tidak heran kalau di kelas anak-anak lebih suka contek-contekan jawaban, yang penting udah diisi dan tepat waktu.

Perjalanan kesebelas anak ini tidak lancar begitu saja. Tidak setiap pekan kita bisa kumpul lengkap sebelas anak. Namanya juga hari libur, ada yang memanfaatkan berlibur bersama keluarga, istirahat di rumah, ada juga yang kadang merasa bosan untuk berangkat pokjar dan lebih memilih main dengan anak-anak sepermainannya dirumah.

Nggak jarang juga ada permasalahan antar personil. Namanya juga anak-anak, masalah sepele juga bisa jadi gede. Dari masalah pinjam pensil yang nggak dikembalikan sampai masalah ”cinta monyet”.he3. Dulu kalo anak kecil itu kan suka ledek-ledekan ”manten2an”. Kebetulan diantara kesebelas anak itu juga ada beberapa pasangan yang suka diledekin. Ada siska dengan erman, anggun dengan Adi, dan yang lain. Hei...aku kangen berat sama mereka sekarang, where r u guys?? I miss u all.... Oya, mengenai cinta monyet, aku juga punya cinta monyet waktu itu lho. Jujur aja, Luhur itu salah satu teman sekelas yang cukup menarik perhatian seorang shinta. Hemh...kenapa ya??!! Dia unik..cerdas... Tapi dikelas selalu dianggap sebagai anak yang paling badung, saat latihan ujian nasional NEM dia termasukyang nilainya terendah, tapi pas ujian akhir... Hemh...kita semua bisa bangga sama dia... J

Selain masalah-masalah internal, berbagai rintangan juga pernah dihadapi oleh ”pokjar”. Di diriku sendiri misalnya, pernah terbentur masalah dengan orang tua. Mungkin waktu itu ayah terlalu rindu kebersamaan setiap hari libur, jadi beliau pernah melarang dan menyuruhku untuk menghentikan aktivitas pokjar itu. Tapi yang bikin aku nggak terima saat itu adalah kata-katanya begini : ” Mereka itu kan yang butuh kamu...jadi mereka yang harus kesini..bukan kamu yang harus keluyuran setiap minggu!!!”.

Jujur, aku kesal dengan larangan itu. Aku bukan keluyuran nggak jelas setiap akhir pekan. Kalau dibilang teman-teman lain yang butuh aku, hemh...nggak juga, pernyataan itu salah besar!! Justru aku juga sangat membutuhkan kegiatan pokjar itu. Hubungan kita bersebelas simbiosis mutualisme. Terkadang di beberapa hal aku tak mampu menyelesaikan tugas, misalnya bidang prakarya, atau menggambar (Aku sendiri heran dengan diriku sendiri...saat SD aku sangat anti dengan pelajaran ”kesenian”, tapi sekarang justru getol banget!!he3). Kemudian satu point penting yang aku dapat dari pokjar itu adalah aku mendapatkan keluarga, mendapatkan kebersamaan.

Dirumah aku termasuk anak yang tak memiliki teman sebaya. Dengan anak-anak kampung belakang rumah juga jarang maen (karena sudah dikondisikan untuk jarang bersosialisasi dari kecil). Tapi sebagai seorang anak kecil, seorang manusia, aku punya kebutuhan bersosialisasi, aku butuh untuk berinteraksi dengan orang lain. Dari buku-buku yang aku baca, aku tahu bahwa dunia itu tidak sebatas pada tembok rumah. Makanya, kalo teman-teman mungkin membutuhkan aku dalam hal akademis untuk membantu membangkitkan motivasi belajar, sementara aku sendiri butuh teman-teman untuk membawaku terbang melihat dunia luar dari sepasang mata kecilku. Dari mereka-lah aku mengetahui beberapa lokasi di kota Tegal, dari daerah kotamadya sampe kabupaten. Dari mereka-lah aku bisa belajar untuk unggah-ungguh di rumah orang, aku belajar mengenal orang-orang yang berbeda, tipe-tipe keluarga yang berbeda. Aku baru tau bahwa kalo kita main ke rumah orang dan mau pulang, kita harus pamit ke kedua orang tua teman kita itu. Kalau kebiasaan di rumahku tidak seperti itu, mungkin karena ruang usaha ortu terpisah dengan tempat tinggal, dan papa bekerja dari setengah tujuh pagi sampai jam sembilan malam, jadi kalo ada temanku yang maen ya ortu tidak mengetahui. Sangat merepotkan kalau temanku mau pulang aku harus memangiil kedua orang tua di rumah sebelah.he3. Itu salah satu contoh kecil yang ada. Ya, dari situlah aku belajar untuk menghormati perbedaan, menghargai kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tempat orang. J

Ada juga rintangan yang cukup unik yang dihadapi oleh teman-teman pokjar. Waktu itu di sekolah diadakan les tambahan pelajaran untuk anak-anak kelas enam. Les yang dipandu oleh wali kelas itu dimaksudkan supaya lebih siap untuk menghadapi ujian akhir. Suatu saat, les tambahan itu diadakan pada hari libur tanggal merah. Kalau nggak salah hari Kamis waktu itu. Saat guru mengumumkan jadwal les tambahan pada H-1, spontan anak-anak pokjar berteriak mengeluh. Apa pasal? Karena kita sudah punya rencana akan kumpul pokjar pada hari dan jam yang sama. Ternyata saat itu teman-teman pokjar lebih menyukai belajar di pokjar dariapada di les tambahan, maka nggak heran saat itu mereka mengeluh.

Aku sendiri diam saja waktu itu. Ya, mau gimana lagi? Les tambahan itu kan wajib dari sekolah..kalau nggak berangkat bisa dihukum. Ya udahlah mungkin pokjar bisa ditunda. Tapi dalam diamku itu tiba-tiba sang wali kelas memanggilku untuk menghadap di kantor. Dengan segala kebingungan dan tanpa prasangka apa-apa aku nurut aja. Biasanya kalau aku disuruh menghadap ke kantor guru saat nunggak SPP atau belum bayar iuran-iuran yang lain. Tapi..waktu itu seingatku aku belum ada tunggakan apa-apa. Sesampainya aku diruang guru, sang wali kelas memulai pembicaraan dengan kata-kata :
”Kalau kamu nggak suka sama les tambahan bapak, nggak usah mempengaruhi teman-teman yang lain??!!”
Aku Cuma bisa bengong..nggak paham karena tiba-tiba disentak dengan kalimat seperti itu. Ternyata sang wali kelas merasa tersinggung saat dia melihat anak didiknya mengeluh karena les tambahan. Beliau juga sudah mengetahui aktivitas pokjar kita. Yeah...waktu itu aku Cuma bisa diam. Namanya juga anak kecil...dimarahin guru ya diem aja. Aku tak ingat persis ceramah apa yang disampaikan oleh sang wali kelas itu. Satu hal kalimat yang keluar dari mulutku adalah pembelaan yang dengan pelan kusuarakan : “Nggak kok pak…shinta suka kok sama les tambahan bapak, shinta nggak tahu kalau jadwalnya bisa bentrok seperti ini”. L

Yeah…setapak demi setapak perjalanan kita lalui bersama. Canda tawa, sedu sedan kita tuai dalam kebersamaan itu. Ujian nasional adalah adalah sat-saat yang aku lalui dengan cukup tegang. Targetku saat itu adalah, anak-anak pokjar NEMnya nggak boleh kurang dari 30. Dulu ada lima pelajaran yang diujikan. Kalau NEMnya dibawah 30, berarti ada mata pelajaran yang nilainya kurang dari 6.

Pada saat pengumuman, aku sudah seharusnya bersyukur. Kesebelas anak itu lulus dengan NEM diatas 30 semua. Padahal aku sudah was-was..karena saat latihan ujian, beberapa anak pokjar masih ada yang mendapat NEM dibawah 30. Eh..ternyata semua bisa lolos. Amazing!!! Aku sendiri sudah cukup puas di urutan kelima besar (walaupun berarti aku turun peringkat karena saat latihan ujian aku jadi runner up.he3). Tapi itu semua pupus oleh kemenangan bersama. Kegembiraan setelah kelulusan itu kbetulan sekali persis menjelang hari lahirku, wah..sangat senang rasanya saat hari ulang tahun teman-teman sekelas bisa berkumpul sebelum kita berpisah untuk melanjutkan studi. Hal lain yang membuatku senang, sembilan dari sebelas anak ini diterima di SMP negeri semua, kecuali satu orang yang memang berniat melanjutkan di swasta, dan Luhur yang dikirim ke pondok pesantren oleh ayahnya.

Yeah...manis sekali memang memoar-memoar itu. Ingin rasanya untuk menghubungi mereka satu-persatu. Kita pernah berjanji suatu saat akan bertemu...hemh...mungkin nanti sudah dengan momongan masing-masing ya??!!!he3.

Beberapa pelajaran yang bisa diambil, bahwa seratus persen mempercayakan pendidikan pada lembaga formal bukanlah suatu hal yang bijak. Sebenarnya apa yang dirasakan oleh kita di pokjar adalah bahwa kita membutuhkan pendidikan dari lingkungan sehari-hari. Sebagian besar dari anak-anak pokjar adalah anak-anak yang kurang mendapatkan motivasi belajar dirumah. Itulah peran penting orang tua. Sekolah hanyalah salah satu media saja untuk memberikan alternatif pembelajaran kepada anak. Setiap waktu dalam perjalanan hidup seorang anak adalah masa-masa emas untuk belajar. Jadi belajar bukan Cuma di sekolah dan bukan sebatas pada rutinitas-rutinitas kegiatan di sekolah. Waktu berlibur yang biasa dijadikan waktu bermain ternyata efektif juga untuk belajar. Belajar sambil bermain J . Apalagi kurikulum pendidikan yang masih ”acak2an” di bangsa kita ini. Mendapatkan hasil yang optimal bukan dengan menunggu pemerintah akan berubah, tetapi melakukan perubahan itu dari tangan kita sendiri. Berdiri diatas dua kaki, berkarya dengan dua tangan kita, melihat, mendengar dan merasakan dengan indera yang Allah berikan. Hidup adalah Perbuatan!!! YAKUSA!!! (nta).


Tengah malam, 14 Februari 2008. Dipersembahkan spesial untuk teman-temanku semasa kecil di SD N Kejambon 2 Tegal. I miss u all…. Mmmuaachh….....
Title: MEMOAR OF “LASKAR PELANGI”; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: