Pages

Friday, February 13, 2009

Kepada Para JobSeeker



Langkahku semakin lelah
Berjalan menyusuri...
Mondar-mandir di keramaian kota
Hati yang bingung lamaran kerja ditolak
Enggak tau kenapa masih berkurang syaratnya...
Pikir-pikir daripada ku melamar kerja
Lebih baik ku melamar kamu

(Ost. Sinetron Gengsi gede-gedean)


“..emang cari kerja itu susah ya mas?”
”....banget, nta!!!”



Teringat pada obrolan-obrolan dengan kawan-kawan yang sedang memiliki hobi menulis surat lamaran, membuat legalisir ijasah, baca koran di kolom iklan kecik, dan juga rajin ke internet melihat info-info di situs lowongan kerja. Kalau dalam siluet di televisi, digambarkan dengan pemuda lusuh dengan stopmap di tangan dan menyambangi kantor perusahaan satu demi satu.

Pekerjaan/profesi dalam konteks sosial masyarakat merujuk pada status seseorang. Dalam sudut pandang saya, bekerja / memiliki profesi adalah salah satu usaha untuk memenuhi kemedekaan diri, independensi diri, dimana dengan bekerja seseorang telah berusaha menghidupi dirinya dengan dua kakinya sendiri. Itulah dimana kita merasakan ”merdeka” sebagai manusia. Maka kepuasan bekerja diukur dari seberapa merdeka seseorang dengan pekerjaannya itu. Bukan sebatas pada nilai rupiah atau melimpahnya harta yang dimiliki.

Bekerja dan kemandirian. Terkadang ada penyempitan persepsi dalam memandang hal itu. Bekerja yang dikenal dalam pandangan masyarakat adalah sebuah tahap saat seseorang telah menyelesaikan masa studi-nya. Makanya tidak bisa seratus persen disalahkan jika berjuta-juta orang masuk ke perguruan tinggi dengan harapan mendapatkan ijasah dan bisa mencari kerja. Namun apakah itu berlaku sama pada frasa yang kedua ; ”kemandirian” ? . Apakah kemandirian dapat ditakar dari selembar hijaza atau panjangnya gelar yang diraih?! Kemandirian adalah sebuah proses yang mungkin tidak didapat di bangku sekolah atau kuliah.




Saya sepenuhnya menghargai teman-teman yang saat ini sedang menjadi jobseeker. Senja tadi, seorang teman sms dan meminta info tentang lowongan yang saya berikan tempo hari. Sebelumnya beberapa orang teman (lebih tepatnya saya panggil sebagai kakak), juga menelpon untuk menanyakan info lowongan kerja. Bulan lalu seorang kakak meminta dicarikan jaringan di perusahaan X. Tidak sedikit teman yang mengabarkan bahwa sebentar lagi ada yang jadi pengangguran, ada juga yang mengabarkan sudah diterima kerja dan ada di salah satu belahan wilayah dunia. Saya sangat menghargai apa yang mereka lakukan, menghargai bahwa mereka telah berusaha untuk meraih independensi diri, menjadi orang yang merdeka setidaknya dalam hal materi dan berharap dapat menjadi manfaat bagi orang lain di sekitarnya.

Mungkin saya dianggap belum merasakan sendiri bagaimana sih susahnya mencari pekerjaan. Walaupun ketika dulu saya pernah main ke rumah sepupu, saya melihat ratusan tumpukan surat lamaran pekerjaan yang hingga kini entah bagaimana nasibnya. Kakak saya sendiri juga kebetulan ada di sekolah kedinasan dibawah departemen keuangan dan langsung mendapatkan posisi kerja yang lumayan. Walaupun saya tidak melihat ”kemerdekaan” pada diri kakak saya. Jadi saya mungkin dianggap tidak pernah meliha realita susahnya nyari kerja dan belum pada sampai tahap itu.

Saya pernah bertekad untuk tidak ”membuat surat lamaran kerja” jika selepas kuliah nanti. Sombong!! Mungkin kedengarannya seperti itu (Ampuni aku ya Rabb jika itu menyergap jiwaku). Namun mungkin ini jalan yang kupilih, toh tiap orang punya jalan masing-masing. Ini semua juga beralasan.

Dengan persepsiku bahwa bekerja merujuk pada sebuah kemandirian, independensi / kemerdekaan, maka bagiku berprofesi atau bekerja tidaklah saklek dibatasi oleh tingkatan-tingkatan tertentu seperti jenjang pendidikan.

Mandiri itu indah....manis sekali rasanya. Mandiri bukan sebatas pada hal materi saja. Tetapi bagaimana kita dapat merasakan berdiri diatas dua kaki kita, berkarya dengan dua tangan kita, melihat, mendengar, merasakan dengan indera kita.

Mandiri secara materi...yang manis sekali pertama kali mungkin saya rasakan saat kecil dulu. Teringat masa-masa kecil dulu. Waktu itu nenek memiliki kios / warung kelontong dirumah. Nenek memang wirausahawan(wati?) yang hebat. Setiap akhir pekan, nenek selalu belanja keperluan toko (jawa : kulakan). Namun jika saat-saat tertentu harus kulakan juga tanpa menunggu akhir pekan. Jika nenek tak bisa pergi sendiri, maka bisa menyuruh orang lain, termasuk cucu-nya. Saya adalah cucu terdekat nenek. Dari kecil ada di pelukannya. Nenek juga lah yang mengajari saya arti sebuah kemandirian. Usia kecil dulu dicoba untuk kulakan sendirian. Kadang belanja rokok, permen, atau barang-barang lain yang mendadak habis stok-nya. Dengan sepeda kecil, dengan berbekal catatan belanja, terkadang saya yang harus berangkat untuk kulakan. Nenek ternyata tidak mengenal bias gender, semua diperlakukan sama. Walaupun saya anak cewek, tapi bukan berarti tidak bisa kulakan dengan mengayuh sepeda ditengah jalanan kota. Satu hal yang ditunggu jika kulakan adalah saat mendapatkan reward atau upah. Hanya senilai sekitar lima ratus sampai seribu rupiah. Namun nilai itu mampu melupakan banyaknya peluh yang mengucur saat harus berpanas-panas sepeda. Saat itu rasanya saya dihargai, saya menjadi ”orang”, mampu menghasilkan sesuatu, mampu menghargai peluh yang mengucur.

Di kemudian waktu, beberapa kisah memberikan saya pelajaran tentang sebuah kemandirian. Bukan sebuah kemandirian dengan keterpaksaan, namun memang ada sebuah rasa manis yang ingin diraih. Saat SD pernah saya jualan ”kertas binder”. Usia-usia SD sangat senang sekali dengan koleksi kertas-kertas lucu berwarna-warni. Terkadang saya tersenyum sendiri saat mengingt masa-masa kecil. Bukan hanya jualan, tapi teman-teman sepermainan kadang mengadakan arisan, dan sejenisnya. Dulu saat dapat arisan atau jualan binder-nya laku, rasanya bangga sekali. Bisa jajanin teman, bisa beli majalah anak-anak lebih dari satu jenis, bisa menyewa komik atau novel di kios persewaan buku tanpa ketahuan papah (he3). Saya sangat bangga sekali saat bisa membelikan kado untuk kakak saat beliau ultah, waktu itu saya masih kelas 6 SD (kalo nggak salah). Sebuah kamus bahasa, karena saya tahu waktu itu kakak yang sudah duduk di bangku SMP merasa kesulitan dengan pelajaran bahasa Inggris. Dan kado itu saya beli dengan uang sendiri. Puas sekali rasanya....

Saat SMP, juga suka kayak gitu. Tapi masa-masa ini adalah masa bandel-nya seorang shinta. Mandiri sih mandiri...tapi terkadang karena malak..he3. Kebandelan saya saat itu membuat kepopuleran saya tidak dinafikkan lagi dan tidak sedikit teman yang menjadi ”korban” penindasan yang saya lakukan. Jujur saja, uang saku saat SMP itu hanya sekitar 500 – 1000 rupiah. Sebenarnya sih cukup-cukup aja. Tapi seorang shinta waktu itu adalah orang yang berfikir ” Kalau bisa lebih, kenapa nggak??” . So, jangan heran jika saat SMP bisa melihat saya jajan bakso tiap hari, maen-maen keluyuran...hang out bareng temen-temen. Tapi sebenarnya saya keberatan dikatakan ”menindas”, tapi lebih tepatnya ”membodohi”. Entah kenapa beberapa teman bisa saya cocok hidungnya hanya dengan kata-kata yang melangit dan kemampuan imajinasi saya. Teman-teman saya saat SMP adalah teman-teman yang borju. Jadi setiap hari ada jaminan saya jajan enak.he3. sekali lagi, saya bukan menindas, justru membantu. Membantu anak-anak orang borju menghabiskan duitnya. Kadang rasa malas mereka saya manfaatkan. Saya masih ingat waktu saya buka ”objekan” pengetikan dan penerjemahan bahasa Inggris. Kalo didengar sekilas, wah hebat juga ya shinta. Sebenarnya bukan hebat, tapi mereka aja yang bodoh. Dulu ada guru bahasa Inggris yang selalu membuat tugas menerjemahkan bacaan-bacaan di buku paket. Buku paket itu kan tiap tahun sama... maka saya tinggal save dokumen-dokumen kakak-kakak kelas yang dulu, dengan sedikit ”improve” yang entah itu jadi tambah bener atau tambah salah.he3. Walaupun tiap tahun sama, tapi sang guru tidak mau menerima tugas kembar. Jadi yang kayaknya menurut ”penglihatan” beliau hanya copy paste, ya dianggap nol. Ya, tinggal di-improve saja toh, jenis hurufnya diganti... covernya beda, trus urut-urutannya divariasi. Saya sekali mendapat job bisa dari 5-6 anak, dan itu tinggal saya kreasikan saja. Yang satu pake huruf comic sans, pake cover hijau. Satu lagi pake huruf comic tapi dikasih header-footer, trus bentuknya landscape, yang lain pake huruf times new roman, trus diberi ornamen background, yang lain bentuk jilidnya beda. Selesai toh???!!!! Satu orang bisa membayar 10-20rb untuk ”pekerjaan”saya itu. Gimana saya nggak jadi ”sok kaya”???!!! Dan dari situlah saya suka dunia komputer.

SMA nggak jauh beda. Beberapa ”kecerdasan” yang dimix dengan sedikit ”kelicikan” juga menjadi ”pekerjaan” saya. Yang paling diingat waktu jadi ”juragan tongkat” saat kelas tiga SMA. Waktu itu saya punya ”jabatan” di dewan ambalan, dulu kalo musim perkemahan , tiap regu harus mempersiapkan segala pernak-pernik pramuka dari mulai tongkat hingga tenda. Saya membuka jasa pelayanan penyediaan segala pernak-pernik itu. Ada beberapa paket yang ditawarkan. Saya agak lupa jenis2 paketnya. Yang pasti untungnya lumayan lah...bisa buat jajan di bumi perkemahan. Waktu itu jujur aja saya memanfaatkan ”posisi” saya di dewan ambalan. Dewan yang membuat aturan tentang segala pernak-pernik yang harus disiapkan, nah ternyata ”pejabat dewan” lah yang meraup untung dengan segala aturan itu. Kapitalisme kreatif!!!he3.

Bukan hanya jualan, tapi semenjak duduk di bangku SMA juga saya mengetahui manisnya berkarya. Menang lomba nulis dapat duit, nulis di koran dapat duit, jadi delegasi sekolah buat lomba dapat uang saku, berprestasi dapat beasiswa... itulah yang kemudian menjadi unsur pembentuk sebuah kata kemandirian dalam persepsi saya. Biar Garing Asal Garang.... Biar miskin asal berkarya...niscaya dia kaya...!!!

Dengan persepsi kemandirian yang terbentuk itulah membawa saya pada sudut pandang mengenai independensi / kemerdekaan. Maka menurut saya sangat sempit artinya saat kemerdekaan itu baru dimulai saat kita memiliki legalitas sebuah ijasah, saat kita mulai mendaftarkan diri untuk bekerja di sebuah perusahaan atau institusi terntentu. Maka benar donk jika lembaga pendidikan sebenarnya hanyalah sebuah lingkaran penjara yang kemudian lulus dari situ kita baru bisa dilepas untuk mencari kemerdekaan??!!!

Kemandirian bukan dibatasi oleh jenjang pendidikan tetapi kesadaran tiap pribadi untuk memahami bahwa setiap dirinya adalah pribadi yang merdeka bebas menentukan apa yang dilakukan. Seperti filosofi dalam lagu lir-ilir, bahwa manusia adalah ”cah angon” yang memiliki kemerdekaan untuk menggembalakan hidupnya, yang dipercaya untuk ”menek bwit blimbing”. Independensi adalah sebuah konsekuensi dari sebuah kepasrahan transedental kepada Gusti Allah ingkang maha kuoso. Itulah menariknya tauhid...bahwa dalam kepasrahan seorang hamba memiliki turunan konsekuensi untuk menjadi seorang yang selalu gigih untuk memperjuangkan sesuatu, yang selalu bersungguh-sungguh dan menjaga independensi diri.

Sedikit pengalaman mencari makna kemandirian yang pernah saya jabani memang menjadi salah satu titik semangat dan kepercayaan diri untuk terus survive dalam hidup ini, bukan pada masa sekolah namun juga terbawa hingga sekarang. Dari mulai jualan pada masa-masa kuliah, menjadi kuli tinta dan mimpi, menjadi general manager radio station, menjadi guru TK, menjadi penjaga toko. Bahkan menjadi pengamen puisi pernah dijabani. Bukan karena untuk ”materi” tetapi mematrikan diri ini bahwa saya ”berarti”, bahwa diri ini mampu berbuat, melakukan dengan segala daya pikir dan kreasi. Jujur aja, walaupun pernah jualan, tapi saya tidak punya insting bisnis yang tinggi. Pada saat tahun-tahun pertama di bangku kuliah, dari mulai menjual ”bawang” sampai menjual ”batik”....semuanya berhasil............berhasil RUGI!!! He3. Tapi itulah manisnya mencari kemandirian, secara materi mungkin tak ternilai bahkan minus... tapi saat saya merasakan kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu, saat saya merasakan manis bahkan saat merasakan sebuah keluha, itulah pelajaran 1000SKS yang ada di universitas kehidupan ini dan di perjalanan itu saya pasti mendapatkan banyak pelajaran, termasuk jaringan. Hingga saat ini dan sampai nanti jasad saya berkalang tanah, usaha menuju independensi kan terus dilakukan, hingga nanti kemerdekaan hakiki adalah saat dipertemukan dengan sang pemerdeka hambaNya...Illahi Rabbi.

Nah, kembali pada para jobseeker. Saya rasa akan lebih nikmat saat dirasakan dan diorientasikan untuk mendapatkan lebih dari sekedar materi. Bukan juga sebatas status karena sudah sarjana harus bekerja. Karena saat bekerja dirujukan pada sebuah kemandirian dan kemerdekaan, mandiri dan merdeka bukan terpaku pada lulus atau tidak lulusnya jenjang pendidikan kita. Apalagi dengan orientasi sistem pendidikan di negara kita yang masih belum jelas, bukan mendidik peserta didik mandiri tapi justru menjadi budak zaman. Toh rezeki sudah diatur dalam skenario-Nya, tugas kita adalah berusaha meraihnya, dan nikmatnya hidup adalah saat kita merasakan improvisasi skenario kehidupan itu sendiri. Kepada para jobseeker....: SELAMAT BERJUANG UNTUK MERAIH KEMERDEKAAN!!! MERDEKA!!! (nta)
Title: Kepada Para JobSeeker; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: