Pages

Friday, April 04, 2008

PEMBENTUKAN KARAKTER MASYARAKAT BILINGUAL MELALUI PENUMBUHAN LINGUISTIC PRIDE BANYUMASAN*)


Oleh : Shinta Ardhiyani Ummi**)

PENDAHULUAN
Bahasa menunjukkan bangsa. Kalimat pepatah ini memberikan kesan kepada kita bahwa sebuah bahasa dapat menjadi tolak ukur penilaian sebuah hal. Salah satu fungsi yang dimiliki bahasa adalah sebagai sebuah identitas baik individu ataupun kelompok masyarakat. Bahasa juga merupakan sebuah sistem atau lebih tepatnya, sekelompok sistem (yaitu sistem bunyi, sistem tata bahasa, sistem makna).

Sebagai sebuah produk budaya, bahasa memiliki berbagai faktor yang mempengaruhi eksistensinya. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah. Di Indonesia, ada lembaga yang berkompeten untuk membina dan mengembangkan bahas yaitu Pusat Pembinaan Bahasa. Sebagai salah satu identitas, Indonesia juga menunjukan identitasnya melalui bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Kemudian melalui Lembaga Pusat Pembinaan Bahasa, muncul garis kebijakan bahasa seperti:

“ Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah lambing kebulatan semangat kebangsaan Indonesia, alat penyatuan berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat Indonesia, alat perhubungan antarsuku, antardaerah, dan serta antarbudaya….. Di dalam kedudukannya, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.” (Halim, 1980, 17)

Kebijakan ini merupakan sebuah arah pemersatu bangsa yang majemuk. Namun memang ada yang perlu disayangkan dalam implementasinya. Pelaksanaan kebijakan itu hanya semata-mata menekankan pembinaan dan pengembangan bahasa nasional, tanpa secara serius melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah merupakan kekayaan bangsa yang juga harus dibina dan dikembangkan. Kebijakan yang tidak serius melakukan pembinaan bahasa daerah sehingga lambat laun akan membawa kepunahan bahasa daerah. Hal ini secara tidak langsung merupakan tindak perampasan hak hidup masyarakat pendukung bahasa-bahasa lokal.

Seorang linguis pernah menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki dana dan tenaga yang mencukupi untuk membina dan mengembangkan bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya beratus-ratus. Menurutnya pula, membiarkan masyarakat hidup dengan bahasa daerahnya sama saja halnya dengan memelihara mereka dengan memelihara dalam museum hidup. Dalam arti lain itu adalah sebuah upaya pelestarian. Pandangan ini tak berbeda dengan pandangan A.A.Fokker yang sangat tidak berkenan dengan adanya bahasa lain yang mengganggu pertumbuhan bahasa Indonesia. Menurut Fokker dialek-dialek kecil harus hilang dan itu merupakan hukum yang tak tergoyahkan, dan sebagai penjunjung pikiran untuk masyarakat yang lebih luas dialek itu harus melangkah mundur terhadap yang lebih kuat dan lebih maju. Hal ini jelas-jelas tidak bertentangan dengan garis kebijakan yang telah disusun dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa daerah seperti yang telah dirumuskan berikut :

”Bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya, dihargai dan dipelihara oleh negara. Oleh karena itu bahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan yang hidup”.

PEMBAHASAN
Bahasa Banyumasan yang sering disebut dengan istilah ”ngapak-ngapak” merupakan aset budaya Jawa yang memiliki peluang besar untuk dilestarikan baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. Namun, fenomena yang kita lihat pada era kini adalah menurunnya minat masyarakat dalam penggunaan bahasa banyumasan. Dialek Banyumasan dianggap sebagai bahasa kuno yang tidak populer. Padahal tiap personal masyarakat Banyumas sendirilah yang memiliki tanggung jawab dalam pelestarian dialek lokal tersebut.

Dialek Banyumas memiliki kekhususan-kekhususan linguistik yang tidak dimiliki oleh bahsa Jawa standar. Keunggulan itu misalnya dialek dapat menutup kata-katanya dengan bunyi bersuara dan tidak bersuara. Misalnya sendok, endog, angop, abab, dsb. Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas selain berkembang bahasa Jawa baku—sering disebut dengan istilah bahasa bandhek—juga berkembang bahasa Jawa dialek Banyumas atau bahasa Banyumasan. Bagi masyarakat di daerah ini, bahasa Banyumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Bahasa Banyumasan diyakini sebagai peninggalan dari bahasa Jawa lama (bahasa Jawa Kuno dan Tengahan) yang masih bisa dijumpai hingga sekarang (Ahmad Tohari,1999). Dengan demikian bahasa Banyumasan dapat digunakan untuk mengintip pertumbuhan bahasa Jawa lama yang berkembang sebelum lahirnya bahasa Jawa baru.

Bahasa Banyumasan memiliki spesifikasi dan/atau ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dengan bahasa Jawa baru (standar). Beberapa ciri khusus tersebut antara lain:
(1) berkembang secara lokal hanya di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas;
(2) memiliki karakter lugu dan terbuka;
(3) tidak terdapat banyak gradasi unggah-ungguh;
(4) digunakan sebagai bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas;
(5) mendapat pengaruh bahasa Jawa kuno, Jawa tengahan, dan bahasa Sunda;
(6) pengucapan konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas (selanjutnya sering disebut ngapak-ngapak), dan
(7) pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca dengan jelas (Yusmanto, 2004-a).

Bahasa Jawa dialek Banyumas terbagi setidaknya menjadi sub dialek, yaitu sub dialek wetan kali (sisi timur sungai) dan sub dialek kulon kali (sisi barat sungai). Sungai yang dimaksud disini adalah sungai Serayu. Sub dialek wetan kali merupakan dialek Banyumasan yang cenderung dekat dengan bahasa Jawa standar yang dikembangkan di wilayah negarigung. Sedangkan dialek kulon kali cenderung dekat dengan bahasa Sunda. Fakta yang paling mudah ditemukan adalah nama-nama desa. Di sisi barat sungai Serayu terdapat begitu banyak desa atau tempat-tempat yang didahului kata “ci” yang dalam bahasa Sunda berarti sungai, seperti Cilongok, Cingebul, Cilacap, Cionje dan lain-lain. Ini berbeda dengan desa-desa atau tempat-tempat di sebelah timur sungai Serayu yang lebih njawani, seperti Karangsalam, Karangrau, Purwareja, Wirasaba, Somagede dan lain-lain. Kenyataan demikian tidak dapat disangkal meskipun nama-nama njawani berkembang lebih meluas hingga sisi barat sungai Serayu. Semua itu terjadi karena sungai Serayu telah menjadi batas terakhir perkembangan kebudayaan Sunda, sementara persebaran kebudayaan Jawa merambah hingga perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Lebih dari itu pada tingkat kelompok-kelompok kecil ternyata juga terdapat perbedaan-perbedaan sub dialek yang tercermin pada pilihan kosa kata, intonasi, dan gaya bahasa. Di wilayah kulon kali, terdapat banyak sub dialek seperti yang terdapat di wilayah Kalibagor hingga Purwokerto yang berbeda dengan Karanglewas dan Cilongok. Hal ini berbeda dengan yang terdapat di Ajibarang hingga Lumbir. Semakin ke arah barat, semakin kental pula warna Sundanya. Namun justru ada kekhususan, di daerah Wanareja dan sekitarnya justru banyak digunakan bahasa Jawa bandhek (standar) untuk komunikasi sehari-hari. Hal tersebut terjadi karena di wilayah Wanareja dihuni oleh orang-orang dari Wetan (wilayah Blora, Pati, Klaten dan lainnya) bekas narapidana Nusakambangan pada masa penjajahan Belanda yang tidak pulang ke daerahnya. Artinya, sejak lama di wilayah Wanareja justru telah dihuni oleh masyarakat multietnis yang memungkinkan terciptanya sub kebudayaan tersendiri di dalam konteks kebudayaan Banyumas secara keseluruhan.

Dari fakta-fakta diatas kita dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan Banyumas dibentuk dari kebudayaan yang heterogen. Identitas kebudayaan Banyumas justru dibangun dari berbagai komunitas masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil di wilayah Banyumas. Hal ini sangat bisa dipahami karena pada dasarnya identitas budaya dibangun oleh individu-individu sejauh dia dipengaruhi oleh tanggung jawabnya terhadap sebuah kelompok atau kebudayaan (Wikipedia,2006). Karakter individu memiliki peranan yang cukup besar di sini. Karakteristik individu berakar pada identitas dasar yang dibawa semenjak lahir dan merupakan suatu anugerah yang tidak bisa dihindari. Identitas dasar itulah yang kemudian membentuk “keakuan” dan membedakannya dengan yang lain (Ubid Abdillah S., 2002:12). Karakteristik individu pada orang per orang yang mendiami wilayah Banyumas kemudian disatukan oleh perasaan kebersamaan.

Perasaan kebersamaan diwujudkan melalui berbagai cara dan ekspresi seperti yang tampak pada bahasa dan kesenian-kesenian tertentu yang berkembang meluas di seantero Banyumas. Bahwa bahasa dialek Banyumasan dengan sub-sub dialeknya merupakan ekspresi perasaan kebersamaan kaum panginyongan (Ahmad Tohari, 2006) di tengah hegemoni kebudayaan kraton Jawa. Adanya perasaan kebersamaan ini kemudian terbentuk suatu sistem kebudayaan; kebudayaan Banyumas.

Menurunnya pelestarian dialek banyumasan dengan kata lain dapat diindikasikan terjadi adanya degradasi perasaan kebersamaan yang telah menjadi sebuah tali pengikat. Menurut kajian teori dan analisis sosiolinguistik, ada berbagai sebab atau alasan mengapa suatu bahasa punah atau tidak digunakan lagi oleh penutur-penuturnya. Satu diantaranya adalah adanya dominasi bahasa atau dialek yang lebih besar baik secara demografis, ekonomis, soSial, atau politis. Dalam konteks kasus bahasa banyumasan, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tekanan dari bahasa Jawa juga merupakan salah satu faktornya. Banyumasan merupakan subbahasa yang kemudian mendapatkan pengaruh dari berbagai dialek disekitarnya seperti telah diuraikan diatas mengenai adanya sub-sub dialek Banyumasan.

Pemertahanan bahasa Banyumas dapat dilakukan melalui kebijakan pembinaan bahasa Jawa yang memberi peluang sebesar-besarnya bagi para penuturnya untuk menggunakan dialek Banyumasan sehingga dialek ini bisa menjadi alat komunikasi yang utama di lingkunan keluarga dan masyarakat dalam mengembangkan budaya lokalnya. Hal yang tidak kalah penting dalam sebuah pemeliharaan sebuah bahasa adalah pembentukan linguistic pride (kebanggaan berbahasa) yaitu penumbuhan rasa bangga dalam diri penutur-penutur dialek Banyumas untuk menggunakan bahasanya.

Kadar kebanggaan berdialek Banyumas apabila diukur di era kini,dapat dikatakan mengalami kecenderungan menurun. Banyak yang berpendapat bahwa pengajaran bahasa Banyumas justru akan mengganggu usaha anak dalam menguasai bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya generasi muda tidak lagi mehir menggunakan bahasa ibunya, atau karena prestise beralih ke bahasa jawa standar, dialek Solo-Yogya. Pandangan ini sangat keliru.

Sampai sejauh ini belum ada bukti yang manguatkan bahwa pembelajaran dua bahasa atau lebih dapat menimbulkan gangguan. Pada dasarnya setiap orang juga memiliki kemampuan menguasai bahasa pertama dan bahasa lain setelah bahas pertama. Orang-orang bilingual- yang menguasai lebih dari satu bahasa- justru memiliki banyak keuntungan. Mereka dapat melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda, bahkan bertentangan sehingga dapat lebih toleran menghadapi perbedaan-perbedaan yang muncul.

Jadi dalam pembelajaran bahasa, kita tak bisa menerapkan sikap yang “hitam-putih” bahwa munculnya satu bahasa akan mendominasi bahasa lain. Hal yang perlu ditekankan adalah positioning dari penggunaan bahasa tersebut. Belajar bahasa Banyumas bukan berarti kemudian kita lupa terhadap bahasa Indonesia dan dalam kesehariannya full Banyumasan. Namun sebagai kebanggaan serta komunikasi antar penduduk lokal, penggunaan dialek Banyumasan merupakan taste tersendiri dalam sebuah interaksi.

PENUTUP
Dialek Banyumas merupakan aset budaya yang harus kita pertahankan dan lestarikan. Pemertahanan bahasa melalui penumbuhan linguistic pride merupakan cara yang ampuh dalam pemertahanan bahasa. Dengan tetap menghormati bahasa nasional serta bahasa jawa standar, maka akan tumbuh masyarakat bilingual di Banyumas yang mampu memiliki sikap toleransi yang lebih disbanding masyarakat monolingual. Sikap ini sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasarkan atas kemajemukan dan juga dalam interaksi dengan bangsa-bangsa lain dalam era globalisasi. Sebuah kutipan berikut patut kita simak :
“ To this one might add the observable advantages of bilinguals or multilinguals who are more used to switching touht paterns and have more flexible minds. Being familiar with different , often contradictory concepts, they are more tolerant than monolinguals, and more capable of understanding different sides of problem.” (de Cuellar, 1996, 179).





Title: PEMBENTUKAN KARAKTER MASYARAKAT BILINGUAL MELALUI PENUMBUHAN LINGUISTIC PRIDE BANYUMASAN*); Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: