Pages

Thursday, November 08, 2007

Kemana Bargaining Position Kita??

Oleh : Shinta Ardhiyani Ummi
(untuk hijau hitamku)
Image “pemikir sejati” yang melekat pada HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan kiranya perlu kita refleksikan. Konsep, konsep, dan berkali-kali konsep lagi. Itulah produktivitas kita. Padahal tantangan yang dihadapi mahasiswa yang katanya sebagai agent of change tidak sekedar berhanti pada tahap epistemis saja.
Kiranya perlu dimaknai kembali kata “mahasiswa” dalam organisasi kita. Kenyataan yang terjadi adalah teman-teman HMI jauh dari populis mahasiswa. Hal ini lepas dari kondisi mahasiswa yang “apatis”, HMI sebagai organisasi yang beranggotakan mahasiswa perlu kembali “Back To Campus”. Sekilas mungkin dinilai sebagai pemikiran yang sempit. Tapi memang kampuslah sebenarnya lahan dakwah kita yang utama .Kalau kita tukang becak atau penyapu jalanan boleh saja kita tak terlalu memperhatikan kampus. Di sisi lain, sikap yang “menjauhi” kampus justru akan menguatkan posisi kampus hanya sebagai tempat kongkow. Dengan kata lain, kita juga sebagai aktor dalam simbolisasi kampus sebagai lembaga pendidikan. Kalau begitu, apa artinya koar-koar kita tentang matinya pendidikan Indonesia? (kalau kita juga ternyata pembunuhnya).
Fenomena krisis kader di beberapa universitas yang terbilang “favorit” merupakan sebuah indikasi degradasi peran HMI di perguruan tinggi. Kalau begitu apa bedanya dengan HMI saudara kita yang lebih mementingkan politik praktis. Timbul pertanyaan yang selama ini belum terjawab “ HMI MPO mo dibawa kemana???”.
Mahasiswa khususnya mahasiswa Islam sebagai manusia intelektual (baca :berpendidikan tinggi) identik dengan pemikirannya yang cerdas, kritis, analitis. Kemudian apakah implementasi pemikiran itu telah nyata dalam kehidupan bangsa??? Satu frasa yang mungkin dapat mewakili seluruh fenomena tersebut yaitu bahwa kita – mahasiswa Islam – telah kehilang nilai tawar sebagai generasi intelektual. Bukan hal yang rahasia lagi jika produk-produk karya ilmiah mahasiswa yang diperlombakan sekarang aspek penilaiannya adalah ekonomi, karya-karya kita hanya akan menjadi sumbangan besar bagi kaum kapitalis. Coba kita tengok dunia media massa, apakah mahasiswa sudah mendapatkan jatah yang cukup untuk mengaspirasikan pemikirannya??? Atau sudah merasa cukup dengan ketersidaan satu rubrik mingguan satu halaman yang bertajuk “mahasiswa” atau “ “Mimbar”, dll. Bahkan Sasongko Tedjo, pimred Suara Merdeka pernah menyatakan sendiri bahwa demi kualitas media-nya (yang secara tidak langsung demi oplah), dia lebih memilih tulisan-tulisan para “sesepuh” dibandingkan tulisan dari mahasiswa. Bukan hal rahasia kalau kita mau mengirimkan tulisan ke media kalau bisa menyembunyikan identitas kemahasiswaannya. Fenomena apa ini??ternyata telah berpindah predikat agent of change dari kaum muda kepada kaum kapitalis.
Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa sebenarnya secara tidak langsung HMI telah menjadi aktor dalam kenyataan hilangnya peran mahasiswa saat ini. Ya, HMI dan juga organisasi-organisasi mahasiswa yang lain kini justru buta tentang hal-hal akademis. Hal akademis disini bukan semata-mata terpaku pada indeks prestasi, namun lebih kepada optimalisasi potensi keilmuan yang dimiliki ditempat mereka belajar. Mereka lebih hafal ideologi-ideologi yang berkembang, daftar nama koruptor Indonesia dibanding dengan rumus-rumus atau pokok-pokok mata kuliah yang diambil. Lebih parahnya lagi, terkadang menjadi pejuang yang munafik. Diluar mereka berkoar-koar tentang pembodohan dalam pendidikan, namun dengan “nurut” mereka juga mengikuti sistem pembodohan yang tersistematis dalam lembaga pendidikan. Kalau begitu, apa kata dunia???
Bukan bermaksud mempermasalahkan partisipasi mahasiswa dalam mengkritisi kondisi bangsa, namun kini sudah saatnya masuk dalam tahap aksiologis. Revolusi sistemik tak akan dapat terwujud jika kita juga minim dalam hard skill. Jangan siakan displin ilmu yang telah kita dapatkan di kampus. Implementasikan pemahaman filsafat ilmu yang kita miliki. So, ditunggu lahirnya ilmuwan-ilmuwan muda dari para mahasiswa Islam. Kejayaan Islam berawal dari generasi muda-nya yang mampu mengoptimalkan potensi keilmuan untuk kemaslahata umat.
Hal ini juga yang ingin dimulai dari komisariat pertanian UNSOED dalam kegiatan LK1 yang insya Allah akan diadakan akhir bulan ini. Komisariat tertua di Purwokerto yang lahan dakwahnya mencakup hampir lima fakultas di UNSOED (Fak.Pertanian, Fak,Peternakan, FKIK, Bahasa dan Sastra, dan MIPA). Dengan mencoba menstimulan para calon kader dengan berbagai event yang berkaitan langsung dengan disiplin ilmu mereka, kita mencoba melestarikan tradisi kelimuan di HMI untuk membangun kembali bergaining position mahasiswa Islam (nta).




Title: Kemana Bargaining Position Kita??; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

1 comment:

Anonymous said...

aq resah dgn kondisi hmi skarang.utk konteks hmi makassar, paradigma gerakan 'bawah tanah' msh kental,mungkin ini persoalan penanaman tradisi olh senior2 hmi dmakassar. akibatx hmi hax besar dluar kampus n g' mengakar ddlm kampus. aq sndiri termasuk kader yg mnjadi korban wacana 'sekolah itu candu', jd g' heran klo kuliahq amburadul.

tp itu bkn masalah, saat ini aq coba menggarap UNHAS utk back to campus. wacana yg dgeluti olh hmi unhas ad/ cultural stadies n posmo, jd g' trlalu berat utk melakukan perubahan paradigma d unhas.wacana gerakan tamadduni sangat pas dgn kultur unhas. bgmn dgn UNSUD????

ide2 hmi tdk boleh melayang2 dwilayah epistemologis sj, tp harus dteruskan hingga kwilayah akademis shg ide2 hmi bs bersentuhan langsung dgn dunia kampus.kader2 hmi hrs menguasai akademiknya tanpa hrs terjebak pd akademik an sich.

hmi jg hrs mandiri scara ekonomi shingga tdk terlalu menggantungkan diri pada alumni.d unhas aq sdh mmbangun tempat usaha dbidang jasa:rental komputer,translate center n foto copy.

hmi hrs berubah, klo tdk hmi akan menjadi fosil sejarah.aq bs saksikan sendiri alumni2 makassar yg g' selesai kuliah, bahkan ada yg sengaja membakar ijazahx olh sebuah semangat oposisi totalx pd zamanx, skarang mreka pusing pasca hmi, g' bisa berbuat apa2 lg, mreka memang punya kapasitas intelektual yg g' dragukan lg, tp itu g cukup, kita butuh pengakuan, kita butuh formalitas, kita bth lejitimasi utk melakukan prubahan dtingkat struktur.

oh iya...apa nta pernah mncoba utk mngkritisi khittah perjuangan? logika KP kita saat ini mirip sm NDP hmi dipo, hanya redaksinya yg beda. kok bisa ya? coba perhatikan, KP sangat hegelian dan sangat modernis.bukankah qta sdh memasuki fase posmodern dmana ini ad/ zaman perayaan pluralitas. modernisme hax akan menyeret pemikiran hmi mjd satu dlm bingkai modernis,klo ini dbiarkan terus menerus hmi akn kehilangan jati dirix sbg himpunan yg plural.

sdh dulu ya...sdh kepanjangan nih...
sebenarx msh banyak yg ingin aq bicarakan,tp lain kali aja...oke..