Pages

Saturday, February 23, 2008

Testimonial Tentang Sidang Paripurna Interpelasi BLBI

ni beberapa testimonial ttg sidang paripurna kemaren...gk tau kenapa trnyta ke-copy di flashdisk....waktu mo didelete...aq ragu ap di har disk mash ada or gak...jd q coba posting aja deh...
gak tau sampe saat ini nasibnya udah kemuat belum... (aq tuh suka kirimin tulisan ke koran tapi gk pernah beli korannya.he3



INTERPELASI BLBI, PERTANYAAN ATAU JEBAKAN?


Ketidakhadiran SBY pada sidang paripurna membahas interpelasi kasus BLBI rupanya menjadikan anggota dewan menjadi reaksioner dan sidang menjadi lebih diwarnai hujanan interupsi bahkan beberapa ada yang melakukan walkout. Berbagai macam asumsi pun muncul mengenai hal ini. Presiden dianggap tidak serius, presiden dianggap cuci tangan, dan lain-lain. Sebuah fragmen yang lagi-lagi membingungkan masyarakat yang kembali disuguhkan “pertengkaran” antar lembaga pemerintahan.

Pada saat sidang paripurna berlangsung, Presiden menggunakan waktu “bolos”nya itu untuk menyambut Duta Besar-Duta Besar yang hadir dari negeri seberang. Jika kenyataannya seperti ini, maka sebenarnya ada hal yang cukup menjadi tanda tanya, yaitu mengenai penetapan waktu sidang paripurna.

Tentunya kesepakatan pelaksanaan sidang paripurna tidak bisa diputuskan sepihak. Adanya undangan interpelasi yang dilayangkan pada tanggal 1 Februari tentunya merupakan sebuah upaya koordinasi. Tentunya pula pada saat itu, agenda presiden bisa dilihat apakah ada agenda penting di tanggal 12 Februari – berdasrkan rencana sidang dari DPR-. Presiden toh bukan orang yang kegiatannya ”tak teragendakan”. Seharusnya bisa dilihat apakah penentuan tanggal 12 Februari itu bentrok atau tidak. Jika bentrok seharusnya bisa dibicarakan lagi kapan waktu yang tepat.

Kalau memang DPR beritikad baik dalam penyelesaian kasus BLBI – dengan penggunaan hak interpelasi ini- maka yang seharusnya menjadi orientasi adalah presiden –sebagai lembaga eksekutif- dapat hadir dan duduk bersama. Kalau idealnya seperti itu yang diinginkan, tentunya bisa dilakukan konfirmasi sebelumnya antar dua pihak apakah sepakat pada waktu yang ditentukan itu atau tidak.

Lain lagi persoalannya kalau kasus BLBI ini dijadikan umpan untuk kepentingan tertentu. Justru akan senang jika presiden tak dapat hadir dan kemudian memunculkan image ketidakseriusan Presiden. Ini bisa diartikan bahwa interpelasi bukan semata-mata pertanyaan dan upaya penanganan kasus BLBI, namun juga menjadi tunggangan politik. Apalagi pencuatan kasus ini seolah sengaja di waktu-waktu menjelang pemilu 2009. ini memang peluang besar untuk merintangi langkah SBY untuk maju di 2009 nanti. Isu kasus BLBI dapat menjadi isu yang dapat menarik simpati rakyat, apalagi jika yang dibesar-besarkan adalah ketidakhadiran presiden yang diartikan sebagai ketidakseriusan pemerintah. Isu-isu seperti ini sama menariknya dengan isu-isu korupsi, HAM, yang merupakan isu-isu yang seksi untuk politikus yang ingin mengumpulkan simpati.

Maka esensi interpelasi sebagai upaya penanganan kasus BLBI hanyalah suatu yang kabur antara itikad baik dengan politik kekuasaan. Jika hal-hal seperti ini yang terus dipertahankan dan dilestarikan oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka bersiaplah untuk pembangunan bangsa yang jalan di tempat.

SIDANG PARIPURNA “KOSONG”

Kasus BLBI yang masih mengakar rupanya membuat DPR melakukan hak interpelasi kepada pemerintah. Namun, Presiden SBY ternyata berhalangan untuk hadir pada sidang paripurna dan kemudian jawaban atas pertanyaan seputar kasus BLBI dibuat secara tertulis dan disampaikan oleh para menteri. Ketidakhadiran presiden pada sidang paripurna interpelasi kasus BLBI kemarin ternyata membuat “kericuhan” tersendiri pada sidang paripurna kemarin. Dari alokasi waktu sekitar 4,5jam untuk sidang paripurna, sekitar 3 jam diantaranya hanya digunakan untuk melakukan interupsi dan perdebatan mengenai absen Presiden. Mayoritas anggota dewan menuntut kehadiran Presiden saat paripurna dan SBY dianggap tidak serius dalam menangani kasus BLBI dengan absen tersebut.
Secara aturan, SBY tidak melakukan kesalahan. Dalam undang-undang juga telah dijelaskan bahwa jawaban atas interpelasi dapat diwakilkan pada menteri. Pendelegasian itu sempat mendapat anggapan bahwa presiden telah melecehkan dewan legislatif karena kedudukan DPR sama dengan Presiden. Ini sebuah lelucon tentang strata jabatan. Seolah-olah DPR gengsi jika harus menerima menteri karena menteri adalah pembantu presiden. Walaupun secara konstitusi memang seperti itu, namun hubungan yang dibangun dengan sebuah ego tidak akan memberikan hasil yang baik. Menteri adalah bagian dari pemerintah. Maka tak ada perbedaan yang substansial ketika menteri atau presiden yang menghadiri sidang paripurna tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa DPR tidak dapat berprioritas pada hal-hal yang substansial. Kalau ada penilaian dari dewan bahwa Presiden memberikan jawaban interpelasi hanya jawaban-jawaban normatif, maka sikap-sikap anggota dewan dalam menanggapi absen presiden juga merupakan sikap yang normatif belaka. Substansi dari interpelasi juga menjadi sedikit terabaikan. Lagi-lagi pemborosan saja yang bisa dilakukan para anggota dewan. Sudah boros waktu, biaya, tenaga, hanya besar teriak saja. Kemudian apa yang menjadi ending? Sidang memutuskan untuk melakukan interpelasi BLBI jilid II karena untuk mendalami jawaban pemerintah alenia per alenia. Apakah jika SBY saat itu hadir akan membuat suatu hal yang lebih baik. Pemikiran Anggota Dewan lebih disibukan pada hal-hal yang kurang penting seperti absen presiden ketimbang mengenai penyelesaian kasus BLBI seperti tujuan awal dari penggunaan hak interpelasi mereka.
Kalau SBY dianggap tidak serius dalam menangani kasus BLBI ini, sekarang, siapa apakah DPR serius dengan kenyataan yang terlihat jelas pada sidang paripurna kemarin? Kalau memang serius, seharusnya bisa memilah dan dewasa dalam menyikapi sebuah keadaan. Proses memang sangat diutamakan, tapi bukan proses “pemborosan” yang senantiasa menjadi hobi para anggota dewan tersebut.
Harapan yang muncul, semoga Di sidang jilid II nanti, diharapkan lebih arif dan dewasa dan jernih dalam melaksanakan sidang interpelasi tersebut. Senantiasa eling pada tujuan awal.

”BERSAMA” VERSI SBY

Slogan “Bersama Kita Bisa” yang diusung SBY rupanya memiliki makna ambigu jika disandingkan dengan ketidakhadiran beliau pada sidang paripurna interpelasi kasus BLBI 12 Februari kemarin. SBY dipertanyakan ”kebersamaannya” dalam menangani kasus BLBI ini.

Sebelum membahas tentang bersama atau tidak bersama, ada baiknya kita tilik dahulu apa alasan yang menjadikan SBY tidak hadir pada sidang paripurna. Bertepatan waktunya dengan sidang tersebut, presiden memiliki agenda untuk menyambut Duta Besar Thailan Akrasid Amatayakul dan Dubes kuwait Faisal Sulaiman Ali Musaileem.

Kalau DPR punya hak interpelasi, presiden juga memiliki hak untuk hadir atau tidak hadir pada sidang tersebut. Apalagi jika memang ada alasan yang jelas. Namun, yang terjadi berbagai tudingan negatif meluncur sebagai reaksi dari ketidakhairan presiden SBY. Ada anggapan presiden cuci tangan kasus, ketidakseriusan, kemangkiran, dan tudingan-tudingan lain.

Namun sebenarnya inilah yang dimaksudkan dengan ”bersama” oleh SBY. Saat semua bersama melakukan tugas masing-masing, tidak ada ketimpangan fokus yang terkadang cenderung mendramatisir. Ketika bersama, presiden menyambut dubes, menteri menghadiri sidang, dan elemen turut sinergis dengan tugas dan wewenangnya masing-masing.

Tergulingnya rezim orde baru memang menjadikan suasana politik berubah drastis. Kalau dulu sangat ”adem ayem”, nampaknya seperti ingin meluapkan sesuatu yang terpendam, di era reformasi ini menjadi ”agresif” untuk bereaksi atas segala hal yang terjadi. Dinamika yang terjadi sangat fluktuatif. Anggota dewan sudah over kritis hingga terkadang tak mengindahkan nilai-nilai substansial. Namun, ini bukanlah kondisi yang patut untuk dipertahankan. Kalau dulu sudah adem ayem dan kemudian menjadi beringas, maka sudah saatnya kini kita menjadi sedikit lebih cerdas.

Pada kasus BLBI ini, hal substansial yang ada yaitu bahwa dapat terfomulasikan sebuah hal yang solutif pada kasus yang sudah menjadi “stok lama” yang diwariskan pemerintah terdahulu. Kalau hal-hal semisal ketidakhadiran menjadi sebuah hal yang dibesarkan atau bahkan sengaja dibesarkan demi kepentingan tertentu, maka pada hakikatnya negara ini masih berjalan ditempat, tidak ada sikap progresif dalam membangun Indonesia.

Maka sekarang, kembalilah “Bersama Kita Bisa”. Ini bukan sebuah jargon atau kalimat kampanye, namun izinkanlah sejenak politik kita menjadi positif dengan dilandasi niat untuk membawa Indonesia pada kondisi yang lebih baik. Sudah lebih dari cukup hal-hal terdahulu menjadi pelajaran dan bahan refleksi pada arah kemajuan bangsa.




Title: Testimonial Tentang Sidang Paripurna Interpelasi BLBI; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: