Pages

Tuesday, August 01, 2006

LKT Depsos 2006 (kritisin yaaa!!!)


Penanaman Nilai Falsafah
“Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sebagai Stimulan Bagi Keterbukaan KAT
di Indonesia

disusun untuk diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Komunitas Adat Terpencil (KAT) tahun 2006 yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI
Oleh :
Shinta Ardhiyani U

KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang atas karunia-Nya lah, kami dapat menyelesaikan karya sederhana ini yang berjudul “Penanaman Nilai Falsafah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ Sebagai Stimulan Keterbukaan KAT di Indonesia”. Karya ini kami susun untuk diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Komunitas Adat Terpencil (KAT) tahun 2006 yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI.
Pada kesempatan ini, kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada :
Dinas Kesejahteraan dan Sosial Kota Tegal,
UPTD Perpustakaan Daerah Kota Tegal,
Bpk. Drs. Suyanto, SPd, selaku guru pengampu mata pelajaran antropologi SMA N 1 Tegal,
Orangtua serta keluarga penulis yang senantiasa menjadi motivator dalam hidup kami,
Teman-teman dekat penulis yang selalu menumbuhkan inspirasi dalam berkarya,
Semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar dari kami. Kami pun sadar bahwa karya sederhana ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik serta saran yang konstruktif akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri. Akhir kata, semoga apa yang telah kami tuangkan dalam karya ini, dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien.
Tegal, 25 Juli 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………………………….i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………ii
Daftar Isi………………………………………………………………………………………iii
Bab I : Pendahuluan
I.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………..1
I.2 Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………...2
I.3 Problematika ……………………………………………………………………………….2
I.4 Metode Penulisan…………………………………………………………………………...2
I.5 Sistematika Penulisan………………………………………………………………………3
Bab II : Sistem Religi Sebagai Faktor Pengisolasi KAT……………………………………....4
II.1 Sistem Religi Pada KAT…………………………………………………………………..4
II.2 Sudut Pandang Plural Pada Sistem Kepercayaan…………………………………………5
Bab III : Penanaman Nilai Falsafah “Ketuhanan Yang Maha Esa”……………………………8
Bab IV : Penutup
IV.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………......10
IV.2 Saran…………………………………………………………………………………….11
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..12
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Telah teramanatkan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan dari berdirinya NKRI adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa, …..dan keadilan sosial” . Tujuan tersebut akan dapat tercapai apabila seluruh warga Negara tanpa kecuali, telah dapat menikmati kemerdekaan dan hasil-hasil pembangunan. Kenyataan yang ada ialah bahwa ternyata belum seluruh warga Negara berada pada taraf kesejahteraan sosial sebaik-baiknya, baik secara fisik, mental, ataupun sosial. 78.715 kepala keluarga terdapat Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan baru 5.668 kepala keluarga yang telah mampu menikmati program pemberdayaan. Masih merupakan sebagian besar, KAT yang terisolasi ataupun mengisolasi diri karena adapt, kepercayaan, mitos, ataupun kepentingan politik lokal.
Suatu hal yang cukup berpengaruh terhadap sulitnya menuju kondisi KAT yang sejajar dengan lingkungan sekitar lainnya adalah bahwa mereka memiliki kecenderungan bersifat tertutup. Sebagian besar dalam kenyataan adalah mereka bukan terisolasi melainkan mengisolasi diri. Maka arah pemberdayaan KAT yang harus dilakukan sebagai langkah awal ialah bagaimana membuka teralis ketertutupan yang mereka buat untuk mengisolasi dengan dunia luar.
Sifat tertutup tersebut dapat kita indikasikan sebagai sebuah implementasi dari adanya rasa memiliki nilai-nilai leluhur / kepercayaan. Diawali dengan system kepercayaan maka muncullah berbagai aspek lain yang kita kenal sebagai adat / tradisi sekelompok masyarakat tersebut hingga tercipta Komunitas Adat Terpencil yang enggan untuk bersosialisasi karena ada rasa “yang membedakan” tersebut.
Berbicara mengenai kepercayaan, sebenarnya kita dapat memandang kemajemukan kepercayaan secara plural. Pada dasarnya, ajaran kepercayaan adalah menyuruh pada kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan dan adanya pengakuan terhadap zat penguasa. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa kita sebenarnya telah mengakomodir hal tersebut. Tertuang dalam sila pertamanya, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang memiliki nilai falsafah yang luas, dapat menjadi sebuah senjata untuk membuka tirai besi “ketertutupan” Komunitas Adat Terpencil untuk dapat terkondisikan sama dengan masyarakat Indonesia yang lain.
Sebuah hal yang cukup menarik bagi kami untuk diangkat, maka tanpa ragu kami memberi tajuk “ Penanaman Nilai Falsafah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ Sebagai Stimulan Bagi Keterbukaan Komunitas Adat terpencil (KAT) “ pada karya kami yang sederhana ini.
I.2 Tujuan Penulisan
Penyusunan karya tulis ini bertujuan untuk:
Mengetahui tentang keanekaragaman Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Indonesia,
Menganalisa problematika pemberdayaan KAT di Indonesia,
Memahami lebih dalam mengenai nilai falsafah sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam peranannya terhadap pengangkatan KAT menuju kondisi yang lebih baik,
Memberikan sumbangsih saran terhadap penggalakan upaya pemberdayaan KAT di Indonesia,
Diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Komunitas Adat Terpencil tahun 2006 yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI.
I.3 Problematika
Bagaimana nilai falsafah sila pertama dari Pancasila yaitu “ketuhanan Yang Maha Esa” dapat menjadi sebuah tonggak pemberdayaan KAT untuk menuju kondisi KAT yang lebih baik.
I.4 Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penyusunan karya ini adalah:
Kepustakaan / literature, yaitu dengan mencari referensi baik dari buku, media cetak / elektronik, yang berkaitan dengan problematika yang kami angkat,
Analisa, yaitu dengan menganalisis dari segala data serta informasi yang kami terima,
Interview, yaitu dengan melakukan Tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang kami rasa memiliki keterkaitan dengan problematika yang kami angkat pada karya ini.
I.5 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dari karya ini adalah:
Bab I : Pendahuluan, meliputi : Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Problematika, Metode Penulisan, serta Sistematika Penulisan
Bab II : Sistem Religi Sebagai Faktor Pengisolasi KAT, meliputi pembahasan mengenai system religi / kepercayaan yang menjadi unsure dalam KAT yang dapat menjadi faktor KAT berada pada kondisi terisolasi.
Bab III : Penanaman Nilai Falsafah “Ketuhanan Yang Maha Esa”, meliputi pembahasan mengenai nilai falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa serta peranannya sebagai senjata untuk membuka ketertutupan KAT.
Bab IV : Penutup, meliputi kesimpulan serta saran konstruktif dari penulis.
BAB II
SISTEM RELIGI SEBAGAI FAKTOR PENGISOLASI KAT
Komunitas Adat Terpencil (KAT) atau yang dulu lebih kita kenal dengan masyarakat terasing, memiliki definisi sebagai kelompok orang / masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang disbanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Masyarakat yang termasuk dalam KAT ini emiliki kriteria :
hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat lokal dan terpencil :
bentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen,
pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan,
pada umumnya secara geografis terpencil dan relatif sulit dijangkau atau terisolasi.
Kehidupan dan penghidupannya masih sangat sederhana
Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsitens (hanya untuk kepentingan sendiri) belum untuk kepentingan pasar,
Peralatan dan tekhnologi sederhana
Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi
Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik,
Secara sosial budaya terasing dan atau terbelakang.
Sistem Religi Pada KAT
Terciptanya KAT memunculkan khasanah kebudayaan yang menjadi adat dan karakter setiap KAT. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, oleh Prof.Dr. Koentjaraningrat telah dijelaskan bahwa salah satu unsur universal pembentuk kebudayaan yaitu sistem religi dan upacara keagamaan.
Manusia mengalami baik sadar ataupun tidak, adanya getar-getar tertentu dalam kalbunya, yang mengisyaratkan timbulnya keinsyafan terhadap sesuatu yang tak kuasa dibayangkan oleh akal kita. Sesuatu yang dimaksud adalah Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam semesta berikut seluruh isinya. Keinsyafan tadi merupakan kesadaran religius yang dihayati oleh manusia. Ekspresi daripadanya sejalan dengan corak alam pikirannya masing-masing. Kesadaran religius memberikan implikasi adanya perasaan-perasaan khas pada diri manusia, yang mampu mengarahkan berbagai tingkah lakunya. Religi adalah gerak keterikatan hati nurani manusia, tak karena pakasaan tetapi karena penundukkan diri yang mengaku nilai paling kudus itu.
Religiusitas merupakan rasa rindu kepada sesuatu yang sifatnya abstrak. Yang abstrak itulah yang berada di luar kosmos. Religiusitas manusia diekspresikan secara budaya dalam agama dan kepercayaan dengan berbagai ritus yang sekaligus menunjukkan taraf budaya. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan, semakin dekat kepada ketentraman sambil menjauh dari rasa kekuatiran.
Religi dapat diasumsikan sebagai awal dari munculnya kecenderungan menutup diri dari lingkungan luar. Berawal dari kepercayaan, yang memiliki kekuatan yang begitu besar , dapat menimbulkan perasaan berbeda dengan pihak lain yang kemudian memunculkan kebersamaan pada yang satu kepercayaan akhirnya timbul komunitas dengan berbagai adat hingga muncul rasa enggan untuk bersosialisasi dengan pihak yang menurut mereka “berbeda”. Adanya adat yang muncul, kemudian kriteria-kriteria dari KAT –lepas dari kondisi geografis- kalau kita analisir sebenarnya semua juga bersumber pada kepercayaan yang diyakini.
Sudut Pandang Plural Terhadap Sistem Kepercayaan
Berbicara mengenai kepercayaan / sistem religi, sebenarnya kita dapat menanggapinya dengan sudut pandang plural. Sebelumnya, ini lepas dari persoalan penganut paham pluralisme ataupun sejenisnya. Pada dasarnya, ajaran pada tiap-tiap kepercayaan adalah mengajarkan pada kebaikan dalam kehidupan. Suatu hal yang urgent yang pasti terkandung dalam semua kepercayaan adalah adnya pengakuan suatu zat yang menjadi penguasa yang lebih lazim kita sebut dengan Tuhan.
Sebagai pendukung statemen diatas, kita coba melihat sekilas beberapa sistem religi yang tumbuh di KAT yang berkembang di Indonesia.
Sistem Religi Masyarakat Suku Lawahing (Nusa Tenggara Timur)
Suku Lawahing ini masih kuat menganut kepercayaan aslinya. Mereka telah mempunyai suatu sikap hidup tertentu terhadap semua kejadian atau peristiwa yang terjadi. Hidup mereka merupakan suatu kesatuan sehingga tidak mungkin untuk memisahkan hal-hal yang bersifat profane atau yang bersifat jasmani, dan hal-hal sakral yang bersifat rohani. Mereka juga mengakui adanya kekuatan atau kekuasaan yang tertinggi yang mereka sebut dengan LAHATALA.
Sistem Religi Masyarakat Sumba
Aliran kepercayaan yang dianut masyarakat ini adalah Marapu, sering juga disebut agama kafir. Marapu berarti leluhur yang didewakan atau juga boleh dikatakan pemujaan atas arwah nenek moyang. Para Marapu inilah yang sebagai perantara atau media antara manusia dan Alkhalik (Yang Maha Kuasa).
Sistem Religi Penduduk Betung (Riau)
Penduduk Betung seluruhnya beragama Islam. Namun mereka masih kuat memegang kepercayaan animisme dan dinamisme. Sebab itulah dalam setiap kegiatan , mereka masih melakukan upacara tradisional, baik berupa semahan (sesajian), maupun pembacaan mantera yang umumnya dilakukan oleh Kemantan (Bomo) atau Kepala Pesukuan. Untuk pengobatan tradisional misalnya mereka melakukan upacara ‘Belian’. Kemantan atau Bomo mendapat tempat terhormat dalam masyarakat. Kemantan yang menentukan kapan ‘ketika’ yang baik untuk membuka lading, menurunkan benih, mendirikan rumah, perkawinan, bepergian ke hutan dan sebagainya.
Sistem Religi Masyarakat Desa Duwet (Jawa Timur)
Penduduk ini masih percaya bahwa ada sebuah ‘lumpang’ yan terletak di sawah dukuh Glagahombo, mempunyai kekuatan gaib. Lumpang itu tidak lain adalah sebuah yoni , tempat untuk menempatkan lingga.
Masyarakat desa Duwet mempunyai tempat-tempat yang dianggap keramat, yaitu berupa punden yang berjumlah tujuh buah. Beberapa kepercayaan dan upacara tradisional yang masih mereka lestarikan antara lain kepercayaan hidup sesudah mati yang terdiri dari : natas, nusup, dan nitis.
Sistem Religi masyarakat desa Lenteng Timur (Jawa Timur)
Penduduk asli desa lenteng Timur , beragama Islam, dan mereka sangat teguh untuk mematuhi ajaran agamanya itu. Diantara mereka masih ada pula yang memegang teguh mengenai kepercayaan terhadap apa yang disebut dengan searaksa dan patoguna.Searaksa dimaksudkan yang memelihara, sedang potoguna diartikan semua roh halus yang menunggui rumah, sumur, kuburan.
Itu adalah beberapa contoh mengenai system religi / kepercayaan yang dianut pada beberapa KAT yang kalau kita analisir merupakan cikal terbentuknya perasaan mengisolir diri.
BAB III
PENANAMAN NILAI FALSAFAH SILA “KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Merujuk pada pembahasan pada bab sebelumnya, bahwa religi / kepercayaan adalah sebagai indikasi dari munculnya sifat menutup diri. Padahal untuk dapat membawa KAT sejajar dengan penduduk lainnya, harus ada kekuatan dari internal sendiri, dimana mereka juga harus mengurangi kecenderungan menutup diri tersebut. Maka arah pemberdayaan KAT, sebagai langkah awal adalah mengakomodir kepercayaan yang mereka yakini.
Mengenai Pancasila sebagai dasar filsafat Negara ini, Prof.Dr.Notonagoro dalam karangannya “Berita Pikiran Ilmiah Tentang Jalan Keluar dari Kesulitan Mengenai Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia”menyebutkan, diantara unsur-unsur pokok kaidah Negara yang fundamental, azaz kerohanian Pancasila adalah mempunyai kedudukan istimewa dalam hidup kenegaraan dan hukum bangsa Indonesia. Di bagian lain, beliau menyatakan , norma hukum yang pokok dan disebut pokok kaidah fundamental daripada Negara itu dalam hukum mempunyai hakekat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi Negara yang dibentuk dengan lain perkataan dengan jalan hukum tak dapat dirubah.
Dalam hubungannya dengan kepercayaan, Pancasila adalah sebagai hal yang dapat mengakomodir seluruh kepercayaan. Adanya sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu sebagai jawaban dari kendala mereka membuka tirai besai yang menutup diri.
Penjabaran Falsafah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak Jaman Purbakala bangsa Indonesia ternyata merupakan bangsa yang berTuhan, mengetahui, dan mengakui adanya Tuhan sebagai ADA mutlak, sebagai “causa prima” pencipta kosmos seisinya. Gambaran tentang Tuhan berbeda dari waktu ke waktu, namun kesemuanya menunjuk kepada inti yang sama. Perbedaan mana ditentukan oleh cara hidup yang mempengaruhi alam pikiran, misalnya pandangan masyarakat kota dan masyarakat pedesaan yang lingkungan hidupnya berlainan.
Orang desa masih sering menaruh sesaji di perempatan jalan dengan maksud menyembah Tuhan, yang dianggapnya berada di tempat itu. Seorang penari yang memulai gerakannya dengan menyembah mencerminkan religiusitas yang ada. Dengan kelahiran agama, pemeluk-pemeluknya agama mengagungkan Tuhan menurut petunjuk agama masing-masing.
Pancasila merupakan senjata berharga kita untuk menuju integrasi bangsa termasuk untuk membawa masyarakat KAT menuju kondisi yang lebih baik dan sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya. Dari perbedaan kepercayaan –yang menjadikan mereka menutup diri dalam keterasingan- kita sebenarnya memiliki pemahaman yang sama akan sebuah keyakinan. Pancasila mengakomodir hal itu. Apabila masyarakat KAT mengerti akan falsafah sila pertama maka akan muncul kesadaran pada mereka bahwa sebenarnya mereka sama. Namun bukan berarti menghilangkan hal-hal yang menjadi khas mereka. Tetapi yang terpenting adalah mengerti bahwa pada hakikatnya dalam berbagai perbedaan ada sebuah persamaan.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di depan, ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan, yaitu :
Komunitas Adat Terpencil (KAT) atau yang dulu lebih kita kenal dengan masyarakat terasing, memiliki definisi sebagai kelompok orang / masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang disbanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Religi dapat diasumsikan sebagai awal dari munculnya kecenderungan menutup diri dari lingkungan luar. Berawal dari kepercayaan, yang memiliki kekuatan yang begitu besar , dapat menimbulkan perasaan berbeda dengan pihak lain yang kemudian memunculkan kebersamaan pada yang satu kepercayaan akhirnya timbul komunitas dengan berbagai adat hingga muncul rasa enggan untuk bersosialisasi dengan pihak yang menurut mereka “berbeda”. Adanya adat yang muncul, kemudian kriteria-kriteria dari KAT –lepas dari kondisi geografis- kalau kita analisir sebenarnya semua juga bersumber pada kepercayaan yang diyakini.
Dalam hubungannya dengan kepercayaan, Pancasila adalah sebagai hal yang dapat mengakomodir seluruh kepercayaan. Adanya sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu sebagai jawaban dari kendala mereka membuka tirai besai yang menutup diri.
Pancasila merupakan senjata berharga kita untuk menuju integrasi bangsa termasuk untuk membawa masyarakat KAT menuju kondisi yang lebih baik dan sejajar dengan masyarakat Indonesia lainnya. Dari perbedaan kepercayaan –yang menjadikan mereka menutup diri dalam keterasingan- kita sebenarnya memiliki pemahaman yang sama akan sebuah keyakinan. Pancasila mengakomodir hal itu. Apabila masyarakat KAT mengerti akan falsafah sila pertama maka akan muncul kesadaran pada mereka bahwa sebenarnya mereka sama. Namun bukan berarti menghilangkan hal-hal yang menjadi khas mereka. Tetapi yang terpenting adalah mengerti bahwa pada hakikatnya dalam berbagai perbedaan ada sebuah persamaan.
IV. 2 Saran
Sebagai tindak lanjut dari pembahasan masalah KAT dalam karya ini, kami memiliki saran-saran sebagai berikut :
Pemberdayaan KAT ditentukan arah yang jelas, sistemastis, sehingga akan lebih efektif dan ada indikasi keberhasilan yang dapat kita evaluasi,
Perlu adanya pengangkatan kembali nilai-nilai Pancasila yang dirasa kini telah mulai luntur , dan Pancasila lebih terkesan hanya bersifat simbolik,
Pemahaman nilai-nilai falsafah Pancasila perlu lebih dikembangkan kepada masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat KAT pada khususnya,
Peran serta pemerintah dan seluruh masyarakat sangat berpengaruh dalam pemberdayaan KAT, maka perlu adanya koordinasi dan kerjasama yang baik diantara keduanya.
Demikian sedikit sumbangsih kami terhadap upaya pemberdayaan KAT yang merupakan harta berharga bagi bangsa Indonesia. Apa yang kami tuliskan dan tuangkan dalam karya ini hanyalah akan menjadi sebuah kesia-siaan apabila nantinya hanya menjadi wacana belaka. Oleh karena itu, besar harapan kita semua, hal ini dapat menjadi sebuah hal yang konkrit dan bermanfaat bagi semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Sutrino, Slamet Drs. Sedikit Tentang Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia. 1983. Yogyakarta: Penerbit Liberty
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Upacara Tradisional Daerah Kalimantan Barat . 1985. Jakarta :penerbit Depdikbud
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur. 1985. Jakarta :penerbit Depdikbud
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Upacara Tradisional Daerah Riau. . 1985. Jakarta :penerbit Depdikbud
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur . 1985. Jakarta :penerbit Depdikbud
Sumber lain :
IDENTITAS PENULIS
Nama lengkap : Shinta Ardhiyani U
No.Identitas : 11.5302.650587.0002
Tempat Tanggal Lahir : Tegal, 25 Mei 1987
Alamat domisili : YP3 Darussalam, Jalan Raya Kalibakung 10 Balapulang Kab.Tegal.
Alamat rumah : Jl.RA.Kartini 8 Tegal
No.Telepon / hp : 0283-356798 / 085226904211, fax :0283-356798
Pendidikan : YP3 Darussalam –Kab.Tegal
BP SDM Citra PPHUI – Jakarta
SMA N 1 Tegal (lulus tahun 2005)
SLTP N 2 Tegal (lulus tahun 2002)
SD N Kejambon 2 Tegal (lulus tahun 2000)
Pengalaman Kepenulisan : Finalis 10 besar LPAIR se-Jawa Tengah dan Jogja (2004)
Juara I LKT Aplikatif “Teknologi Sederhana” tingkat SMA/SMK se kota Tegal (2004)
Juara I LKT Hari Bebas Narkoba tingkat SMA / SMK se-kota Tegal (2005)
Juara III Lomba Penulisan Essay Hari Jadi Kota Tegal (2005)
Juara IV Lomba Karya Tulis PJI tingkat Nasional (2006)
Anggota aktif tim kreasi harian pagi Radar Tegal (Jawa Pos Group)
Anggota Forum Lingkar Pena Tegal,dan DKI,
dll
Title: LKT Depsos 2006 (kritisin yaaa!!!); Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

3 comments:

Service Komputer said...

Yang ini kayaknya udah ana kasih comment di attachment mail yahoo dech

catur catriks said...

waaah, ternyata u anak hebat juga. ak makin salut.
maaf, gak sempet ngritisin, ntar malah jadi ribet but itu sepertinya sudah oke, hehehe
semoga menang n smoga bermanfaat.
di mana U sekarang?

Budhi Harto said...

Ouw ini yach yang tulisannya yang mo dikirim utk Depsos!!Hmmm... bagus2 aku acungin 2 jempol deh buat Dindakuw satu ini. tapi sayang di tulisan ini ga ada pembahasan tentang Multikulturalisme budaya n proses asimilasi budaya. aku rasa itu cukup bagus di angkat di tengah ke majemukan budaya kita apalagi masalah primordial mulai mengrogoti bangsa ini di tengah mulai lunturnya rasa ke-Indonesian (nasionalisme) kita. moga bisa dikiit memberikan masukan... tapi secara keseluruhan tulisannya bagus banget Koq!!!eh btw ini udah dikirim belom?!