Pages

Saturday, November 11, 2006

SENIMAN DAN KEMLARATAN





“...terimalah sebuah persembahan
dari kami seniman jalanan.......
kami menyanyi demi sesuap nasi..................”

Kira-kira seperti itulah cuplikan syair yang kerap kali kita dengar sebagai penghibur di sela-sela perjalanan di atas bus kota. Dengan bermodalkan bilahan bambu dan ban bekas, gaya mereka tak kalah dengan para drummer band-band ibukota. Tak lupa gitar tua dan kecrekan dari tutup botol turut serta mewarnai dan bersahutan dengan suara sumbang sang vokalis. Tembang-tembang yang dibawakan cukup veriatif. Hanya dengan beberapa koin uang receh, kita bisa menikmati lagu-lagu terbaru dari Ungu, Didi Kempot, atau bahkan Raihan.
Cuplikan syair yang dikutip di awal tulisan ini adalah salah satu bait “mars” pengamen. Tergambar jelas dalam syair itu, visi dan misi mereka menjadi pengamen. Kegiatan yang sudah menjadi profesi yang dilatarbelakangi oleh kemisikinan, satu kosakata yang tak asing lagi di negeri ini. Negeri kita memang Gemah Ripah Loh Jinawi, banyak sampah dan kurang gizi. Negeri zamrut khatulistiwa yang dicintai oleh bencana. Negeri agraris yang oenuh tangis. Bukan berarti menjelek-jelekan bangsa sendiri. Nasionalisme tetap ada di jiwa ini. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan uang di negeri orang, lebih baik mati disini karena tsunami daripada hidup di ujung kutub. Mungkin begitu peribahasanya.
Kembali pada diksi kemiskinan, merupakan salah stu substansi kekayaan di negara kita. Tiap tahunnya Indonesia harus mengalokasikan anggaran untuk pemberantasan kemiskinan karena sudah kepalang tanggung terikat janji dengan pasal 34 Uud’45 bahwa : Fakir miskin dan anak terlantar dilindungi oleh negara.............” Ya, negara kita memang melindungi orang miskin baik itu miskin harta ataupun miskin moral. Walaupun sebenarnya, kemiskinan (dalam hal materi) tidak dapat lenyap dari kehidupan ini. Adanya miskin karena adanya kaya. Dua hal yang saling mengisi. Itu sudah sunatullah.
Berbicara tentang kemiskinan, menjadi miskin itu ternyata susah. Sama susahnya dengan menjadi kaya. Lihat saja orang-orang yang sibuk berebut untuk memenuhi kriteria sebagai orang miskin supaya bisa mendapat kucuran dana BLT dari pemerintah. Sebuah usaha yang melelahkan demi beberapa lembar rupiah.
Menjadi miskin memang susah. Setidaknya keberanian dan seikit ilmu acting harus dikuasai apalagi untuk orang-orang miskin yang memilih mengemis sebagai “jalan hidup”nya. Walau terpaksa, mau tak mau harus diakui bahwa pengemis merupakan sebuah “profesi”. Para pengemis itu adalah aktris dan aktor jalanan. Entah didikan dari sanggar teater mana. Yang pasti cukup melelahkan juga bahwa setiap harinya mereka harus meluangkan waktu 1-2 jam untuk “make over” atau bahkan menciptakan “kreasi” borok atau luka di sekujur tubuh. Akting mereka cukup mempesonan bahkan dandanan mereka pun tak kalah dengan perias-perias artis. Sentuhan make up mereka lebih orisinil. Mungkin ini yang disebut sebagai kreatif => kere aktif => semakin kere semakin aktif.
Namun orangn miskin juga punya idealisme. Mereka punya prinsip. Seperti halnya para pengamen jalanan itu. Mereka berprinsip lebih baik mengamen daripada harus merampok. Pengamen juga punya prinsip walaupun hina tapi pantang untuk meminta-minta. Suatu keteguhan yang perlu diteladani dan dihargai. Kenapa Indonesia tak menjadikan pengamen-pengamen itu sebagai pejabat negara saja? Daripada negara ini dikelola oleh orang-orang yang berorinsip tak kenal malu. Yang lebih mempertaruhkan harga diri demi sesuap nasi dengan tindak korupsi. Hidup pengamen!!! (sebuah ikon emosonal yang cukup khas di Indonesia ketika mengelukan sesuatu)
Sebuah kata yang cukup enarik dari bait syair diatas, sebuah penunjukkam identitas pengamen sebagai seniman. Tepatnya seniman jalanan. Lepas dari ke-arbriter-an kosakata “seniman jalanan”, mungkin ada baiknya kita ingat –ingat tentang kata seni dan seniman.
Ketika berbicara seni, kita tak lepas dari estetika, keindahan, atau padanan kata yang lain. Sedangkan seniman adalah pelakunya. Seni sbuah hal yang sangat subyektif walau ke-subyektif-an akan seni kerap kali menjadi masalah. Apalagi jika dihadapkan pada sbuah hal yang prisipel.
Seni itu universal. Seni sebagai refleksi dari cipta, rasa, dan karsa manusia. Hidup adalah seni. Maka munafik jika orang mengaku tak mengenal atau menyukai seni.
Yang menjadi sorotan disini adalah ternyata seni itu satu namnu berbeda jua. Ada yang cukup menggelitik hati ketika bahwa sudah lazim dikenalnya istilah seniman jalanan. Seniman jalanan adalah seniman yang ada di jalanan. Ada seniman jalanan ada juga senuman ruangan. Berbedakah kastanya???
Sepertnya tinggi sekali ketika harus mengaku berstatus “seniman”. Namun, pengemis-pengemis itu sudah lihai jadi aktris tanpa harus belajar pada Didi Petet, tanpa harus mengenyam pendidikan sinematografi. Pengamen-pengamen itu sudah daoat meraih oredikat “seniman” tanpa harus les vokal, tanpa harus mengenal ‘peech control’ (maaf kalu salah penulisannya).
Hal ini menunjukkan keuniversalan seni. Seni yang tak mengenal derajat / kedudukan seseorang. Seni dapat menyentuh segala kondisi. Mungkin bagi para pekerja seni itu, pasal 34 telah berganti redaksi menjadi “Fakir miskin dan anak terlantar dilindungi oleh seni.......”
Yang memiriskan adalah apresiasi-nya masih bernilai prestise. Masih mengenal kesenjangan sosial. Ketika seorang pengamen bukanlah Donny “Ada Band”, maka tak perlu ada event organizer yang mengelola road show-nya. Cukup dengan sekeping uang recehan, itupun kadang terpaksa. Malah terkadang orang lebih baik memilih pura-pura tidur. Padahal sekeping recehan untuk pengamen lebih berarti daripada puluhan ribu yang dikeluarkan untuk selembar tiket konser Radja. Sekeping uang recehan untuk para aktor jalanan daripada harus berjubel untuk menjadi penonton perdana film “Kuntilanak”.Toh skenario hidup para pengemis lebih “orisinil” daripada film lawak hasil kreasi Rizal Mantovani itu. Lagipula, Ian Kasela tak akan melarat jika beberapa kali konsernya sepi. Namun pengamen-pengamen itu akan semakin melarat jika penumpang bis kota enggan mengangsurkan recehan. Mungkin ini maksud dari “Yang kaya semakin kaya yang mlarat semakin mlarat”. Bagaimana Indonesia mau kaya kalau kepedulian masyarakatnya masih miskin???
Pengamen-pengamen itu hanya bisa bersenandung :
“Sekeping uang anda tidak membuat kami jadi kaya
atau membuat anda miskin tiba-tiba...............................”

Grendeng, 10 Nov 2006
--teruntuk para pekerja seni jalanan—
Title: SENIMAN DAN KEMLARATAN; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

1 comment:

Anonymous said...

seniman "jalanan".
entah kenapa masalah kemiskinan tidak pernah tuntas untuk dibicarakan. apakah memang orang2 indonesia itu IQ nya dibawah rata2 ataukah memang mereka adalah korban dari kekejaman sistem yang diterapkan para penguasa. yahc...bagi saya, mereka bukan orang2 yg malas dan bodoh, orang indonesia tdk kalah cerdas dgn orang barat, bahkan kita lebih kreatif (orang barat g bisa loh bikin onde-onde, orang barat g bisa membajak sawah dgn kerbau yg terkenal bandel n malas). sistemlah yang melemahkan orang2 kecil. inilah politik belah bambu: yg bawah semakin diinjak n yg diatas semakin diangkat. kasian deh rakyat indonesia yg selama ini dibodohi...,memberontak dong (tentunya pemberontakan yg intelek...bukan dgn gaya preman). hehehe...