Pages

Friday, November 03, 2006

prestasi di ramadhan '27


Membentuk Rahim Generasi Ibnu Sina Melalui
“ThiCreAs on Islamic library”

Sebelumnya izinkanlah sejumlah fenomena berikut mengawali tulisan ini,

Seorang dosen wanita di satu perguruan Islam, menjadi imam sholat bagi suaminya. Ini adalah pengaruh paham gender equality. Ada dosen yang berbicara di depan kelas, bahwa kita memerlukan Al-Quran baru. Menurut mereka, metode Hermeneutika sudah menjadi harga mati untuk diterapkan dalam penafsiran Al-Quran, sehingga tidak perlu digugat lagi. Ada seorang hakim agama bercerita bahwa training-training tentang kesetraan gender terus menerus diadakan untuk mengubah pemikiran mereka. Selain dilakukan di hotel-hotel berbintang, peserta pun dibayar. Fenomena westernisasi dalam pemikiran dan studi Islam begitu kental dan menggejala serta ngetrend.

Sunggu sebuah fenomena yang memprihatinkan. Hegemoni barat kini bukan hanya menonjol dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial, tetapi juga dalam pemahaman keagamaan. Sebenarnya tanpa harus melihat jauh-jauh ke luar negeri, di negara kita saja sudah tampak fenomena-fenomena memprihatinkan tersebut. Dulu, peperangan yang dihadapi umat Islam adalah perang fisik. Sejarah telah mencatat bagaimana kegemilangan kaum muslimin di medan laga yang merupakan bukti kekuasaanNya. Kini, strategi musuh mulai tergeser untuk melakukan Ghazwul Fikri. Melalui perang pemikiran, mereka pikir akan lebih efektif di era sekarang. Sebenarnya issue Ghazwul Fikri bukanlah sebuah hal yang baru dalam perkembangan dunia Islam. Namun, issue tersebut seolah menjadi tematik pada wacana-wacana yang berkembang saja dengan tindakan nyata yang masih terbilang minim.
Muncul pertanyaan, dimana para cendekiawan muslim? Diamana para aktivis yang konon katanya mengabdikan diri di jalan dakwah? Sketsa aktivis Islam tidak terlalu bagus dalam kacamata masyarakat. Jangankan untuk berdakwah masuk dalam dunia IPTEK, fenomena bahwa aktivis dakwah yang membuthkan belasan semester untuk menyelesaikan studi – masih banyak terjadi. Bukan karena bodoh memang, tapi apa perlu dibenarkan jika kesibukan untuk kemaslahatan umat dijadikan alasan? Bukankah dengan lulus tepat waktu dan IPK tinggi dapat merupakan point dakwah juga? Ini lepas dari ada juga kenyataan segelintir aktivis dakwah yang dapat mengeksistensikan dirinya di akademik. Tentang lulus ini memang hal kecil dari permasalahan yang kita hadapi. Namun, dari hal kecil-lah kita mestinya dapat belajar.
Selain itu, salah satu kelemahan dari pergerakan umat Islam, adalah masih bersifat individualis. Mereka masih berkelompok-kelompok dengan idealisme masing-masing. Padahal dalam Islam banyak wahana untuk menyatukan dan lebih mengkoordinasikan gerakan tersebut. Pada zaman nabi sendiri telah mencontohkan bagaimana masjid-masjid selain sebagi tempat sholat juga difungsikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu dan menyusun strategi. Perlu diingan pula bahwa sebuah kebenaran yang tak terkoodinir akan terkalahkan oleh kejahatan yang terkoordinir.
Perpustakaan merupakan substansi yang bagus sekali untuk kita jadikan benteng. Kesadaran masyarakat akan peran penting perpustakaan memang masih terbilang minim. Tengok saja perpustakaan nasional yang kita miliki. Gedung mewah yang berdiri di bilangan jalan Salemba itu penuh hanya oleh orang-orang yang akan mmbuat skripsi, tesis, atau semacamnya. Apalagi jika melihat kondisi perpustakaan-perpustakaan di daerah. Sebutan „gudang buku“ tampaknya lebih tepat jika dibandingkan dengan nama pepustakaan. Lucu sekali memang jika mengetahui bahwa kesadaran akan perpustakaan muncul tiap bulan September saja di hari perpustakaan nasional.
Perpustakaan Islam sendiri sudah mulai berkembang di Indonesia. Hampiur di setiap masjid-masjid besar di Ibukota, telah dilengkapi dengan sarana perpustakaan. Sebut saja Perpustakaan Masjid Sunda Kelapa dengan pengelolaannya yang terorganisir, atau perpustakaan Masjid Cut Meutia , serta masjid-masjid lainnya. Tak ketinggalan pula di kota satria dengan Perpustakaan Fatimatuzzahra yang cukup inovatif. Tentunya tumbuhnya perpustakaan Islam kita harap bukan sekedar muncul saja namun juga berkembang. Selama ini fungsi perpustakaan kebanyakan hanya sekedar sebagai tempat sirkulasi peminjaman dan pengembalian buku. Hal itu diperparah lagi dengan koleksi-koleksi buku yang mandul.
Untuk lebih menghidupkan perpustakaan Islam perlu diciptakan sebuah sistem atau kurikulum. „ThiCreAs on Library“ dapay menjadi salah satu solusi untuk itu. ThiCreAs (Think, Created, and Archives) merupakan kurikulum untuk lebih memvitalkan fungsi perpustakaan Islam sebagai wahana yang tepat untu benteng pergerakan Islam.

ThiCreAs ini dapat kita jabarkan sebagai berikut :

Think (Perpustakaan sebagai wahana proses berfikir)
Dalam ThiCreAs, member diajak untuk melakukan follow up terhadap buku yang dibacanya. Sebuah buku diharapkan tudak sekedar menjadi pustaka saja, pembaca diharap dapat melakukan follow up. Isi buku dijadikan sebuah stimulan bagi pembaca untuk meng’anak-pinak’an isi buku. Perpustakaan bukan sekedar tempat untuk meminjam atau mengembalikan buku, tapi juga tempat untuk berdiskusi menuangkan ide-ide. Coba tengok PDS HB Jassin yang berlokasi di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Setiap hari Jumat sore, pekan kedua dan keempat, ada sebuah forum bertajuk “Meja Budaya”. Dalam forum tersebut tiap pertemuannya membedah sebuah buku dan dari setiap pertemuan akan muncul sebuah pemikiran-pemikiran baru.
Hal ini cukup relevan jika diaplikasikan pada perpustakaan Islam. Selain berfungsi untuk mempererat ukhuwah Islamiyah, nantinya akan muncul ide-ide inovatif yang dapat disumbangsihkan pada perkembangan dunia Islam. Tentunya karena di lingkungan Islami, pemikiran-pemikiran ini akan terkontrol secara syar’i. Al-Quran dan hadits tetap menjadi pegangan. Bukankah Allah juga menganjurkan kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang berfikir (ulil albab)? Kalau boleh meminjam istilah dari seorang filosof Yunani, bahwa : manusia berfikir maka ia hidup, karena sebanrnya manusia adalah hewan yang berotak, maka jika ia tak berfikir, apalah bedanya dengan hewan?
Kalau kata Aa Gym, otaknya orang Indonesia memiliki harga jual yang tinggi karena masih steril dalam artian jarang digunakan.

Created (Perpustakaan sebagai wahana proses kreasi)
Setelah mengeksplorasi ide-ide briliant, maka ide-ide tersebut kita lanjutkan dalam tahap berikutnya yaitu berkarya. Jangan biarkan sebuah ide menjadi mandul. Tuangkan ide dalam sebuah karya, karena ituilah maksud dari kita berfikir. Karena dalam konteks kepustkaan, maka salah satu refleksi karya itu pun tertuang dalam bentuk pustaka semacam karya ilmiah. Dikatakn karya ilmiah karena penyusunannya menggunakan metode ilmiah. Disinilah perpustakaan menjalankan fungsinya sebagai penyedia referensi-referensi yang dibutuhkan. Maka perpustakaan Islam diharap selalu mengupdate koleksi-koleksi yang dimilikinya. Setiap hari di seluruh penjuru dunia, ratusan bahkan ribuan judul buku baru diterbitkan.
Dangan melakukan fungsi sebagai wahana berkreasi ini, selain menumbuhkan pola pikir ilmiah bagi para membernya, hal ini juga menumbuhkembangkan budaya menulis. Sebuah pesan bijak mengatakn “ikatlah ilmu dengan menuliskannya” . Tulisan juga merupakan recorder ide dan sebuah peradaban memang harus ditulis.

Archives (Perpustakaan sebagai wahana perngarsipan)
Sejarah mencatat bahwa Islam memiliki beberapa nama tokoh ilmuwan muslim. Sebut saja salah satunya Ibnu Sina atau yang lebih populer dengan nama Avicena. Beliau adalah salah satu intelektual Islam yang berkiprah dalam dunia kedokteran. Masih banyak nama-nama lain. Namun, mereka kurang populer di dunia ilmu pengetahuan. Ilmuwan-ilmuwan barat rupanya lebih terakui ke-eksistensi-annya. Tercatat dalam sejarah pula, bahwa dalam sebuah peperangan, pusat-pusat dokumen ilmu-ilmu yang dicetuskan para ilmuwan Islam, diluluhlantakan. Kemudia, dengan tanpa dosa ilmuwan-ilmuwan barat mengadopsi serta mengklaim ide-ide inovatif tersebut. Ternyata, bajak membajak memang sudah terlestarikan sejak dulu kala.
Perpustakaan memiliki peran yang vita; dalam hal pengarsipan. Setelan menjad wahana proses berfikir dan berkarya, maka hasil-hasil dari proses tersebut yang bersifat kepustakaan perlu diarsipkan. Selain sebagai sumber referensi untuk perkembangan IPTEK, hal ini juga sebagai langkah protektif pada karya-karya ilmuwan Islam.
Nantinya, kepustakaan yang terarsipkan tersebut dikembangkan kembali dalam proses berfikir, kemudian dilanjutkan dangen proses kreasi, begitu seterusnya. Jika ini dapat teraplikasikan, maka sebutan “gudang buku” sangat mungkin untuk berubah menjadi “gudang ilmu”.

ThiCreAs on Islamic Library adalah sebuah kurikulum. Perpustakaan akan dapat hidup juka memiliki sistem yang berjalan. Perpustakaan Islam jangan sekedar menjadi tempat sirkulasipeminjaman dan pengembalian buku, atau bahkan sebagai wahana komersial dengan pemberlakuan tarif atau iuran bagi para anggotanya. Jika Perpustakaan Islam terus berkutat dalm peran seperti itu, maka ta heran peran Perpustakaan islam-khususnya bagi generasi muda-akan tergantikan posisinya oleh kios-kios persewaan komik.
Sebagai umat muslim kita punya tanggung jawab untyk menghidupkan Perpustakaan Islam. Perpustakaan Islam adalah sebuah rahim yang akan melahirkan generasi-generasi intelektual muslim. Ibnu Sina dan teman-teman beliau sangat berharap memiliki generasi untuk membwa Islam kepada kejayaannya kembali. Mari kita sambut kejayaan dengan menghidupkan Perpustakaan Islam.



comment:
dar mas Slamet (sang juri) : "endingnya masih kurang..diibaratkan sebuah kran...nutupnya kurang "krek...." "


ok, comment laen????

NTA tunggu ya....

-nta-
--keep Allah in our heart--
Title: prestasi di ramadhan '27; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

No comments: