Pages

Saturday, November 11, 2006

Kisah dibalik jilbab



Namanya Cecep. Entah nama aslinya Asep atau emang cecep. Teman-teman biasa memanggilnya Encep. Sunda tulen euy....... Asalnya dari Prancis alias prapatan ciamis. Teman sekelasku di sastra Inggris. Penampilannya cukup keren dengan rambut direbonding dan postur tubuh yang jangkung. Tampang lumayan cakep walaupun kalo lagi nongkrong di kantin dia selalu bersenandung “Kapan kupunya pacar......” . Seperti ikon iklan rokok, Nggak ada loe nggak rame. Cecep salah satu penggembira kelas. Setidaknya kita akan terhibur saat ia harus terpaksa manjawab pertanyaan atau maju bahasa presentasi in English.
Upz, sori jadi agak ngelantur.Suatu pagi di depan kelas menunggu Miss.Ika yang tak kunjung hadir, seperti biasa anak-anak kelas praktikum writing termasuk nta kongkow-kongkow di depan ruang 5 (kalau nggak salah, soalnya sampai saat ini nta belum hafal ruang-ruang kampus..he..he..). Saat asyik bercengkerama, dari arah timur terilhat sosok ayu yang kita kenal sebagai kakak kelas yang lumayan galak pada saat ospek. Dengan jilbab hitam (kalo nggak salah), hem dan celana jeans, ia berjalan melewati tempat kita bercengkerama. Waktu itu Encep sedang berdiri santai. Ketika sang kakak kelas yang galak itu melewati Encep, entah kenapa tangan Encep reflek menepuk (maaf) pantat sang kakak kelas yang memang terlihat seksi (apalagi kalo kata laki-laki). Seketika sang kakak kelas itu risih. Namun tampaknya ia tak bisa beraksi panjang mengingat waktu itu ia sendirian dan melihat kita yang bergerombol . Sang kakak kelas itu hanya bisa mengumpat keras “Eh loe pagi-pagi jangan bikin ribut ya!!!”
Kita tadinya nggak mengerti ada apa, so langsung tanya pada yang bersangkutan. Ketika ditanya ada apa, encep dengan santai menjawab
“Nggak ada apa-apa , gue Cuma tepuk pantat dia doang”. Di kemudian hari ia menyambung jawabannya dengan “yang suruh pake celana ketat siapa................”
Klasik memang, tapi cukup membuat aku memberikan penilaian yang simpatik pada Encep. Bukan ku setuju pada sikapnya. Namun aku pun bingung apakah ia orang yang menghargai wanita atau justru sebaliknya. Karena lepas dari itu, Encep adalah orang yang kukenal sopan, selalu menyapaku terlebih dulu dan memberikan senyum termanisnya. Kata-katanya jika berbicara denganku juga menggambarkan bahwa ia menghormati dan segan pada wanita. Entahlah.....ia aku nilai cukup sopan, atau hanya untuk aku???(deuh....enough lah GR-nya!!!he..he..he..)
Sebuah kisah yang cukup menjadi pemicu obrolanku dengan seorang ukhti tentang jilbab. (ini baru mau masuk cerita intinya.....)
Berbicara tentang jilbab pasti menarik. Apalagi kalau menilik kisah yang melatarbelakangi seseorang yang pakai jilbab. Akupun punya kisah tentang itu. Entah menarik atau tidak...yang pasti kisah ini merupakan kisah yang berkesan dalam hidupku.
Enam tahun yang lalu, sosok Shinta teramat jauh berbeda dengan sekarang. Sosok gadis kelas 1 sebuah SMP favorit (cie...) yang sangat tomboy. Rambutku tak pernah melebihi bahu (beda banget sama sekarang bo!!!). Teman karibku saat itu Fefi dan kiki (bahkan aku masih ingat pak Zuhri menyebut kami sebagai tiga serangkai). Shinta pada saat kelas I SMP adalah sosok yang energik, tomboy, dan tentu saja bandel. Tiap event pertandingan voli antar kelas, lapangan belakang tak pernah kehilangan teriakan seorang shinta. Walaupun tak bisa lihai bermain voli (karena aku terbilang kurus).....tapi nta selalu ada di pinggir lapangan untuk menjadi suporter sejati. Kayaknya lebih seru suporternya deh daripada pemainnya..he..he... Pokoknya Nta dulu anak yang bandel (sekarang masih bandel nggak?).
Ok, trus kapan pake jilbabnya shin??/(he..he...sori jadi ngelantur...)
Ketomboi-an itu mengalami titik balik saat nta duduk di kelas 2 SMP. Saat itu karakter nta mulai keluar yaitu bahwa nta adalah orang yang mudah bosan. Nta bosan dengan teman-teman yang suka berbicara keras. Nta bosan dengan adegan bolos2an atau lari dari razia ketertiban. Nta bosan dengan berhura-hura. Tibalah saat Ramadhan, nta merasa iri karena ramadhan tahun sebelumnya papa mengikutkan mas Ardan pada sebuah kegiatan pesantren selama satu bulan. Nta yang pada dasarnya memang manja, menuntut untuk seperti itu walaupun nta sendiri waktu itu tak yakin apakah bisa mengikuti atau tidak. Akhirnya kutemukan sebuah brosur kegiatan basic training Pelajar Islam Indonesia. Emang nta nggak bisa ikut pesantren seperti kakak soalnya waktu itu kalo nggak salah tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang meliburkan ramadhan satu bulan penuh.
Yeah...dengan motivasi mencari kegiatan liburan yang beda (jiwa petualanganku sangat mendominasi keputusanku mengikuti kegiatan BATRA itu), kudaftarkan diri sebagai peserta BATRA yang waktu itu berlokasi di SMP N 7 Tegal.
Aku seperti anak hilang disana. Kegiatan yang benar-benar “baru” bagiku. Bahkan di kemudian hari mbak Yuni (kakak kelasku di SMP dan seniorku di PII)mengakui kesangsiannya pada saat tahu aku ikut BATRA. Katanya “ Aku nggak percaya shinta ikut BATRA, shinta itu di mataku anak yang menjeng.....berandal....bla..bla.....bla..”. Ok, yang pasti salah satu alasanku ikut juga ingin mengenal organisasi PII (kalo tentang organisasi, jangan salah ya...sejak kelas satu SMP, aku udah jadi organisatoris,hari2ku dulu sudah sibuk dengan : karate, teater, tari, etc...he..he..sori sedikit narsis!!!)
Satu hal yang cukup berkesan adalah saat session materi. Seorang shinta yang terbiasa “vokal” kini diam membisu tak dapat bersuara ketika berdiskusi “apa itu agama “ (hal ini kemudian menjadi pencarianku hingga SMA), “Kenapa Islam ?”. Nta memang ngaji, bahkan jumlah khatamku dulu lebih banyak dibanding sekarang, he..he..he.. Nta emang selalu sholat, bahkan nta yang lebih sering bangun Shubuh duluan dibanding mas Ardan (makanya kebiasaan sampai sekarang...yang suka nta miscall-in kalo Shubuh pasti mengiyakan..he..he...). Tapi, nta bingung kenapa nta nggak tahu apa itu Islam, Allah, etc. Shinta emang ngaji, tapi ketika dihadapkan kepada sebuah diskusi yang menjadikan Al-Quran sebagai rujukan (pada diskusi ntu selalu menelaah adlil-dalil aqli dan naqli), nta hanya bengong seperti kambing ompong...........................Ah, entahlah...yang pasti aku waktu itu merasa sangat bodoh!!sangat kerdil!!!
Perasaan itu terus terbawa hingga usai Ramadhan. Dan entah kenapa, aku merasa terbayang2i, terkejar oleh suara jiwaku yang mengatakan “kamu Islam bukan??kamu Muslimah bukan???” Monolog jiwaku yang akhirnya bemuara pada sebuah keputusan untuk berhijab. Papa hanya menganggap itu sebagai angin lalu saat aku mengutarakan niatku, tak beda dengan mama. Aku Cuma ingat kata-kata mas Ardan : “kalo emang udah niat..ya udah nggak usah tunggu persetujuan.....itu kan urusan pribadimu....”
Yeah...akulah yang harus menentukan sikap. Seperti yang sudah kuinginkan..... 25 Mei 2001 (kalau nggak salah tahunnya segitu).....tepat di hari ulang tahunku...(maaf teman2ku yang sudah kecewa karena akan menyiramku dengan tepung dan telur di hari ultahku saat itu).....lahirlah seorang shinta yang baru. Dengan langkah mantap kukenakan penampilan baruku. Ucapan selamat yang bertubi-tubi datang dari para “akhwat” (yang kemudian hal itu aku sesali karena ternyata hanya sebuah euforia).
Tentang jilbabku, banyak kisah pula. Salah satunya dengan “bentuk” yang kukenakan. Tadi malam, seorang ukhti sepertinya ingin “mempengaruhiku” untuk mengenakan gamis, jilbab lebar, atau semacam itulah.
Shinta yang sekarang memang bukan seorang akhwat jilbab gedhe, yang selalu mengenakan gamis atau sejenisnya. Nta adalah orang yang berprinsip “jilbab yang menutut dada, rok sebagai tanda feminitas, dan baju casual” itu saja. Bukan berarti aku tak mengerti akan jilbab lebar. Nta pernah merasakan semuanya.
Mungkin bingung dengan kata-kata “semuanya”. Ya, Nta pernah menjadi sosok akhwat berjilbab lebar.....bahkan lebar sampai pantat, dengan baju yang cukup untuk dipakai dua orang, tapi shinta pun pernah merasakan menjadi “ikhwit” dengan jilbab terbelit dan celana jeans yang modis.
Pencarian jati diri...mungkin!!! Yang pasti jilbab lebar pernah kurasakan hingga pernah bermasalah dengan guru saat menjelang kelulusan. Berubah 180 derajat saat nta lebih asyik dengan kegiatan-kegiatan alam, dengan kegiatan-kegiatan yang energik, yang membuat nta merasa lebih nyaman memakai celana. Namun, itu hanyalah alasan kekanak-kanakan.
Nta menemukan jawaban bahwa bagaimanapun jilbab itu digunakan itu hanyalah sebuah kultur. Tak ada hadits ataupun ayat AlQuran yang menyatakan jilbab lebar berarti kualitas imannya lebih tinggi daripada yang tidak.
Sekali lagi itu hanyalah sebuah kultur, sebuah budaya. Alhamdulillah nta diberikan kesempatan untuk melihat berbagai pengalaman secara langsung. Nta pernah mengecap kehidupan pesantren salaf tradisional dimana para santri putrinya tidak pernah bertemu cowok sama sekali dan jilbab yang ia kenakan adalah hanya dengan kain kerudung yang dipakaikan secara simple ddengan salah satu sisi dibelitkan. Namun mereka menggunakan baju longgar. Nta pernah kenal lebih dalam dengan muslimah-muslimah bercadar, nta pernah satu group dengan seorang seniman foto yang pernah berungkap “Aku tiap hari melihat wanita dengan pakaian yang aduhai seksinya..tapi aku tak nafsau...tapi aku tetap laki-laki sejati yang punya birahi....jadi tak ada bedanya yang pake baju longgar ataupun sempit”(dia salah seorang teman di TIM, uf...aku kangen nieh sama temen-temen di Jakarta), aku pernah berbincang jauh dengan akhwat yang secara penampilan “ikhwah”, namun kemudian ia mengaku kepadaku “mbak itu kalo masalah ngaji sebenarnya Cuma pas-pasan, tajwid juga udah lupa, apalagi kalo masalah mad” (dan itu kujumpai beberapa kali pada orang lain). Nta juga pernah berlebaran di stasiun kereta api (waktu itu acara pramuka), dan mendengar curahan hati seorang anak dari keluaraga miskin yang ia juga ingin berjilbab tapi apa daya.....jilbab pun mahal!!!
Dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman yang kutemui di luar sana. Pengalaman-pengalaman yang membuatku berfikir...Dan hasilnya seperti yang bisa dilihat......
Aku tak mau ketika aku memutuskan sesuatu untuk diriku.....adalah sesuatu yang merupakan imbas sebuah “pengaruh” dari orang lain. Aku adalah apa yang aku pikir.........aku harus punya argumentasi jelas saat aku menentukan sebuah sikap...apalagi itu tentang diriku.Karena Aku adalah aku..................
Sekali lagi, tentang rupa jilbab itu hanyalah sebuah kultur. Coba saja tengok bagaimana bentuk jilbab di luar negeri sana...... Yang pasti aku tak suka pada sebuah keidentikan jilbab lebar adalah sebuah kebenaran. Itu kembali pada situasi kondisi.... (tentu saja aku nggak bisa berenang dengan pakaian yang gombrong seperti itu....aku nggak bisa repeling dengan jilbab hingga pantat)... Tapi yang pasti aku memang nggak suka pada jilbab diikat dengan baju seksi....dengan celana seksi.....atau bahkan celana biasa sebenarnya aku kurang suka...itu bukan pakaian wanita (makanya satu hal yang ingin aku protes pada putri Indonesia, adalah kenapa ia mengenakan celana jeans pada beberapa event publik).......
Yang pasti buat temen-temen muslimah, cewek itu tanpa mengenakan baju dan celana seksi.....kita itu tetep seksi lho!!!Jangan salahkan cowok ketika mereka kurang ajar pada kita saat kita mengenakan pakaian yang mengundang gairah... ingat saja kisahku tentang Encep......
Ok, i think enough....
Moga kisah nta bisa bermanfaat ....and nta pun selalu menjadikan story ini sebagai sebuah stimulan pemikiran dan evaluasi diri.......................

Buat Acep/Encep/Cecep....haturnuhun pisan...
Buat seorang ukhti doakan agar qu selalu istiqomah


Grendeng, 11 Nov 2006
-nta-
--keep Allah in our he
Title: Kisah dibalik jilbab; Written by Shinta ar-djahrie; Rating: 5 dari 5

9 comments:

Anonymous said...

bener nta n mang perlu disadari bahwa jilbab brbeda dgn kerudung. berjilbab, tapi bentuk tubuh masih terlihat, itu namanya bukan berjilbab.
dan ... kapan2 sambung lg deh

GreenMan said...

fenomena "jilbib" bukanlah sesuatu yg asing bagi kita, apalagi jika kita berada pd sebuah kota metropolis. jangankan di kota metropolis, dipelosok kampung sekalipun fenomena "jilbib" mulai marak. mungkin ini salah satu efek dari viris fasion (kapitalis)yg disebarkan melalui media televisi. coba saja perhatikan sinetron2 indonesia yg isinya didominasi dgn menampilkan kemewahan.

Anonymous said...

oh iya...ada yg aku lupa.
bagi saya...jilbab "besar" or jilbab "kecil" adalah sesuatu yg bersifat ideologis. disatu sisi jilbab memang sebuah bentuk konstruksi budaya, namun disisi lain jilbab adalah simbol perlawanan atas budaya barat. repotnya...budaya jilbab saat ini pun sudah dikomodifikasi dan diinkorporasi sehingga makna jilbabpun berubah. bagi saya...jilbab gaul adalah hasil komodifikasi yg dilakukan para aktor kapitalis melalui fasion, mode, dsb.

keimanan seseorang memang tidak diukur dari besar-kecilnya jilbab yang digunakan, tapi yg terpenting adalah bagaimana kita mampu menjaga aurat (kalo perintah utk memelihara aurat ada ayatnya kan!). teruslah mencari hingga kau dapatkan kebenaran yg hakiki. yakini saja bahwa apa yg menjadi pilihan hidup kita, itulah jalan yg terbaik menuju ridho-Nya. amin...

Shinta ar-djahrie said...

ass.
ok,syukron buangetz nieh yang udah kasih respons.byw, nta belum nanggapi banget soalnya keburu-buru (lagi bokek nieh....lagi boros....doain ya biar minggu2 ni tulisanku pada kemuat, he3x)
tp ad satu hal dari mas Hzr yanng ingin qurespons bahwa ada statement..."perlawanan atas budaya barat"....
aq selalu benci dengan ke-identik-an... budaya barat tak selamanya minus....dan dalam hal budaya tidak ada yang namanya kompetisi,jadi perlu dipertanyakan tuh istilah "perlawanan"... budaya lahir sebagai perwujudan rasa dan karsa manusia. Budaya muncul bukan untuk mematikan budaya lain... masalah baik-buruk...serta efek-nya itu kembali pada individu masing2 (apresiasi terhadap budaya itu sangat sangat subyektif).
Contoh simple: ketika ingin memunculkan musik Islami...itu muncul jangan karena ingin mematikan jenis musik lain...tapi karena jiwa ini ingin berkreasi....ingin memunculkan apa yang ia "idealiskan"......
ini budaya...bukan bisnis yang membutuhkan persaingan.
ketika ada jilbab itu bukan sebagai sebuah perlawanan atas rok mini atau tank top..tapi karena itu sudah "syariat"
ketika ada jilbab lebar...itu bukan karena ingin menandingi "jilbib" itu karena idealisme...dan sekali lagi karena itu adalah BUDAYA!!!
thanks
wassalam

GreenMan said...

Matinya sang pengarang. Ketika seorang pengarang (penulis) melahirkan sebuah karya (teks) maka ada sebuah makna yang coba ditanamkan oleh sang pengarang kedalam teks tersebut. Namun setelah teks tersebut dibaca oleh halayak umum, maka sang pembaca pun akan memiliki pemaknaan tersendiri terhadap teks tersebut. Pada saat inilah teks tidak lagi bermakna tunggal (makna sang pengarang), namun telah menjadi multi-makna (matinya sang pengarang dan lahirnya penafsir-penafsir atau pemakna-pemakna baru). Lahirnya pemaknaan-pemaknaan baru tersebut tentunya tidak terlepas dari ideologi apa yang bermain dibelakang sang pembaca (contohnya saja; saya dan nta sama-sama beragama Islam, tapi kita memiliki pemaknaan yang berbeda tentang islam).

Seru juga diskusi cyber kita mengenai jilbab. Boleh kan… kalo kita lanjutkan, kalo g boleh ya kita hentikan saja! (tapi untuk sementara kita lanjutkan saja, tak’kalami…ok!)

Mungkin pemaknaan kita yang berbeda tentang “perlawanan” terhadap barat. Kita berbeda definisi tentang kata “perlawanan” dalam konteks diskusi kita ini. Perlawanan tidak selamanya berkonotasi sebuah agresi, namun ia juga bermain dalam ranah pemaknaan. “Perlawanan” yang saya maksud adalah perlawanan simbolik, sebuah perlawanan terhadap imperialisme budaya barat, dan barat yang saya maksud pun bukan barat secara umum, namun dominasi atau kuasa yang hegemonik (sebuah kuasa yang dapat merusak dan mengancurkan tradisi ketimuran secara umum dan khususnya tradisi Islam, sebuah tradisi yang mengedepankan intuisi) .

Saya sepakat dengan pendapat nta bahwa tidak semua yang berasal dari barat itu negatif, bahkan banyak hal yang sebenarnya kita butuhkan dari barat (contohnya saja monitor computer yang nta lihat sekarang lahir dari barat). Namun bukan berarti kita harus menghamba kepada barat, kita punya identitas tersendiri yang lahir dari akar tradisi kita, yaitu tradisi ketimuran, tradisi Islam.

Realitas peradaban yang kita temukan saat ini memang didominasi oleh barat. Dari segi teknologi kita berkiblat ke barat, apakah budaya kita juga harus berkiblat ke barat? Tidak kan! Padahal secara historis umat Islam pernah berjaya, hingga terjadinya pembakaran perpustakaan terbesar umat Islam di Baghdat. Tentunya kita sama-sama menginginkan Islam kembali membangun peradabannya. Mungkin pemikiran Hasan Hanafi, Muh. Arkoun, Asghar Ali Enginer, dan Muh. Abid Al-Jabiri bisa dijadikan bahan refleksi untuk mengembalikan kejayaan Islam.

Kita kembali pada persoalan jilbab.
JILBAB. Kata ini terdengar sederhana, bahkan mungkin ada yang menganggap jilbab adalah hal yang biasa-biasa saja. Namun ada juga orang yang menganggap bahwa jilbab adalah sesuatu yang penting, bahkan sangat prinsipil.

Beriman tidaknya seseorang memang tidak ditentukan oleh dia pake jilbab atau tidak, pake jilbab besar atau “jilbib”, akhwat atau “ikhwit”, namun jilbab merupakan sebuah simbol, simbol yang memiliki kekuatan untuk melawan imperialisme budaya barat.

Saya sepakat banget bahwa jilbab adalah syariat(walaupun ada anggapan bahwa jilbab itu tdk wajib), tapi bagi saya jilbab juga sebagai simbol perlawanan.

yang terakhir, setiap budaya memang memiliki ruang yg sama diwilayah kontestasi, dan itu menandakan bahwa dominasi budaya pasti akan selalu hadir. tidak ada pembunuhan budaya, tapi yang terjadi adalah penguasaan antara budaya yang satu terhadap budaya yang lain(DOMINASI BUDAYA).

Makasih yach nta sdh menemaniku diskusi...

Shinta ar-djahrie said...

aduh..mbak kalo baca yang kaffah donk...jangan terlalu buru-buru diambil setuju or tidak setuju.
apa nta nulisnya kurang jelas? kurang titik,koma?
kalo mo comment...dibaca dulu dengan jelas...dan sblmnya juga udah ada comment2 yang laen...kayaknya jelas banget deh...nta njelasin apa dipostingan itu.....
tapi...muakacih ya mbak.....

antara kata "jilbab" dan "rupa jilbab" ntu beda banget maknanya....
ok mbak?

Anonymous said...

"Sekali lagi, tentang rupa jilbab itu hanyalah sebuah kultur. Coba saja tengok bagaimana bentuk jilbab di luar negeri sana...... Yang pasti aku tak suka pada sebuah keidentikan jilbab lebar adalah sebuah kebenaran. Itu kembali pada situasi kondisi.... (tentu saja aku nggak bisa berenang dengan pakaian yang gombrong seperti itu....aku nggak bisa repeling dengan jilbab hingga pantat"

MAAF SAYA TIDAK SETUJU KALO JILBAB ITU ADALH SEBUAH KULTUR KALO ANDA SEBUTKAN MAKNA JILBAB ITU BEDA DGN KERUDUNG YA....SEHARUSNYA ANDA JELASKAN DULU DI AWAL POSTING ANDA. JILBAB ITU APA, KERUDUNG ITU APA?
YANG JELAS JILBAB ITU WAJIB.....

SULIT SEKALI ORANG YANG INGIN MENULIS NAMUN BUKAN KERNA IA TIDAK BISA MENULIS TAPI KARENA IA TAKUT AKAN IMBAS DARI TULISANNYA YANG MENYESATKAN ORANG2 YANG MEMBACANYA....
INGATLAH SAUDARAKU, KATA BISA MEMBUAT ORANG BERUBAH MENJADI LEBIH BAIK. NAMUN JUGA BISA MEMBAWA SESEORANG KE LEMBAH DOSA. PERUBAHN BISA BERUPA SIKAP MAUPUN CARA PANDANG

Shinta ar-djahrie said...

Adu bo cape deh... !!!nah...lagi tuh.... aduh...siapapun anda....(jangan pake anonim duonkzz!!!)
please... di tulisanku jelas2 tertera "rupa jilbab" bukan "jilbab"
Jilbab emang wajib bo!!!! Qs.An-Nur : 31, and dalil naqli laen...
i see about it, brp/sis!!!
tolong...aq berterimakasih sekali udah mo comment di postingan ini...but..baca-nya yang keseluruhan dulu ya...

ohya, about "tulisan".....
imbas baik/buruk bagi pembaca...adalah prerogatif dari tiap individu masing-masing....
sebuah "nilai plus" bagi penulis ketika ia dapat mentransfer "idealisme" lewat tulisan dan dapat mempengaruhi pembaca.
contoh.. (bahw imbas adalah prerogatif pembaca)... nta pernah baca buku2-nya Irene Handono...yang mengupas bagaimana ihwal christmas dan tema2 lain yang mengupas "sisi janggal"-nya ajaran Nasrani...
tau nggak...setelah membaca buku2 itu...nta malah simpatik kepada kaum Atheis....buku2 itu kemudian membawa nta kepada pemikiran "Apa itu agama... sekedar aliran golongan sajakah..sehingga seorang biarawati...yang sudah tingkat atas...bisa keluar begitu saja...sama saja seperti kader partai yang semakin lama semakin jenuh....kemudian berpindah haluan..."itu yang nta cari ketika kelas 2 SMA (kalo nggak salah)......ok, nggak nta terusin karena akan membawa ke masalah SARA.
thanks

-keep Allah in our heart-

Shinta ar-djahrie said...

buat mbak fitri...terimakasih...hidup memang sebuah pencarian...sebuah perjalanan...sebuah proses..sebuah pembelajaran...Allah adalah Maha Bijaksana..yang tidak sekedar melihat hasil tapi juga memprioritaskan "proses".
and then....cinta dunia ataupun cinta Allah...bukanlah sebuah PILIHAN (kalo katanya Iwan fals :Aku Bukan Pilihan...he..he..). Islam adalah agama yang mengenal Al-Furqon (penengah)...
Ini juga udah pernah nta pikirkan...bahkan diskusikan ke papa nta..
Yang pasti....DUNIA dan AKHIRAT bukanlah sebuah pilihan...dua hal itu adalah dua unsur yang harus berjalan seiringan...ok?

yupz, insya Allah nta selalu berussaha untuk keep Allah in my heart, thanks ya!!!