Saat sebuah video
wawancara yang memuat adanya kesalahan penggunaan istilah rumit, mendadak semua
orang memiliki guyonan segar untuk diperbincangkan. Disana-sini orang
mengkritik kesalahkaprahan penggunaan bahasa tersebut yang sebenarnya itu juga kerap
terjadi di sekitar kita. Begitu juga ketika perhelatan nona dunia hadir di
negeri ini beberapa hari lalu, kita akan dengan mudah menjumpai berbagai wacana
kontroversi. Mendadak juga hampir semua orang fasih mengusung tentang harga
diri perempuan. Begitu pula ketika terjadi sebuah kecelakaan di sebuah jalan
tol yang melibatkan seorang pengemudi muda dibawah umur, mendadak kita semua
menjadi pakar pendidikan anak dan berlomba memberikan pendapatnya
masing-masing. Media jejaring sosial ramai dengan segala opini dari berbagai
macam sudut pandang. Diskusi-diskusi panjang tak berhujung pangkal muncul di
berbagai forum. Tak ketinggalan broadcast
yang dilakukan melalui telepon pintar. Semua seolah ingin berlomba menjadi
bagian dari keriuhan tersebut.
Hidup di era
dimana teknologi informasi memiliki pengaruh yang besar membuat kita takut
untuk tidak turut mengerti dan berteriak tentang isu terbaru yang ada.
Permasalahannya bukan masalah bahasa Vickynisasi itu benar atau salah, nona
dunia itu patut ditolak atau tidak, atau tentang siapa paling bersalah dalam
kecelakaan tersebut, bukan itu yang menjadi masalah besar. Namun apa sebenarnya
yang membuat kita tergopoh-gopoh untuk turut serta dalam kehebohan tanpa
memiliki pemahaman utuh. Ibarat orang baru belajar mengaji, ia akan sering
sekali untuk menyuarakan apa yang ia kaji. Seperti euforia seorang aktivis yang
akan bersemangat , berorasi , tentang apa yang baru didapatnya.
Reaksioner. Latah. Memiliki definisi sebagai sebuah peniruan
spontan yang muncul karena keterkejutan. Secara medis, latah memiliki dimensi gangguan fungsi pusat syaraf, psi-kologis, dan
sosial. Ada empat macam latah yang bisa dilihat berdasarkan gejala-gejala
tersebut, yaitu ekolalia (mengulangi perkataan orang lain), ekopraksia (meniru
gerakan orang lain), koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap
tabu/kotor), automatic obedience (melaksanakan perintah secara spontan pada
saat terkejut). Berdasarkan fakta yang ada, gangguan latah biasanya tumbuh
dalam masyarakat terbelakang yang menerapkan budaya otoriter. Hasil kajian yang
dilakukan, mereka bersependapat untuk mengkelaskan latah sebagai satu sindrom
budaya masyarakat setempat.
Latah
sebagai sebuah budaya. Ya, jangan –jangan kita saat ini ada di era mudah latah.
Semakin derasnya informasi membuat kita mudah terkejut. Bangun pagi, melihat
berita kecelakaan anak artis kita terkejut, melihat berita perang kita
terkejut. Apalagi ketika arus informasi ini tidak diimbangi oleh nalar untuk
melakukan verifikasi. Lagi-lagi urusannya dengan media literasi alias melek
media. Smartphone yang tidak
digunakan dengan smart. Asal broadcast sana-sini, boro-boro mengecek
kebenaran berita, asal heboh dan “sepertinya” benar, maka kita ingin menjadi
bagian untuk menyebarkannya. Kecepatan mengalahkan keakuratan. Keterkejutan
mengalahkan akal sehat. Teringat sebuah pesan kearifan dalam budaya luhur orang
jawa : Ojo dumeh, Ojo gumunan , Ojo
kagetan. Mungkin kita perlu belajar untuk itu, minimal untuk tidak kagetan.
No comments:
Post a Comment